commit to user 30
pengetahuan, dan dapat menciptakan pengetahuan. Pandangan tersebut sejalan dengan Foucault yang sudah memikirkan tentang wacana yang tercipta
berdasarkan “subjek diskursus.” Menurut Barker 2009:86, Foucault juga memperhatikan pada etika yang terpusat pengatuaran orang lain dan diri sendiri,
juga membentuk strategi untuk diperhitungkan dan member refleksi wacana.
2.2.1 Produksi Wacana
Pandangan-pandangan Michel Foucault yang kritis pada kehadiran wacana membentuk makna dan pengetahuan tentang dunia telah menunjukkan suatu
kecermatan yang sangat membantu paradigma kritis. Chris Barker 2008:83 mengatakan bahwa Foucault menentang formalis bahasa dengan menitikberatkan
perhatian pada praktik-praktik diskursif. Ann Brooks 2009:72 mengatakan arah konsep wacana yang dikembangkan oleh Foucault bukan dengan pikiran,
melainkan dengan ‗bidang praktis di mana ia disebarkan.‘ Cara tersebut harus disikapi dengan menentukan posisi wacana yang tidak netral, juga mengungkap
perwujudan adanya realitas baru yang menghadirkan kekuasaan setelah pengetahuan diyakini sebagai kebenaran. Keyakinan-keyakinan mengenai suatu
pengetahuan akan memunculkan kepatuhan-kepatuhan terhadap substansi yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini, posisi bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang memiliki permainan bebas Norris, 2009:64 akan membentuk penandaan baru bagi suatu
masyarakat. Adanya komunikasi yang melampaui pandangan-pandangan suatu masyarakat membuat interaksi sosial dipenuhi dengan pemaknaan-pemaknaan.
commit to user 31
Keterikatan wacana dengan bahasa akan menghadirkan makna baru dan makna lain untuk diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat. Adanya bahasa dengan
sistem retorika membuat rasionalitas pengetahuan menjadi terselubung, dan hadir dengan diam-diam untuk memberikan arahan-arahan. Bahkan, dalam pandangan
Jurgen Habermas 2007
a
:109 konsep kepatuhan individu terhadap wacana yang rasional dapat hadir karena adanya citra. Cara-cara dari agen dalam mengakses
komunikasi pada interaksi dilakukan dengan usaha mencapai pemahaman selaras berdasarkan kesepakatan yang dimainkan oleh pengetahuan pada situasi dan
kondisi. Bahasa bergerak dengan sangat bebas untuk membentuk penandaan- penandaan terhadap individu dalam memahami kehadiran wacana.
Dalam sebuah fenomena, formasi sosial dan strategi kekuasaan dari sebuah wacana yang beredar itu seharusnya dilihat dengan keterlibatan institusi di
belakangnya. Michel Foucault 2002
b
:192-193 mengatakan kenyataan dari kekuasaan beroprasi dengan biasanya, maka dari situlah perlunya institusi sosial
menggerakkan wacana menembus hambatan dan rintangan. Kekuasaan suatu teks tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada persebaran pengetahuan yang diyakini
sebagai benar. Kuasa membentuk jaringan yang beroprasi di dalam individu untuk tunduk pada serangkaian kebenaran: yang di dalamnya ada norma atau hukuman
bagi yang melanggar. Wacana itu bukanlah hanya sebuah bahasa yang mati, melainkan keluasaan dari sebuah tanda mengkonstruks individu-idividu untuk
masuk pada penandaan lain. Ada kesadaran manusia yang terperangkap di dalam kebenaran wacana karena terpengaruh oleh makna-makna sebagai peristiwa yang
dipahami dengan persepsi keliru karena tidak melihat struktur yang berada di
commit to user 32
baliknya. Inilah mekanisme wacana yang membentuk kontrol untuk menjadikan keadaan berlaku dan diterima secara universal dalam relasi sosial. Sebagai contoh,
negara tidak perlu mengontrol fisik, cukup berada dalam tataran wacana yang diyakini benar untuk memapankan kekuasaan. Negara membuat pilihan-pilihan
dari sebuah wacana yang disesuikan dengan sistem nilai masyarakat untuk mengarahkan pemahaman yang sama. Masyarakat berada dalam pengawasan yang
diterima sebagai sistem. Adanya institusi sosial mungkin hanya sebagai suatu prosedur, tetapi itu memberikan kerangka untuk tunduk dengan sederet resiko
yang harus dijalani oleh individu-individu di dalamnya. Persebaran dari wacana sendiri sebagai suatu efek pada akhirnya dapat masuk pada partikel terkecil yang
mengontrol dan sebagai kesadaran. Dalam hal ini, segala sesuatu di dalam wacana dapat dijadikan tanda selama menyampaikan pesan tersembunyi, yang bergerak di
balik kesadaran Sturrock dalam Al-Fayyadl, 2005:337. Michel Foucault 2002
a
:56 mencotohkan wacana membuat manusia untuk tunduk dan patuh. Dia mengarahkan penelitian pada beberapa orang gila. Di
dalam buku
Madness and Civilization,
dia menguraikan proses pembentukan seseorang itu gila berdasarkan wacana kegilaan yang membentuknya.
