commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Foucault dalam Sarup 2003:102, “menghargai sastra transgresi—sastra
yang berusaha merongrong pembatasan-pembatasan yang diberikan semua bentuk wacana karena kelainan
nya.” Ada pandangan bahwa teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan.
Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi tersembunyi, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra
bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora maupun permainan
simbol yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan makna baru. Makna dan pesan di dalam puisi yang disampaikan lebih terbuka
untuk dipahami sebagai pengetahuan oleh pembaca. Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari
kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman, namun di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun
penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati untuk mempublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja,
namun curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan. Kehadiran puisi di satu sisi memiliki elemen imitatif, tetapi juga
mengandung pesan. Ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan
1
commit to user 2
konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan terhadap kebenaran.
Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran, namun itu diterima dalam
multi-interpretable
Pradobo, 1997: 5-6. Akan tetapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat,
yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes 1986 telah menulis esai berjudul “La Mort de L’auteur” Kematian Pengarang. Segera
setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada
Barthes, 2010:145. Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar pemaknaan interpretasi tidak
percaya secara penuh yang disampaikan oleh pengarang di luar teks. Pengarang boleh saja berbicara di luar puisinya, namun yang dibicarakan oleh pengarang
adalah bagian dari sekian banyak pemaknaan yang ada. Dalam memahami puisi, kebanyakan memahami dari wilayah intrinsik dan
ekstrinsik secara terpisah, kemudian baru disatukan. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-
sendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks dibedah kemudian dijahit ulang sesuka pembaca. Dalam
memahami puisi seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks dengan berujung pada penilaian baik dan buruk
secara dikotomis.
Pembacaan juga
dilakukan secara
linear, tanpa
mempertimbangkan kekuatan teks yang senyatanya berbeda dengan teks lain.
commit to user 3
Sementara itu, Ignas Kleden 2004:71 menekankan upaya kritik kebudayaan terhadap teks sastra
dilakukan “bukan sekadar refleksi intelektual.” Ada dua hal yang dapat dilakukan.
Pertama
, seorang peneliti dapat memosisikan diri untuk konsisten dangan gelaja-gejala kebudayaan di dalam karya sastra
dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, melainkan mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan
sebagai nilai, semakin akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada tradisionalisme.
Kedua
, dengan menempatkan teks sebagai wacana
discourse
untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bisa digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha untuk
memosisikan teks sebagai hasil produksi yang penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide untuk membuat rasa percaya yang baru, maka rasa
tradisionalisme semakin berkurang. Sifat bahasa di dalam puisi yang berusaha untuk menerobos pemaknaan
secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari
penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden 2004:212-
213, penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya karena menyikapi “kata-
kata untuk mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.” Ini berarti bahwa sekalipun
penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, namun juga memiliki kerangka
commit to user 4
konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Pernyair –lewat puisi—
berusaha memproduksi pengetahuan dalam dinamika kebudayaan. Michel Foucault termasuk tokoh yang banyak melihat
“pembentukan wacana
” terjadi dalam arena aktivitas Barker, 2008:83. Dia memang bukanlah orang yang ahli dalam hal puisi, namun puisi memiliki pengetahuan dengan
adanya bahasa sebagai medium. Foucault termasuk orang yang kritis terhadap bahasa untuk melihat pembentukan wacana.
“Pembentukan wacana muncul dengan adanya rangsangan kebenaran melalui bahasa
” yang dikendalikan untuk melahirkan objek-objek yang dapat dikendalikan. Karya Foucault pada tahun
1960 memusatkan perhatian pada bahasa dan pembentukan subjek dalam wacana Sarup, 2003:124. Wacana itu sendiri dapat muncul di mana
pun karena “tidak ada pengetahuan yang bebas oleh kekuasaan.” Dalam pandangan Foucault
2002
b
:162, politik umum wacana muncul dengan kebenaran yang diterima dan difungsikan sebagai benar. Hal itu untuk memberikan status bagi mereka yang
mengatakan akan dianggap sebagai benar. Kekuasaan muncul seperti jaring dengan kekuatan imanen yang terus bergerak melalui bahasa dan membentuk
subjek berada dalam pengaruh setelah kristalisasi kelembagaan diwujudkan. Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa yang rumit, namun dapat menjadi
media untuk berkomunikasi dengan pembaca. Menurut Abdul Wachid B.S. 2005
b
:65, mendiang Presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy pernah mengungk
apkan bahwa “Jika politik bengkok puisi akan meluruskannya.” Ini berarti bahwa puisi memiliki kekuatan yang mampu bergerak melalui kekuatan
bahasa untuk meluruskan politik. Ada pengetahuan di dalam puisi sebagai
commit to user 5
kebenaran. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Lazimnya, orang pembaca akan
mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-
pengetahuan di dalam puisi memiliki dimenasi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora
rasa untuk mengekspresikan segala yang diketahuinya. Adapun penyair, menurut Kleden 2004:214, ad
alah “intelektual publik” kerena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, bahkan
kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di
dalam puisi –yang terwujud melalui bahasa— itulah elemen penting sebagai
representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi yang melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.
Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, melainkan ia hadir karena adanya sistem produksi sosial
atas puisi sehingga menjadi diterima oleh masyarakat. Hal ini karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai “
What Is an Author
” 1978:1,
“pengarang baca:penyair adalah produktor ideologi” dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetika maupun
etika. Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang, yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara
pandangnya, yang kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam
commit to user 6
puisinya. Dalam relasi sosial, eksistensi seorang penyair tidak lepas dari perputaran pengetahuan dalam sebuah arena. Michel Foucault 2002
b
:158 mengungkapkan bahwa ketika kekuasaan yang politis untuk menguasai intelektual
melalui pembagian pengetahuan, maka ia mulai menyentuh arahan-arahan dalam relasi tersebut. Intelektual
—di sini, dapat pula dimasukkan dalam ranah penyair sebagai intelektualitas karena menulis sesuatu tentang keadaan entah wilayah
batin, maupun luaran —masuk pada wilayah terminologi tersendiri, yang berada
dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki karya yang diakui.
Penyair memiliki sisi kreatif atas intelektualitas yang dimilikinya dalam menyusun teks. Keadaan politis tersebut merupakan arena tersendiri yang
memberikan pengaruh kuat pada gaya penyair dalam menampilkan estetika sehingga tulisan yang ditampilkan tidak murni dari idealitas, melainkan ada usaha
menjangkau arena produksi dan pemilihan posisi diri. Keadaan ini muncul melalui transformasi wacana dalam relasi sosial oleh gejolak antara nilai dan struktur,
yang merupakan proyeksi dan refleksivitas dari keterulangan dalam reproduksi sosial.
Dalam kaitan ini, penyair, sebagai manusia, merupakan “agen” yang terlibat untuk melakukan tindakan-tindakan, yang kemudian memunculkan
wacana sebagai bentuk kuasa. Wacana, yang dapat hadir melalui tanda-tanda secara utuh dan saling
berkaitan di dalam sistem bahasa. Hubungan antartanda di dalam puisi yang terwujud melalui bahasa
—sebagai sistem yang mengorganisasi untuk membina makna berdasarkan representasi realitas. Ada pembakuan wacana melalui
commit to user 7
penulisan setiap kata, yang secara komparatif kemudian diakui oleh masyarakat sebagai “puisi.” Masyarakat tidak akan menerima begitu saja sebuah puisi tanpa
ada pengetahuan yang ditampilkan, juga kebenaran mengenai sastra di masa itu. Untuk alasan inilah, A. Teeuw 1981:4-6 memandang sastra modern termasuk
juga puisi modern.-
pen
telah menciptakan berbagai inovasi yang lepas dari kestatisan sesuai dengan perkembangan, yang masih merujuk pada konvensi.
Rachmat Djoko Pradopo 2002:3-5 menandai kesusastraan Indonesia modern pada tahun 1920, yang bersamaan dengan itu juga lahir kritik sastra tulis dengan
pengaruh Barat, khususnya Belanda, yang masuk dalam pengajaran kesusastraan. Namun, A. Teeuw 1981:7 sendiri melihat modern dengan terjadinya
perombakan dari sastra tradisional. Perubahan dari struktur yang ketat menjadi bentuk yang bebas dan longgar telah dimulai oleh Chairil Anwar di tahun 1945.
Adapun wacana mengenai perkembangan teknologi sebagai sistem dari modern telah muncul juga dalam teks-teks yang ditulis oleh Balai Pustaka.
