Wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. arif

(1)

commit to user

WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya

Minat Utama: Sastra

oleh Arif Hidayat

S701008002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

commit to user

i

WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya

Minat Utama: Sastra

oleh Arif Hidayat

S701008002

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(3)

commit to user

ii

WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.

oleh Arif Hidayat

S701008002

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :

Jabatan Nama Tanda

tangan

Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Soediro Satoto ……… ………...

NIP. 130516319

Pembimbing II Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch ……… ………….

NIP.19680609 199402 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kajian Budaya

Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19640918 198903 1 001


(4)

commit to user

iii

Judul

WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.

oleh Arif Hidayat

S701008002

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Penguji:

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. ……… …………

NIP. 19640918 198903 1 001

Sekretaris Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. ……… …………

NIP. 19650220 199003 1 001

Pembimbing I Prof. Dr. Soediro Satoto ……… ………...

NIP. 130516319

Pembimbing II Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch ……… ………….

NIP.19680609 199402 1 001

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Kajian Budaya

Prof. Ir. Dr. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19610717 198601 1 001 NIP. 19640918 198903 1 001


(5)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Arif Hidayat NIM : S701008002

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Wacana dalam

Perpuisian Abdul Wachid B.S.” adalah betul karya saya sendiri. Hal-hal yang

bukan karya saya, dalam tesis ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar akademik yang saya peroleh.

Surakarta, 7 Juni 2012 Peneliti,

Arif Hidayat S701008002


(6)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Tesis ini peneliti persembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta sebagai rasa hormat, bakti dan terima kasih untuk

segalanya yang telah diberikan;

2. Adikku tercinta yang memberikan semangat dan kritikan; dan


(7)

commit to user

vi

MOTTO

1. Belajarlah untuk melihat gelap dan terang di sekitarmu agar keseimbangan

dan keadilan tercipta dari batin ketika menemukan rahasia tersembunyi.

2. Kehidupan manusia selalu dijajah oleh pengetahuannya sendiri dan

pengetahuan dapat tersembunyi di mana pun. Seluruh kehidupan ini berisikan pengetahuan.

3. Sebagian kecil dari rahasia Tuhan telah terpampang luas di alam semesta, tapi


(8)

commit to user

vii ABSTRAK

Arif Hidayat, S701008002. 2012: Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Soediro Satoto, Pembimbing II: Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch, Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Puisi mampu mengonstruksi realitas melalui permainan bahasa berdasarkan konvensi estetis untuk memperebutkan kebenaran. Setiap penyair berusaha untuk membentuk rangkaian wacana dengan gaya, karakter, dan pola yang berbeda dengan penyair lainnya sebagai inovasi. Selain itu, penyair berusaha untuk memberi keyakinan berdasarkan pandangan-pandangan yang termarginal di dalam kehidupan melalui penanda-penanda, baik yang hadir maupun tak hadir. Tidak heran jika puisi dipandang sebagai bagian dari budaya karena memainkan kebenaran di suatu zaman.

Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa,

yang di sisi lain “bahasa itu tidaklah nertral,” melainkan bahasa mengkonstruks

realitas. Perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih banyak dipahami memiliki nilai dan makna mengenai sufi. Padahal, makna tidak dapat muncul secara kolektif. Pemahaman seperti ini ada kekeliruan dengan pretensi pemaknaan didasarkan pada labelitas terdahulu. Pemaknaan seharusnya tidak hanya berhenti pada puisi itu sendiri, melainkan pada entitas, yakni makna-makna yang berada di sekitarnya secara berserakan. Perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki entitas yang dapat ditelusuri lebih jauh karena adanya sistemisasi dalam menulis puisi. Keterhubungan Abdul Wachid B.S. dengan bahasa, realitas, dan institusi sosial merupakan acuan dan makna dari wacana yang terus dikonstruks untuk berdiri pada posisi idealitas, yang bergerak dalam lingkup arena produksi kultural.

Penelitian berjudul “Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.” berusaha untuk mendeskripsikan secara mendalam strategi wacana dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S.; Mengungkapkan secara mendalam rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. mampu memperebutkan makna; dan Memformulasikan secara mendalam transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara multiinterdisipliner dengan melibatkan lebih dari dua bidang ilmu untuk digunakan dalam mengalisis masalah yang sama. ada disiplin mayor yang digunakan, yakni teks yang ditelaah berdasarkan wacana kritis. Teori wacana yang dikemukakan oleh Michel Foucault akan didukung oleh teori stilistika untuk mengungkap karakteristik teks, semiotika untuk mengungkap produksi makna, dan strukturasi untuk mengungkap arah transformasinya. Perpuisian Abdul Wachid B.S., yang menjadi objek di dalam penelitian ini, akan dianalisis secara mendalam. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi langsung, dan analisis dokumen.


(9)

commit to user

viii

Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi secara mendalam mengenai wacana

yang terkandung di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Pertama, strategi

wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi dan metafora. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif dapat memungkinkan penyair untuk meyakinkan kepada publik tentang tanda dan substansi dari puisi modern, yang pada tahun 1980-an hingga 2000

kental dengan simbol. Kedua, rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul

Wachid B.S. dimulai dengan mengkritisi modernisasi, terutama dengan pembangunan kota yang di sisi lain menyebabkan orang kecil tersisih. Pembangunan yang terjadi pada rezim Orde Baru ditulis dengan serangkaian dialektika, terutama dengan wacana religius yang berusaha untuk mengingatkan kembali hakikat manusia pada nilai. Abdul Wachid B.S. melalui puisi untuk mewacanakan sesuatu yang termarginal dari realitas yang diimpikan oleh rezim

Orde Baru. Ketiga, transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S.

terbentuk oleh wacana religius yang secara sosial mulai memudar di kalangan modern, tetapi juga sedang berkembang di Indonesia seiring munculnya sastra sufi dan sastra profetik.


(10)

commit to user

ix

ABSTRACT

Arif Hidayat, S701008002. 2012: Discourse in Concerning of Poetry‘s Abdul

Wachid B.S. THESIS. First Consultant: Prof. Dr. Soediro Satoto, Second Consultant Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch. Cultural Studies in Faculty of Literature and Fine Arts, Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University.

Poetry can construct reality through language games based on aesthetic conventions to fight the truth. Each poet trying to form a series of discourses in the style, characters, and patterns that are different from other poets as innovation. In addition, the poet sought to give confidence based on the views of the marginalized in the life through the markers, both present and absent. No wonder if the poem is seen as part of the culture due to play in an age of truth.

Poems written by Abdul Wachid B.S. using the medium of language, which on the other side "of that language is not nertral," but the reality mengkonstruks language. Abdul collection of poems Wachid B.S. more widely understood to have value and meaning of the Sufis. In fact, the meaning can not appear collectively. Understanding of such misconduct by the pretense of meaning based on previous labelitas. Meaning should not just stop at the poem itself, but the entity, namely the meanings that are scattered around him. Abdul collection of poems Wachid B.S. have entities that can be traced back even further because of the systemization of writing poetry. Connectedness Abdul Wachid B.S. with language, reality, and social institutions are a reference and meaning of the discourse that continues to stand in the shoes dikonstruks ideals, which move within the arena of cultural production.

The study entitled "Discourse in Collection of Poems Abdul Wachid BS" trying to describe in depth the discourse strategies of the poems of Abdul Wachid BS; Reveals in depth reconstruction of the discourse in the perpuisian Abdul Wachid BS able to fight over the meaning, and formulate in-depth transformation of the discourse of perpuisian Abdul Wachid BS.

The approach used in this study carried out multiinterdisipliner involving more than two fields of science for use in mengalisis same problem. no major discipline is used, the text is analyzed based on critical discourse. Discourse theory put forward by Michel Foucault will be supported by theory stilistika to reveal the characteristics of the text, semiotics to reveal the production of meaning, and structuration to reveal the direction of transformation. Abdul collection of poems Wachid BS, which is the object in this study, will be analyzed in depth. Date were obtained through in-depth interviews, direct observation and document analysis.

The results of this study was in depth description of the discourse that is

contained in BS Wachid Abdul collection of poems: First, discourse strategies in


(11)

commit to user

x

Linkage between metonymy and metaphor that is hidden in symbols so that variations in language more possible. Can be varied in a language that allows the poet to convince the public about the sign and substance of modern poetry, which

in the 1980's to 2000 is thick with symbols. Secondly, the reconstruction of the

discourse in the perpuisian Abdul Wachid BS begins with critiquing modernization, especially with urban development on the other hand leads to a small isolated. Development that occurs in the New Order regime was written by a series of dialectics, especially with religious discourses that seek to recall the nature of human values. Abdul Wachid B.S. through poetry for marginalized mewacanakan something of the reality envisioned by the New Order regime.

Third, the transformation of the discourse of perpuisian Abdul Wachid BS formed by religious discourses that are socially began to fade in the modern, but is also being developed in Indonesia as the emergence of Sufi literature and prophetic literature.

KEY WORDS: Poetry, Discourse, Language, Text, and Collection of Poems Abdul Wachid BS.


(12)

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Dengan telah selesainya penelitian ini, peneliti mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, inayah, dan karunia yang begitu berlimpah. Peneliti sadar bahwa tidak ada kekuatan apapun selain pertolongan Allah. Untuk itu, tidak lupa pula peneliti haturkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang telah memberikan pencerahan kepada umat manusia mengenai pengetahuan, temasuk kepada peneliti.

Dalam kesempatan ini, perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Kajian Budaya,

yang telah memberikan kesempatan dan memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini;

2. Prof. Dr. Soediro Satoto, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

masukan dan bimbingan dalam penelitian ini dengan bijak dan sabar; dan

3. Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch, selaku dosen pembimbing II

yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan dalam penulisan kajian ini.