Pengetahuan masyarakat yang waras memiliki kriteria tersendiri untuk mengategorikan pengetahuan yang tidak sepaham sebagai gila. Penekanan
perbedaan antara kepentingan jangka panjang dan jangka pendek melibatkan kepatuhan karena adanya kepentingan diri yang tercerah melalui moralitas
pengetahuan Hazlitt, 2003:159. Penempatan orang lain untuk gila dengan adanya standardisasi moral, etika, dan rasional ini memenjarakan orang dalam
commit to user 33
rumah sakit, maupun penjara sebagai institusi mental. Orang yang tidak berada dalam pengetahuan waras
—sebagai wacana yang diproduksi oleh rumah sakit— maka didapat dan dikategorikan sebagai orang gila, walaupun yang dikatakannya
dapat dibuktikan di kemudian hari. Adanya ketidaklogisan dan esensi yang menyimpang itu disebut sebagai gila. Di sinilah orang dibentuk untuk selalu
tunduk dan patuh terhadap aturan maupun kategori-kategori tertentu berdasarkan ilmu pengetahuan. Foucault menyibukkan diri untuk mengungkap pembentukan
wacana yang diakhiri dengan kebenaran, yang pada akhirnya akan menindas orang-orang gila. Adanya sebuah perlakuan-perlakuan yang tidak wajar dan
kurang manusiawi itulah yang membuat Foucault melakukan identifikasi panjang terhadap wacana kegilaan di penjara-penjara Jerman.
Persebaran wacana mengontrol aktor-aktor sosial untuk bertindak di bawah tekanan yang ada dalam relasi sosial. Pandangan-pandangan wacana mengenai
orang gila dalam aspek-aspek tertentu telah mengontrol masyarakat untuk masuk ke dalam wacana Foucault, 2002
a
:234. Masyarakat yang dirinya takut untuk diklaim gila akan berjuang keras menampilkan rasionalitas sebagai kewajaran.
Pandangan komunikatif pada manusia sebagai pemikir yang cerdas untuk membuat keputusan berdasarkan informasi ini diliputi oleh resiko dan
kensekuensi Severin dan Tankard, 2009:196. Maka daripada itu, ketentuan yang berlaku di masyarakat menjadi tatanan simbolik yang direspon dengan berbagai
fantasi untuk terakui eksistensinya. Mark Bracher 1997:187 menjelaskan tatanan simbolik yang beredar di
masyarakat telah membuat penandaan-penandaan baru sebagai wacana. Bracher
commit to user 34
menyoroti tentang kampanye partai politik yang sejatinya adalah permainan wacana, namun mampu mengontrol aktor-aktor sosial untuk terpengaruh. Adanya
wacana yang menghadirkan penandaan-penandaan membuat aktor sosial hanya memunculkan fantasi makna dari citra, tetapi mereka melupakan relasi sosial.
Citra dari tanda-tanda yang hadir secara kompleks membentuk pemaknaan secara aktif Eco, 2009:228. Keadaan itu membuat wacana dengan mudah beroprasi
sebagai pengetahuan untuk diterima oleh mayarakat. Uraian panjang mengenai wacana oleh Michel Foucault juga mengarah ke
tubuh dalam
The History of Sexuality
Reitzer, 2008, 109. Dia memahami tubuh dijadikan cara maupun konsep untuk mendapatkan kekuasaan dengan
melontarkan wacana seks. Tubuh menjadi arahan yang menarik karena ada moral dan agama yang selama ini telah mengaturnya, maka pemerintah tinggal membuat
wacana untuk menguasai kondisi sosial-budaya tertentu. Kode moral menjadi tidak berarti lagi dengan berbagai pertimbangan berdasarkan perbandingan moral
yang ada Nietzsche, 2002:94. Gagasan itu memberikan suatu anasir mengenai moral sebagai sarana untuk mengontrol individu atas persoalan-persoalan
pengetahuan yang seharusnya diungkapkan. Pada wilayah inilah, tampak dengan jelas adanya usaha pembenaran yang dibuat dalam serangkaian tanda untuk
menentramkan diri. Menurut Foucault, seperti yang diungkapkan oleh George Rietzer 2008:112 mengatakan sebagai berikut ini,
“Kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan
persetubuhan, mencumbunya
dengan mata,
mengintensifkan
bagian-bagiannya,
membangkitkan
permukaannya,
mendramatisasi
kondisi yang kacau. Ia melilitkan tubuh yang seksual dengan
rangkulannya.”
