Teori Semiotika Kajian Teori

commit to user 52 diterima kehadirannya. Arena sebagai institusi menampilkan ruang dan waktu yang mempengaruhi beberapa tindakan pembaca dalam praktik sosial untuk memproduksi wacana baru berdasarkan tanda-tanda yang telah dibaca.

2.2.3 Teori Semiotika

Semiotika itu sendiri adalah ilmu tentang tanda. Untuk memahami semiotika secara lebih dalam, perlu untuk mencermati tanda. Semiotika tidak dapat melepaskan diri dari tanda. Jhon Fiske 2010: 61 mengatakan bahwa “tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra”, namun tanda mengacu pada sesuatu yang berada di sekitar tanda tergantung pada penggunanya memahami sebagai tanda. Definisi tanda ini mirip dengan arti dari “penanda” yakni sesuatu yang bisa dipersepsi indra, yang juga membutuhkan keterangan dari “petanda” yakni mengenai sesuatu itu dipahami sebagai konsep. Dalam pandangan Barthes dalam Budiman 2002:63 bahwa tanda pada tataran utamanya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada tataran kedua, yakni pemaknaan untuk menemukan konotator yang telah berlapis ganda. Pemahaman tentang tanda adalah cara untuk menemukan makna dari keberadaan tanda itu sendiri. Tidak mengherankan, jika tanda menurut Martinet 2010:45, tanda sebagai sesuatu yang bisa ditangkap dan memperlihatkan dirinya sendiri. Keberadaan suatu tanda di masa sekarang sebagai fenomena dapat ditelusuri dari cara masyarakat mempersepsi benda sebagai tanda. Pada ranah inilah, dinamika pengetahuan manusia tersimpan berbagai macam petunjuk, baik commit to user 53 untuk menghindarinya agar terhindar dari bahaya, maupun merespon dengan menanggapinya sebagai pemahaman bersama. St. Sunardi 2002:37-43 memulai mendefinisikan tanda dari pemikiran Roland Barthes, yakni dari buku Element of Semiology. Tanda, menurutnya, berasal dari kata Latin, yakni signum, yang juga dekat dengan pernyataan dari Ferdinand de Saussure tentang signified dan signifier. De Saussure 1993:147 menyatakan sebagai berikut ini: Kami usulkan untuk tetap memakai kata signe tanda untuk menunjuk keseluruhannya, dan mengganti kata concept konsep dan image acoustique gambaran akustik masing-masing dengan petanda dan penanda ; istilah-istilah yang terakhir ini memiliki kelebihan, yaitu menandai oposisi yang memisahkan keduanya, atau memisahkan mereka dari keseluruhan di mana mereka menjadi bagian. Itulah dasar dari tanda: sesuatu yang bergerak dan dipahami dari benda yang dikonsepkan untuk memahaminya. Pemaknaan tanda dari Saussure dengan mengacu pada “oposisi” baik X buruk dari setiap kata untuk menentukan eksistensinya. Cara kerja ini sangat dimungkinkan terjadi spekulasi dari interpretator hanya berdasarkan dugaan semata. Semiotika terus mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan tanda-tanda yang ada di realitas, dan juga hasil pemaknaan manusia terhadap kehadiran dari penanda itu sendiri. Inilah alasan bahwa semiotika terus saja diperdebatkan oleh para ahli dengan menjalin relasi bersama disiplin ilmu pengetahuan. Munculnya pemaknaan manusia terhadap sejarah, mitos, dan budaya pada perkembangan tatanan global juga memberikan dampak yang besar pada semiotika untuk mencermati pergeseran kode ideologi. Konstruksi realitas dalam commit to user 54 bentuk simulasi yang memunculkan hiper-realitas melalui teknologi telah membuat kode menjadi sedemikian terbuka untuk diinterpretasi. Tanda-tanda terus saja diproduksi dengan kehadiran struktur sosial-budaya dengan adanya kemungkinan retoris pada setiap berlangsungnya pesan. Semiotika menjadi ilmu yang sangat luas karena tanda-tanda dapat bergerak