commit to user 93
kulturnya. Keadaan inilah yang masih kurang diterima oleh beberapa kalangan —
terutama kaum strukturalis —yang pada akhirnya selalu mempertanyakan yang
benar dan yang salah. Padahal, puisi dapat dilihat dari pengetahuan yang memainkan kebenaran, dengan mengacu pada arena produksinya.
Untuk memasuki teks yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. dalam bentuk puisi, terlebih dahulu perlu untuk diungkapkan mengenai proses kreatif dan tema-
tema khusus yang terkandung. Pengungkapan tentang proses kreatif bukan berarti penafsiran diarahkan pada pengarang untuk menemukan kebenaran makna
maksud, melainkan sebagai proses identifikasi subjek yang kecil dan konstruks wacana dalam menampilkan pengetahuan. Tema-tema khusus memberikan
pandangan secara umum cara positif dan produktif dari operasi wacana untuk membentuk kebenaran. Setelah itu, barulah memasuki ruh dari teks untuk melihat
strategi wacana dalam bertransformasi dengan realitas sehingga mampu memproduksi kebenaran.
4.1 Gambaran Umum Fenomena Objek Penelitian Proses Kreatif
Kepenyairan Abdul Wachid B.S.
Abdul Wachid B.S. dalam sastra Indonesia dikenal sebagai penyair. Sekalipun dia juga menulis cerpen, esai dan kritik sastra. Publik terlanjur
mengenal dan memandang puisi-puisinya. Cerpennya tidak terantologikan secara tunggal, labih dipublikasikan di koran, tapi ada yang diantologikan bersama dalam
buku
Robingah Cintailah Aku
dengan judul cerpen “Jalan Gelap Langit Terang”. Buku kritik sastra,
Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri
commit to user 94
Grafindo, 2005,
Gandrung Cinta
buku kajian sastra dan tasawuf; Pustaka Pelajar, 2008 dan
Analisis Struktural Semiotik:Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron
Penerbit Cintabuku, 2009. Adapun buku esai adalah
Sastra Pencerahan
Grafindo, 2005. Seseorang disebut sebagai penyair manakala menulis puisi yang diterima
atau diakui oleh masyarakat. Penyair berusaha untuk menemukan ide baru inovasi, sedangkan masyarakat membentuk kesepakatan konvensi. Abdul
Wachid B.S. 2005a: 11 sepakat bahwa “penyair selalu mencari ide baru, tema
baru dan bahan pokok tanpa paksaan dan tekanan dari pihak luar.” Inovasi yang selalu digali oleh penyair tersebut, selanjutnya akan diakui ataupun ditolak oleh
masyarakat. Dengan kata lain, pembaca yang menentukan:ada pembaca awam, pembaca ahli, dan pembaca pakar. Predikat sebagai penyair didapat bukan karena
capaian dalam institusi tertentu seperti perguruan tinggi, melainkan muncul dari tatanan sosial atas konsekuensi tindakan menulis puisi. Abdul Wachid B.S. sudah
punya buku puisi sendiri, yakni
Rumah Cahaya
edisi revisi Gama Media, 2003,
Ijinkan Aku Mencintaimu
Buku Laela, Cet.I-2002, Cet.II-2004,
Tunjammu Kekasih
Bentang, 2003,
Beribu Rindu Kekasihku
Amorbooks, 2004, dan
Yang
Cinta Buku, 2011, yang secara keseluruhan tersebar di masyarakat. Selain buku tunggal tersebut, sebagian sajak Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam
antologi sajak:1
Sembilu
Dewan Kesenian Yogya, 1991, 2
Ambang
DKY, 1992, 3
Oase
Titian Ilahi Press, 1994, 4
Serayu
Harta Prima Press, 1995, 5
Lirik-lirik Kemenangan
Taman Budaya Yogya, 1994, 6
Tabur Bunga
Seperempat Abad Haul Bung Karno, 1995, 7
Negeri Poci-3
Tiara Jakarta,
commit to user 95
1996, 8
Mimbar Penyair Abad 21
Balai Pustaka, 1996, 9
Gerbong
Cempaka Kencana, 1998, 10
Tamansari
Festival Kesenian Yogya X, 1998, 11
Aceh Mendesah dalam Nafasku
Kampanye Seni untuk HAM Aceh, 1999, 12
Embun Tajali
Aksara Indonesia, 2000, 13
Angkatan Sastra 2000
Grasindo, 2000, 14
Hijau Kelon
Kompas, 2002, 15
Medan Waktu
Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, 2004, dan 16
Untuk Sebuah Kasihsayang
Penerbit Bukulaela, 2004. Dia oleh Korrie Layun Rampan digolongkan sebagai Angkatan 2000 dalam buku
Angkatan Sastra 2000
, dan juga termasuk dalam generasi 1980-an Kurniawan, 2005:196.
