Politik Metafora Puisi dan Strategi Wacana

commit to user 148 membongkar realitas. Kisah menjadi representasi yang berusaha untuk mengungkap melalui pengetahuan yang tidak terlihat oleh umum. Metonimi tentang, kota, trotoar, dan pasar begitu berwarna dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih . Dua buku tersebut memang ditulis dalam rezim Orde Baru dengan tekanan kekuasaan modern melalui pembaharuan masa depan lewat pembangunan. Praktik-praktik sosial yang menjadi keseharian dituturkan dalam posisi dan pola yang berbeda dari struktur birokratik. Realitas yang bervariasi menjadikan representasi kesengsaraan tampak kental sebagai wacana yang memberikan pengetahuan. Ketidakstabilan kondisi sosial menjadi suara yang dilantangkan untuk bergema melalui puisi. Semua itu disampikan dalam komunikasi tidak langsung untuk menjadikan makna berpandangan dan penuh dengan inovasi.

4.3.1.2. Politik Metafora

Bahasa, dalam wilayah ini adalah tulisan, bersifat dialektis, dibakukan dan memiliki metafor dengan elemen ketidakpastian pada sistem komunikasi. Oleh karenanya, memahami metafora berdasarkan keindahan-keindahan saja menjadi sangat keliru. Di dalam metafora, ada “pengetahuan agung” yang mengungkap rahasia dalam gerak intuitif, yang membimbing manusia untuk menemukan pengetahuan pada wilayah imajinasi. Metafora bergerak dalam ranah keindahan untuk menjangkau objek berdasarkan pengamatan indrawi, maupun nurani dalam perasaan-perasaan yang mengalir dari pengalaman rohani maupun konsepsi pengetahuan yang lebih luas dengan adanya jangkauan intelektualitas penyair. commit to user 149 Menurut Derrida dalam Sarup 2003:78 , “kajian metafora menjadi penting seiring dengan semakin luasnya kesadaran bahwa bahasa tidak sekadar mencerminkan, tapi juga membentuk realitas.” Bahasa di dalam puisi tidak hanya sekadar keindahan atas cerminan, tetapi membentuk dunia yang baru melalui retorika dan imajinasi yang persepsionalistis. Adapun untuk memahami puisi berdasarkan metafora, perlu untuk membuang paradigma terhadap pemaknaan terdahulu dari teks tersebut. Pengetahuan bahasa yang hadirlah yang akan membimbing untuk menemukan esensi yang terkandung di dalam teks. Teks menyajikan jejak akan selalu membimbing ketertarikan terhadap realitas untuk melihat artikulasi yang sebagai representasi. Paradigma ini sebagai konsekuensi untuk memulai melihat adanya bentuk, isi, dan efek dari proses sublimitas teks dalam variasi bahasa yang hidup. Metafora dalam puisi Abdul Wachid B.S. berusaha untuk menjangkau wilayah kritis, dengan upaya melepaskan justifikasi dan legitimasi untuk memunculkan eksistensi. Jika hari merapat ke pagi Adzan subuh hanya luruh Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu Kini matahari hanya tahu bahasa debu Di dalam teks tersebut dapat menjelma sebagai deskripsi suasana, namun bersifat dialektis dengan telah meloncat dari unsur semantik. Metafora bekerja dengan menyingkirkan persepsi, juga telah melampui batas-batas yang ditentukan dalam keseharian. Yang dibutuhkan adalah “pengenalan” kepada sebuah dunia untuk masuk pada sebuah regionalisasi. Deksripsi suasana mirip sebuah “gambar,” namun ia berpretensi sebagai “petunjuk” dalam menuju kepada commit to user 150 petunjuk lainnya sehingga bergulir terus-menerus. Metafora ruang mengambil bagian paling besar dalam korelasi antara “pagi”, “subuh”, “embun” dan “matahari” sebelum menuju pada simbolitas yang sesungguhnya; dalam kumpulan petunjuk. Metarofa dapat memperlihatkan teks mampu yang berhubungan dengan realitas dalam pengaruh kekuasaan bahasa penyair. Dalam metafora, topik-topik pembicarakan akan diarahkan pada seperangkat bahasa yang padu, nilai dan konsep yang ada di dalam puisi sebagai komplek sitas. Sajak berjudul “Orang Sunyi” 2003a:11 berikut ini memperlihatkan adanya kesepian di tengah kota yang ditulis melalui metafora. aku hanya mengikut jalanan waktu terseret, lalu hanyut dipukau luka masa silam lewat belantara kota diserbu rasa sepi dan asing terlempar sebagai rontokan daun di musim penghabisan Dalam sajak tersebut, ada gambaran bahwa [aku] berjalan seakan berada dalam sungai. Ada kata seperti di tengah-tengah:aku seperti hanya mengikut jalanan waktu. Proses tersebut masih dalam bahasa, namun dalam tataran filosofis, puisi tersebut memetaforakan adanya padangan hidup yang “mengalir saja mengikuti arus” untuk hidup yang masih belum bisa diprediksi. Hidup mengikuti arus seperti berada dalam sungai, namun arus yang diikuti adalah arus waktu yang mengartikan adanya takdir. Arus