Surakarta, 7 Juni 2012


(13)

commit to user

xii

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Masalah ... 12

1.2.1. Identifikasi Masalah ... 12

1.2.2. Pembatasan Masalah ... 14

1.2.3. Rumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.3.1. Tujuan Umum ... 15

1.3.2. Tujuan Khusus ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 16

1.5 Sistematika Penelitian... 16

BAB II LANDASAN TEORI ... 19

2.1 Kerangka Konsep ... 19

2.1.1 Wacana ... 19


(14)

commit to user

xiii

2.1.3 Perpuisian Abdul Wachid B.S. ... 24

2.2 Kajian Teori ... 26

2.2.1 Produksi Wacana ... 30

2.2.2 Teori Strukturasi ... 42

2.2.3 Teori Semiotika ... 51

2.2.4 Teori Stylistika ... 61

2.3 Kontribusi Pustaka Terdahulu ... 70

BAB III METODE PENELITIAN ... 79

3.1 Model Penelitian ... 79

3.2 Jenis Penelitian dan Pendekatan ... 80

3.3 Metode Penelitian ... 81

3.2.1. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 81

3.2.2. Sumber Data ... 84

3.2.2.1. Informan ... 84

3.2.2.2. Arsip atau Dokumen ... 85

3.2.2.3. Instrument Penelitian ... 85

3.2.3. Teknik Pengumpulan Data ... 86

3.2.3.1. Interviewing/ Wawancara Mendalam ... 87

3.2.3.2. Observasi Langsung ... 87

3.2.3.3. Content Analysis/ Analisis Dokumen... 88

3.2.3.4. Teknik Cuplikan ... 88

3.2.3.5. Validitas Data ... 88

3.2.3.6. Teknik Analisi Data ... 89

BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 92

4.1Gambaran Umum Fenomena Objek Penelitian (Proses Kreatif Kepenyairan Abdul Wachid B.S.) ... 93


(15)

commit to user

xiv

4.2Tema-tema Khusus (Tema dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.) ... 109

4.2.1. Buku Puisi Rumah Cahaya ... 110

4.2.2. Buku Puisi Tunjammu Kekasih ... 118

4.2.3. Buku Puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku... 122

4.2.4. Buku Puisi Yang ... 129

4.3Analisis Wacana ... 132

4.3.1 Puisi dan Strategi Wacana ... 132

4.3.1.1. Politik Metonimi ... 134

4.3.1.2. Politik Metafora ... 143

4.3.2 Rekonstruksi Wacana Puisi ... 160

4.3.2.1. Produksi Wacana ... 160

4.3.2.2. Kritik Modern sebagai Pengetahuan ... 169

4.3.3 Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa ... 192

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 205

5.1. Simpulan ... 205

5.2. Saran ... 207

DAFTAR PUSTAKA ... 208

DAFTAR WAWANCARA ... 212

LAMPIRAN 1 ... 213

LAMPIRAN 2 ... 224


(16)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR DAN MATRIK

Gambar 3.1. Model Penelitian ... 79

Gambar 4.1. Keterhubungan membaca dan menulis ... 97

Gambar 4.2. Lingkaran Komunitas Sastra ... 101

Matrik Pengaruh: Relasi-relasi Proses Kreatif Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S. ... 111

Matrik Perubahan: Tipe Tema pada Buku Puisi Abdul Wachid B.S. ... 136

Matrik Strategi Wacana... 164

Matrik Rekonstruksi Wacana ... 197


(17)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Foucault (dalam Sarup 2003:102), “menghargai sastra transgresi—sastra

yang berusaha merongrong pembatasan-pembatasan yang diberikan semua bentuk

wacana karena kelainannya.” Ada pandangan bahwa teks-teks sastra dapat

memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan. Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi tersembunyi, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora maupun permainan simbol yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan makna baru. Makna dan pesan di dalam puisi yang disampaikan lebih terbuka untuk dipahami sebagai pengetahuan oleh pembaca.

Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman, namun di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati untuk mempublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, namun curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan. Kehadiran puisi di satu sisi memiliki elemen imitatif, tetapi juga mengandung pesan. Ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan


(18)

commit to user

konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan terhadap kebenaran.

Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai

kebenaran, namun itu diterima dalam multi-interpretable (Pradobo, 1997: 5-6).

Akan tetapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat, yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986)

telah menulis esai berjudul “La Mort de L’auteur” (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada (Barthes, 2010:145). Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar pemaknaan (interpretasi) tidak percaya secara penuh yang disampaikan oleh pengarang di luar teks. Pengarang boleh saja berbicara di luar puisinya, namun yang dibicarakan oleh pengarang adalah bagian dari sekian banyak pemaknaan yang ada.

Dalam memahami puisi, kebanyakan memahami dari wilayah intrinsik dan ekstrinsik secara terpisah, kemudian baru disatukan. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-sendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks dibedah kemudian dijahit ulang sesuka pembaca. Dalam memahami puisi seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks dengan berujung pada penilaian baik dan buruk

secara dikotomis. Pembacaan juga dilakukan secara linear, tanpa


(19)

commit to user

Sementara itu, Ignas Kleden (2004:71) menekankan upaya kritik

kebudayaan terhadap teks sastra dilakukan “bukan sekadar refleksi intelektual.”

Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan

diri untuk konsisten dangan gelaja-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, melainkan mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai nilai, semakin akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada

tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse)

untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bisa digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha untuk memosisikan teks sebagai hasil produksi yang penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide untuk membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang.

Sifat bahasa di dalam puisi yang berusaha untuk menerobos pemaknaan secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden

(2004:212-213), penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya karena menyikapi “kata

-kata untuk mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil

mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.” Ini berarti bahwa sekalipun penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, namun juga memiliki kerangka


(20)

commit to user

konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Pernyair –lewat puisi—

berusaha memproduksi pengetahuan dalam dinamika kebudayaan.

Michel Foucault termasuk tokoh yang banyak melihat “pembentukan

wacana” terjadi dalam arena aktivitas (Barker, 2008:83). Dia memang bukanlah

orang yang ahli dalam hal puisi, namun puisi memiliki pengetahuan dengan adanya bahasa sebagai medium. Foucault termasuk orang yang kritis terhadap

bahasa untuk melihat pembentukan wacana. “Pembentukan wacana muncul

dengan adanya rangsangan kebenaran melalui bahasa” yang dikendalikan untuk

melahirkan objek-objek yang dapat dikendalikan. Karya Foucault pada tahun 1960 memusatkan perhatian pada bahasa dan pembentukan subjek dalam wacana

(Sarup, 2003:124). Wacana itu sendiri dapat muncul di mana pun karena “tidak

ada pengetahuan yang bebas oleh kekuasaan.” Dalam pandangan Foucault

(2002b:162), politik umum wacana muncul dengan kebenaran yang diterima dan

difungsikan sebagai benar. Hal itu untuk memberikan status bagi mereka yang mengatakan akan dianggap sebagai benar. Kekuasaan muncul seperti jaring dengan kekuatan imanen yang terus bergerak melalui bahasa dan membentuk subjek berada dalam pengaruh setelah kristalisasi kelembagaan diwujudkan.

Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa yang rumit, namun dapat menjadi media untuk berkomunikasi dengan pembaca. Menurut Abdul Wachid B.S.

(2005b:65), mendiang Presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy pernah

mengungkapkan bahwa “Jika politik bengkok puisi akan meluruskannya.” Ini

berarti bahwa puisi memiliki kekuatan yang mampu bergerak melalui kekuatan bahasa untuk meluruskan politik. Ada pengetahuan di dalam puisi sebagai


(21)

commit to user

kebenaran. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Lazimnya, orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi memiliki dimenasi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa untuk mengekspresikan segala yang diketahuinya.

Adapun penyair, menurut Kleden (2004:214), adalah “intelektual publik”

kerena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, bahkan kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di

dalam puisi –yang terwujud melalui bahasa— itulah elemen penting sebagai

representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi yang melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.

Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, melainkan ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi sehingga menjadi diterima oleh masyarakat. Hal ini karena,

sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai “What Is an Author”

(1978:1), “pengarang (baca:penyair) adalah produktor ideologi” dalam setiap

makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetika maupun etika. Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang, yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, yang kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam


(22)

commit to user

puisinya. Dalam relasi sosial, eksistensi seorang penyair tidak lepas dari

perputaran pengetahuan dalam sebuah arena. Michel Foucault (2002b:158)

mengungkapkan bahwa ketika kekuasaan yang politis untuk menguasai intelektual melalui pembagian pengetahuan, maka ia mulai menyentuh arahan-arahan dalam

relasi tersebut. Intelektual—di sini, dapat pula dimasukkan dalam ranah penyair

sebagai intelektualitas karena menulis sesuatu tentang keadaan entah wilayah

batin, maupun luaran—masuk pada wilayah terminologi tersendiri, yang berada

dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki karya yang diakui.

Penyair memiliki sisi kreatif atas intelektualitas yang dimilikinya dalam menyusun teks. Keadaan politis tersebut merupakan arena tersendiri yang memberikan pengaruh kuat pada gaya penyair dalam menampilkan estetika sehingga tulisan yang ditampilkan tidak murni dari idealitas, melainkan ada usaha menjangkau arena produksi dan pemilihan posisi diri. Keadaan ini muncul melalui transformasi wacana dalam relasi sosial oleh gejolak antara nilai dan struktur, yang merupakan proyeksi dan refleksivitas dari keterulangan dalam reproduksi

sosial. Dalam kaitan ini, penyair, sebagai manusia, merupakan “agen” yang

terlibat untuk melakukan tindakan-tindakan, yang kemudian memunculkan wacana sebagai bentuk kuasa.