Sebelum menulis puisi, Abdul Wachid B.S. juga membaca beberapa buku puisi. Kemampuan menulis puisi dari Abdul Wachid B.S. tidak datang begitu saja
melalui bakat, melainkan melalui proses pembacaan yang cukup panjang. Dia dalam wawancara 21 Nopember 2011 mengakui bahwa puisi pertamakali yang
dibaca adalah karya Rendra, melalui buku
Empat Kumpulan Sajak
dengan tujuan untuk keperluan membalas surat cinta, yakni ketika SMP kelas 1 cawu 2. Dia
merasa bahwa di dalam puisi ada yang unik:berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut Abdul Wachid B.S. 2005a:
9, “yang membedakan bahasa di dalam sajak dengan bahasa di luar sajak adalah adanya kenyataan lain yang tersembunyi
sebagai wilayah baru yang dijelajahi penyair”. Puisi memang memiliki ketidaklangsungan ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan pembaca.
Setelah itu, dia membaca
Balada Orang-orang Tercinta
,
Sajak-sajak Sepatu Tua,
dan
Blues Untuk Bonie
. Khusus untuk buku
Blues Untuk Bonie,
dia baca semasa
commit to user 96
di SMA Negeri Argomulyo kelas satu karena memang tidak ada di SMP tempatnya bersekolah.
Seorang sastrawan memulai menulis karya sastra dengan ia juga membaca. Dalam pengertian membaca ini, tidak harus yang dibaca adalah tulisan, tetapi juga
dapat lingkungan keseharian dari sastrawan itu sendiri. Namun, kebanyakan dari sastrawan menulis dimulai dengan membaca tulisan-tulisan, seperti Ignas Kleden
membaca sastra klasik Latin semasa di SMA, bahkan sastrawan kelas dunia seperti William Shakespeare pun membaca karya-karya para penulis dan filosofis
dari Yunani Kuno dan Romawi terdahulu. Membaca bagi sastrawan merupakan proses kreatif yang sangat penting dalam menemukan inspirasi, menuliskan ide,
dan mendekonstruksi realitas menjadi teks-teks yang dia tuliskan. Membaca adalah proses tanpa henti untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan.
Mula membaca bagi seseorang merupakan penjelalahan dari rasa ingin tahu. Keadaan sosial yang tampak biasa dan tidak ingin membuang-buang waktu
senggang begitu saja menjadi dorongan penting bagi seseorang untuk membaca. Adakalanya juga seseorang tidak menemukan jawaban atas persoalan yang
dihadapi sehingga membutuhkan bacaan untuk menjelajah pengetahuan yang lebih luas. Penjelajahan rasa ingin tahu muncul dari ketertarikan terhadap suatu
kejadian untuk menemukan titik terang di dalam bacaan. Dari bacaan itulah, seseorang bertambah luas wawasannya dengan pengetahuan yang berkembang.
Ada proses kopi imajinasi melalui membaca. Pembaca dapat saja merespon bacaan dengan meniru, bahkan menyangkal. Persepsi yang ditunjukkan dari
membaca atas dasar ingin tahu memberikan dorongan pengetahuan untuk
commit to user 97
berkembang melalui bacaan. Abdul Wachid B.S. dengan adanya mula keperluan keperluan membalas surat cinta adalah kekaguman tersendiri kepada puisi.
Pengetahuan yang berkembang pada pembacaan itu sendiri mendorong untuk kreatif dan memiliki perbendaharaan kata tentang puisi itu sendiri. Rutinitas
dengan karakteristik sosial di dalam lingkungan akademik dan dorongan dari Drs. Nursisto menambah pembacaan terhadap sastra makin dalam.
Kesinambungan antara membaca dan menulis tidak dapat dilihat secara langsung, melainkan melalui sublimasi yang cukup panjang.
Gambar 4. 1. Keterhubungan membaca dan menulis Membaca puisi dari SMP hingga kuliah bukanlah waktu yang singkat.
Dalam rentang itu, berbagai fenomena kehidupan juga terjadi, yang memungkinkan terjadi internalisasi ataupun eksternalisasi. Kesadaran maupun
ketaksadaran menjadi sangat susah teridentifikasi dalam relasi simbolik. Keanekaragaman wacana yang diperbaharui terus menerus dari setiap waktu ke
waktu lain melahirkan bentuk baru sebagai artikulasi kedalaman hidup Abdul Wachid B.S. yang tertuang pada puisi. Dia 2005a:
22 sadar bahwa “menjadi penyair yang baik adalah suatu proses”.
Membaca Sublimasi
Menulis Ide
commit to user 98
Abdul Wachid B.S. mulai dikenal oleh publik melalui puisi-puisi yang dia tulis. Sebenarnya, dia mulai menulis puisi sejak SMP kelas I untuk majalah
dinding di sekolah, dan mulai dimuat di majalah
Hai
saat SMA, yakni tahun 1983 dengan judul “Nina Bobo Si Pendamba” dan “Musim Tanam.” Menurut Abdul
Wachid B.S., puisi tersebut tidak disertakan dalam buku puisi manapun, termasuk
Rumah Cahaya
dengan alasan tidak selaras dengan puisi lain, jadi tak bisa diidentifikasi dan dianalisis keterpengaruhan Rendra pada dua puisi tersebut.
