Produksi Wacana Rekonstruksi Wacana Puisi

commit to user 165 Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami oleh penyair sebagai ide yang bergerak.

4.3.2 Rekonstruksi Wacana Puisi

4.3.2.1. Produksi Wacana

Puisi adalah wacana yang menampilkan realitas —sekaligus realitas itu sendiri —, tapi puisi juga berada di bawah pemosisian wacana, sebagaimana yang pernah dibicarakan oleh Pierre Bourdieu 2010: 3-5 dalam membaca sastra secara sosiologis, yang dilakukan di Prancis, untuk melihat relasi sastra dan posisinya dalam arena kultural. Menurutnya, ada arena wacana yang membuat karya sastra baca:puisi diterima oleh suatu masyarakat dan ditolak, menjadi dikenang dan dilupakan. Puisi sebagai bagian dari dunia sosial senantiasa terbuka bagi perubahan yang tidak hanya merekonstruksi masa lalu saja. Puisi adalah jaminan konsep yang dinarasikan secara kompleks sehingga membentuk wacana, sebab itu pembelajarannya pun harus kontekstual dalam ruang yang serba dilematis. Seorang petani tengah hari Di jauh beberapa orang menuju jalan pulang Sedang ia masih tinggal di pematang Pergantian musim hampir panen Sedang angin pegununga nyebar wangi kembang kopi Sesuatu yang mengingatkan akan seorang yang Tak mungkin terganti semayamnya di hati Dari puisi berjudul “Tembang Tengah Hari” memperlihatkan bahwa puisi sebagai bagian dari kehidupan. Fenomena tentang seorang petani yang berada di pematang dengan dituliskan secara berkisah. Puisi harus dilihat terlebih dahulu mengenai bahasa yang dibentuk oleh penyair. Bahasa adalah media, yang merepresentasikan alam pikir seseorang mengenai realitas. Memahami puisi commit to user 166 melalui bahasa, bukan hanya merupakan pekerjaan baca:bagian dari ilmu yang mempelajari gaya bahasa stilistika saja untuk melihat kepribadian karakteristik dari seorang pengarang baca:penyair. Namun, jauh dari itu, bahasa merefleksikan sisi lain dalam bentuk penandaan baru yang berelasi dengan pemaknaan. Bahasa hadir bukan saja untuk menampilkan bentuk, tapi juga merupakan keutuhan antara isi dan bentuk. Dari itulah, dapat menemukan kode dan kaidah kombinasional bahasa untuk memasuki pengetahuan terjauh sebuah puisi. Pandangan untuk menekankan ‗bahasa sebagai proyeksi dari ide,‘ banyak dikemukakan, sekaligus ditekankan oleh pemikir-pemikir post-strukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Jacques Lacan, Roland Barthes, Julia Kristeva, dan Paul Riceour. Mereka menganggap bahwa bahasa sebagai ‗media‘ untuk menyampaikan konsep sehingga dalam pemaknaan mereka menekankan pada ‗teks‘ itu sendiri, yang baru kemudian merujuk pada identitas budaya penanda entitas. Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari. Melewati jalanan aspal. Tugu. Malioboro. Air di sim- pang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan, dalam warna pelangi disepuh senjahari. Orang gentayangan. Orang ber- cinta. Di bawah payung, corong demokrasi. Dan moncong senjata mengarah ke mukaku. Tapi sajak demi sajak melesat ke udara, menjelma api di tengah gerimis. Pada sajak berjudul “Panorama Permulaan Hujan” tersebut, bahasa menampilkan realitas yang lain. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora “cahaya” agar tampak lain: realitas menjadi berubah, tetapi pembaca masih bias merasakan. Penanda [32 tahun] memberikan ketegasan tentang rezim Orde Baru commit to user 167 yang selama itulah berkuasa. Puisi menjadi narasi pinggir yang seolah bercerita bahwa selama 32 tahun ada kekangan rezim yang begitu ketat. Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah, kebebasan kami tenggak. Mandi pelangi. Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu turut menggemburkan wajah-wajah tanah. Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu, yang 32 tahun me- nyumbat sungai hari kami. Tapi di alun-alun kota kenangan raja- raja hujan mengucurkan doa. Dalam puisi tersebut, hujan sebagai simbol bahwa orang mulai mendapatkan kebebasan. Ada suasana seolah-olah aroma kesejukan itu terasa. Bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan, menarasikan, mengargumentasikan, ataupun menerjemahkan realitas ‗tidaklah netral‘, melainkan ada sudut pandang tersendiri dari penulis baca:penyair. Adanya keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan realitas mengharuskan simbolisasi terjadi —maka bisa dilihat, banyaknya hiperrealitas yang terjadi melalui berbagai media seni, media cetak, maupun elektronik. Bahasa yang tidak mampu menjelaskan segalanya, maka bahasa di