commit to user 71
pengetahuan itu sendiri tidak selalu konkret, juga abstrak. Untuk menjelaskan pengetahuan dibutuhkan perumpamaan yang mampu menggambarkan sebagai
sesuatu yang mesti dipahami. Penggunaan metafora di dalam suatu wacana mampu sebagai retorika untuk mengalirkan pendapat dan ide agar mudah
dipahami, yang ketika pembaca tidak tahu latar belakang sosial budayanya menjadi sangat bingung. Munculnya metafora sendiri dapat menghadirkan
suasana dengan membentuk kekuatan baru untuk terasa segar. Kemampuan retorika di dalam wuatu wacana melalui metafora akan mengarahkan pada
kemiripan yang terus berkembang dan melampaui batasan-batasan bahasa yang mulanya telah digariskan secara konvensional. Michel Foucault 2007:54-55
sendiri melihat bahwa bahasa di dalam wacana mampu merekonstruksi pengalaman bahasa baru dan benda-benda dengan kesalingpengaruhan distingsi
yang digambarkan di dalamnya.
2.3 Kontribusi Pustaka Terdahulu
Kajian mengenai wacana di dalam sebuah puisi pada umumnya diarahkan pada wacana kebahasaan secara umum saja. Istilah mengenai wacana sendiri
memang dipakai di banyak disiplin. Namun, kebanyakan pandangan mengenai wacana di dalam bahasa akan merunut pada kaum
positivisme-empiris
dan konstruktivisme
Erianto, 2008:4-5
.
Wacana dalam pandangan positivisme-empiris dapat dilihat pada struktur yang ada di dalam bahasa itu sendiri.
Pertama
, penelititan yang dilakukan oleh Kenfitria Diah Wijayanti di Program Studi Linguistik Deskriptif, Program
commit to user 72
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Wacana Kartun
dalam Majalah Berbahasa Jawa Suatu Kajian Sosiopragmatik ” berusaha untuk
mengungkap mendeskripsikan jenis TT, TT yang dominan, dan penanda lingual, mendeskripsikan maksud implikatur dan daya pragmatik, menjelaskan bentuk
penyimpangan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, menjelaskan wujud aspek kebahasaan, mendeskripsikan fungsi kartun. Penelitian ini lebih meninjau
wacana sebagai komunikasi verbal dengan objek tulisan berdasarkan tanda-tanda untuk memahami makna secara pragmatis. Wacana dalam perspektif ini tertuju
pada kesatuan struktur bahasa secara lengkap dengan adanya keterhubungan antar proporsi.
Kedua
, penelitian lain dilakukan oleh Raharjo Dwi Untoro dengan judul “Analisis Wacana Lisan Interaksi Guru dan Siswa di Kelas SMA Negeri 3
Sragen ” sebagai tesis di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Analisis wacana di dalam penelitian ini bertujuan mengungkapkan struktur wacana lisan, fungsi bahasa dalam tindak tutur interaksi, dan partikel
wacana lisan dalam tindak tutur interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses belajar mengajar. Analisis wacana yang
seperti ini merupakan reaksi linguistik formal dalam interaksi yang harus dipahami dan direspon. Wacana lebih ditinjau dari komunikasi lisan yang dilihat
dari nilai dan pertukaran antara pembaca dan pendengar sebagai aktivitas sosial.
Ketiga
, penelitian yang dilakukan oleh Sri Widyarti Ali yang berjudul “Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen “The Killers” Karya
Ernest Hemingway ”, yang merupakan tesis di Program Pascasarjana Universitas
commit to user 73
Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian ini mengungkap kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam cerpen ”The
Killers” karya Ernest Hemingway. Di dalam penelitian tersebut, mementingkan proposisi dan keterikatan makna yang serasi dalam teks narasi.
Di dalam penelitian-penelitian tersebut, analisis wacana lebih diarahkan pada tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama secara pragmatis dan
sosiologis. Pertimbangan-pertimbangan kebenaran suatu pernyataan lebih diarahkan pada susunan yang membentuk bahasa secara tekstual, yang ada di
dalam bahasa tersebut. Hal ini terasa membosankan dan tidak berkembang sebagai sebuah penelitian karena ranah yang dapat dipahami oleh publik tidak terlalu luas.
Cara kerja penelitian seperti itu berusaha untuk menemukan makna objektif saja, tanpa mempertimbangkan bahwa makna juga tersusun oleh subjektivitas.
Keempat
, analisis wacana yang berusaha untuk mengungkap dan membongkar makna-makna tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Jalil,
dengan judul “Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Karya A. Mustofa Bisri Kajian Sosiologi Sastra, Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan
” sebagai tesis di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana.
Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini melihat hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial masyarakat dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, nilai-nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan nilai-nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus. Penelitian ini tidak lagi memandang bahasa sebagai
commit to user 74
kesatuan yang harus dipahami secara terstruktur, melainkan sudah melihat pada makna yang ada di dalam karya sastra.
