commit to user 114
telah menampilkan karakter estetika. Seri ini dimaksudkan sebagai upaya membentangkan panorama puisi Indonesia.
4.2.1. Buku Puisi
Rumah Cahaya
Buku puisi
Rumah Cahaya
yang diterbitkan oleh ITTAQA Press di tahun 1995 dengan puisi
Rumah Cahaya
edisi revisi yang diterbitkan oleh Gama Media mengalami perbedaan. Abdul Wachid B.S. 2003a:xi mengatakan:
Sajak-sajak dalam
Rumah Cahaya
ini merupakan periode awal kepenyairan saya yang amat menggairahkan. Semula hanya berisi 51 sajak
yang terpilih dalam buku
Rumah Cahaya
27 sajak dan buku
Manusia Pergi
24 sajak. Pada terbitan kali ini, buku
Manusia Pergi
diganti judul dengan
Cahaya Nyala dalam Gelas.
Kemudian, ada 24 sajak lain yang terkumpul dalam
Mencari Malam Seribu Bulan,
diletakkan di buku pertama, yang melengkapi sosok perpuisian periode
Rumah Cahaya
ini. Sesungguhnya,
Mencari Malam Seribu Bulan
ada perpektif yang agak lain sekalipun merupakan pengembangan bentuk puisi dari
Rumah Cahaya.
Jikapun diterbitkan sendiri akan terlalu tipis sebagai buku.
Dalam kutipan tersebut, Abdul Wachid B.S. menyatakan langsung perbedaannya. Dengan juga, buku edisi revisi 2003 dilengkapi dengan perdebatan
di koran
Kedaulatan Rakyat
sebagai lampiran
.
Akan tetapi, dalam edisi revisi tidak disertai esai dari Abdul Wachid B.S. yang berjudul “Bahasa Sajak di Antara
Subjektivita s”, “Situasi Penciptaan Sastra yang Berpribadi” dan “Religiositas
Islam dalam Sastra”, sebagaimana mulanya ada di dalam buku
Rumah Cahaya
tahun 1995. Perbedaan dari buku
Rumah Cahaya
1995 dan edisi revisi lebih terletak pada yang mulanya tidak ada menjadi ada, atau yang ada kemudian
ditiadakan. Untuk hal-hal yang ditiadakan juga tampak pada sajak berjudul “Eksposisi Kota Tua” misalnya.
commit to user 115
Versi Terbitan 1995 Edisi Revisi 2003
Dan pohon nenekmoyang ditanam di tengah kota Memaksa berbuah di sanubari manusia kita
“Jika kelak musim memilih tiba kalian mesti memetiknya” begitu seru serdadu
Lalu kita pun nyusuri jejak jilatan matahari kota
Jiwa yang gersang namanya Dilecuti tahun dan sia-sia
“Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini?” Kau menduga, “Ini sebuah kuburan raksasa yang
Dipenuhi nisan serta berhala” “Ya. Dan pohon nenekmoyang itu memaksa
Menghisap segala di sekitarnya” kita lalu menghibur diri dengan menatap langit
Lalu tahu bulan sabit akan jadi senjata Dan purnama
1990 Dan pohon nenekmoyang ditanam di tengah kota
Memaksa berbuah di sanubari manusia kita “Jika kelak musim memilih tiba
kalian mesti memetiknya” begitu seru serdadu Lalu kita pun nyusuri jejak
jilatan matahari kota
“Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini?” Kau menduga, ‗Ini sebuah kuburan raksasa yang
Dipenuhi nisan serta berhala‘ “Ya. Dan pohon nenekmoyang itu memaksa
Menghisap segala di sekitarnya” Kita lalu
menghibur diri dengan menatap langit Lalu tahu bulan sabit akan jadi senjata
Dan purnama 1990
Dari perbandingan tersebut, dapat dilihat dengan jelas ada perbedaan pada ungkapan “Jiwa yang gersang namanya Dilecuti tahun dan sia-sia” yang tidak
dimunculkan lagi dalam edisi revisi. Selain itu, pada ungkapan “kita lalu” dalam versi terbitan 1995 berada satu baris dengan ungkapan:Menghisap segala di
sekitarnya”, sementara itu dalam edisi revisi dibuat menjadi baris tersendiri dengan huruf kapital pada huruf k dalam kata [kita]. Dalam usaha untuk
mengedit atau lebih tepatnya merevisi untuk edisi revisi, ada penilaian tersendiri dari Abdul Wachid B.S. terhadap estetika maupun untuk wacana yang hendak
ditransformasikan. Keadaan mengedit puisi adalah keadaan sadar secara estetik dengan diimbangi pengetahuan mengenai konvensi puisi. Teks yang mengandung
pengetahuan berusaha menampilkan realitas untuk memperebutkan makna dan kebenaran sesuai dengan keyakinan dari penyair. Dalam adanya pengeditan pada
perbandingan tersebut memperlihatkan usaha untuk mengkonstruksi realitas sebagai refleksi di dalam teks secara implesit.