Kajian terhadap puisi seharusnya secara jernih menyikapi puisi bukan sebatas ideologi komunikatif yang melihatnya dalam kerangka universal dan
pragamatis secara kaku, yakni hubungan teks dan pembaca saja. Kajian terhadap puisi perlu untuk melihat ideologi sebagai upaya transformasi bahasa dengan
realitas antara ada dan tiada. Pada akhirnya, gaya bahasa di dalam suatu teks sebenarnya untuk meningkatkan komunikasi, dengan menjadikan adanya kesan-
kesan lebih mendalam. Hal itu ditentukan dengan daya horizon baca berdasarkan latar belakang sosial budaya yang pembaca miliki. Di masa sekarang ini, setiap
pembaca dapat dan berhak menjadi kritikus untuk melakukan interpretasi
commit to user 8
berdasarkan horizon pembacaannya sehingga teks puisi tidak lagi dalam kategori baik dan buruk, melainkan dapat menghadirkan kebenaran atas rekonstruksi
realitas, berdasarkan pembacaan yang cermat dan kritis. Fenomena teralienasi dan eksistensialisme, juga pewacanaan nilai-nilai lokal yang memuat mitos dan
pembentuk budaya menjadi penting sebagai identitas, yang kerap kali dimunculkan oleh para penyair. Puisilah yang menyampaikan dengan bahasa yang
lembut, halus, indah, perbandingan, dan polisemik, dengan masuk pada daya imajinasi dan keterharuan bagi pembaca.
Penelitian ini mengungkap sisi terdalam dari puisi lebih mengarah pada wacana yang ditampilkan untuk memandangnya sebagai teks, bukan sebatas
sebagai karya yang mati. Puisi lebih plural, tidak berhenti sebagai tulisan, merupakan respon dari tanda-tanda realitas, dan dapat dicermati ke dalam dan ke
luar. Metonimi, metafora maupun permainan simbol bekerja dengan cermat untuk merepresentasikan realitas. Ada makna yang selalu berubah dalam menyampaikan
pengetahuan dan membentuk pola hubungan yang kompleks. Puisi memiliki kekayaan bahasa yang mampu membentuk realitas baru, berdasarkan kenyataan
sehari-hari. Penelitian ini berusaha mencermati wacana-wacana yang dimiliki oleh
Abdul Wachid B.S., yang muncul dalam wacana perpuisiannya sebagai penyair mulai tahun 1980-an, dan mulai dikenal pada tahun 1990-an. Puisi Abdul Wachid
B.S. tidak berhenti hanya dituliskan saja, tetapi terus berusaha hidup pada ingatan- ingatan pembaca, bahkan sebagai suatu pandangan yang terus diperbincangkan.
Puisi-puisinya banyak dimuat di media massa, baik koran maupun majalah. Tahun
commit to user 9
1995, buku puisinya yang berjudul
Rumah Cahaya
diterbitkan oleh ITTAQ Press, yang diberi kata pengantar oleh K.H. A. Mustofa Bisri Gus Mus, yang di tahun
2002 dan 2003 buku tersebut terpilih sebagai buku ajar yang disebarkan di SMA seluruh Indonesia. Puisinya yang terhimpun dalam buku
Tunjammu Kekasih
Abdul Wachid B.S.; 2003 terpilih sebagai seri penyair pilihan Indonesia versi Bentang Budaya. Adapun buku puisi yang berjudul
Ijinkan Aku Mencintaimu
Abdul Wachid B.S.; 2002 menjadi buku
best seller.
Adalagi yang menarik, yakni buku puisinya yang berjudul
Rumah Cahaya
Abdul Wachid B.S.; 1995 sempat menjadi polemik di
Kedaulatan Rakyat
pada tahun 1997. Dia oleh Korrie Layun Lampan sebagai angkatan 2000 dinyatakan sebagai penyair Indonesia
kontemporer. Tahun 1980-an sampai 1990-an, dikatakan oleh Heru Kurniawan 2009:5 bahwa Abdul Wachid B.S. sebagai generasi penerus yang menuliskan
puisi sufi. Pada permasalahan ini, untuk dicermati lebih dalam, bahwa puisi yang
ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain “bahasa itu tidaklah nertral,” melainkan bahasa mengkonstruks realitas dengan
kebenaran-kebenaran dari asumsi alamiah. Untuk menentukan kedirian wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S., penelitian ini tidak hanya mengungkap
pengetahuan di dalam, melainkan juga pada entitas Abdul Wachid B.S. secara total
dengan melihat
struktur sosial-budaya
sebagai institusi
yang mengelilinginya. Kajian ini sangat penting kiranya untuk menemukan wacana
secara total yang ada pada puisi sehingga terungkap tatanan simbolik yang telah menjadi teks. Hal ini karena Abdul Wachid B.S. tidak hanya menulis puisi, namun
commit to user 10
juga menulis esai, dan kritik sastra. Buku esainya, yang berjudul
Sastra Pencerahan
ditulis dalam kesadarannya membaca fenomena politik yang terkait dengan dunia sastra. Buku kritik sastranya ada tiga:
pertama
, yang berjudul
Membaca Makna
ditulis dalam rangka mengkritisi teks-teks sastra dalam relasi sosialnya,
kedua
, yang berjudul
Religiositas Alam;
berisikan perkembangan surealisme di Indonesia pada tahun 1980-an, dengan titik perhatian pada sajak-
sajak yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, dan
ketiga
, yang berjudul
Gandung Cinta
mengenai kesufian dari A. Mustofa Bisri yang mewujud dalam puisi-puisi. Oleh karena itu, dalam memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. tidak hanya
tertuju pada teks-teksnya saja, melainkan juga pada aspek itu juga teks yang memiliki relasi dengan puisi yang ia tulis. Tulisan-tulisan itu merupakan
pengetahuan dari Abdul Wachid B.S. mengenai puisi, baik secara estetika maupun etika.