Wacana, yang dapat hadir melalui tanda-tanda secara utuh dan saling berkaitan di dalam sistem bahasa. Hubungan antartanda di dalam puisi yang

terwujud melalui bahasa—sebagai sistem yang mengorganisasi untuk membina


(23)

commit to user

penulisan setiap kata, yang secara komparatif kemudian diakui oleh masyarakat

sebagai “puisi.” Masyarakat tidak akan menerima begitu saja sebuah puisi tanpa

ada pengetahuan yang ditampilkan, juga kebenaran mengenai sastra di masa itu. Untuk alasan inilah, A. Teeuw (1981:4-6) memandang sastra modern (termasuk

juga puisi modern.-pen) telah menciptakan berbagai inovasi yang lepas dari

kestatisan sesuai dengan perkembangan, yang masih merujuk pada konvensi. Rachmat Djoko Pradopo (2002:3-5) menandai kesusastraan Indonesia modern pada tahun 1920, yang bersamaan dengan itu juga lahir kritik sastra tulis dengan pengaruh Barat, khususnya Belanda, yang masuk dalam pengajaran kesusastraan. Namun, A. Teeuw (1981:7) sendiri melihat modern dengan terjadinya perombakan dari sastra tradisional. Perubahan dari struktur yang ketat menjadi bentuk yang bebas dan longgar telah dimulai oleh Chairil Anwar di tahun 1945. Adapun wacana mengenai perkembangan teknologi sebagai sistem dari modern telah muncul juga dalam teks-teks yang ditulis oleh Balai Pustaka.

Kajian terhadap puisi seharusnya secara jernih menyikapi puisi bukan sebatas ideologi komunikatif yang melihatnya dalam kerangka universal dan pragamatis secara kaku, yakni hubungan teks dan pembaca saja. Kajian terhadap puisi perlu untuk melihat ideologi sebagai upaya transformasi bahasa dengan realitas antara ada dan tiada. Pada akhirnya, gaya bahasa di dalam suatu teks sebenarnya untuk meningkatkan komunikasi, dengan menjadikan adanya kesan-kesan lebih mendalam. Hal itu ditentukan dengan daya horizon baca berdasarkan latar belakang sosial budaya yang pembaca miliki. Di masa sekarang ini, setiap pembaca dapat dan berhak menjadi kritikus untuk melakukan interpretasi


(24)

commit to user

berdasarkan horizon pembacaannya sehingga teks puisi tidak lagi dalam kategori baik dan buruk, melainkan dapat menghadirkan kebenaran atas rekonstruksi realitas, berdasarkan pembacaan yang cermat dan kritis. Fenomena teralienasi dan eksistensialisme, juga pewacanaan nilai-nilai lokal yang memuat mitos dan pembentuk budaya menjadi penting sebagai identitas, yang kerap kali dimunculkan oleh para penyair. Puisilah yang menyampaikan dengan bahasa yang lembut, halus, indah, perbandingan, dan polisemik, dengan masuk pada daya imajinasi dan keterharuan bagi pembaca.

Penelitian ini mengungkap sisi terdalam dari puisi lebih mengarah pada wacana yang ditampilkan untuk memandangnya sebagai teks, bukan sebatas sebagai karya yang mati. Puisi lebih plural, tidak berhenti sebagai tulisan, merupakan respon dari tanda-tanda realitas, dan dapat dicermati ke dalam dan ke luar. Metonimi, metafora maupun permainan simbol bekerja dengan cermat untuk merepresentasikan realitas. Ada makna yang selalu berubah dalam menyampaikan pengetahuan dan membentuk pola hubungan yang kompleks. Puisi memiliki kekayaan bahasa yang mampu membentuk realitas baru, berdasarkan kenyataan sehari-hari.

Penelitian ini berusaha mencermati wacana-wacana (yang dimiliki oleh) Abdul Wachid B.S., yang muncul dalam wacana perpuisiannya sebagai penyair mulai tahun 1980-an, dan mulai dikenal pada tahun 1990-an. Puisi Abdul Wachid B.S. tidak berhenti hanya dituliskan saja, tetapi terus berusaha hidup pada ingatan-ingatan pembaca, bahkan sebagai suatu pandangan yang terus diperbincangkan. Puisi-puisinya banyak dimuat di media massa, baik koran maupun majalah. Tahun


(25)

commit to user

1995, buku puisinya yang berjudul Rumah Cahaya diterbitkan oleh ITTAQ Press,

yang diberi kata pengantar oleh K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang di tahun 2002 dan 2003 buku tersebut terpilih sebagai buku ajar yang disebarkan di SMA

seluruh Indonesia. Puisinya yang terhimpun dalam buku Tunjammu Kekasih

(Abdul Wachid B.S.; 2003) terpilih sebagai seri penyair pilihan Indonesia versi

Bentang Budaya. Adapun buku puisi yang berjudul Ijinkan Aku Mencintaimu

(Abdul Wachid B.S.; 2002) menjadi buku best seller. Adalagi yang menarik,

yakni buku puisinya yang berjudul Rumah Cahaya (Abdul Wachid B.S.; 1995)

sempat menjadi polemik di Kedaulatan Rakyat pada tahun 1997. Dia oleh Korrie

Layun Lampan sebagai angkatan 2000 dinyatakan sebagai penyair Indonesia kontemporer. Tahun 1980-an sampai 1990-an, dikatakan oleh Heru Kurniawan (2009:5) bahwa Abdul Wachid B.S. sebagai generasi penerus yang menuliskan puisi sufi.

Pada permasalahan ini, untuk dicermati lebih dalam, bahwa puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain

“bahasa itu tidaklah nertral,” melainkan bahasa mengkonstruks realitas dengan

kebenaran-kebenaran dari asumsi alamiah. Untuk menentukan kedirian wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S., penelitian ini tidak hanya mengungkap pengetahuan di dalam, melainkan juga pada entitas Abdul Wachid B.S. secara

total dengan melihat struktur sosial-budaya sebagai institusi yang

mengelilinginya. Kajian ini sangat penting kiranya untuk menemukan wacana secara total yang ada pada puisi sehingga terungkap tatanan simbolik yang telah menjadi teks. Hal ini karena Abdul Wachid B.S. tidak hanya menulis puisi, namun


(26)

commit to user

juga menulis esai, dan kritik sastra. Buku esainya, yang berjudul Sastra

Pencerahan ditulis dalam kesadarannya membaca fenomena politik yang terkait

dengan dunia sastra. Buku kritik sastranya ada tiga: pertama, yang berjudul

Membaca Makna ditulis dalam rangka mengkritisi teks-teks sastra dalam relasi

sosialnya, kedua, yang berjudul Religiositas Alam; berisikan perkembangan

surealisme di Indonesia pada tahun 1980-an, dengan titik perhatian pada

sajak-sajak yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, dan ketiga, yang berjudul Gandung

Cinta mengenai kesufian dari A. Mustofa Bisri yang mewujud dalam puisi-puisi. Oleh karena itu, dalam memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. tidak hanya tertuju pada teks-teksnya saja, melainkan juga pada aspek itu juga teks yang memiliki relasi dengan puisi yang ia tulis. Tulisan-tulisan itu merupakan pengetahuan dari Abdul Wachid B.S. mengenai puisi, baik secara estetika maupun etika.

Penelitian untuk memahami perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya ditelaah pada makna-makna yang hadir secara konotatif, melainkan juga pada caranya membentuk pengetahuan hingga diterima oleh masyarakat, yakni lebih pada perpuisiannya. Perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih banyak dipahami memiliki nilai dan makna mengenai sufi. Padahal, makna tidak dapat muncul secara kolektif. Pemahaman seperti ini ada kekeliruan dengan pretensi pemaknaan didasarkan pada labelitas terdahulu. Pemaknaan seharusnya tidak hanya berhenti pada teks puisi itu sendiri, melainkan pada entitas, yakni makna-makna yang berada di sekitarnya secara berserakan. Keberadaan puisi itu hanya sebagai jejak karena makna yang sesungguhnya berada tidak hanya yang hadir, tetapi juga yang


(27)

commit to user

tidak hadir karena semuanya adalah teks. Dalam penelitian ini, yang perlu dicermati bahwa kehadian puisi sebagai representasi melalui bahasa sehingga perlu upaya berkelanjutan untuk membongkar sisi yang menjadi wacana.

Kajian ini tidak hanya menganalisis makna puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara sturktural, bahkan juga mengungkapkan kejelasan wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Perlu diketahui, wacana memiliki paradigma yang lebih luas daripada pemaknaan terhadap kode-kode bahasa yang disampaikan dalam bentuk tulis maupun ujaran. Foucault (dalam Eriyanto, 2008:65) memandang wacana mengarah pada ide, konsep, dan pandangan hidup dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Sementara itu, linguistik hanya memberikan persepsi yang lain antara wacana dan makna melalui bahasa dari satu arah.

Wacana itu sendiri membentuk rangkaian jalur yang bercabang dari praktik-praktik sosial berdasarkan perentangan ruang-waktu yang sistemik karena adanya dualitas struktur. Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. bukanlah cerminan realitas, melainkan representasi yang dikonstruksi melalui bahasa. Kehadiran bahasa sebagai media ini akan membentuk realitas yang lain karena bahasa selalu menciptakan makna-makna secara terus-menerus.

Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. dibentuk dengan adanya

“konvensi estetis”. Adapun pandangan tentang konvensi ini tidak hanya tertuju pada aturan-aturan di dalam sebuah puisi, tetapi juga pada penerimaan masyarakat terhadap sebuah puisi. Pandangan ini jelas mengacu pada puisi yang menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan setiap wacana yang


(28)

commit to user

diproduksi oleh penyair sehingga ada strategi-strategi yang dibentuk agar

masyarakat menerima teks tersebut. Perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki

entitas yang dapat ditelusuri lebih jauh karena adanya sistemisasi dalam menulis puisi. Keterhubungan Abdul Wachid B.S. dengan bahasa, realitas, dan institusi sosial merupakan acuan dan makna dari wacana yang terus dikonstruks untuk berdiri pada posisi idealitas, yang bergerak dalam lingkup arena produksi kultural (Bourdieu, 2010:15). Arena produksi kultural memuat serangkaian konvensi estetis yang harus mewujud agar dapat diterima, meskipun di sisi lain kesadaran praktis berusaha untuk menciptakan makna-makna baru.

1.2Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah

Ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan tersebut.