Dia termasuk orang yang berusaha untuk menulis puisi, walaupun setelah itu, lama tidak dimuat lagi. Dia dimuat lagi di media massa, yakni di
Kedaulatan Rakyat
pada tahun 1986, yang pada waktu itu sebenarnya lebih memprioritaskan penyair-penyair besar seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi. Kala itu, dia
sudah mahasiswa dan puisi-puisi yang dibaca sudah semakin banyak. Semenjak saat itu, dia makin intens dalam membaca dan menulis puisi.
Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. sebelum dibukukan mulanya diterbitkan di media massa seperti koran dan majalah. Dalam “Prakata” di buku
Rumah Cahaya,
Abdul Wachid B.S. 2003:x mengatakan: Di samping itu, ternyata dalam perjalanan puisi itu sendiri pernah
dimuat di koran, majalah, antologi puisi, bahkan ada yang dibacakan di radio, auditorium pertunjukan, kamar tidur atau dimusikalisasi; mereka
semua yang terlibat dalam hal tanpa sengaja memposisikan sebagai creator sebab turut melakukan pengubahan. …Namun, puisi juga menuntut
eksistensi dirinya sebagai pribadi yang tak hanyut begitu saja oleh pembacanya. Saya berterimakasih atas “penciptaan” mereka terhadap puisi
saya yang pernah mereka baca atau salin. Tapi, sekaligus saya perlu mengadakan
pakem
sebab tuntutan pribadi puisi itu sendiri. Karenanya, seorang penyair perlu mengukuhkan pribadi puisi itu di dalam sebuah buku
pilihan puisi.
commit to user 99
Abdul Wachid B.S. sadar bahwa puisinya berserakan. Pada buku
Rumah Cahaya
adalah puisi pilihan dengan karakteristik yang padu, setelah mulanya beredar dengan kehendak cipta dan kreasi. Ada puisi yang sengaja untuk
dihancurkan karena ketidaksesuaian dengan karakteristik berdasarkan gaya bahasa maupun tema.
Dalam bacaan yang sudah banyak pada pengetahuan seseorang, membaca akan makin memperkaya wawasan untuk menemukan kesejatian diri.
Pengetahuan yang banyak dan bersumber dari manapun akan mendorong seseorang untuk merefleksikan diri. Abdul Wachid B.S. merefleksikan dirinya
melalui menulis puisi-puisi yang kemudian diterima oleh publik, yakni dengan diterbitkan di media massa dan dibukukan. Citra imajiner dari tulisan yang dibaca
akan menyingkap realitas yang dipandang oleh Abdul Wachid B.S. Subjektivitas dari sistem nilai yang melekat semenjak kecil akan mendorong untuk menciptakan
puisi-puisi gaya
style
dan persepsi tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Lacan dalam Bracher, 1997:98-100, analisis yang dilakukan oleh seseorang terhadap
tanda dalam mendapatkan rasa suka cita mendorong untuk menemukan identitas dari penanda utama. Tulisan dapat berbentuk buku, majalah, ataupun koran yang
dibaca oleh seseorang diterima sebagai pesan yang memberikan pengetahuan, namun seseorang tersebut memiliki penyaringan dari informasi-informasi
sebelumnya. Selanjutnya, sistem nilai yang mengarahkan untuk menjadi milik pesan atau memainkan pesan dalam rangka menghasilkan pesan baru.
Semasa kuliah, dia lebih intens lagi dalam membaca puisi-puisi. Dia mulai banyak mengenal puisi-puisi dari
Puisi Prancis Modern
yang diterjemahkan oleh
commit to user 100
Wingkarjo sejak tahun 1986. Dia merasa tidak cukup dengan itu, yang kemudian menelusuri puisi dari Prancis lain seperti Altur Rimbaund, Paul Verlin,
Stephane Mallarme, dan Charles Boudelaire, juga Andre Breton dan Luis Aragon sekalipun
tidak paham dengan baik bahasa Prancis. Dalam keadaan itu, dia berusaha untuk menjangkau irama bunyi dengan menyuruh Muslih Madian teman untuk
membaca dan menerjemahkan. Hal ini diuntungkan dengan adanya jurusan sastra Prancis di UGM. Dalam posisi dan waktu yang agak bersamaan, puisi-puisinya
banyak diterima di media massa, yang terhimpun dalam buku
Rumah Cahaya.
Proses membaca Abdul Wachid B.S. sebenarnya tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dalam bentuk komunitas sebagai wadah kreativitas.