commit to user 35
Kutipan di atas menjelaskan mengenai upaya pembentukan wacana dengan objek seks. Proses transformasi wacana ini muncul sebagai kontrol tubuh untuk
selalu mengontrol, memantau, bahkan mengidentifikasi agar tetap ada dalam rangkulannya. Dengan sangat jelas, ada wacana yang melingkupi tubuh untuk
tidak dapat bergerak dari pengetahuan tersebut. Tubuh menjadi objek wacana untuk mengarahkan dan menguasai. Kondisi sosial budaya berada dalam suatu
kekuasaan atas seperangkat pengetahuan karena adanya moral yang membuat sistem nilai manusia berada dalam lingkar satu arena.
Arah dari konsep Michel Foucault dalam
The History of Sexuality
agak serupa dengan konsep yang dikembangkan oleh Roland Barthes mengenai proses
perwujudan dari mitologi. Kaum gereja yang memiliki otoritas mengenai etika telah banyak sekali memainkan wacana mengenai seks berdasarkan mitos-mitos
yang terbentuk melalui kitab suci. Pandangan-pandangan kaum Gereja ini berdasarkan konstruksi wacana lampau, yang hadir berdasarkan penandaan
terhadap bentuk untuk memunculkan penandaan baru pada realitas menjadi fenomena. Mitos sebagai sistem komunikasi dapat disajikan oleh sebuah wacana
yang memiliki kebenaran Barthes, 2006:152. Adapun yang menarik dari kerja mitos ini adalah pada cara menyampaikan pesan yang membutuhkan alam untuk
ditandai dan ditafsirkan oleh masyarakat. Sebuah pesan yang ada pada level abstraksi suatu tempat seringkali berada dalam stagnasi Severin dan Tankard,
2009:113. Namun demikian, posisi wacana tidak hanya sebatas konstruks atas penandaan realitas baru, melainkan juga pada efek-efek wacana itu menyebar dan
commit to user 36
mengontrol aktor sosial. Michel Foucault 2000:18 mengatakan tentang subjek diskursus sebagai berikut ini,
Wacana tentang seks —wacana khusus, yang berbeda, baik dari segi
bentuk maupun objeknya —terus bertambah dan meluas: semacam
pembiakan wacana yang semakin cepat sejak abad ke-18. Yang saya maksud di sini bukanlah pelipatgandaan dari wacana yang “diharamkan”,
dari wacana yang menyimpang, yang membuat kata-kata mesum untuk menghina atau untuk memperolok pola susila baru. Pengetatan kaidah
kesantunan tampaknya telah menimbulkan reaksi berupa penguggulan dan intensifikasi
perkataan kotor.
Namun, yang
terpenting adalah
pelipatgandaan wacana mengenai seks, di dalam wilayah kuasa itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya, dan bahkan
untuk semakin sering membicarakannya; dan kemauan dari instansi-instansi seks serta untuk membuat seks itu sendiri “berbicara” dalam bahasa yang
sangat menjurus, disertai bertumpuk-tumpuk rincian.
Pernyatan Foucault tersebut mengarah pada wacana seks yang mengontrol dan memiliki efek-efek bagi penandaan bentuk-bentuk yang terkait. Penandaan dari
wacana seks, yang telah didukung oleh berbabagi mitos, juga akan hadir dengan institusional di kemudian karena transformasi bahasa yang mengkonstruks
realitas. Adanya norma-norma yang secara historis melekat pada masyarakat
dimanfaatkan untuk menjadikan wacana diterima secara halus. Di sini, ada struktur diskursif yang bekerja membentuk persebaran wacana di tengah realita
sehingga tampak nyata, jelas, normal, dan logis. Namun demikian, kesadaran bahwa wacana ini mengontrol aktor sosial untuk bergerak dalam bimbingan dan
arahan pengetahuan tidak disadari. Wacana justru diterima sebagai kebenaran ataupun keyakinan sehingga dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan
antara aktor sosial sebagai subjek yang memaknai etika sebagai nasihat praktis merupakan produksi diri sebagai suatu praktik diskursif Barker, 2008:86.