ke mana saja. Di sekeliling kehidupan, akan banyak sekali ditemukan tanda yang bergerak, sejauh manusia itu mencermatinya. Apapun bisa menjadi tanda ketika hubungan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya terjadi dan membentuk makna. Artur Asa Berger 2005:29-32 mengkategorikan empat bentuk tanda secara umum , yaitu “tanda-tanda periklanan, objek dan budaya material, aktivitas- aktivitas dan penampilan, serta suara dan musik.” Bentuk-bentuk tersebut dapat ditemui di mana saja, dan itu pun masih dalam kategori yang terbatas karena dalam pemahaman historis telah menyatakan bahwa alam telah menyajikan berbagai keanekaragaman tanda, yang dapat diidentifikasi dan diamati. Semiotika yang struktural mengalami kesulitan untuk membaca setiap tanda karena sesungguhnya semiotika hanyalah kerangka berpikir dengan dipenuhi oleh berbagai macam konsep. Kehadiran tanda-tanda itu sendiri akan terbaca dengan interpretator yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas, baik dengan sejarah, tradisi, budaya, fenomena, dan tatanan global dalam setiap ruangnya. Semuanya adalah teks yang menampilkan representasi, maka kandungan metonimi, metafora dan simbol selalu terbersit di dalamnya yang dapat dimaknai sesuai dengan prilaku sosial. Kota sebagai regionalitas, manusia sebagai pelaku, pola prilaku sebagai susunan aktivitas dan kontradiksi dari setiap gejala merupakan tanda yang commit to user 55 dapat diperbicarakan oleh semiotika, yang tentunya dengan juga mengacu pada perubahan yang terjadi. Perkembangannya sangat heterogen dengan arah dan pertumbuhan yang hampir tidak pernah disadari. Ada zona tersendiri yang muncul dan hilang sebagai simbol setiap fenomena yang dapat dipelajari. Tanda-tanda akan selalu berubah berdasarkan pada fenomena yang terjadi. Semiotika hanya beruasaha untuk membaca setiap fenomena. Apa yang tertemukan di dalam semiotika bukanlah sesuatu yang basi begitu saja, namun itu akan sangat berguna untuk memahami setiap fenomena yang bergerak dalam dinamika sosiokultur karena adanya produksi yang terus-menerus dilakukan oleh manusia. Sebenarnya, kehidupan sudah menyediakan tepatnya “menampilkan” begitu banyak tanda-tanda, bahkan orang yang tidak tahu semiotika saja, dan masyarakat bisa memaknakan tanda-tanda tersebut. Manusia memiliki pikiran juga ingatan, yang semua itu tersampaikan melalui bahasa mereka sendiri-sendiri. Bahasa adalah kompleksitas pengetahuan secara representatif. Manusia memahami tanda berdasarkan bahasa. Pemahaman terhadap bahasa tidak terikat pada lisan dan tulisan, melainkan pada susunan alam dalam melakukan komunikasi dan menciptakan arti bagi yang lain. Sesungguhnya, dalam pemukiman tanda-tanda terdapat ruang komunikatif yang menyajikan berbagai kemungkinan makna seiring dengan tersebarnya konsep-konsep. Orang mungkin tidak memahami teori tanda-tanda, tetapi ia telah lama bermukim dalam tanda- tanda sehingga menemukan konvensi untuk memperlakukan tanda-tanda tersebut, meskipun tanda-tanda selalu bergerak dari konvensi sebelumnya. commit to user 56 Semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam kehidupan, tidak dapat berdiri sendiri. Butuh disiplin lain untuk menuju pada tataran esensi, konsep, ideologi, dan juga tentang cara tanda tersebut diproduksi untuk menemukan sesuatu yang terartikulasikan. Disiplin ilmu sosial akan menempatkan pemaknaan dalam interpretasi masa kini karena “kebenaran tidaklah tunggal”, melainkan memiliki ruang-ruang tersendiri berdasarkan konteks yang sedang dihadapinya sebagai fenomena. Semiotika sebenarnya sebagai karangka untuk memahami, juga