commit to user 116
Namun demikian, dalam wacana secara universal dari buku
Rumah Cahaya
antara versi terbitan 1995 dan edisi revisi 2003 menampilkan wacana yang relative tidak jauh berbeda. Sekalipun ada tambahan dari buku puisi
Mencari Malam Seribu Bulan
24 sajak, secara tematik tidak jauh berbeda dengan sajak- sajak lainnya. Dapat dilihat pada sajak “Terpukau Kau” 2003a:2 berikut ini.
di biskota. jalan-jalan dibakar api kota silang-siur rupa. membaurlah hidup kini
terpukau pada dinding dan tembok kota pohonan tepi jalan berlari menjauh hari
1985
Selain itu, dapat juga dilihat pada sajak berjudul “Orang Sunyi” 2003a:11 berikut ini.
aku hanya mengikut jalanan waktu terseret, lalu hanyut
dipukau luka masasilam lewat belantara kota
diserbu rasa sepi dan asing terlempar sebagai rontokan daun
di musim penghabisan seperti sukma kemarau
aku tandus, lalu senyap terbaring pada padang runput kering
terbakar api sangsi dan sia-sia dan gemerincing ribuan daun gugur itu
menyiapkan kamar kubur kurasakan
Tuhan di depanku kini sepertinya di mata-Nya tertidur aku
tapi, kembali sepi itu menyeret pergi membawa ruhku menjauh
aku memanggil-manggil pucat terkapar
dalam dekapan darah hamper beku 1990
commit to user 117
Dari dua puisi yang hanya ada dalam buku
Rumah Cahaya
edisi revisi 2003 memperlihatkan adanya tema sosial dengan usaha mengkritisi kota. Ketika
manusia dalam pengaruh modern, maka pandangan-pandangan akan selalu tertuju pada rasionalisme. Segala bentuk-bentuk irasional seperti pandangan agama
mengenai Tuhan menjadi bentuk lain yang sangat jauh; seperti impian yang menumbuhkan impian lain. Untuk pernyataan ini, Henryk Skolimowski 2004:33
mengatakan bahwa peradaban sekarang ini adalah peradaban “skizofrenik” yang
menipu diri bahwa ia adalah peradaban terbesar yang pernah ada sementara rakyatnya sedang berjalan mewujudkan kesengsaraan dan kecemasan. Ketika
Indonesia membangun infrastruktur kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan sebagainya, ternyata semakin banyak pengangguran
yang berada di kolong jembatan ataupun trotoar. Masih ingatlah benak masyarakat Indonesia terhadap penertiban-penertiban pedagang kaki lima. Ilustrasi ini
merupakan kenyataan dari skizofrenik dari pengembangan peradaban. Puisi-puisi yang ada di dalam buku
Rumah Cahaya
lebih mengarah pada imajinasi atas realita, yang diungkapkan dengan kegelisahan hati dan kemudian
dihubungkan dengan Tuhan atau gagasan religi secara retoris. Perubahan sosial dari tahun 1985-1993 memperlihatkan adanya kekacauan-kekacauan dalam
bentuk-bentuk kota dan penghuninya akibat dari industrialisasi. Perpuisian Indonesia pada periode 1970-an sampai 1980-an banyak diwarnai dengan
perkembangan puisi sufi sebagai konsep estetika yang menawarkan kebaruan tersendiri. Padahal, pada periode 1965-an, perpuisian Indonesia diwarnai oleh
commit to user 118
ideologi politik, terutama keterlibatan sastrawan Indonesia dalam partai Rosidi, 1986:164-166, di mana pada waktu itu, sastra di dalamnya juga puisi
dimaksudkan sebagai usaha untuk menyampaikan gerakan politis. Semenjak rezim Orde Baru, naiknya Soeharto sebagai presiden, dan sastra Indonesia mulai
menapakkan kemapanan untuk menyuarakan idealitas Yudiono KS, 2006:47. Sastra Indonesia tahun 1965-1998 merupakan masa pemapanan setelah
berakhirnya penumpasan PKI. Mulailah ada penerbitan majalah
Horison,
yang kemudian memunculkan inisiatif dari
koran-koran untuk terbit. Koran dan majalah menjadi alternative publikasi bagi sastrawan untuk memunculkan karya-
karyanya. Fenomena ini sebenarnya telah dimulai pada masa Belanda masih di Indonesia, yang ketika itu yang dimuat hanya karya-karya yang selaras dengan
Belanda. Sastrawan mulai masuk untuk menggali dan mengeksplorasi wilayah estetika dengan berbagai sudut pandang, salah satunya munculnya inisiatif untuk
menulis sastra yang bercorak sufistik seperti Kuntowijoyo, Danarto, Sutardjo Calzaoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Abdul Hadi W.M. dan Emha Ainun Nadjib.