commit to user 37
Setelah adanya rasionalisasi dari kehadiran sebuah wacana yang selaras dengan wacana lampau, maka pembatasan-pembatasan itu bekerja untuk diakui
oleh subjek secara universal. Oleh karenanya, masyarakat menerima wacana dengan membenarkan. Mereka akan mempraktikkan kebenaran yang dipersepsi
berdasarkan kemampuan interpretasi terhadap simbol-simbol wacana bersadarkan realitas sebelumnya. Akan tetapi, pandangan-pandangan Jurgen Habermas
2007
b
:148 yang tidak melihat institusi sosial dalam memainkan peran wacana membuat pemaknaan terhadap realitas secara sekilas. Pemaknaan oleh aktor sosial
itu tidak mengacu pada entitas dari sebuah wacana sebagai praktik diskursif. Pemahaman terhadap agen-agen yang terus bergerak mengalami titik hambat
ketika harus berhadapan dengan penjelasan yang rasional, tetapi memunculkan efek-efek yang lain, yang tidak sesuai dengan harapan. Senyatanya, usaha yang
diserukan untuk memasuki dunia wacana dalam ruang dan waktu berbeda akan dipahami oleh agen sebagai hal yang berbeda pula.
Pretensi dari sebuah wacana sendiri hadir bukan dalam tataran ideologis atau represif baca:penekanan. Michel Foucault 2002
b
:152 sendiri menolak dan merasa keberatan pada dua hal tersebut. Dia mengungkapkan keberatannya ketika
ideologi dan represi dimasukkan dalam persebaran wacana. Wacana sebagai pengetahuan mucul dalam jejak-jejaknya yang jamak dan tak terbatas sehingga
mampu membentuk kekuasaan. Menurutnya, bahwa pengetahuan itulah yang bekerja dan diterima oleh masyarakat, dan ketika masyarakat mulai meyakini
pengetahuan sebagai kebenaran, maka pengetahuan itu memiliki seperangkat
commit to user 38
kuasa yang terus bergerak. Secara lebih jelas, Foucault 2002
b
:147 mengatakan sebagai berikut ini:
“Bagi saya, istilah ideologi sendiri sangat sulit digunakan karena tiga alasan.
Pertama
, suka atau tidak suka, ia selalu berada di dalam oposisi semu dengan sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran. Sekarang saya
percaya bahwa masalahnya bukanlah menarik garis antara wacana yang memiliki kategori ilmiah atau kebenaran dengan wacana yang memiliki
kategori lainnya, melainkan melihat secara historis bagaimana efek-efek kebenaran diproduksi melalui wacana yang di dalam dirinya tidak dapat
dikatakan benar atau salah.
Kedua
adalah konsep ideologi selalu mengacu pada sesuatu yang berasal dari aturan-aturan subjek sendiri.
Ketiga
, ideologi berada dalam posisi sekunder terhadap sesuatu dengan berfungsi sebagai
infrastrukturnya, materi, pembatasan ekonomis dan lain sebagainya. Sementara itu, konsep represi lebih halus lagi maknanya sehingga
setiap kali ingin menggunakannya, saya selalu menghadapi banyak masalah, karena saya berusaha agar terbebas darinya karena tampaknya ia berkaitan
dengan seluruh fenomena efek- efek kekuasaan.”