1. Puisi di tengah realitas ditulis oleh penyair berdasarkan rasa dan

pengalaman yang terkait dengan kondisi sosial. Walaupun puisi dibuat berdasarkan sisi subjektif dari penyair, namun terdapat pengetahuan di dalamnya. Penyair sebagai produktor wacana membentuk kebenaran-kebenaran yang akan diterima oleh pembaca. Proses konstruksi wacana perlu untuk ditelusuri lebih mendalam untuk mengungkap kekuatan teks tersebut.

2. Puisi adalah penjelmaan realitas melalui peristiwa kebahasaan, yang


(29)

commit to user

mencermati puisi sebagai pengetahuan, yang pada akhirnya mampu mengarah sebagai kuasa.

3. Dari pola interaksi, pola relasi, pola praktik sosial, dan aktivitas penyair

sebagai aktor sosial memunculkan konsekuensi dalam sebuah tindakan untuk mencipta. Hal itulah yang mendasari adanya rekonstruksi wacana di dalam puisi sebagai kebenaran yang diyakini berdasarkan konsensus sosial.

4. Wacana pada sebuah puisi dapat muncul melalui apa saja karena seluruh

elemen di dalamnya adalah sistem. Kehadiran tanda-tanda sangat diperhitungkan oleh penyair. Adapun bagian yang paling banyak digunakan menyisipkan pengetahuan, yakni melalui politik kebahasaan dengan karakteristik yang unik.

5. Masalah-masalah mengenai wacana yang ada di dalam perpuisian Abdul

Wachid B.S. dengan berbagai pengaruh dari relasi sosial yang sangat kompleks dan luas. Masalah ini lebih disebabkan oleh Abdul Wachid B.S. yang tidak hanya menulis puisi saja, tetapi juga beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan puisi seperti esai, dan kritik sastra, bahkan juga cerpen. Pandangan yang ada di dalam esai dan kritik tersebutlah yang cukup memberikan warna mengenai pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam puisinya. Hal tersebut banyak diabaikan dengan meneliti lebih kepada struktur dalam puisinya saja, bahkan hal itu dilakukan secara terpisah. Pengetahuan-pengetahuan Abdul Wachid B.S. mengenai puisi tidak lepas dari pengaruh perkembangan sastra yang dia ketahui, baik pandangan


(30)

commit to user

untuk isi maupun bentuk. Penyair yang sadar dengan konsep kebahasaan dan berkecimpung dalam dunia akademik sastra akan banyak tahu tentang teori sastra dan berusaha untuk mengikuti perkembangan gejolak sastra.

1.2.2. Pembatasan Masalah

Adanya latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan tersebut merupakan masalah yang cukup beragam, maka perlu ada pembatasan masalah agar arah pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terfokus dan mendalam. Pembatasan masalah akan diarahkan pada puisi sebagai media representasi yang dikonstruksi oleh penyair, wacana yang membentuk teks-teks tersebut, struktur sosial yang melingkupi konvensi, dan arah transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. Tiga aspek tersebut menjadi ruang bertemunya wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S.

1.2.3. Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini.

1. Bagaimanakah strategi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S.?

2. Bagaimanakah rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid

B.S. mampu memperebutkan makna?


(31)

commit to user

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini hendak mendeskripsikan secara holistik mengenai wacana yang terkadung di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Dalam usaha mendeskripsikan, lebih mengarah pada produksi wacana yang memandang teks sebagai pengetahuan. Puisi yang kebanyakan hanya diungkap makna masih perlu untuk ditelusuri lagi makna-makna yang tersembunyi di dalam bahasa dan keterkaitannya dengan realitas. Pengetahuan diproduksi melalui bahasa dengan dibentuk, didefinisikan, dinarasikan maupun dideskripsikan. Hal tersebut karena teks diciptakan berdasarkan representasi yang dikonstruksi untuk mendapatkan makna.

Penelitian ini memahami secara mendalam bahwa puisi memiliki pengetahuan, maka haruslah diungkap mengenai politik bahasa yang diciptakan oleh penyair di dalam teks-teksnya sebagai konstruks pengetahuan, mengenai realitas yang merupakan praktik yang merumuskan pengetahuan sebagai rekonstruksi wacana, dan mengenai kekuatan puisi dalam membentuk kebenaran. Sementara itu, pengetahuan itu sendiri akan direspons oleh pembaca secara kompleks untuk menjadi benar. Adapun puisi juga menampilkan pengetahuan yang akan diterima oleh pembaca pakar, pembaca ahli, dan pembaca awam.

1.3.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini diarahkan untuk mencapai tujuan penelitian seperti berikut ini.


(32)

commit to user

1. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang strategi wacana dari

perpuisian Abdul Wachid B.S.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang rekonstruksi wacana di dalam

perpuisian Abdul Wachid B.S. agar mampu memperebutkan makna.

3. Untuk mengetahui dan memahami tentang transformasi wacana dari

perpuisian Abdul Wachid B.S.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah penelitian kajian budaya dan untuk memberikan wacana teks puisi yang terjalin berdasarkan struktur sosial, yang melingkupi penyair; untuk menambah wawasan tentang proses produksi wacana, strategi wacana dalam teks puisi; dan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat tentang perpuisian Abdul Wachid B.S. Adapun manfaat penelitian secara praktis, yakni penelitian ini berguna untuk kerangka acuan untuk meletakkan reformulasi wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dalam konstruks sosial maupun peninjauan kembali tatanan struktur perpuisiannya.

1.5Sistematika Laporan Penelitian

Sebagai pemerjelas kepada pembaca untuk memahami tulisan ini, maka peneliti membuat sistematika laporan penelirian. Sistematika dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama akan menguraikan tentang latar belakang


(33)

commit to user

masalah, masalah (identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika tulisan. Di dalam bab I ini, akan dimulai dengan pandangan bahwa puisi sebagai pengetahuan. Bagian ini penting, yakni sebagai sumber dari permasalahan karena banyak orang yang tidak sadar dengan puisi yang memiliki keindahan kata-kata merefleksikan wacana. Terlebih lagi, jika puisi tersebut ditulis oleh Abdul Wachid B.S. yang sadar dengan teori, kritik, dan dunia akademik sastra. Pengetahuan yang ada di dalam puisi sangat diperhitungkan, meskipun ditulis berdasarkan pengalaman dan perasaannya.

Pada bab kedua, memuat tentang landasan teori yang terdiri dari tinjauan pustaka, konsep, dan landasan teori. Tinjuan pustaka ini penting karena sebagai penentu bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan. Konsep memberikan penjelasan tentang beberapa hal penting tentang istilah yang harus dipahami berdasarkan penelitian ini. Sementara itu, disiplin teori dalam penelitian ini menjelaskan tentang dasar dan acuan untuk meneliti, yaitu dengan menggunakan teori stilistika, teori semiotik, teori wacana yang dikembangkan oleh Michel Foucault, dan teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens.

Bab tiga dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yang terdiri atas jenis penelitian dan pendekatan, dan metode penelitian. Metode penelitian ini mengungkapkan mengenai rancangan penelitian, lokasi penelitian, bentuk dan strategi penelitian, sumber data dan teknik pengumpulan data. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari informan, dan arsip atau dokumen. Teknik pengumpulan


(34)

commit to user

data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi langsung, analisis dokumen, teknik cuplikan, validitas data dan dengan analisis deskripsi mendalam. Metode penelitian ini bekerja dalam ranah berpikir kritis untuk memahami objek sebagai teks sehingga tidak ada yang berada di luar teks. Hal ini untuk menemukan makna-makna lain yang tersembunyi di dalam konteks. Pada bab empat diuraikan tentang gambaran umum fenomena objek penelitian, tema-tema khusus yang akan dibahas, dan pembahasan itu sendiri sebagai hasil penelitian. Buku puisi yang menjadi objek dalam pembahasan ini

adalah buku Rumah Cahaya, Tunjammu Kekasih, Ijinkan Aku Mencintaumu,

Beribu Rindu Kekasihku, dan Yang. Namun demikian, pembahasan mengenai perpuisian itu sendiri harus pada seluruh aspek yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid B.S., dan karenanya pandangan-pandangannya mengenai puisi yang

termuat dalam buku lain seperti Membaca Makna, Sastra Penceraha, Religiositas

Alam dan Gandrung Cinta menjadi pertimbangan yang cukup penting. Dalam pembahasan itu sendiri dipaparkan mengenai subbab puisi dan strategi wacana, rekonstruksi wacana, dan transformasi wacana. Wacana sebagai pengetahuan tidak muncul sebagai makna yang diterima begitu saja, melainkan harus ditelusuri lagi praktik sosialnya, subjek, dan agen-agen yang terus bergerak. Subjek wacana muncul dengan adanya karakteristik yang memunculkan pancaran makna kepada pembaca. Agen wacana muncul dari interpretator ahli yang memiliki pengetahuan teoretik untuk memberikan pengetahuan baru mengenai puisi.


(35)

commit to user

Adapun pada bab kelima adalah penutup, yang berisi kesimpulan paparan dari pembahasan dan saran untuk penelitian lain. Pada bagian ini diuraikan tumbuhnya wacana dan arah persebarannya juga posisinya dalam tatanan sosial.


(36)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1Kerangka Konsep

Penelitian ini diarahkan pada wacana yang ada di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Untuk membuat arahan tersebut, perlu dibuat kerangka konsep sebagai usaha pemerjelas terhadap istilah (hipoksi operasional) yang akan dipakai dalam penelitian ini. Hal ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman oleh pembaca ketika membaca hasil penelitian ini.