Dalam perkembangan sastra Indonesia, ada beberapa sastrawan yang muncul dari kantong-kantong kesenimanan kecil. Menurut Budi Darma dalam
Ahmadun dkk. peny, 2007:51 bahwa Sutan Takdir Alisyahbana juga membentuk komunitas dengan sering berdiskusi dengan teman-teman sebaya
seperti Armyn Pane, hanya saja kegiatan tersebut tidak diberi lebel komunitas:lebih sebatas diskusi. Di masa angkatan 45 juga sering terjadi kumpul-
kumpul untuk melakukan diskusi, baik wacana maupun mengkritisi karya sebagaimana yang tertera dalam surat Idrus untuk H.B. Jassin. Di awal tahun
1970-an ada Persada Studi Klub PSK yang dipimpin oleh Umbu Landu Panranggi untuk saling membicarakan sastra di Jalan Malioboro. Adapun di tahun
1990-an muncul komunitas sastra dengan berbagai nama seperti Revitalisasi Sastra Pedalaman di Semarang, Roda-Roda Budaya di Tanggerang, Masyarakat
commit to user 101
Sastra Jakarta, yang juga di tahun 1996 lahir pula Komunitas Sastra Indonesia KSI.
Gambar 4.2. Lingkaran Komunitas Sastra Adanya komunitas dalam lingkaran sastra terjadi karena masyarakat
Indonesia yang komunal. Rasa kebersamaan dan senasib sepenanggungan dalam bersastra diwujudkan sebagai cara untuk menemukan tema, estetika, etika, dan
pencapaian standardisasi. Diskusi sastra yang sering dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. banyak membicarakan mengenai usaha untuk melihat batas-batas
teks untuk saling menghujat atau menghabisi. Tidak ada yang marah setelah diskusi tersebut karena memberi kesadaran terhadap capaian yang telah dilakukan
dalam karya-karya mereka. Dulu, dia juga sering diskusi sastra dalam Teras Sastra ada Muslih Madian dosen Sastra Prancis, Heri Mardianto sekarang peneliti ahli
di Balai Bahasa Yogya, Aprinus Salam dosen FIB UGM, Ngarto Februana wartawan
Tempo
, Ikun Sri Kuncoro dosen komunikasi UGM, dan lainnya dalam wawancara 21 Nopember 2011. Namun, dia mendapatkan aksentuasi
kesenimanan dari teater Eska, teater Sunan Kalijaga. Di situ berkumpul beberapa seniman seperti Ahmad Shubanudin Alwi, Abidah El Khaliqie, Hamdi Salad,
Labibah Yahya, Ulfatin Ch, Matori A. Elwa, Adi Wicaksono. Ada kegiatan
Individu teman
Kebersamaan
commit to user 102
diskusi sastra yang mereka lakukan. Pada tahun 1989, mereka membuat forum pengadilan penyair Yogyakarta, yang mulanya forum kecil yang dimotori oleh
Teater Eska itu sendiri. Forum tersebut akhirnya tambah banyak, yang akhirnya juga dihadiri oleh Suminto A. Sayuti, Indra Tenggono, Faruk HT, Emha Ainun
Nadjib, dan Mustofa W Hasyim. Dalam forum ini terjadi persilangan wacana antara penyair yang sudah dianggap mapan dan penyair yang baru mulai
menampakkan karyanya. Pembacaan puisi sepanjang Jalan Malioboro, ejek- mengejek karya, pamer karya yang sudah dimuat, juga penolakan terhadap rezim
melalui puisi-puisi, meskipun secara sembunyi. Dari masa kreativitas itulah, lahir buku puisi
Rumah Cahaya
. Di dalam buku tersebut, puisi tertua pada tahun 1985 dan termuda adalah tahun 1993. Buku puisi
dengan warna surealisme yang cukup kental mendapat banyak sorotan dari publik.
Setidaknya, menjadi polemik selama tujuh kali berturut-turut di
Kedaulatan Rakyat
, yakni oleh Aprinus Salam dengan judul “Kadar Sufisme Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. Masih Berada di Area “Penghindaran Duniawi” yang
ditanggapi oleh Pujiharto dengan judul “Catatan untuk Aprinus Salam:Si Aku Lirik Baru “Hamba”, Belum Jadi Tuhan”, kemudian mendapat respon dari M.
Thoha Umar dalam judul “Lagi, Tanggapan pada
Rumah Cahaya:
Sufisme di Tengah Gejolak Perubahan?”, yang kemudian direspons kembali oleh Aprinus
Salam dengan judul “Catatan Balik Buat Pujiharto dan M. Thoha Umar:Puisi Wachid, Pateisme dan Kategori Russel”, yang ternyata masih mendapat tanggapan
dari M. Subhan Suaidi dan R. Toto Sugiharto dalam judul “ Catatan Lain tentang
Rumah Cahaya:
Si “Aku lirik”, Eksistensialis Berjubah Sufi”, ternyata
commit to user 103
membangkitkan Abdul Wach id B.S. untuk menulis “Dari ‗dalam‘ tentang
Rumah Cahaya:
Menegakkan Pengharapan, Merobohkan Keputusasaan”, yang akhirnya ditutup oleh Piek Ardijanto Soeprijadi dalam judul “Menatap Rumah Cahaya
kumpulan Puisi Abdul Wachid B.S.”. Perdebatan ini akan menjadi data yang
menarik dalam pembahasan yang selanjutnya. Peneliti memosisikan mereka sebagai pembaca ahli. Sekalipun ada Abdul Wachid B.S., tetapi dalam perdebatan
ini pendapatnya dapat diposisikan sebagai variasi interpretasi dari sisi maksud, bukan memosisikan makna secara tunggal.