Pernyataan Foucault tersebut menegaskan bahwa arah dari wacana itu sendiri tidak pada sebuah kekuasaan menekan, melainkan pada efek-efek
persebaran wacana itu sendiri. Manusia sebagai subjek dibentuk dan diatur oleh ilmu pengetahuan untuk tunduk dan berdampak pada kesadaran aktor untuk
melakukan pemahaman terhadap kehadiran wacana itu sendiri. Titik inilah yang berusaha untuk dipahami sebagai wacana oleh Foucault, yang tentunya berbeda
dengan fenomenologi Marxis atau Marxisme. Penekanan-penekanan yang dilakukan secara ideologis pada hakikatnya belum tentu berhasil mengubah
tatanan karena manusia sebagai agen terus bergerak. Adanya wacana yang dipahami oleh agen-agen ini justru pada akhirnya memunculkan efek-efek
berdasarkan pemahamannya dengan menciptakan makna baru. Dalam praktik transformasi wacana ini ada normalisasi. Normalisasi ini
dilakukan dengan cara memunculkan wacana untuk disampaikan dengan berada
commit to user 39
pada hukuman dari wacana. Usaha ini terjalin, di mana wacana-wacana itu dimunculkan dengan beberapa kesepahaman dengan masyarakat, dengan
memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Oleh karenanya, transformasi ini tidak mengalami kesulitan diterima oleh masyarakat untuk diyakini sebagai
kebenaran yang ada dan diterima tanpa adanya prasangka apapun di luar kebenaran itu. Kebenaran inilah yang pada akhirnya dipahami sebagai bentuk
praktik kekuasaan. Michel Foucault memahami bahwa kekuasaan hadir di mana-mana dan
kadang-kadang membentuk sistem yang komprehensif untuk dianalisis dan dipahami kurang lebih secara independen Rietzer, 2008:115. Kekuasaan terjadi
dalam dominasi dan marginalisasi karena adanya suatu kekuatan. Pengetahuan- pengetahuan yang diyakini sebagai kebenaran akan mendominasi struktur
sehingga pada akhirnya menjadi sistem. Individu yang bergerak sebagai agen akan berada dalam wilayahnya, yang tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
tersebarnya wacana. Dalam praktik, kuasa dari sebuah wacana tidak hanya berlaku bagi negara,
melainkan pada aspek-aspek lain yang memiliki kuasa dan menyebarkan wacana untuk membuat objek tampak nyata sebagai benar. Proses persebaran wacana ini
juga berada dalam wilayah intelektualitas yang bermain politik. Intelektualitas membangun wacana untuk mendapatkan kebenaran sehingga dia memiliki
kekuasaan. Praktik ini dapat ditemukan di beberapa tempat, di mana ada wacana yang diterima dan difungsikan dalam kerangka benar dan salah sehingga objek
berada di bawah kontrol wacana. Kontrol-kontrol yang dilakukan oleh suatu
commit to user 40
perusahaan pada pekerja melalui kenaikan gaji, tunjangan, absensi, dan pemotongan gaji bila tidak melakukan kerja dengan baik merupakan wacana yang
terus-menerus digulirkan untuk membentuk pekerja dalam disiplin. Persebaran wacana ini memunculkan klasifikasi tertentu, yang pada
akhirnya menjadi stigma karena sudah menjadi kebiasaan yang telah disepakati. Contoh lain, dapat ditemukan pada sekolah yang bagus berdasarkan standard
internasional berdasarkan kelengkapan sarana dan prasaran juga beberapa guru yang memiliki lulusan S-2, di mana sekolah lainnya yang tidak memiliki standard
tersebut akan dikatakan sebagai sekolah yang jelek. Hal lain juga dapat dilihat dalam penentuan pintar dan tidak pintar berdasarkan nilai ujian akhir nasional
sehingga yang tidak memenuhi dikatakan tidak pintar. Oleh karena itu, masyarkat yang ingin dikategorikan pintar mengikuti wacana tersebut. Pembatasan dari
wacana tersebut akan membentuk sistem yang mengikat masyarakat sehingga muncul generalisasi. Wilayah wacana inilah yang harus dibongkar, untuk
memberikan kesadaran-kesadaran baru atas realita yang kini dipahami secara keliru. Konsep untuk menemukan adanya pengetahuan yang diyakini kebenaran
dan menjadi suatu kuasa dapat dibongkar dengan analisis yang kritis. Konsep berpikir kritis ini dengan melihat adanya ketimpangan sosial terhadap struktur
maupun sistem yang terlibat di dalam kuasa itu serta pengaruh-pengaruh dari dominasi suatu wacana.