2.1.1Wacana

Kris Budiman (1999:121) mendefinisikan ‗wacana‘ mengacu pada aspek

-aspek evaluatif, persuasif, atau retoris dari suatu teks, yang dipertentangkan dengan aspek-aspek seperti menamakan, melokasikan, atau mengisahkan karena terkait dengan produksi sosial. Eriyanto juga mengatakan hal yang serupa. Dalam pandangan Eriyanto (2008:65), wacana dapat dideteksi karena secara sistematis ada ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang ditransformasikan untuk mengarahkan cara berpikir dan bertindak. Wacana ini mendistribusikan konsep untuk memasukkan arahan dengan tujuan akan terjadi pola-pola tertentu yang terpengaruh. Wacana mampu mengkonstruks pikiran seseorang ke dalam suatu keadaan untuk menjalin relasi sehingga pemikirannya sesuai dengan konsep yang

ada di dalam suatu teks. Pada akhirnya, wacana membentuk “kuasa” karena


(37)

commit to user

adanya kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh seseorang secara individu maupun dalam lingkup komunal.

Istilah “wacana yang membentuk kuasa” dipopulerkan oleh Michel Foucault. Dalam pandangannya, wacana yang berkembang di tengah masyarakat membentuk relasi kuasa karena diterima sebagai kebenaran (Foucault,

2002b:143). Pengetahuan secara umum membuat manusia berada di bawah

kekuatan absolut, dan manusia berada di dalamnya seperti terpenjara—tepatnya

pembolehan dan penidakbolehan yang diliputi aturan-aturan untuk mengontrol

individu-individu yang terus bergerak (Foucault, 2002a:43). Transformasi wacana

yang beredar di tengah masyarakat, yang kemudian diyakini sebagai kebenaran,

sepenuhnya mengikat masyarakat untuk “tunduk dan patuh”. Ketertundukan dan

kepatuhan oleh wacana karena diterima oleh masyarakat sebagai hal yang

“benar”.

Kata wacana ini memiliki perspektif yang sangat beragam, terkait dengan disiplin tertentu. Dalam penelitian ini, wacana mampu membentuk kuasa sesuai dengan pemikiran Michel Foucault. Penggunaan wacana di sini, lebih untuk menitikberatkan perhatian pada pandangan kritis. Wacana adalah pengetahuan yang memberikan definisi-definisi melalui normalisasi sehingga ketika ditransformasikan akan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menurut Chris Barker (2008:83), bahwa Michel Foucault telah menyatukan wacana bahasa dengan praktik sosial yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang mampu memberikan makna kepada tiap-tiap subjek ketika menafsirkan. Wacana melibatkan adanya konteks untuk diteliti, bukan persoalan bahasa semata.


(38)

commit to user

Konteks, dalam hal ini, dipandang sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga membentuk individu-individu bergerak berdasarkan arahan wacana.

2.1.2Wacana Puisi

Wacana puisi ditulis dengan kedalaman perasaan dan imajinasi penyair atas realitas. Bahasa yang ada di dalam puisi lebih konotatif (bukan makna

sebenarnya), analogis (perbandingan), dan multi-interpretable (banyak makna/

polisemi). Hakikat tersebut berbeda dengan dengan wacana ilmiah yang menuntut untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Wacana puisi lebih memungkinkan untuk memunculkan banyak makna dan memberikan pencerahan kepada pembaca secara subjektif. A. Teeuw (1982: 3) melihat puisi menggunakan bahasa dalam kekentalan yang indah dan menarik dengan adanya keseluruhan yang berhingga, mampu membentuk makna, dan dapat diterima oleh masyarakat. Wacana pada puisi lebih terbentuk oleh ketidaklangsungan ekspresi di dalam permainan bahasa untuk menampilkan makna secara tersembunyi.

Wacana di dalam puisi terbentuk dengan karakteristik tersendiri. Misalnya saja, dalam puisi lirik, kekuatan teks lebih bertumpu pada dekonstruksi kata-kata yang bertaut dengan keterlibatan penyair, kekuatan puisi surealis lebih tertuju pada efektifitas simbol untuk merepresentasikan realitas, sementara puisi imajis lebih dekat pada permainan suasana dalam bahasa yang singkat dan padat. Diksi


(39)

commit to user

dan gaya bahasa lebih menandai hakikat puisi yang destruktif terhadap realitas. Wacana puisi memiliki keunggulan tersendiri dengan poros dari subjektivitas penyair dan jenis puisi yang ditulisnya.

Puisi sebagai genre sastra juga berbeda dengan prosa dan drama. Drama yang lebih menonjolkan dialog-dialog untuk memainkan konflik. Dialog-dialog antartokoh itulah yang digunakan untuk mengungkap peristiwa, yang kemudian ditampilkan dalam prilaku yang telah ditentukan polanya. Karakteristik pada naskah drama akan terlihat dari pola dialog dari suatu tokoh. Tindak-prilaku bahasa dalam teks drama tidak membahas sesuatu, melainkan berbuat sesuatu, untuk menimbulkan reaksi pada lawan bicara (Hasanuddin, 1996:17). Pada intinya, wacana drama terbentuk oleh serangkaian kejadian atau peristiwa yang didialogkan. Pristiwa demi peristiwa ditampilkan dalam dialog-dialog untuk menciptakan aksi dan reaksi.

Dalam kaitan tersebut, puisi juga berbeda dengan prosa yang lebih naratif untuk menyusun pengetahuan. Prosa berusaha menampilkan permasalahan dengan

disampaikan secara naratif sehingga ada tema, alur, dan setting. Unsur tersebut

menjadi pokok dalam sebuah cerita dengan adanya kronologi kejadian, yang terkait dengan pengisahan peristiwa (Nurgiyantoro, 1997:91).

Puisi menyampaikan pengetahuan dengan cara yang unik. Puisi terus ditulis dalam zaman yang penuh dengan media digital, yang lebih menawarkan imaji sensasional yang mengasyikkan. Penyair seolah harus repot-repot menulis puisi dengan kadar menyampaikan makna secara tidak langsung, yang justru membuat banyak orang merasa bingung untuk menemukan maknanya dengan susunan


(40)

kata-commit to user

kata yang rumit. Puisi terus ditulis dengan variasi atas kekuatan gaya, bentuk dan isi sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, untuk dipahami maksudnya, bahkan untuk diinterpretasikan. Tidak banyak orang yang tahu alasan

puisi harus multi-interpretable yang akan menjadi perdebatan oleh banyak orang,

yang mungkin dapat memicu terjadinya perselisihan.

Jhon Fiske (1990:15) menekankan untuk melakukan “pemaknaan secara

aktif” pada wacana di dalam puisi dengan tugas utama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan puisi di dalam sosio-kultur tentang alasan menjadi begitu, yakni menjadi ada dan hadir. Pasti ada jejak tersendiri dari puisi itu tercipta, yang akan mendorong menembus batas yang telah digariskan oleh konvensi sebagaimana tanda-tanda mengungkapkan kembali realitas itu menjadi teks. Konvensi bukan hanya berarti aturan, juga dapat berarti kebiasaan ataupun kesepakatan dalam suatu masyarakat, maka apapun dapat saja menjadi mungkin terjadi dan penyair selalu memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pesan. Itulah uniknya wacana puisi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kadar ideologinya.

Wacana dalam puisi berbeda dengan pesan langsung (semacam seruan dalam ceramah, seminar, maupun buku pelajaran di sekolah) yang justru setelah selesai banyak dilupakan oleh audien atau dalam buku teori yang setelah membaca sampai selesai, ternyata lupa isinya. Justru setelah membaca puisi, dalam aktivitas tak sadar sering mengucapkan kembali diksi-diksinya, teringat dan terkenang. Hal itu karena ada pertautan perasaan melalui bahasa sehingga serasa mengalami peristiwa yang ada di dalam puisi. Wacana puisi yang demikian


(41)

commit to user

tersebut tercipta dalam kadar tak langsung melalui nuansa keindahan. Wacana puisi mampu masuk pada unsur normatif dan kode penandaan sebagai koordinasi ideologis, yang nantinya akan diterima sebagai kebenaran oleh pembaca,

sedangkan “bahasa sebagai medianya.” Dalam puisi, yang terpenting pada wacana yang disampaikan dengan tidak langsung justru memberikan daya sugestif untuk praktik pembentukan pengetahuan kepada pembaca, kebenaran, juga kesadaran akan realita yang kini menjadi teks.

Wacana puisi tidak hanya tertuju pada kerumitan kata-kata, melainkan wacana mengenai kehidupan diekspresikan oleh penyair lewat puisi. Adapun difungsikan untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan fenomena kehidupan. Penulisan puisi dengan simbol, tanda, metafora maupun metonimi, ataupun paradoks dan ironi bukan dalam rangka mempersulit posisi makna untuk dipahami pembaca. Puisi bukanlah permainan kata-kata untuk menemu arti, melainkan susunan realitas yang memberikan pengetahuan bagi pembaca untuk terus memahami dan mencermati pengetahuan.

2.1.3Perpuisian Abdul Wachid B.S.

Abdul Wachid B.S. mulai menulis puisi sejak dekade 1980-an hingga sekarang. Ada pandangan bahwa dari masa itulah Abdul Wachid B.S. mulai merintis jalan kepenyairan sebagai pilihan hidup, baik untuk ekspresi diri maupun dalam transformasi ideologis. Banyak sekali karya-karya dari Abdul Wachid B.S. yang telah diterbitkan, baik di media massa, dalam bentuk antologi, maupun dalam buku tunggal. Perpuisian Abdul Wachid B.S. adalah struktur melingkupi


(42)

commit to user

puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dari mulai makna yang ada, bahasa yang digunakan, proses kreatif, transformasinya, maupun sudut pandangannya. Sudut pandang puisi Abdul Wachid B.S. mengarah pada nilai religius, sosialis, bahkan sufistik. Hal itu telah dibicarakan dan berdasarkan pemaknaan-pemaknaan oleh kritikus maupun oleh beberapa orang yang meneliti puisi-puisi Abdul Wachid B.S. Perpuisian dari Abdul Wachid B.S. juga merupakan kecenderungan-kecenderungan dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. sebagai jalur yang ditempuh selama menjadi penyair. Kecenderungan-kecenderungan ini menjadi identifikasi dan inventarisasi mengenai gaya sebagai keidentikan.

