Wacana Puisi Kerangka Konsep

commit to user 21 Konteks, dalam hal ini, dipandang sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga membentuk individu-individu bergerak berdasarkan arahan wacana.

2.1.2 Wacana Puisi

Wacana puisi ditulis dengan kedalaman perasaan dan imajinasi penyair atas realitas. Bahasa yang ada di dalam puisi lebih konotatif bukan makna sebenarnya, analogis perbandingan, dan multi-interpretable banyak makna polisemi. Hakikat tersebut berbeda dengan dengan wacana ilmiah yang menuntut untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Wacana puisi lebih memungkinkan untuk memunculkan banyak makna dan memberikan pencerahan kepada pembaca secara subjektif. A. Teeuw 1982: 3 melihat puisi menggunakan bahasa dalam kekentalan yang indah dan menarik dengan adanya keseluruhan yang berhingga, mampu membentuk makna, dan dapat diterima oleh masyarakat. Wacana pada puisi lebih terbentuk oleh ketidaklangsungan ekspresi di dalam permainan bahasa untuk menampilkan makna secara tersembunyi. Wacana di dalam puisi terbentuk dengan karakteristik tersendiri. Misalnya saja, dalam puisi lirik, kekuatan teks lebih bertumpu pada dekonstruksi kata-kata yang bertaut dengan keterlibatan penyair, kekuatan puisi surealis lebih tertuju pada efektifitas simbol untuk merepresentasikan realitas, sementara puisi imajis lebih dekat pada permainan suasana dalam bahasa yang singkat dan padat. Diksi commit to user 22 dan gaya bahasa lebih menandai hakikat puisi yang destruktif terhadap realitas. Wacana puisi memiliki keunggulan tersendiri dengan poros dari subjektivitas penyair dan jenis puisi yang ditulisnya. Puisi sebagai genre sastra juga berbeda dengan prosa dan drama. Drama yang lebih menonjolkan dialog-dialog untuk memainkan konflik. Dialog-dialog antartokoh itulah yang digunakan untuk mengungkap peristiwa, yang kemudian ditampilkan dalam prilaku yang telah ditentukan polanya. Karakteristik pada naskah drama akan terlihat dari pola dialog dari suatu tokoh. Tindak-prilaku bahasa dalam teks drama tidak membahas sesuatu, melainkan berbuat sesuatu, untuk menimbulkan reaksi pada lawan bicara Hasanuddin, 1996:17. Pada intinya, wacana drama terbentuk oleh serangkaian kejadian atau peristiwa yang didialogkan. Pristiwa demi peristiwa ditampilkan dalam dialog-dialog untuk menciptakan aksi dan reaksi. Dalam kaitan tersebut, puisi juga berbeda dengan prosa yang lebih naratif untuk menyusun pengetahuan. Prosa berusaha menampilkan permasalahan dengan disampaikan secara naratif sehingga ada tema, alur, dan setting. Unsur tersebut menjadi pokok dalam sebuah cerita dengan adanya kronologi kejadian, yang terkait dengan pengisahan peristiwa Nurgiyantoro, 1997:91. Puisi menyampaikan pengetahuan dengan cara yang unik. Puisi terus ditulis dalam zaman yang penuh dengan media digital, yang lebih menawarkan imaji sensasional yang mengasyikkan. Penyair seolah harus repot-repot menulis puisi dengan kadar menyampaikan makna secara tidak langsung, yang justru membuat banyak orang merasa bingung untuk menemukan maknanya dengan susunan kata- commit to user 23 kata yang rumit. Puisi terus ditulis dengan variasi atas kekuatan gaya, bentuk dan isi sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, untuk dipahami maksudnya, bahkan untuk diinterpretasikan. Tidak banyak orang yang tahu alasan puisi harus multi-interpretable yang akan menjadi perdebatan oleh banyak orang, yang mungkin dapat memicu terjadinya perselisihan. Jhon Fiske 1990:15 menekankan untuk m elakukan “pemaknaan secara aktif” pada wacana di dalam puisi dengan tugas utama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan puisi di dalam sosio-kultur tentang alasan menjadi begitu, yakni menjadi ada dan hadir. Pasti ada jejak tersendiri dari puisi itu tercipta, yang akan mendorong menembus batas yang telah digariskan oleh konvensi sebagaimana tanda-tanda mengungkapkan kembali realitas itu menjadi teks. Konvensi bukan hanya berarti aturan, juga dapat berarti kebiasaan ataupun kesepakatan dalam suatu masyarakat, maka apapun dapat saja menjadi mungkin terjadi dan penyair selalu memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pesan. Itulah uniknya wacana puisi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kadar ideologinya. Wacana dalam puisi berbeda dengan pesan langsung semacam seruan dalam ceramah, seminar, maupun buku pelajaran di sekolah yang justru setelah selesai banyak dilupakan oleh audien atau dalam buku teori yang setelah membaca sampai selesai, ternyata lupa isinya. Justru setelah membaca puisi, dalam aktivitas tak sadar sering mengucapkan kembali diksi-diksinya, teringat dan terkenang. Hal itu karena ada pertautan perasaan melalui bahasa sehingga serasa mengalami peristiwa yang ada di dalam puisi. Wacana puisi yang demikian commit to user 24 tersebut tercipta dalam kadar tak langsung melalui nuansa keindahan. Wacana puisi mampu masuk pada unsur normatif dan kode penandaan sebagai koordinasi ideologis, yang nantinya akan diterima sebagai kebenaran oleh pembaca, sedangkan “bahasa sebagai medianya.” Dalam puisi, yang terpenting pada wacana yang disampaikan dengan tidak langsung justru memberikan daya sugestif untuk praktik pembentukan pengetahuan kepada pembaca, kebenaran, juga kesadaran akan realita yang kini menjadi teks. Wacana puisi tidak hanya tertuju pada kerumitan kata-kata, melainkan wacana mengenai kehidupan diekspresikan oleh penyair lewat puisi. Adapun difungsikan untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan fenomena kehidupan. Penulisan puisi dengan simbol, tanda, metafora maupun metonimi, ataupun paradoks dan ironi bukan dalam rangka mempersulit posisi makna untuk dipahami pembaca. Puisi bukanlah permainan kata-kata untuk menemu arti, melainkan susunan realitas yang memberikan pengetahuan bagi pembaca untuk terus memahami dan mencermati pengetahuan.

2.1.3 Perpuisian Abdul Wachid B.S.