dalam puisi yang penuh dengan dekonstruksi kata- kata hanyalah sebagai ‗representasi‘. Beberapa pandangan dari para pemikir post-strukturalis sebenarnya hanya melakukan pembacaan atas fenomena yang telah terjadi, yang kemudian baru menteorikannya. Suatu teori memang lahir atas ‗gejala sosial‘ sehingga mewajibkan untuk melakukan pembacaan sesuai dengan ruang dan waktunya. Gejala sosial ini juga terjadi pada perkembangan puisi kekinian dengan menekankan pada bahasa untuk merefleksikan realitas sehingga membentuk bayangan tersendiri sebagai struktur dasar komunikasi. commit to user 168 Penyair seperti T.S. Eliot, telah mengarahkan perhatian untuk menulis puisi dengan mentransformasikan bahasa berdasarkan gaya personal dan bahasa privat berdasarkan eksternalitas gaya bahasa tanpa ampun. Lelampu jalan berkata, Beri hormat itu perempuan Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu pintu yang membuka padanya seperti seringai. Kau lihat, ujung gaunnya koyak berlumur pasir dan kau lihat sudut matanya mengerling bagai lencana yang dipakai miring. Tak ada yang lebih istimewa selain citra yang terbentuk melalui petunjuk antara malam dengan cahaya dan perempuan. Ketiga kata tersebut hadir membentuk bayangan mengenai sisi dari kehidupan seorang perempuan hingga tengah malam, dengan ia hadir untuk memangku cahaya, yang seharusnya perempuan tersebut telah terlelap di dalam tidur. Di sini, ada struktur dasar komunikasi yang saling membentuk relasi sehingga merujuk pada konteks dan interpretator sebagai pembaca menemukan pola signifikasi melalui pembayangan. Tapi apa artinya harapan Kalau lumbung menggunung hanya di tanah mereka? Dan kami dibayangi salib hidup singa di semua ruang Dan kami tak mendapati tidur sepanjang malam Seandainya pun mata ini terlelap Sekawanan kaki tikus akan semakin liar Menjengkal setiap ruang mimpi Lalu kami menandai segala gerak sebagai kepasrahan Hingga curah cahaya rembulan sampai juga kegelapan dada Puisi berjudul “Keluarga Larut Malam” tersebut, memainkan paradok dan ironi. Puisi tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga yang dikatakan memiliki lumbung untuk menyimpan hasil bumi, namun kenyataanya kelaparan. Mereka hanya dijarah oleh tikus yang senantiasa berkeliaran. Paradok ini commit to user 169 membentuk ironi —dengan usaha untuk menampilkan yang lebih kecil—dari keadaan Indonesia yang gemah limpah loh jinawi, tetapi banyak rakyat yang kelaparan. Radhar Panca Dahana dalam wawancara 2011 November 2011 mengatakan bahwa puisi bukanlah tiruan realitas, melainkan sudah menjadi simulasi dan permainan bahasa oleh penyair. Setiap penyair memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap realitas, maka ia dengan subjektivitasnya berusaha meramu bahasa untuk mengungkapkan pandangannya. Menulis puisi dalam masa citra, mengharuskan bahasa dipilih dengan sedemikian rupa untuk menampilkan realitas yang mengharukan. Bahasa menjadi media untuk menciptakan kesan dan pesan sehingga dipersepsi dengan telah menjangkau beberapa identitas budaya. Terlepas dari itu, perlu untuk direnungi lebih dalam pada lingkup kesadaran diskursif dan praktis atas bahasa itu sendiri. Dalam pepatah, “bahasa adalah pakaian bangsa”, maka identifikasi suatu bangsa dapat pula dilakukan berdasarkan bahasa yang mereka gunakan. Kontjaraningrat dalam buku Politik Bahasa Nasional juga pernah menuliskan bahwa “bahasa sebagai sakaguru kebudayaan” karena mengonsepsi isi dan pikiran manusia sehingga membentuk identitas. Dalam pandangannya, isi dan pikiran manusia tidak akan terwujud tanpa adanya bahasa untuk menjalin komunikasi, yang dapat juga diabadikan dalam bentuk tulis. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan Indonesia sebagai negara berkembang sehingga masyarakatnya telah mengalami rasionalitas dalam memandang kehidupan. Dalam itu, kepentingan-kepentingan yang muncul lebih commit to user 170 terarah pada sisi pragmatis dalam bentuk ekonomi. Imajinasi berkembang dengan refleksi alam sekitar dan lingkup sosialbudaya sebagai pembentuk kepribadian, maka zaman sekarang imajinasi tersusun atas citra teknologi yang menempatkan fantasi dalam lingkaran praktis. Imajinasi yang telah terikat oleh citra teknologi tidak akan dapat berkembang karena hanya sebagai konsumen. Citra inilah yang melekat sebagai struktur keadaan modern dalam memandang imaji kemakmuran yang menyebabkan kepekaan ide untuk membaca ide-ide yang berserakan di sekitar menjadi tumpul. Kemampuan dari segenap