Dalam analisis strukturalisme ada bagian di mana pengarang memasukkan “amanat” sebagai penyampai pesan kepada pembaca. Pada sisi ini, teks menjadi
tidak bebas lagi untuk ditafsirkan oleh pembaca. Padahal, Roland Barthes, dan Derrida misalnya, telah menekankan untuk selalu mengacu kepada teks. Warna
surealisme dalam buku puisi
Rumah Cahaya
setidaknya dapat dilihat dalam petikan di bawah ini.
Sepertinya ada yang lepas Saat kau dikepung angin di jalan raya
Dan menapaki lorong lorong gelap kota yang menolak langit
Burung-burung begitu indah dan menderita Di sebuah sangkar trotoar yang
digetarkan gerimis Yang mengandung racun
Dalam petikan sajak berjudul “Imaji Burung dan Lorong Kota-suatu hari dari Malioboro ke Tamansari” tampak bahwa ada gambaran peristiwa, yang
mudah dipahami dan dicerna. Peristiwa tersebut adalah peristiwa simbolik yang mengekspos kota dalam keterkekangan. Hidup disimbolkan seperti ‗burung yang
indah dan menderita.‘ Penggambaran mengenai angin yang mengepung
commit to user 104
memperlihatkan ada penangkapan, kerusuhan, dan kekacauan. Pembaca di bait ketiga diajak untuk “dengarlah gebalau Genangan darah begitu memukau di situ
Di tengah- tengah kota”. Simbol yang disusun oleh Abdul Wachid B.S. sangat
individual personal sehingga cukup susah untuk melacak kesejatian burung, tanpa pembaca menyadari konteks Orde Baru. Burung adalah simbol kebebasan,
juga simbol Indonesia, yakni Burung Garuda. Abdul Wachid B.S. tidak mengeksplisitkan hakikat burung, hanya menderskripsikan peristiwa secara
imajinatif untuk menuju konteks.
Perimbangan
Alam adalah kuil di mana pilar-pilarnya yang hidup Kadangkala menggumamkan omongan-omongan balau;
Manusia di sana nybrang hutan lambang Yang menatapnya dengan pandangan akrab
Bagai gema memanjang yang di kejauhan bergalau Dalam satu kesatuan yang kelam dan dalam,
Luas bagai malam dan bagai benderang, Bau-bau, warna-warna dan bunyi-bunyian saling bersahutan
Ada suara segar seperti tubuh bocah Lembut bagai seruling, hijau bagai padang
--Dan yang lain, busuk, kaya dan megah Merasuk bagai hal-hal yang tiada terwatas
— Seperti ambar, kasturi, kemenyan dan cendana,
Yang menyanyikan gairah semangat dan indra. Sajak tersebut adalah sajak dari Charles Boudelaire yang diterjemahkan oleh
Wing Karjo dalam kumpulan
Sajak-sajak Modern Prancis dalam Dua Bahasa.
Surealisme pada puisi tersebut memiliki keserupaan pada puisi di dalam buku
Rumah Cahaya,
terutama dalam permainan simbol dan gaya. Abdul Wachid B.S. membicarakan “Surealisme dan Puisi Indonesia”
sebagai esai yang terhimpun dalam buku
Membaca Makna:dari Chairil Anwar ke
commit to user 105
A. Mustofa Bisri.
“Berbicara surealisme dalam puisi Indonesia, sebenarnya unsure-
unsur surealisme itu telah digunakan sejak puisi Cahiril Anwar” begitu tutur Abdul Wachid B.S. 2005a:37. Hanya saja, dalam pandangannya lebih
lanjut, “Chairil Anwar lebih didasari ekspresionisme dan membicarakan eksistensialisme.” Surealisme itu sendiri muncul dengan pengaruh alam pikir
Eropa yang berkembang di Indonesia. Peranan politis zaman Orde Baru juga membentuk dialektika dalam sastra Indonesia yang dirundung ketakutan untuk
mengekspresikan secara langsung. “Catatan Pengantar” yang ditulis oleh Faruk HT untuk buku
Sastra Melawan Slogan,
yakni kumpulan esai dari Abdul Wachid B.S., memperlihatkan pertempuran sastra dalam arena hiruk-pikuk Orde Baru. Faruk mengatakan bahwa
Abdul Wachid B.S. merekam peristiwa itu dalam bentuk esai. Esai itu sendiri ditulis sebagai cerita yang mengandung wacana. Pembicaraan suatu esai tidak
lepas dari konteks zaman yang membutuhkan rangsangan ataupun sebagai upaya penolakan terhadap zaman. Dengan kesadaran katakanlah mengetahui Abdul
Wachid B.S. terhadap fenomena di Indonesia yang mengalami keterkekangan politis, maka lebih memungkinkan untuk menyampaikan kritik sosial melalui
puisi yang penuh dengan simbol. Sekalipun esai tersebut dia tulis setelah jauh puisi-puisi tertuliskan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa yang
terkandung di dalam esai tersebut adalah pengendapan selama proses kreatif dalam menulis puisi.