Searah dengan istilah yang telah dipaparkan tersebut, penelitian untuk mengungkap wacana dalam bahasa sebagai suatu narasi dapat didekati secara tekstual dengan melibatkan struktur sosial yang mengkonstruknya. Wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. terus muncul sejak 1980-an hingga sekarang. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dipublikasikan di media massa, dalam antologi bersama, ataupun dalam antologi. Puisi-puisi tersebut hadir dengan melibatkan konteks sebagai struktur dan sistem yang terus menampilkan pengetahuan sebagai kebenaran. Wacana itu sendiri terlahir berdasarkan idealitas Abdul Wachid B.S., dalam memandang realita sosial berdasarkan pandangannya. Abdul Wachid B.S.

dengan seperangkat “sistem nilai” berusaha menuliskan puisi (sebagai sudut

pandang), yang di sisi lain dia akan ditentukan oleh arena produksi kultural agar karya-karyanya diterima di media massa, masuk dalam antologi bersama, ataupuan antologi tunggal. Konvensi estetika yang telah ada pada masa 1980-an mempengaruhi kedirian dari Abdul Wachid B.S. dalam memproduksi puisi.


(43)

commit to user

Bahkan, pemilihan wacana yang menarik itu sendiri belum tentu murni dari kesadaran praktis, melainkan karena telah dibentuk oleh institusi sosial untuk peka terhadap realitas tertentu. Arahan dari institusi ini menjadi disiplin atas aturan-aturan yang megondisikan cara berpikir Abdul Wachid B.S. dalam menyikapi realitas untuk ditulis menjadi puisi.

Wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih diarahkan pada upaya membentuk karakterisasi melalui kekuatan bahasa sebagai strategi literar dalam mengungkapkan pandangan sehingga teks mampu diserap oleh pembaca. Keseluruhan dari puisi harus dipahami untuk mengukuhkan corak yang melekat sebagai wacana yang diproduksi di tengah realitas. Dari segi tema, gaya bahasa, pandangan, dan proses penciptaan makna merupakan wacana secara individual yang memiliki ideologi. Bahasa yang diproduksi oleh Abdul Wachid B.S. itu sendiri pada akhirnya menjadi kebenaran yang diterima oleh pembaca.

2.2Kajian Teori

Wacana dalam puisi memiliki berbagai macam kemungkinan makna yang

dapat ditelusuri. Namun demikian, dengan adanya pandangan tentang “wacana

kritis” akan mengarah pada relasi dan praktik sosial yang harus dipahami secara

keseluruhan. Salah satu acuan dari wacana kritis adalah dengan adanya usaha untuk mengungkap pengetahuan dengan keterkaitannya dengan struktur sosial, yakni dengan curiga untuk melihat arena kemungkinan-kemungkinan yang dibentuk oleh konsensus. Wacana tidak diterima dalam kerangka yang tampaknya


(44)

commit to user

objektif, melainkan harus diamati juga mengenai produksi wacana, juga relasi yang melingkarinya.

Untuk menuju pada wacana yang kritis dalam puisi tidak dapat langsung mengungkapnya dengan mudah sebagaimana memahami wacana dalam teks berita, pamflet, pengumuman, maupun buku ilmiah. Kajian terlebih dahulu perlu untuk menelusuri lebih mendalam mengenai hakikat puisi itu sendiri karena sangat dimungkinkan sekali permainan wacana juga berada di dalam. Analisis wacana, seperti yang diarahkan oleh Michel Foucault, menekankan pemaknaan untuk ke dalam dan ke luar sehingga yang tampak juga perlu diungkap terlebih dahulu. Ada arahan bahwa subjek juga dapat sebagai wacana karena terlibat

dalam praktik sosial. Dengan demikian, selain teori utama (grand-theory) tentang

wacana –yang dalam hal ini merujuk pada pemikiran Michel Foucault— juga

menggunakan teori lain yang diposisikan sebagai teori pendukung (midle-theory)

seperti teori stilistika, semiotika, dan teori strukturasi. Seperti yang telah diketahui oleh para pakar ilmu pengetahuan, bahwa pada hakikatnya ilmu pengetahuan saling terkait dengan disiplin lainnya sehingga kadang kala kerja dari satu teori itu sendiri tidak dapat optimal. Adanya interdisipliner untuk mengalisis wacana dalam puisi akan mengungkap pengetahuan sebagai bentuk kuasa di dalam praktik sosial.

Teori stilistika digunakan untuk melihat pada wacana yang dibentuk oleh permainan bahasa secara tekstual di dalam puisi. Stilistika melihat pada cara penyair dalam memainkan gaya bahasa dengan membentuk karakteristik yang berbeda dengan penyair lainnya. Proses pembentukan makna dapat saja terjadi


(45)

commit to user

dengan kelihaian dari penyair memainkan bahasa untuk memunculkan polisemi sehingga pengetahuan yang tersampaikan menjadi beragam. Seorang penyair baik secara sadar ataupun tidak sadar menulis puisi dengan kerangka pengetahuan yang diketahui. Bagi penyair yang secara tidak sadar memiliki keinginan dengan daya ungkap secara khas, dia sesungguhnya telah membentuk pola pada struktur bahasa untuk menampilkan wacana. Bagi penyair yang sadar dengan aktivitas kebahasaan, dia berusaha untuk membuat karakteristik pada dirinya. Karakteristik akan memainkan identitas melalui struktur kebahasaan sebagai sistem signifikasi.

Sumbangan dari stilistika untuk melihat teks dengan berujung cara menandai karakteristik di dalam teks sebagai produktifitas pengetahuan. Pengarang sebagai subjek berusaha menciptakan struktur teks yang terepresentasikan melalui bahasa. Dengan kata lain, penyair sebagai subjek sosiologis yang berbeda dengan orang pada umumnya sehingga mampu menangkap realitas sebagai pengetahuan untuk ditulis menjadi puisi. Wacana dalam puisi muncul dengan adanya identifikasi kultural dari penyair yang peka terhadap realitas. Sumbangan dari stilistika tersebut masih kurang mendalam untuk memahami teks dalam rekonstruksi makna. Adapun untuk memperdalam hal-hal yang berkaitan dengan penandaan, maka dibutuhkan semiotika.

Teori semiotika akan bekerja untuk arena penandaan dalam melihat teks sebagai praktik signifikasi. Wacana dalam perpuisian seorang penyair merupakan rekonstruksi realitas. Roland Barthes (dalam Budiman, 2004:55-57) memahami suatu teks dalam kode-kode yang tersusun oleh realitas, yang diciptakan oleh pengarang (baca:penyair). Memahami suatu teks tidak lepas dari arena makna


(46)

commit to user

untuk melihat bahasa bukan sebagai media yang netral, melainkan sebagai upaya pembentukan makna baru yang berisikan pengetahuan. Puisi adalah dunia yang tersusun atas bahasa dalam menampilkan realitas, maka puisi bukan realitas yang sebenarnya. Puisi hadir dengan menampilkan realitas yang telah dikonstruksi oleh penyair dengan berbagai kekuatan bahasa. Makna perlu ditelaah secara mendalam dengan mengacu pada praktik sosial yang terartikulasikan di dalamnya.

Kemungkinan lain dari kemunculan makna sebuah puisi dan arena persebaran pengetahuan justru muncul pula pada pandangan pembaca yang berusaha memaknai. Operasi makna hadir pada tataran kedua. Pemaknaan atas puisi perlu dilihat dari distribusi pengetahuan yang mewujud di dalamnya. Sifat puisi yang polisemik akan menghadirkan berbagai macam pandangan, yakni dalam fungsi pemancar. Terlebih lagi, jika yang membaca adalah kritikus yang memiliki pengetahuan untuk menciptakan pengetahuan baru tentang teks. Pembaca sangat plural dalam tatanan sosial dan mereka dapat saja memantulkan makna teks. Pada titik inilah, dibutuhkan suatu teori yang mampu melihat pembaca sebagai agen, yakni teori strukturasi dari Anthony Giddens.

Teori strukturasi akan membantu memahami wacana di dalam suatu teks yang telah terbentuk oleh arena. Teori ini akan melihat wacana mampu membentuk kuasa melalui kode-kode penanda. Refleksivitas dari wacana akan mengarah pada pembaca sebagai agen. Reflektivitas dari pengetahuan bergerak secara terus-menerus. Hal ini sejalan dengan pemikiran Foucault tentang kedisiplinan. Kekuasaan suatu pengetahuan membentuk jaringan dalam tatanan sosial. Pembaca pada intinya adalah subjek yang berpengetahuan, menangkap


(47)

commit to user

pengetahuan, dan dapat menciptakan pengetahuan. Pandangan tersebut sejalan dengan Foucault yang sudah memikirkan tentang wacana yang tercipta

berdasarkan “subjek diskursus.” Menurut Barker (2009:86), Foucault juga memperhatikan pada etika yang terpusat pengatuaran orang lain dan diri sendiri, juga membentuk strategi untuk diperhitungkan dan member refleksi wacana.

2.2.1Produksi Wacana

Pandangan-pandangan Michel Foucault yang kritis pada kehadiran wacana membentuk makna dan pengetahuan tentang dunia telah menunjukkan suatu kecermatan yang sangat membantu paradigma kritis. Chris Barker (2008:83) mengatakan bahwa Foucault menentang formalis bahasa dengan menitikberatkan perhatian pada praktik-praktik diskursif. Ann Brooks (2009:72) mengatakan arah konsep wacana yang dikembangkan oleh Foucault bukan dengan pikiran,

melainkan dengan ‗bidang praktis di mana ia disebarkan.‘ Cara tersebut harus

disikapi dengan menentukan posisi wacana yang tidak netral, juga mengungkap perwujudan adanya realitas baru yang menghadirkan kekuasaan setelah pengetahuan diyakini sebagai kebenaran. Keyakinan-keyakinan mengenai suatu pengetahuan akan memunculkan kepatuhan-kepatuhan terhadap substansi yang terkandung di dalamnya.