sebagai cara-cara setiap tanda bergerak menuju ke arah makna dengan tidak sama: setiap tanda memiliki cara tersendiri untuk membuka setiap dimensi dan ruangnya. Bahasa menjadi bagian penting dalam semiotika. Seperti yang dikatakan oleh Christopher Norris 2008: 61 bahwa “dengan hadirnya semiotika, atau ilmu tentang tanda, bahasa kemudian “menyadari” posisi pentingnya dalam kehidupan sosial tanda- tanda pada umumnya.” Peranan bahasa yang begitu penting dalam semiotika harus membuat interpretasi dilakukan secara hati-hati untuk mengungkap tentang “struktur pengandaian” pada kerja metaphor, metonimi dan simbol di dalam bahasa. Saussure 1993:147 telah menyusun serangkaian tanda pada struktur lisan dan tulisan sebagai bahasa, bahwa tanda adalah kombinasi konsep dan akustik. Tanda dapat muncul melalui bahasa sebagai konsep kesatuan atas komponen yang bertaburan. Bahasa —sebagai penamaan—membentuk identitas untuk membedakan dengan bentuk lainnya sehingga refleksi akan muncul dari kehadiran bahasa. Kehadiran suatu bahasa akan memunculkan imajinasi bagi seseorang dengan ia commit to user 57 membayangkan peristiwanya. Kata [sekolah] akan menimbulkan imajinasi mengenai keadaan yang berseragam, dengan ada murid dan guru yang saling berinteraksi. Konotasi akan muncul melalui denotasi, meskipun penjelasan mengenai sekolah tidak mesti dengan kegiatan belajar yang tertib. Kesepakatan masyarakat memahami tanda dalam realitas muncul dan membentuk sistem sosial yang terus bergulir. Bahasa sediri hadir untuk menuju pada kesepakatan masyarakat, yang juga di dalamnya terkandung pengetahuan baik secara historis maupun kontemporer. St. Sunardi 2004: 64 menjelaskan “bahasa adalah pranata sosial dan sistem nilai.” Pemahaman mengenai bahasa tercipta bisa berdasarkan sejarah, pola kebiasaan, juga melalui struktur masyarakat yang membuat kesepakatan. Bisa saja bahasa diciptakan oleh individu, tetapi untuk bahasa tersebut menjadi universal, maka ia harus mendapat pengakuan dari masyarakat dengan adanya kesepakatan pada setiap elemen. Adanya kesepakatan antar individu menjadikan bahasa berlaku secara universal dilakukan secara dialektis karena setiap orang memiliki cara tersendiri dalam membuat tanda untuk dapat diterima oleh masyarakat. Ada subjektivitas dalam permainan pengetahuan yang berkembang pesat dan di kalangan luas, maka interpretasi sangat dibutuhkan untuk mengungkap tanda- tanda sosial. Penerimaan masyarakat terhadap bahasa hadir berdasarkan acuan yang diketahuinya. Bahasa ada yang berbentuk warisan, juga ada yang berbentuk temuan baca:baru. Ferdinand de Saussure 1993:146 memahami bahasa yang berbentuk warisan dengan ia melihat cara bahasa tersebut dipahami oleh commit to user 58 masyarakat, maka lisan sebagai bahasa primer dan tulisan sebagai bahasa sekunder. Namun demikian, perlu dilihat dalam perkembangan lanjut, bahwa bahasa terus saja hadir dan berubah-ubah seiring dengan penggunanya itu sendiri. Sistem nilai dan pranata sosial sedikit demi sedikit juga mengalami perubahan dengan terciptanya kesepakatan baru. Manusia yang selalu arbitrair dengan sistem pengetahuannya mencoba terus untuk menemukan bahasa baru untuk diterima oleh masyarakat berdasarkan “pemahaman dan penjelasan,” juga “penjelasan dan pemahaman.” Transformasi pengetahuan ini terjadi lewat bahasa yang diyakini oleh sistem pengetahuan yang ada di dalamnya. Esensi perubahan makna dapat ditemukan pada cara masyarakat itu sendiri dalam memahami. Penanda yang sama ketika sudah difungsikan dan dipahami dalam posisi berbeda akan mengalami makna yang berbeda pula: sudah tidak