Pandangan Abdul Wachid B.S. tentang surealisme juga dapat ditemukan pada buku
Religiositas Alam:dari Surealisme ke Spirituaisme D. Zawawi Imron
.
commit to user 106
Buku ini membahas tentang puisi-puisi D. Zawawi Imrom, yakni
Bulan Tertusuk Lalang, Celurit Emas,
dan
Nenekmoyangku Airmata.
Dalam aktivitas, dia juga sering bertemu dengan D. Zawawi Imron. Pengalaman-pengalaman bertemu
dengan D. Zawawi Imron memang tidak terlalu tersorot publik karena memang tidak banyak yang mengaitkan puisi Abdul Wachid B.S. dalam interpretasi sureal.
Namun demikian, Abdul Wachid B.S. lebih banyak dikenal sebagai “penyair cinta” karena dua buku yang ditulis bertemakan cinta, yakni
Ijinkan Aku Mencintaimu
2002 dan
Tunjammu Kekasih
2004
.
Dalam dua puisi ini, begitu kental dengan warna lyrik dengan personalitas yang sangat kuat. Bahasa yang
ketat melalui pengaturan rima dan irama tampak sangat diperhitungkan, bahkan kadang memaksa untuk kesesuaian bunyi. Obesesifitas dari masa lalu, yakni rasa
penasaran dari untuk menciptakan bunyi muncul pada dua kumpulan sajak tersebut. Keketatan bahasa tersebut tampak dengan sangat diperhitungkannya
diksi dan gaya bahasa sebagaimana Chairil Anwar dalam menyusun puisi.
Selamat Tinggal Aku berkaca
Ini muka penuh luka Siapa punya ?
Kudengar seru menderu dalam hatiku
Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah………. Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal……..
commit to user 107
Selamat tinggal……….. Chairil Anwar dalam menulis puisi perlu untuk “menimang, menimbang,
bahkan membuang” kata di dalam puisinya. Ia banyak mencoret-coret puisinya sendiri, sebelum pada akhirnya sampai merasa sempurna dan puas. Ia pahami,
teliti kembali bahwa yang ada di dalam puisi adalah system makna yang saling membangun, mengutuhkan, dan membentuk. Misalnya, ia memilih kata:
“
ini muka
penuh luka” dan ia tidak mengatakan “
muka ini penuh luka
” karena “
ini muka
penuh luka” mengandung rasa dan kesan yang mampu menggetarkan pembaca. Ini memang terkesan semacam kerja mekanik, yakni dengan bongkar pasang kata-
kata untuk menjadi teks. Tetapi, itu perlu dilakukan untuk mendapatkan komposisi yang tertata rapi antara estetika dan etika dengan bernilai seni, juga
bermanfaat. Pembelajaran dari Ragil Suwaropragolapati tentang logika di dalam puisi
masih berbekas dalam ingatannya. Dulu, semasa muda Abdul Wachid B.S. dan teman-teman sering pamer setelah ada karya yang dimuat. Dia menunjukkan
puisinya kepada Ragil Suwaropragolapati. Di dalam puisinya ada kata “seorang perempuan sembahyang di tepi pematang.” Pernyataan itu dihabisi oleh Ragil
Suwaropragolapati terkait dengan logika sastra, logika bahasa, dan logika keterkaitan dengan realitas.
Itu puisi yang dimuat di majalah
Hai
. Itu puisi jaman SMA sebetulnya, lah aku kan pamer. Jadi, dulu teman-teman itu suka saling
pamer. Kalau dimuat, begitu ya. Itu klipingan korannya difotokopi banyak. Disebar. Disebari ke kos-kosan dan rumah, yang kira-kira tidak ada
orangnya. Ditaruh melalui bawah pintu. Saya juga melakukan itu. Saya naik sepeda onthel dari kos-kosan ke rumah Mas Ragil. Ternyata konangan Mas
Ragil
arepe ngekekna kowi
. “Eh, dek Wahid sini-sini.” Ngobrolah saya.
commit to user 108
Dengan bangga, saya bercerita.Ini puisi saya sejak SMA sudah dimuat. “Nina Bobo Si Pendamba” dan “Musim Tanam”. Dibaca oleh dia. Di situ
ada kalimat: “Seorang perempuan sembahyang di tepi pematang”.