Ada banyak perdebatan mengenai terminologi sastra sufi itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa kriteria sastra sufi harus ditulis oleh serang sufi,
sementara itu ada juga yang mengatakan bahwa sastra sufi itu bukan penyairnya yang sufi, melainkan karya sastra yang memuat nilai-nilai kesufian. Dalam
menentukan sastra sufi itu sendiri memiliki wilayah yang berbeda dengan sastra profetik. Sastra sufi lebih memuat konsep ketuhanan yang dijalin dengan cinta,
sedangkan sastra profetik memuat dimensi ketuhanan yang dijalin dalam hubungan yang jauh. Mengenai batas sufi itu sendiri, sesungguhnya terkait dengan
commit to user 119
persebaran wacana yang dilontarkan oleh Abdul Hadi W.M. di Indonesia, sedangkan sastra profetik diungkapkan oleh Kuntowijoyo dengan banyak memuat
pesan-pesan kenabian di dalam karya sastra. Inisiatif untuk menuliskan puisi tentang realitas sosial dan mengajak untuk
kembali pada Tuhan dianggap bercorak sufistik sehingga menjadi wacana yang menarik perhatian dari berbagai kalangan. Dalam pandangan ini, karya sastra
dapat difungsikan untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang telah ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia diharuskan kritis dan bijaksana
terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Karya sastra yang pengetahuan dalam menyikapi realitas sebagai suatu keberadaan yang memiliki pengaruh dengan nilai
Skolimowski, 2004:26-27. Di sinilah peranan dari sastra religius dapat merevitalisasi akhlak manusia. Pada akhirnya kebuntuan menghadapi realitas tak
terbantahkan lagi. Manusia kembali berlari kepada agama untuk memecahkan permasalahan yang telah melingkupinya. Dalam hal ini, manusia merasa ingin
menemukan kembali nilai-nilai yang telah membentuknya. Agama menjadi bagian penting dalam mentransformasikan nilai-nilai ke dalam diri manusia. Di sinilah
politisi seperti Soekarno, Jhon F. Kennedy, Vaclav Havel, Pablo Neruda, dan Mahatma Gandhi yang menyakini karya sastra memiliki kekuatan untuk
menggerakkan nurani pembaca. Dalam relasi sosial, eksistensi seorang penyair tidak lepas dari perputaran
pengetahuan dalam sebuah arena. Michel Foucault 2002b:158 mengungkapkan ketika kekuasaan yang politis untuk menguasai intelektual melalui pembagian
pengetahuan, maka ia mulai menyentuh arahan-arahan dalam relasi tersebut.
commit to user 120
Kekuasaan yang dimaksud tidak harus negara, atau yang berkaitan dengan pemerintahan. Namun, hadirnya “wacana” itu sendiri juga merupakan sebuah
kekuasaan. Relasi-relasi sosial yang terbentuk dari interaksi maupun internalisasi terbangun berdasarkan wacana, yakni adanya kekuasaan yang terus bergerak.
Konsep-konsep untuk menjalani kehidupan merupakan arahan tersendiri, yang sesungguhnya merupakan suatu kuasa yang hadir karena adanya pengtahuan.