sebagaimana pada awal kehadiran tanda itu sendiri. Keadaan ini dapat terlihat misalnya, pada tanda-tanda kebahasaan dalam puisi yang maknanya mengalami perubahan dari bahasa yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami fenomena itu, maka butuh interpretasi sosial yang kritis. Sistem bahasa perlu diungkap sebagai fenomena. Struktur, sistem dan reproduksi sosial yang menjadi prilaku manusia merupakan fenomena yang dapat dicermati berdasarkan ilmu pengetahuan, dengan adanya wacana yang terkandung di dalamnya sehingga esensinya sama dengan tulisan yang dikaji. Pengetahuan dapat menjadi determinasi bagi masyarakat. Kontrol dibentuk dalam geneologi konsep. Ideologi akan diraih oleh kelompok dominan yang disepakati oleh elemen masyarakat, meskipun tidak commit to user 59 secara keseluruhan. Kelompok dominan dapat saja lahir di mana pun, yang jelas dia memenangkan kesepakatan berdasarkan motif-motifnya. Cara kerjanya dengan meletakkan tanda sesuai yang telah disepakati oleh masyarakat sehingga konsensus dapat berlangsung dengan mudah tanpa ada perlawanan. Roland Barthes dalam Budiman, 2004:64 menawarkan strategi pembacaan tanda yang cukup baik. Hubungan antara penanda dan petanda berhubungan dengan petanda-petanda yang mampu menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda itu sendiri dapat menjadi ideologi yang masih dapat dimaknai lagi. penanda Petanda tanda PENANDA PETANDA TANDA Gambar arah pergerakan tanda sumber Budiman, 2004:64 Dari gambar tersebut, untuk membaca tanda yang terus bergerak dan bertingkat, maka dibutuhkan teks-teks lain. Tanda-tanda yang tersusun atas bahasa terus saja bergerak menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru pada setiap ruang dan waktu dengan fenomena yang berbeda pula Fayyadl, 2005:39-42. Bahasa tidak bersifat statis, melainkan dinamis dengan proses dialektika yang melibatkan diferensi. Usaha bahasa dalam rangka menyusun identitas-identitas tanda akan memproduksi konsep yang baru. Hubungan aspek konseptual dan material antara petanda dan penanda yang sebenarnya memungkinkan terjadinya pergeseran pemahaman ketika sudah diinterpretasi oleh masyarakat. commit to user 60 Tanda yang bergerak dalam wacana bagi semiotika tidak hanya berlangsung dalam pesan linguistik, tetapi sudah pada cara imaji denotatif memiliki pesan literal. Bahasa pada puisi memungkinkan imaji berurusan dengan sisi simbolik dengan sekumpulan konotator yang terus bermain. Sekumpulan konotator telah meninggalkan arenanya dan menciptakan arena yang lain dengan bangunan baru setelah melakukan berbagai pertemuan. Bagi Barthes 2010: 38, bahwa “puisi, pada gilirannya, bervariasi tergantung pada substansinya, tetapi bentuknya tidak bervariasi, bahkan mungkin sekali jika hanya berlaku bagi bentuk retoris tunggal, yang lazim muncul dalam sastra imaji.” Pergerakan setiap tanda dalam puisi hadir pada upaya wacana membentuk identitas baru sehingga menghasilkan konsep yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Kehadiran suatu puisi akan membentuk pemaknaan yang lain karena “bahasa tidaklah netral”, di mana di sekelilingnya muncul entitas baru. Barthes 2006: 152 melihat “kode sebagai cara penandaan” yang mengandung cara-cara berkomunikasi di dalam tulisan. Tulisan apapun dapat saja menjadi mitos karena tulisan juga media, juga bahasa, sebagai cara untuk melakukan komunikasi. Puisi adalah media komunikasi, tetapi menulis puisi untuk perempuan cantik memiliki maksud lain, yakni menyatakan cinta. Puisi sebagai cara komunikasi, yang bisa saja berarti cinta. Puisi sebenarnya adalah tulisan, namun terjadi