Kelima
, penelitian yang dilakukan oleh Eko Sri Israhayu dengan judul “Telaah Historis, Sosiologis, dan Estetis Puisi-puisi Malu Aku Jadi Orang
Indonesia Karya Taufiq Ismail ” yang merupakan tesis di Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini membahas tentang mengungkap aspek historis; aspek sosiologis dan aspek estetis puisi-puisi Taufiq Ismail dalam
MAJOI. Di dalam penelitian ini, bahasa di dalam puisi memiliki aspek historis dan sosiologis sehingga harus dipahami maknanya. Pengungkapan makna
mengikuti struktur teks dari yang telah dikonstruk pengarang.
Keenam
, Heru Kurniawan pernah meneliti puisi Abdul Wachid B.S dengan judul
“Konsep Mistisisme Cahaya dalam Buku Puisi
Rumah Cahaya
Karya Abdul Wachid B.S.” yang membahas tentang metafora, simbol-simbol dam konsep
mistisisme cahaya buku puisi
Rumah Cahaya
karya Abdul Wachid B.S. Simbol cahaya merepresentasikan keimanan kepada Tuhan, dan konsep cahaya mengacu
pada petunjuk untuk membimbing “aku-lirik”. Adapun kesimpulannya bahwa
wacana kesufian dari puisi
Rumah Cahaya
adalah kesadaran “aku-lirik” tentang hidayah dari Tuhan, yang muncul dalam bentuk cahaya. Namun, hal ini dilakukan
dalam level semantik untuk menuju simbol, sedangkan level eksistensial dan ontologism tidak diungkap dengan baik.
Pandangan-pandangan tersebut senyatanya masih kurang karena tidak mendasarkan pemaknaan pada puisi-puisi itu sendiri pada sebuah entitas untuk
membongkar relasi-relasi sosial dan permainan strategi wacana dari Abdul
commit to user 75
Wachid B.S. Padahal, pandangan mengenai teks, dalam pandangan Derrida, adalah dapat mengonstuksi adanya teks lain dan membuat lingkungan baru
sehingga untuk membongkarnya harus memosisikan entitas sebagai keseluruhan dari teks Al-Fayyadl, 2005:xxii. Oleh karena itu, proses terhadap diri Abdul
Wachid B.S. sebagai aktor sosial yang terus bergerak dalam realita menjadi bagian dari teks itu sendiri. Praktik-praktik sosial yang secara struktur membentuk
adanya keadaan untuk mewacanakan religiositas dan kesufian menjadi penting untuk dicermati. Perkembangan penulisan puisi sufi dan puisi religi pada masa
kemunculan Abdul Wachid B.S. dapat berlangsung serentak sehingga hal ini pantas untuk dipertanyakan dalam sebuah penelitian yang lanjut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heru Kurniawan tersebut, sebenarnya dia pun mengungkap tentang wacana, yakni tentang kesufian yang terkandung di
dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. pengungkapannya lebih diarahkan pada teks yang dilihat sebagai cara untuk mengungkapkan yang tersembunyi, yakni simbol
dan metafora. Ada maksud dari Heru Kurniawan untuk mengungkap makna- makna yang terkandung di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dengan
penafsiran yang masih sangat terstruktur. Penelititan terhadap wacana dengan menggunakan cara pandang dari kaum
positivisme-empiris
dan konstrukstivisme bukan berarti keliru atapun salah. Penelitian itu benar dengan adanya temuan-temuan tersendiri berdasarkan
permasalahan yang muncul. Hanya saja penelitian itu masih menjadikan teks secara tunggal memiliki makna penuh. Senyatanya, kehadiran suatu teks selalu
diliputi dengan kekuasaan yang membentuk. Kemunculan suatu teks juga
commit to user 76
membentuk kekuasaan baru. Oleh karena itu, analisis mengenai wacana tidak lagi dipusatkan pada benar atau tidak benarnya makna dari sebuah teks, melainkan
dilihat pada produksi wacana, reproduksi dan transformasinya mampu membentuk makna baru. Analisis wacana seharusnya dilakukan secara kritis untuk memahami
teks yang diciptakan oleh seorang pengarang sebagai representasi. Analisis wacana dapat diarahkan untuk membongkar kuasa yang ada di dalamnya secara
bebas dengan melihat pada strategi-strategi yang telah dibentuk. Kajian wacana kritis biasanya lebih banyak dilakukan untuk membongkar
kebenaran di dalam suatu berita. Buku
Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
yang ditulis oleh Eriyanto mengungkap dominasi media melalui wacana. Tetik acuannya adalah berita, yang banyak dianggap benar oleh masyarakat
sebagai informasi. Eriyanto melihat alasan dan strategi berita tersebut dihadirkan, yang ternyata ada penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang
diproduksi secara samar sehingga harus dibongkar. Tulisannya cukup detail dan kritis, namun masih terpecah-pecah sebagai artikel, yang sifatnya sebagai
pengantar memasuki wacana secara kritis. Sekalipun demikian, buku ini cukup memberikan masukan yang berharga.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Sumantri Raharjo dengan judul “Wacana Kritis Komodifikasi Budaya Lokal dalam Televisi Studi Kasus
Komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta ” di Program Studi:Ilmu
Komunikasi Program Pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Penelitian ini mengungkap proses komodifikasi, bentuk-bentuk komodifikasi
dalam acara Pangkur Jenggleng dan alasan komodifikasi tersebut dilakukan.
commit to user 77
Sekalipun penelitian ini mengambil tema wacana kritis, namun arah bahasan sebenarnya lebih tertuju pada perubahan Pangkur Jenggleng menjadi komodifikasi
di dalam televisi. Usaha untuk membongkar memang kritis, tetapi tidak membongkar bahwa teks memiliki pretensi untuk menguasai.