panca indra untuk memahami kesadaran sehari-hari pada wilayah internalisasi suprastruktur dan infrastruktur hanya mengaitkan rasionalisasi simbol-simbol teknologi. SMS Tak Terkirim Bila HPmu kau matikan melulu Lama-lama padam pula hatimu Kau aku tersekat ruang waktu Lantaran itu sms kukirim selalu Kurasa kau sedingin es Suaramu via HP, di balasan sms Wujud tanpa bentuk Tapi kenapa aku begitu takluk? Menunggu-nunggu kabarmu Seperti si pendoa melafalkan rayu Tapi bila HPmu kau matikan melulu Lama-lama terhenti detik jantungku 2003 Dalam puisi tersebut, simbol teknologi berupa HP yang merupakan alat komunikasi menjadi perantara bagi aku dan kau lirik, namun adanya HP tersebut tidak mengurangi estetika. Abdul Wachid B.S. sengaja membentuk rima dan irama, dengan tetap tidak mengurangi kadar metafora. Ia sengaja merefleksikan commit to user 171 imajinasi tentang teknologi yang mampu mendekatkan yang jauh. Langkah imajinatif harus tersusun melalui personalitas penyair untuk bisa menangkap serpiahan kode, yang kemudian disusun menjadi teks. Antara bahasa dan ide, tercipta dari kesadaran seorang penyair untuk menampilkan susunan fenomena. Mencermati keadaan demikian, berati karya sastra menampilkan berdasarkan realita manusia dan institusi-institusinya yang ditentukan sosio-kultur yang ada di sekitarnya. Perubahanan mengenai realita yang ada, mengakibatkan pula perombakan dalam struktur masyarakat, yang dalam setiap zaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Dengan demikian, dalam masalah ini, metafora maupun simbol bukan untuk meng-indah- kan bahasa, melainkan menyajikan ‗fragmen peristiwa‘ dengan bahasa yang seperlunya dan dapat merepresentasikannya. Metarofa mengonstruksi realitas yang baru di dalam puisi. Bahasa sebagai penyampai ide dari penyair berusaha untuk menciptakan bayangan-bayangan kepada pembaca sehingga yang muncul adalah citra. Kata ‗aku‘ yang ada di dalam teks, bukanlah ‗aku‘ milik pengarang, melainkan ‗aku‘ dari pembaca. Ini, sebenarnya kembali pada gagasan Barthes yang mengatakan bahwa ‗pengarang telah mati‘, Derrida yang mengatakan bahwa ‗seluruhnya adalah teks‘. Oleh karena itu, kehadiran makna bukan berupa kehadiran d ari nilai dan konsep, melainkan ‗ruang kesadaran‘ baru bagi pembaca. Ruang kesadaran tercipta untuk melihat beberapa fenomena secara kritis. Pembacaan ini dilakukan berdasarkan entitas sehingga melihat teks bukan pada gaya bahasa, melainkan kumpulan dari kode-kode dalam satu keutuhan. Kata commit to user 172 sebagai unit terkecil bukan untuk dipisahkan karena jalinan antar kata membentuk susunan makna yang berbeda pula. Penyair yang berada di tengah realitas menemukan ide gagasan dari dunia di sekitarnya berdasarkan penglihatan dan pendengaran yang dipadukan dengan perasaannya. Harus diakui bahwa saat membicarakan puisi, akan dihadapkan pada infrastruktur dan suprastruktur masyarakat sebagai ideologi. Munculnya ideologi ini tidak lepas dari keadaan sosial budaya maysarakat yang telah terbentuk melalui kurun waktu panjang. Joko Pinurbo menuliskan sajak “Jalan Sunyi”: Ada jalan kecil di kebunmu: ada hujan mungil merayap pelanke liang kuburmu . Yang hadir dari sajak ini adalah citra kematian yang sunyi dan selalu terkait dengan kesunyian, yakni kuburan. Kuburan hanya akan riuh ketika ada yang meninggal saja. Kehadiran dari sajak “Jalan Sunyi” ini menampilkan bayangan mengenai jalan kecil menuju pemakaman, yang mengingatkan kepada banyak orang bahwa di tengah zaman modern ini masih tersisa ruang kesunyian dalam grimis kecil. Namun, model sajak yang memberikan ruang kontemplatif dengan permainan citra melalui imaji telah dimunculkan oleh Pound, dan Hulme, di mana bahasa penuh dengan simbol dengan kehadiran dari metonimi dan metafora mengalir secara bebas dalam alegori. Penemuan untuk menekankan pada bahasa didasari oleh pola pikir masyarakat yang terlalu rasional dengan mendasarkan pemahaman terhadap teknologi, maka kepercayaan terhadap bentuk- bentuk ‗ritual‘ telah bergeser pada logika. Untuk tetap menghadirkan puisi memiliki wilayah ‗magis‘, yakni dengan commit to user 173 masuk pada ruang kesadaran baru melalui bahasa dengan menampilkan bayangan- bayangan beberapa fenomena secara integral. Di Indonesia sendiri, hal itu muncul ketika era pembangunan menjadikan banyak industri berdiri, model perpuisian dengan citra dan suasana telah diawali oleh Goenawan Mohamad, yang terus mengalami evolusi hingga masa kini.

4.3.2.2. Kritik Modern sebagai Pengetahuan