kesepakatan di sana dari kehendak rasa. Secara mitologis, ini juga wicara yang menampilkan pesan dengan didukung oleh makna karena puisi juga tanda ekspresif bagi seseorang untuk bisa memiliki sesuatu. Sejarahnya telah terbentuk lama untuk memaksudkan suatu makna yang dilakukan oleh masyarakat. Wacana yang ada commit to user 61 dalam konotasi dari menulis menghasilkan varian makna untuk dapat ditelusuri setiap kemungkinan yang hadir. Bagaimana pun juga, pada hakikatnya, setiap teks memiliki sejarah yang juga berarti memiliki pengetahuan atas teks tersebut sehingga manusia dengan insting ke- liyan -annya berusaha untuk memaknai. Adapun upaya untuk melakukan pemaknaan harus dilakukan dengan tiga langkah, yakni “pengaruh yang jelas”, “bersifat kolektif”, dan “subjektif”. Caranya yakni dengan melihat artefak dari suatu kebudayaan atas wacana yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Penanda yang muncul dengan juga memunculkan berbagai petanda sosial adalah fenomena kebudayaan yang dapat menjadi identitas bagi seseorang. Keyakinan kolektif yang terbentuk melalui hasrat sosial telah membangun wacana sehingga dapat menaklukkan ruang. Makna yang hadir bukanlah pada benda itu sendiri, melainkan cara orang memaknai benda karena adanya konstruksi wacana dalam relasi sosial. Kehadiran wacana membentuk pengetahuan baru bagi masyarakat untuk menampilkan aksi dalam identitas sosial tertentu. Proses legitimasi itu sendiri membutuhkan wacana. Pembacaan Foucault 1987 terhadap “bahasa yang tidak netral” merujuk pada setiap media yang memiliki wacana. Cara kerja dari konsep- konsep itulah hakikat makna yang terus diproduksi dalam struktur diskursif yang terkatulisasi melalui pengetahuan. “Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada dalam relasi kuasa itu sendiri” Eriyanto, 2008:66. Tanda yang tersebar luas pada seluruh elemen masyarakat begitu bebas untuk ditafsirkan oleh siapa saja, namun keadaan ini bisa ditentukan batas- commit to user 62 batasnya juga diarahkan oleh pihak-pihak yang bermain di belakangnya. Makna yang berada dalam arena pengondisian bukanlah makna itu sendiri, melainkan teks karena makna yang sesungguhnya berada di sekitarnya, yaitu tentang alasan keadaan bisa itu terjadi, bukan kejadian apa dan mengenai caranya saja. Dari keadaan inilah, secara holistik, dapat terbaca mengenai arus interaksi yang kompleks dengan kerja tanda yang ada di dalamnya. Daya pikir yang kritis, dengan ditunjang pada wawasan yang luas, akan membuka pengetahuan yang memberi kesadaran dari pengaruh pengetahuan yang telah dikondisikan. Kebenaran-kebenaran pada setiap makna tidak lagi seperti yang telah ditentukan. Setiap individu memiliki kemampuan untuk membaca setiap fenomena, tergantung dia sadar atau tidak terhadap fenomena itu. Dalam rangkaian interpretasi parsial, semiotika perlu untuk terus membaca setiap fenomena. Konstruksi tanda dalam realitas sosial untuk membentuk struktur sosial menuju wilayah institusional perlu dilihat secara sadar dan mendalam. Pemaknaan bukan berdasarkan semiotika itu sendiri, melainkan berdasarkan tanda-tanda yang terselubung di dalam teks. Semiotika akan membantu mengidentifikasi warisan kultural, kemudian baru melihat cara tanda-tanda dimainkan untuk menuju pada konsep, sekaligus membedah alasan produksi tanda dalam maksud dan tujuan yang lebih holistik. Semiotika berusaha untuk membaca entitas-entitas yang bertebaran di sekeliling teks, sedangkan entitas itu sendiri sebenarnya bagian dari teks yang dapat dianalisis untuk menuju pada esensi makna. commit to user 63

2.2.4 Teori Stilistika