Sebenarnya, telah ada buku berjudul
Menelanjangi Kuasa Bahasa:Teori dan Praktik Sastra Poskolonial
yang ditulis oleh Bill Ascroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Buku ini secara tegas melihat kuasa melalui bahasa di dalam karya
sastra dalam praktik kebudayaan, yakni pada daerah yang pernah di jajah khususnya bekas jajahan Inggris masih belum bebas karena ada dominasi
wacana yang terbentuk melalui bahasa. Dia mampu memahami sastra diciptakan dalam elemen periferial yang hendak masuk ke wilayah pusat, justru diserap oleh
pusat. Bahasa di dalam karya sastra menjadi tidak netral lagi karena berada di bawah arena pemosisian. Namun, objek bidikan di dalam buku ini terlalu luas
sehingga imbasnya kurang mendalam dengan memahami sastra secara universal. Tidak banyak kajian wacana kritis yang berusaha untuk mengungkap
wacana di dalam puisi. Ada kesulitan tersendiri memang, yakni karena ketika seseorang berhubungan dengan puisi, maka yang pertama dia harus berhadapan
dengan makna. Biasanya, orang yang sudah menemukan makna di dalam suatu puisi sudah merasa puas, terlebih lagi terkesan dengan puitika bahasa yang
dibangun. Usaha menembus batas makna terdalam sebuah puisi harus dihadapkan pada serangkaian gaya bahasa yang cukup kompleks. Keindahan-keindahan yang
dibangun di dalam puisi –yang berbeda dengan bahasa sehari-hari—telah
mendorong bentuk sugestif untuk mempercayai pengetahuan-pengetahuan yang
commit to user 78
mewujud di dalamnya. Kesulitan seperti itu juga harus dihadapkan pula pada tidak banyaknya orang yang mampu dengan cermat dan kritis terhadap puisi,
kebanyakan orang lebih menerima makna secara universal, terlebih lagi bila penyair itu telah mapan dalam konstelasi sosial-budaya.
Arah dari penelitian ini untuk mengungkap dan mengetahui secara mendalam wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Oleh karena itu, teori
Michel Foucault tentang adanya struktur diskursif dan wilayah opreasi wacana dalam membentuk kuasa menjadi sangat berarti. Puisi ditulis oleh Abdul Wachid
B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain bahasa itu tidaklah nertral, melainkan bahasa mengonstruks realitas dengan kebenaran-kebenaran dari asumsi
alamiah. Untuk menentukan kedirian wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S., penelitian ini tidak hanya mengungkap wacana yang hadir di puisi,
melainkan pada entitas Abdul Wachid B.S. secara total dengan melihat struktur sosial-budaya sebagai institusi yang mengelilinginya. Hal itu dimaksudkan untuk
menemukan hasrat yang ada pada proses penciptaan puisi sehingga lahir tatanan simbolik berdasarkan konstruks imajiner.
Dengan demikian, terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan antara penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini. Perbedaan itu terlihat
pada arahan, yang mana penelitian terdahulu lebih memaknai pesan-pesan dari puisi Abdul Wachid B.S., sedangkan penelitian ini untuk mengungkap entitas di
dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Untuk mengungkap entitas ini, tidak hanya pada puisi itu sendiri, melainkan juga pada institusi yang membentuk dan oprasi
strateginya.
commit to user 79
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Model Penelitian
Model penelitian menjadi kerangka berpikir dalam suatu penelitian. Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan wacana perpuisian Abdul
Wachid B.S. semenjak tahun 1980-an, dengan berbagai faktor yang mendorong.
Gambar 3.1 Model Penelitian. Beberapa faktor baik dari internal maupun eksternal muncul sebagai
masalah karena merupakan relasi wacana, yang pada nantinya menjadi identitas karakteristik. Dalam prosesnya, Abdul Wachid B.S. memiliki strategi tersendiri
Perpuisian Abdul Wachid B.S.
Wacana dalam Perpuisi- an Abdul Wachid B.S
FAKTOR EKTERNAL
FAKTOR INTERNAL
1 Bagaimanakah strategi
wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid
B.S.? 3
Bagaimanakah transformasi wacana dari
perpuisian Abdul Wachid B.S?
2 Bagaimanakah
rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul
Wachid B.S. mampu memperebutkan makna?
Perebutan Makna dalam Praktik
Sosial
Strategi penciptaan teks
Rekonstruksi wacana
Wacana dalam Perpuisian Indonesia tahun 1980-an hingga
sekarang
KESIMPULAN
79