Saya ditanya: “Pematangnya itu besarnya sebesar seberapa? Kok, bisa
sembahyang di tepi pematang.” “Lho ini kan sajak surealis. Masuk akal saja hal-hal yang tidak masuk
akal.” Katanya Mas Ragil:
“Lho tidak bisa. Di dalam sajak surealis juga ada logika. Ini tidak masuk akal bangat karena tidak dibangun sejak awal bahwa
ini berpandangan surealsime. Lagi pula di dalam surealis juga tidak memungkinkan untuk seorang wanita sembahyang di tepi pematang.”
Pada waktu itu, saya tidak terima, sekalipun dengan sopan santun. Saya kemudian menulis di koran
Mutiara
yakni “Logika Fiksi” untuk membela diri. Itu menjadi pelajaran berharga bagi saya. O, ternyata puisi itu
ada logika bahasa juga ada logika tentang masuk akal atau tidak dengan realitas.
Peristiwa itu memberinya kesadaran mengenai puisi yang tidak hanya sebatas ekspresi belaka. Sekalipun puisi ditulis dengan sangat personal dan begitu
kental dengan subjektivitas, tetapi aspek-aspek kesusastraan tetap diperhatian. Ada usaha dari Abdul Wachid B.S. untuk menyadari hakikat puisi dalam hal
diksi, gaya bahasa, persepsi, maupun ideologi. Dalam pengantar buku puisi
Rumah Cahaya,
Abdul Wachid B.S. 1995:xi- xii mengaku bahwa “tak
mengenakkan sebab ternyata tak terhindarkan dari pekerjaan merevisi, yang hal ini membutuhkan stamina tersendiri”, dan dia mengibaratkan pekerjaan merevisi
“seperti meniupkan ruh baru.” Kehadiran suatu kata di dalam puisi menjadi warna yang saling melengkapi dan berefek karena segalanya adalah tanda yang
kompleks. Mencipta puisi adalah upaya untuk sadar pada setiap kata-kata yang
mengandung arti memiliki sebuah dunia, yang ditampilkan melalui berbagai macam gaya, metonimi, metafora, personifikasi, perumpamaan, alegori, dan gaya
commit to user 109
lainnya. Itulah sebabnya, puisi dikatakan sebagai miniatur. Plato melihatnya sebagai tiruan
mimesis
, juga kaum struktural yang memandang tulisan sebagai bahasa sekunder kedua. Walau puisi sebagai tiruan, namun tiruan itu sudah
berbeda:ada tambahan imajinasi dari penyair, yang membuat antara yang asli dan yang kata-kata hanya mirip, yakni tidak sama dengan rekonstruksi realitas
menjadi bentuk kata-kata. Adanya perumpaan untuk menggambarkan secara analogis, dengan nantinya interpretasi diserahkan pada pembaca untuk
membongkar serangkaian makna yang tersusun secara fragmentaris. Maka itu, kaum post-
strukturalis memandang puisi sebagai “simulasi dari realitas”:ada konstruks kata-kata yang berusaha menghadirkan kembali realitas dalam bentuk
mozaik-mozaik. Dunia di dalam puisi adalah dunia campuran antara realita dan imajinasi, maka tampak sudut pandang dan rasa berdasarkan pandangan dunia
penyair, meskipun bisa saja tidak memakai cara itu —tentunya dengan
kemampuan horison baca berdasarkan latarbelakang sosial-budaya penyair. Haruslah diyakini bahwa keterjalinan antarkata membentuk dunia tersendiri,
yang sesungguhnya berbeda dari realitas harus disadari apabila ingin menjadi penyair. Merevisi keberadaan suatu kata di dalam puisi menjadi totalitas penyair
dalam menghayati suasana, dan usaha untuk mengerahkan segenap kemampuan dengan kesadarannya. Menulis puisi sebagai aktivitas yang membutuhkan
ketelitian dan kesabaran dalam mengolah kata-kata menjadi teks. Memang, adakalanya ide datang melintas dalam momen puitik seperti kata-kata yang
tumpah di depan mata. Namun, itu adalah kebertemuan ide, yang muncul dari ilham, maunah, ataupun karomah. Penyair tidak harus menunggu datangnya ide
commit to user 110
seperti itu, tetapi penyair dapat melakukannya dengan ikhtiar usaha terus- menerus sampai bisa dikehendaki bisa menulis puisi, dengan merevisi berulang-
ulang hingga habis seluruh pengetahuan. Puisi bukanlah ungkapan untuk membebaskan rasa gelisah, cemas, maupun sendiri karena kegagalan dengan
kehidupan yang dihadapi. Puisi itu terbentuk oleh koherensi gaya bahasa yang pas dari antarkata, pertautan sebagai koherensi, juga keseluruhan makna yang
dihadirkan dalamnya. Semua itu membutuhkan kejelian, ketelitian, keseriusan, dan pencermatan.