Praktik dari kuasa wacana juga dapat saja hadir pada karya sastra. Pierre Bourdieu 2010:5 memunculkan konsep mengenai arena di dalam sastra yang
memberikan alternatif estetika. Struktur arena menjadikan aktor sosial untuk
commit to user 41
menempatkan posisi yang tentukan oleh pemilik modal. Harapan dari pemilik modal untuk menerima karya sastra berdasarkan wacana yang telah ditentukan
ruang kemungkinan untuk ditempati oleh aktor sosial. Pada wilayah ini, wacana sangat menentukan sastrawan dalam menghasilkan karya-karyanya untuk diterima
oleh masyarakat. Permainan strategi suatu kuasa memunculkan efek-efek sendiri sehingga
aktor sosial berusaha untuk menempatkan posisinya. Ketika penentangan dan usaha untuk melawan itu tidak menunjukkan suatu kebenaran lain, resiko terbuang
posisinya dari suatu arena. Wilayah ini sangat dipahami oleh harapan sastrawan sebagai aktor sosial untuk bertahan. Ukuran dari aktor sosial yang terbuang tidak
sebanyak kekuasaan yang membatasi, mendasari atau menyerang, yang selalu mereka tanggapi dengan perlawanan Foucault, 2002
b
:171. Maka daripada itu, arena memunculkan bisa juga dimunculi oleh diskursus menjadi prinsip yang
sangat penting untuk mengembangkan kreativitas dari seorang pengarang. Kekuatan sastrawan untuk mencipta berada di bawah wacana mengenai konsep
estetika suatu arena. Adapun setiap arena memiliki batas ketentuan untuk memainkan kerangka konseptual sebagai upaya pengondisian kreativitas.
Arena sastra dapat menjadi cara untuk memainkan formasi sosial. Arena itu sendiri dapatlah dikatakan sebagai institusi yang memainkan beberapa komponen
dengan adanya pola-pola. Meskipun Pierre Bourdieu 2010:4 selalu mengingatkan adanya ‗individu besar‘ yang mampu menampilkan karya unik dan
bersebrangan dengan wacana yang diproduksi oleh arena kultural, namun posisi itu sendiri tidak lepas dari pertarungan wacana. Dalam hal ini, kemungkinan yang
commit to user 42
ada adalah kemenangan dari individu besar atas wacana lampau dan menjadi wacana baru atau hanya sebatas pengakuan eksistensi. Fenomena itu menjadi kode
dalam rangkaian metasemiotis, di mana akan ada peralihan pada warisan kultural itu sendiri ke wilayah institusional, pada pandangan dunia itu sendiri, untuk
memilik subkode yang ingin diterapkan pada pesan Eco, 2009:433. Pandangan mengenai keadaan untuk diterima dalam suatu wacana menjadi idealitas
pengarang untuk berada di antara “inovasi dan konvensi” suatu masa. Ketegangan kreativitas antara inovasi dan konvensi telah dipaparkan oleh Andreas Teeuw
1981:3-4 bahwa karya sastra sebagai kreativitas selalu memuculkan inovasi- inovasi, namun konsep mengenai karya sastra itu sendiri memiliki landasan
konvensional yang sulit untuk ditolak. Dalam ketegangan antara inovasi dan konvensi, reproduksi teks sangat mungkin dilakukan untuk mencapai popularitas
berdasarkan arena yang melingkupi. Dalam hal ini, konvensi itu sendiri dipengaruhi oleh adanya relasi-relasi sosial yang saling memunculkan wacana
dalam lingkaran arena. Adanya konvensi sebagai batasan pengetahuan masyarakat,
adapun inovasi
berada dalam
wilayah kreativitas
—yang sesungguhnya merupakan medan untuk melakukan transformasi wacana.
Transformasi ini akan meruntuhkan dominasi dari kaidah-kaidah yang melekat pada sistem lama.Pada wilayah ini, wacana memainkan retorika yang menggeser
kode-kode kultural atas wacana lampau. Dengan demikian, bagian yang lebih penting lagi adalah melihat perubahan
sosial yang terjadi atas wacana. Wacana tidak menghadirkan revolusi, melainkan menggeser tatana
n dari “ruang kesadaran sosial” untuk masuk pada
commit to user 43
multidimensional sturktur diskursif. Ruang kesadaran sosial akan terbentuk dengan adanya pemahaman dari masyarakat terhadap perputaran wacana, citra,
maupun refleksivitas dari keadaan-keadaan yang terus memproduksi tanda. Ruang kesadaran akan membentuk individu-individu di masyarakat menjadi lebih peka
dan selektif terhadap arah perubahan sebagai fenomena. Selain itu, ruang ini juga akan membuat individu tidak lagi terjebak dan terikat pada arena yang telah
membelenggu dan membuat individu cermat dalam merespons setiap kejadian untuk tidak langsung menerima kebenaran, melainkan menyaringnya terlebih
dahulu dengan interpretasi yang kritis. Pemahaman-pemahaman seseorang terhadap reproduksi sosial dari sebuah rutinitas akan membentuk proses
kehidupan yang lain dari yang lain.
2.2.2 Teori Strukturasi