Intelektual —di sini, dapat pula dimasukkan dalam ranah penyair sebagai
intelektualitas karena menulis sesuatu tentang keadaan entah wilayah batin, maupun luaran
—masuk pada wilayah terminologi tersendiri, yang berada dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki karya
yang diakui. Penyair memiliki kapabilitas untuk menyuarakan zaman berdasarkan realita yang dicermati, namun di sini tampak simpang-siur mengenai keadaan
penyair sebagai intelektualitas yang peka terhadap keadaan karena wacana yang diungkakannya tidaklah netral. Keadaan politik di Indonesia misalnya, merupakan
arena tersendiri yang memberikan pengaruh kuat pada gaya penyair-penyair dalam menampilkan estetika sehingga tulisan yang ditampilkan tidak murni dari
idealitas. Rezim Orde Baru membolehkan penyair untuk berekspresi dengan tidak
memiliki ideologi yang tidak mengkritik pemerintah. Oleh karenanya, wilayah religious, juga pandangan tentang sufi menjadi bagian yang paling aman untuk
dituliskan. Mereka memilih menyampaikan wacana sufi karena ada dalam suatu ranah yang tidak mengusik pemerintah:di satu sisi meraka akan aman untuk
membuat sejarah sastra baru, juga aman untuk mendekati publik. Wacana ini
commit to user 121
berkembang di kalangan penyair maupun sastrawan secara umum untuk kritis mencermati realitas sosial, di mana kecendrungan untuk mempublikasikan pada
media masa koran dan majalah menjadi alternatif untuk popular, selain juga mendapatkan honor; yang padahal koran dan majalah itu sendiri memiliki
kepentingan pragmatis untuk diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, kendali dari suatu wacana ada pada koran dan majalah. Kondisi ini diakui oleh Abdul
Wachid B.S. 2005:95 dalam buku
Sastra Pencerahan.
“Bahkan, banyak penulis yang bertarget asal dimuat dan mendap
atkan honor, yakni dengan cara mereproduksi “bentuk” dan “isi” terhadap kecendrungan karya sastra yang sering dimuat di suatu koran. Puisi
memang tetap ditulis dan dimuat, tetapi dengan cara menulis “puisi yang baik dan benar”, begitu pula dengan “cerpan yang baku”, juga “novel yang
sesuai dengan kaidah- kaidah”. Segala itu serba lewat begitu saja
senyampang dengan datangnya koran besok pagi, maka koran kemarin tidak dibaca lagi sebab tidak ada sesuatu yang baru ditawarkan di dalam karya
sastra. Padahal, masyarakat dan pers hanya akan memperhitungkan hal-hal yang baru, yang luar biasa, dan ha semacam itu tidak dapat disalahkan sebab
jadi imbang hal yang rutin keseharian, yang biasa-
biasa saja.” Pada razim Orde Baru ini, pemerintah tidak menjadikan puisi sastra secara
umum untuk memapankan kekuasaan. Pemerintah lebih menggunakan agen-agen yang bergerak pada ranah institusi, yang secara publik memiliki kewenangan.
Sementra itu, sastra baca: puisi berada ada “wilayah lain”, yang telah
dikondisikan oleh wacana mengenai konvensi estetika yang diinginkan oleh media. Sesungguhnya, wacana memiliki aturan-aturan yang mengondisikan suatu
keadaan. Kehadiran dan posisi dari wacana itu sendiri dapat diinterpretasikan dengan berbagai macam respon oleh masyarakat yang membentuk hubungan
timbal-balik sebagai suatu relasi sosial. Bahkan, transformasi wacana dalam relasi sosial yang diakibatkan oleh gejolak antara nilai dan struktur merupakan proyeksi
commit to user 122
dan refleksivitas dari keterulangan dalam reproduksi sosial Giddens, 2010:
xxxiii. Dalam kaitan ini, penyair, sebagai manusia, merupakan “agen” yang terlibat untuk melakukan tindakan-tindakan.
Aprinus Salam 2004:66-67 mengatakan ada fenomena kecendrungan sastrawanpenyair Yogya dalam menyiasati dari kemiskinan dengan memilih
menulis puisi kritik sosial, ada yang mengasikkan diri untuk melahirkan pengalaman individual dengan sambil beribadah sehingga lahir puisi religious
atau sufistik. Di sini, berarti penyair sebagai agen yang menolak struktur dari rezim Orde Baru. Dalam ranah kesadaran ataupun ketidaksadaran, itu menjadi
tidak terlalu penting, yang terpenting adalah perwujudan dari tindakan perlawanan maupun kritik terhadap perkembangan zaman dan pemerintahan.
4.2.2. Buku Puisi