Dalam hal ini, posisi bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang memiliki permainan bebas (Norris, 2009:64) akan membentuk penandaan baru bagi suatu masyarakat. Adanya komunikasi yang melampaui pandangan-pandangan suatu masyarakat membuat interaksi sosial dipenuhi dengan pemaknaan-pemaknaan.


(48)

commit to user

Keterikatan wacana dengan bahasa akan menghadirkan makna baru dan makna lain untuk diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat. Adanya bahasa dengan sistem retorika membuat rasionalitas pengetahuan menjadi terselubung, dan hadir dengan diam-diam untuk memberikan arahan-arahan. Bahkan, dalam pandangan

Jurgen Habermas (2007a:109) konsep kepatuhan individu terhadap wacana yang

rasional dapat hadir karena adanya citra. Cara-cara dari agen dalam mengakses komunikasi pada interaksi dilakukan dengan usaha mencapai pemahaman selaras berdasarkan kesepakatan yang dimainkan oleh pengetahuan pada situasi dan kondisi. Bahasa bergerak dengan sangat bebas untuk membentuk penandaan-penandaan terhadap individu dalam memahami kehadiran wacana.

Dalam sebuah fenomena, formasi sosial dan strategi kekuasaan dari sebuah wacana yang beredar itu seharusnya dilihat dengan keterlibatan institusi di

belakangnya. Michel Foucault (2002b:192-193) mengatakan kenyataan dari

kekuasaan beroprasi dengan biasanya, maka dari situlah perlunya institusi sosial menggerakkan wacana menembus hambatan dan rintangan. Kekuasaan suatu teks tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada persebaran pengetahuan yang diyakini sebagai benar. Kuasa membentuk jaringan yang beroprasi di dalam individu untuk tunduk pada serangkaian kebenaran: yang di dalamnya ada norma atau hukuman bagi yang melanggar. Wacana itu bukanlah hanya sebuah bahasa yang mati, melainkan keluasaan dari sebuah tanda mengkonstruks individu-idividu untuk masuk pada penandaan lain. Ada kesadaran manusia yang terperangkap di dalam kebenaran wacana karena terpengaruh oleh makna-makna sebagai peristiwa yang dipahami dengan persepsi keliru karena tidak melihat struktur yang berada di


(49)

commit to user

baliknya. Inilah mekanisme wacana yang membentuk kontrol untuk menjadikan keadaan berlaku dan diterima secara universal dalam relasi sosial. Sebagai contoh, negara tidak perlu mengontrol fisik, cukup berada dalam tataran wacana yang diyakini benar untuk memapankan kekuasaan. Negara membuat pilihan-pilihan dari sebuah wacana yang disesuikan dengan sistem nilai masyarakat untuk mengarahkan pemahaman yang sama. Masyarakat berada dalam pengawasan yang diterima sebagai sistem. Adanya institusi sosial mungkin hanya sebagai suatu prosedur, tetapi itu memberikan kerangka untuk tunduk dengan sederet resiko yang harus dijalani oleh individu-individu di dalamnya. Persebaran dari wacana sendiri sebagai suatu efek pada akhirnya dapat masuk pada partikel terkecil yang mengontrol dan sebagai kesadaran. Dalam hal ini, segala sesuatu di dalam wacana dapat dijadikan tanda selama menyampaikan pesan tersembunyi, yang bergerak di balik kesadaran (Sturrock dalam Al-Fayyadl, 2005:337).

Michel Foucault (2002a:56) mencotohkan wacana membuat manusia untuk

tunduk dan patuh. Dia mengarahkan penelitian pada beberapa orang gila. Di

dalam buku Madness and Civilization, dia menguraikan proses pembentukan

seseorang itu gila berdasarkan wacana kegilaan yang membentuknya. Pengetahuan masyarakat yang waras memiliki kriteria tersendiri untuk mengategorikan pengetahuan yang tidak sepaham sebagai gila. Penekanan perbedaan antara kepentingan jangka panjang dan jangka pendek melibatkan kepatuhan karena adanya kepentingan diri yang tercerah melalui moralitas pengetahuan (Hazlitt, 2003:159). Penempatan orang lain untuk gila dengan adanya standardisasi moral, etika, dan rasional ini memenjarakan orang dalam


(50)

commit to user

rumah sakit, maupun penjara sebagai institusi mental. Orang yang tidak berada

dalam pengetahuan waras—sebagai wacana yang diproduksi oleh rumah sakit—

maka didapat dan dikategorikan sebagai orang gila, walaupun yang dikatakannya dapat dibuktikan di kemudian hari. Adanya ketidaklogisan dan esensi yang menyimpang itu disebut sebagai gila. Di sinilah orang dibentuk untuk selalu tunduk dan patuh terhadap aturan maupun kategori-kategori tertentu berdasarkan ilmu pengetahuan. Foucault menyibukkan diri untuk mengungkap pembentukan wacana yang diakhiri dengan kebenaran, yang pada akhirnya akan menindas orang-orang gila. Adanya sebuah perlakuan-perlakuan yang tidak wajar dan kurang manusiawi itulah yang membuat Foucault melakukan identifikasi panjang terhadap wacana kegilaan di penjara-penjara Jerman.

Persebaran wacana mengontrol aktor-aktor sosial untuk bertindak di bawah tekanan yang ada dalam relasi sosial. Pandangan-pandangan wacana mengenai orang gila dalam aspek-aspek tertentu telah mengontrol masyarakat untuk masuk

ke dalam wacana (Foucault, 2002a:234). Masyarakat yang dirinya takut untuk

diklaim gila akan berjuang keras menampilkan rasionalitas sebagai kewajaran. Pandangan komunikatif pada manusia sebagai pemikir yang cerdas untuk membuat keputusan berdasarkan informasi ini diliputi oleh resiko dan kensekuensi (Severin dan Tankard, 2009:196). Maka daripada itu, ketentuan yang berlaku di masyarakat menjadi tatanan simbolik yang direspon dengan berbagai fantasi untuk terakui eksistensinya.

Mark Bracher (1997:187) menjelaskan tatanan simbolik yang beredar di masyarakat telah membuat penandaan-penandaan baru sebagai wacana. Bracher


(51)

commit to user

menyoroti tentang kampanye partai politik yang sejatinya adalah permainan wacana, namun mampu mengontrol aktor-aktor sosial untuk terpengaruh. Adanya wacana yang menghadirkan penandaan-penandaan membuat aktor sosial hanya memunculkan fantasi makna dari citra, tetapi mereka melupakan relasi sosial. Citra dari tanda-tanda yang hadir secara kompleks membentuk pemaknaan secara aktif (Eco, 2009:228). Keadaan itu membuat wacana dengan mudah beroprasi sebagai pengetahuan untuk diterima oleh mayarakat.

Uraian panjang mengenai wacana oleh Michel Foucault juga mengarah ke

tubuh dalam The History of Sexuality (Reitzer, 2008, 109). Dia memahami tubuh

dijadikan cara maupun konsep untuk mendapatkan kekuasaan dengan melontarkan wacana seks. Tubuh menjadi arahan yang menarik karena ada moral dan agama yang selama ini telah mengaturnya, maka pemerintah tinggal membuat wacana untuk menguasai kondisi sosial-budaya tertentu. Kode moral menjadi tidak berarti lagi dengan berbagai pertimbangan berdasarkan perbandingan moral yang ada (Nietzsche, 2002:94). Gagasan itu memberikan suatu anasir mengenai moral sebagai sarana untuk mengontrol individu atas persoalan-persoalan pengetahuan yang seharusnya diungkapkan. Pada wilayah inilah, tampak dengan jelas adanya usaha pembenaran yang dibuat dalam serangkaian tanda untuk menentramkan diri. Menurut Foucault, seperti yang diungkapkan oleh George Rietzer (2008:112) mengatakan sebagai berikut ini,

“Kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan,

mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya,

membangkitkan permukaannya, mendramatisasi kondisi yang kacau. Ia


(52)

commit to user

Kutipan di atas menjelaskan mengenai upaya pembentukan wacana dengan objek seks. Proses transformasi wacana ini muncul sebagai kontrol tubuh untuk selalu mengontrol, memantau, bahkan mengidentifikasi agar tetap ada dalam rangkulannya. Dengan sangat jelas, ada wacana yang melingkupi tubuh untuk tidak dapat bergerak dari pengetahuan tersebut. Tubuh menjadi objek wacana untuk mengarahkan dan menguasai. Kondisi sosial budaya berada dalam suatu kekuasaan atas seperangkat pengetahuan karena adanya moral yang membuat sistem nilai manusia berada dalam lingkar satu arena.

Arah dari konsep Michel Foucault dalam The History of Sexuality agak

serupa dengan konsep yang dikembangkan oleh Roland Barthes mengenai proses perwujudan dari mitologi. Kaum gereja yang memiliki otoritas mengenai etika telah banyak sekali memainkan wacana mengenai seks berdasarkan mitos-mitos yang terbentuk melalui kitab suci. Pandangan-pandangan kaum Gereja ini berdasarkan konstruksi wacana lampau, yang hadir berdasarkan penandaan terhadap bentuk untuk memunculkan penandaan baru pada realitas menjadi fenomena. Mitos sebagai sistem komunikasi dapat disajikan oleh sebuah wacana yang memiliki kebenaran (Barthes, 2006:152). Adapun yang menarik dari kerja mitos ini adalah pada cara menyampaikan pesan yang membutuhkan alam untuk ditandai dan ditafsirkan oleh masyarakat. Sebuah pesan yang ada pada level abstraksi suatu tempat seringkali berada dalam stagnasi (Severin dan Tankard, 2009:113). Namun demikian, posisi wacana tidak hanya sebatas konstruks atas penandaan realitas baru, melainkan juga pada efek-efek wacana itu menyebar dan


(53)

commit to user

mengontrol aktor sosial. Michel Foucault (2000:18) mengatakan tentang subjek diskursus sebagai berikut ini,

Wacana tentang seks—wacana khusus, yang berbeda, baik dari segi

bentuk maupun objeknya—terus bertambah dan meluas: semacam

pembiakan wacana yang semakin cepat sejak abad ke-18. Yang saya

maksud di sini bukanlah pelipatgandaan dari wacana yang “diharamkan”,

dari wacana yang menyimpang, yang membuat kata-kata mesum untuk menghina atau untuk memperolok pola susila baru. Pengetatan kaidah kesantunan tampaknya telah menimbulkan reaksi berupa penguggulan dan

intensifikasi perkataan kotor. Namun, yang terpenting adalah

pelipatgandaan wacana mengenai seks, di dalam wilayah kuasa itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya, dan bahkan untuk semakin sering membicarakannya; dan kemauan dari instansi-instansi

seks serta untuk membuat seks itu sendiri “berbicara” dalam bahasa yang sangat menjurus, disertai bertumpuk-tumpuk rincian.