Abdul Wachid B.S. bukanlah penyair yang baik dalam hal teori. Dia tidak pernah menang dalam lomba cipta puisi. Namun, dia orang yang sadar dengan
perkembangan wacana sastra di media. Puisinya lebih diterima di media. Dia mengakrabi teori sebagai mediasi. Teori harus sesuai dengan objek. Dia
termasuk orang yang tidak tunduk pada teori, dan berusaha untuk menciptakan teori. Sifatnya yang cukup temperamental berusaha untuk melepaskan teori.
Namun, dia sebenarnya mengakrabi teori semiotika sebagai pisau analisis terhadap puisi, yang memang popular di tahun 1990-an. Banyak pendapat Roland
Barthes yang mewarnai pikiran-pikiran dari Abdul Wachid B.S. dan juga pandangan Micheal Riffaterre tentang puisi, sebagaimana pandangan ini juga
dikembangkan oleh A. Teeuw. Setidaknya, buku
Religiositas Alam:dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron
yang diterbitkan ulang dengan judul
Analisis Struktural Semiotik
memuat implementasi semiotika yang dikembangkan oleh Micheal Riffaterre. Sekalipun seorang penyair menguasai
teori analisis, bukan berarti akan menambah kreativitas. Teori analisis lebih
commit to user 111
menjadikan ketelitian saja ketika memahami makna yang terkandung pada teks. Peranan teori bagi kesuksesan kepenyairan memang tak terlalu signifikan karena
penyair yang baik selalu berusaha untuk mengekspos kebebasan, yang di sisi lain berusaha untuk meyakinkan pembaca melalui konstruks wacana yang ia produksi.
Matrik Pengaruh: Relasi-relasi Proses Kreatif Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.
Relasi Proses Kreatif
Wacana
Teman Mendapat motivasi
Berproses bersama Terjadi gesekan untuk menulis
Menjaga intensitas Interaksi dengan teman tidak memunculkan
persinggungan wacana secara langsung, tapi hubungan dengan teman memberikan relasi
sudut pandang wacana yang bersinggungan
Guru Mendapat arahan dan motivasi
Guru tidak sepenuhnya membentuk wacana pada
perpuisian Abdul
Wachid B.S.,
setidaknya guru memberikan contoh dan praktik.
Komunitas Mendapat rangsangan untuk
menulis puisi Mendapat
wadah untuk
bertukar pikiran Silang pendapat yang ada di dalam
komunitas akan mengarahkan pada idealitasi teks yang harus diproduksi
Bacaan dan
Teori Mendapat pengetahuan dan
wawasan Menjadi
paham dengan
keterbandingan pada teks lain
Bacaan memberikan andil besar pada gaya ungkap sisi kebahasaan sebagai cara
bertutur melalui tulisan.
Teori membentuk sublimasi, yang mulai tampak pada puisi Abdul Wachid B.S.
yang ketat secara struktur dan terkonsep Kritik
Masukan Ada
kesadaran tentang
kesalahan Abdul Wachid B.S.menjadi sadar tentang
puisi yang tidak sepenuhnya bebas, namun ada batas-batas tertentu dalam penyampaian
pesan
Media Membentuk pemosisian dalam
penyebaran teks Adanya kriteria pada media membuat Abdul
Wachid B.S. berusaha untuk menulis teks- teks yang muncul di Indonesia pada
umumnya. Dia tidak berani menulis teks yang menyimpang secara penuh.
Pemerintah Pengawasan
Tahun 1980-an ada pengawasan yang cukup ketat terhadap teks yang mengkritik
pemerintah secara langsung, maka kritik lebih ditnjukkan pada kota.
Teks-teks yang diproduksi lebih simbolik.
Adapun yang biasanya mengental dan dapat mewujud bagi penyair di dalam perpuisian adalah wacana yang dimilikinya. Beberapa pemikiran akhir Abdul
commit to user 112
Wachid B.S. banyak diwarnai oleh wacana sufistik, terutaman tentang tesisnya pada perpuisian A Mustofa Bisri, yang kemudian diterbitkan dalam judul
Gandrung Cinta.
Beberapa pemikirannya dipengaruhi oleh William C.
Chittick dan Annemarie Schimmel, yang membahas tentang cinta dalam puisi-puisi Rumi.
Metodenya menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur, meskipun aplikasinya lebih cenderung seperti yang dikatakan oleh Fakhrudin Faiz dalam
Hermeneutika al- Qur
’an. Dia cukup lama dan mencoba untuk
perfect
dalam memetakan kesufian A Mustofa Bisri. Pola pembacaan yang intens inilah yang mempengaruhi buku puisi
buku puisi
Yang
. Hanya saja, tidak seluruh teks memuat wacana berdasarkan konstuks pikiran. Penyair dengan dorongan subjektivitasnya berusaha untuk
memunculkan obsesifitas. Dengan demikian, untuk membaca teks bukan berdasarkan pada praduga, melainkan memberikan otonomi terhadap teks tersebut
dengan cara yang hati-hati.
4.2 Tema-tema Khusus Tema-tema dalam Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.