Penelitian untuk memahami perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya ditelaah pada makna-makna yang hadir secara konotatif, melainkan juga pada
caranya membentuk pengetahuan hingga diterima oleh masyarakat, yakni lebih pada perpuisiannya. Perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih banyak dipahami
memiliki nilai dan makna mengenai sufi. Padahal, makna tidak dapat muncul secara kolektif. Pemahaman seperti ini ada kekeliruan dengan pretensi pemaknaan
didasarkan pada labelitas terdahulu. Pemaknaan seharusnya tidak hanya berhenti pada teks puisi itu sendiri, melainkan pada entitas, yakni makna-makna yang
berada di sekitarnya secara berserakan. Keberadaan puisi itu hanya sebagai jejak karena makna yang sesungguhnya berada tidak hanya yang hadir, tetapi juga yang
commit to user 11
tidak hadir karena semuanya adalah teks. Dalam penelitian ini, yang perlu dicermati bahwa kehadian puisi sebagai representasi melalui bahasa sehingga
perlu upaya berkelanjutan untuk membongkar sisi yang menjadi wacana. Kajian ini tidak hanya menganalisis makna puisi-puisi Abdul Wachid B.S.
secara sturktural, bahkan juga mengungkapkan kejelasan wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Perlu diketahui, wacana memiliki paradigma yang
lebih luas daripada pemaknaan terhadap kode-kode bahasa yang disampaikan dalam bentuk tulis maupun ujaran. Foucault dalam Eriyanto, 2008:65
memandang wacana mengarah pada ide, konsep, dan pandangan hidup dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.
Sementara itu, linguistik hanya memberikan persepsi yang lain antara wacana dan makna melalui bahasa dari satu arah.
Wacana itu sendiri membentuk rangkaian jalur yang bercabang dari praktik- praktik sosial berdasarkan perentangan ruang-waktu yang sistemik karena adanya
dualitas struktur. Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. bukanlah cerminan realitas, melainkan representasi yang dikonstruksi melalui bahasa. Kehadiran
bahasa sebagai media ini akan membentuk realitas yang lain karena bahasa selalu menciptakan makna-makna secara terus-menerus.
Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. dibentuk dengan adanya “konvensi estetis”. Adapun pandangan tentang konvensi ini tidak hanya tertuju
pada aturan-aturan di dalam sebuah puisi, tetapi juga pada penerimaan masyarakat terhadap sebuah puisi. Pandangan ini jelas mengacu pada puisi yang
menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan setiap wacana yang
commit to user 12
diproduksi oleh penyair sehingga ada strategi-strategi yang dibentuk agar masyarakat menerima teks tersebut.
Perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki entitas yang dapat ditelusuri lebih jauh karena adanya sistemisasi dalam menulis
puisi. Keterhubungan Abdul Wachid B.S. dengan bahasa, realitas, dan institusi sosial merupakan acuan dan makna dari wacana yang terus dikonstruks untuk
berdiri pada posisi idealitas, yang bergerak dalam lingkup arena produksi kultural Bourdieu, 2010:15. Arena produksi kultural memuat serangkaian konvensi
estetis yang harus mewujud agar dapat diterima, meskipun di sisi lain kesadaran praktis berusaha untuk menciptakan makna-makna baru.
1.2 Masalah