Pernyatan Foucault tersebut mengarah pada wacana seks yang mengontrol dan memiliki efek-efek bagi penandaan bentuk-bentuk yang terkait. Penandaan dari wacana seks, yang telah didukung oleh berbabagi mitos, juga akan hadir dengan institusional di kemudian karena transformasi bahasa yang mengkonstruks realitas.

Adanya norma-norma yang secara historis melekat pada masyarakat dimanfaatkan untuk menjadikan wacana diterima secara halus. Di sini, ada struktur diskursif yang bekerja membentuk persebaran wacana di tengah realita sehingga tampak nyata, jelas, normal, dan logis. Namun demikian, kesadaran bahwa wacana ini mengontrol aktor sosial untuk bergerak dalam bimbingan dan arahan pengetahuan tidak disadari. Wacana justru diterima sebagai kebenaran ataupun keyakinan sehingga dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara aktor sosial sebagai subjek yang memaknai etika sebagai nasihat praktis merupakan produksi diri sebagai suatu praktik diskursif (Barker, 2008:86).


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

207

kesamaan kisah

Pemosisian diri Berada dalam garis pola Pola-pola yang umum akan lebih mudah

diakui, teruntuk bagi individu kecil.

Proses transformasi teks dilakukan dalam tiga cara. Pertama, mengartikan makna verbal teks secara utuh. Teks (yang memiliki sisi religius) diposisikan sebagai wacana yang memiliki konteks (realitas keberagamaan di Indonesia) sehingga pemahaman pembaca itu tidak hanya melulu berkutat pada tulisan, namun juga pada kemungkinan teks berpolisemi. Ada makna-makna yang di luar pikiran dari pengarang itu muncul menjadi makna yang mesti dipahami sebagai bagian dari teks. Pikiran pengarang terhadap teks bisa saja dikabiri oleh arah komunikasi yang membentuk ruang simbolik sehingga harus ditelusuri jejak-jejak simbolik tersebut. Jejak-jejak tersebut menuntut adanya berbagai macam cara sebagaimana teks diposisikan sebagai representasi.

Kedua memaknai teks sebagai sebuah individu. Pembaca memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. bukanlah memahami pengarang (baca: pencipta). Memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. adalah memahami teks itu sendiri sebagai wacana. Fenomena-fenomena yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dapat saja muncul dan lenyap karena berada dalam lingkup ruang dan waktu yang selalu saja memberikan lingkaran-lingkaran berdasarkan realita. Ada tindakan yang bermakna, yang menjalin hubungan dengan teks sebagai rujukan yang ostensif. Realita membukakan kemungkinan-kemungkinan atas interpretasi yang akan menentukan makna dalam dialektika sosial.

Ketiga, puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara literar melibatkan horizon potensial makna, yang dapat diaktualisasikan dengan cara yang berbeda.


(2)

Puisi-commit to user

puisi Abdul Wachid B.S. —pada kahikatnya—memiliki perluasan-perluasan atas konstruks simbol yang ada di dalamnya. Potensialitas dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. akan muncul dari berbagai macam sisi yang berbeda. Pembaca memiliki horizon (cakrawala pikir) sebagai persepsi atas simbol-simbol yang hadir di permukaan, maupun simbol yang tersembunyi. Kekuatan pembaca untuk memberikan pembacaan terhadap teks sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur yang melingkupinya. Antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lainnya memiliki arah pandang yang berbeda, yang akan saling melengkapi interpretasi, dan di sini tidak ada benar dan salah. Pembaca memiliki otoritas terhadap teks untuk memberikan kesimpulan maupun pandangan berdasarkan pikiran dan pengalaman. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. memiliki beberapa sisi yang dapat dilihat oleh pembaca sehingga memungkinkan pembacaan dengan orang lain. Pembaca harus berpegang penuh terhadap aksentuasi pikir teks.

Dari keadaan-keadaan bahasa yang telah mengkonvensi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dipahami berdasarkan pantulan-pantulan dari fenomena. Transformasi menjadi bentuk teks dimungkinkan ada beberapa lingkup tertentu yang menjadikan adanya ketidaksempurnaan. Pantulan-pantulan lain yang berimbas terhadap teks ini harus disikapi dengan jeli dan teliti sehingga terbuka paradigm tersendiri.

Adapun untuk menjelaskan teks, konsep mengenai untuk membuka keberadaan teks dalam dunia ini menjadi sangat penting. Adanya lingkaran hermeneutis antara penjelasan dan pemahaman, serta antara pemahaman dan penjelasan tersebut harus relevan dengan ilmu pengetahuan dan ideologi karena


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

209

simbol itu bergerak dalam ranah aktivitas pikir. Segala bentuk perilaku dan keseharian manusia merupakan mozaik-mozaik dari panjangnya rangkaian ideologi yang bergerak terus-menerus.


(4)

commit to user

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Wacana dapat berada di mana saja, termasuk puisi. Sekalipun puisi memiliki kerumitan pada kata-kata, namun terhubung dengan tanda dalam praktik sosial. Bahasa di dalam puisi bukan hanya sebatas satuan gramatikal, juga memproduksi pengetahuan dengan cara tertentu melihat realitas. Adapun bahasa itu sendiri pada akhirnya dapat diposisikan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu yang dapat dikatakan dari yang dipikirkan oleh penyair berdasarkan cara pandang untuk melihat kebenaran. Pada wilayah itulah, puisi terlibat dalam formasi sosial dengan ia kembali memproduksi realitas. Hal ini berlangsung dalam puisi yang memainkan politik kebahasaan untuk berkomunikasi dengan membentuk kebenaran.

Dengan mengacu pada paparan yang termuat di dalam analisis dan pembahasan, maka ada tiga simpulan di dalam penelitian ini. Pertama, strategi wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi dan metafora. Dua politik kebahasaan ini begitu dominan, terutama di dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjamu Kekasih, sedangkan di dalam buku Ijinkan Aku Mencitaimu dan Beribu Rindu Kekasihku lebih memainkan metafora sebagai kesegaran bahasa. Adapun di dalam buku Yang lebih memilih metonimi religius. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

211

dapat memungkinkan penyair untuk meyakinkan kepada publik tentang tanda dan substansi dari puisi modern, yang pada tahun 1980-an hingga 2000 kental dengan simbol. Pada waktu itu, memang sastra di Indonesia dituntut untuk bisa memainkan tautologis antara penanda dan petanda. Abdul Wachid B.S. memainkan corak tersebut dalam arah antara puisi lyric dan berkisah, meskipun dalam puisi Ijinkan Aku Mencitaimu dan Beribu Rindu Kekasihku lebih dominan puisi lyric.

Kedua, rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dimulai dengan mengkritisi modernisasi, terutama dengan pembangunan kota yang di sisi lain menyebabkan orang kecil tersisih. Pembangunan yang terjadi pada rezim Orde Baru ditulis dengan serangkaian dialektika, terutama dengan wacana religius yang berusaha untuk mengingatkan kembali hakikat manusia pada nilai. Abdul Wachid B.S. melalui puisi untuk mewacanakan sesuatu yang termarginal dari realitas yang diimpilan oleh rezim Orde Baru. Puisinya berkembang dalam operasi kebenaran ketika memasuki reformasi (tepatnya tahun 2003-2003) dengan puisinya yang dijadikan sebagai bahan ajar di SMA seluruh Indonesia.

Ketiga, transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh wacana religius yang secara sosial mulai memudar di kalangan modern, tetapi juga sedang berkembang di Indonesia seiring munculnya sastra sufi dan sastra profetik. Abdul Wachid B.S. dengan tegas mengambil istilah “Religiusitas

Islam dalam Sastra” berdasarkan pandangan Paul Tillich. Pandangan bagi Abdul


(6)

commit to user

yang kemudian wacana mengenai sufi muncul dalam buku Gandrung Cinta, yakni tafsir mengenai puisi-puisi A. Mustofa Bisri.

5.2. Saran

Ada dua saran dalam penelitian ini. Pertama, penelitian terhadap puisi seharusnya untuk tidak hanya mengungkap makna secara terpotong-potong. Puisi terbentuk dalam aktivitas keseluruhan dalam praktik sosial. Perpuisian Abdul Wachid B.S. hendaknya diposisikan sebagai media yang mampu mengkonstruks makna dari realitas. Interpretasi terhadap puisi harus dipahami secara mendalam dengan mengacu pada arena produksi teks sehingga lapisan-lapisan makna dapat terbongkar seluruhnya melalui jejak yang ada dan tersembunyi. Dengan puisi dapat ditelusuri melalui jejak-jejak yang tersembunyi, maka seharunya penelitian terhadap puisi dapat melihat kondisi zaman secara partikular. Puisi, dalam hal ini, dapat diposisikan sebagai narasi kecil untuk membongkar rezim kebenaran yang juga dapat dibongkar proses pembentukan wacana. Kedua, bagi kritikus sastra, seharusnya untuk melihat perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya dalam kadar baik dan buruk sebagai peniliaian, tetapi lebih melihat teks dalam berdialektika untuk memainkan wacana. Penilaian teks yang hanya berorientasi pada baik dan buruk hanya sebatas permukaan pada sistem kebahasaan.