yang harus dijalani berada antara masa lalu dan sekarang sehingga banyak menjadikan orang terasing oleh kota dengan berbagai commit to user 151 macam perubahan, yakni dengan terlempar seperti “rontokan daun” artinya seperti sampah = tidak berguna. Melalui metafora, pembaca akan bisa membayangkan keadaan yang tak lazim, kemudian akan berpikir bahwa: “tentu ada alasan bagian itu penting dan masuk di dalam puisi, di mana setiap bagian di dalam puisi memiliki posisi yang berharga, dan jelas bukan hanya sebatas ambiguitas semata.” Goenawan Mohamad telah jauh mengembangkan ‗susunan suasana‘ untuk menandai perlukisan keadaan yang sangat detail dalam Parikesit. Orang dengan mudah akan membayangkan keadaan-keadaan sehingga perasaan yang terbimbing bukan pikiran yang akan berkata mengenai puisi itu sendiri. Hal ini karena puisi tidak dapat berdiri tanpa ada realitas melalui dialektika dengan keperibadian. Suasana di dalam puisi bukan keindahan, namun dapat hadir sebagai metafora untuk menggapai nilai. Metafora mencipta keindahan di dalam puisi yang berbeda dengan keindahan dalam kehidupan. Keindahan di dalam puisi itu diciptakan oleh penyair untuk membuat terharu Mohamad, 1993:78-79. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora yang cukup rumit dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih. A. Mustofa Bisri Gus Mus mengatakan: Puisi yang baik adalah puisi yang sulit dipahami. Jika anda termasuk orang kebanyakan, jangan harap bisa mengerti puisi. Puisi yang gampang dipahami seperti koran atau pidato bukanlah sebenar puisi. Demikianlah anggapan atau olok-olok atau keluhan yang sering kita dengar. Atau barangkali memang itulah yang sebenarnya. Karenanya puisi, dibandingkan saudaranya, prosa, menjadi “kurang kaku” di masyarakat yang tentu saja terdiri atas orang-orang kebanyakan melulu. Pernyataan itu berusaha menyindir bahwa Abdul Wachid B.S. memiliki metafora yang cukup ketat sehingga puisi menjadi rumit untuk dipahami. Simbol- commit to user 152 simbol yang terbentuk begitu liar muncul dengan petualangan imajinasinya. Misalnya saja pada sajak “Rumah di Atas Batu Tua” 2003a:16 berikut ini. Sepertinya kita mesti membangun rumah di atas batu. Seperti berhala-berhala yang ditegakkan dalam hati manusia kita Dan kita pun telah membiakkan dalam berbagai rupa dan warna Seperti asesori atau make-up- mu yang riuh. Hingga ruang-ruang kerja dan mimpi-mimpi. Dalam teks itu, tampak susunan yang sangat rumit untuk melihat perbandingan antara rumah dan berhala. Perbandingan ini harus masuk pada berhala seperti rumah dengan kadar bahwa rumah itu bukan yang sesungguhnya. Rumah menjadi simbol untuk keadaan diri yang membutuhkan tempat nyaman karena begitu berupa dan berwarna pesona dunia sehingga membutuhkan tempat yang khusus. Keadaan sosial yang menjadi urban menjadikan orang mulai lalai dengan sistem nilai dari dasar dan yang dipentingkan hanya materi di “ruang kerja” beserta harapan-harapan untuk sukses. Pemakaian bentuk analogi ini tentunya menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dengan murid agar ilmu pengetahuan lebih aplikatif kontekstual. Tanpa itu semua, pembelajaran menjadi monoton, tidak berkembang, dan terasa sangat asing. Penjelasan-penjelasan itu menjadi serangkaian metafora dikarenakan ada perbedaan dimensi. Sementara itu, penyair dalam memproyeksikan pengalaman melalui bahasa terbatas pada bahasa imajinal yang personal. Wilayah bahasa yang dimiliki oleh penyair menjadi sisi subjektif. Wilayah yang mencakup citra estetik style dalam mengungkapkan gagasan atau ide, untuk itu dapat dilihat pada sajak berjudul “Rumah Cahaya” 2003a:58 berikut ini. commit to user 153 Rumah Cahaya kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap manusiaku yang selalu pergi di dalamnya tergaung adzan kefakiran apakah pasar dunia telah usai di sini? yang batas tawa manusiamu; dan sunyi yang nyanyi yang tegakkan sujud airmata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu sibuk yang di kotanya menyalalah konser perempuan, menari-nari dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar bunga yang terselip payudara telah hilang wangi kasihsayang aih surga sungguh menjelma di hadapan dalam fantasia kota malam, begitu temeram begitu megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir? orang datang orang pergi tanpa manusia kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit di tengah pasar mengadzankan manusiamu ya, manusiaku, sampai ke sebelah barat benakdunia manusia kita 1992 Teks tersebut mampu menjadi mitos. Bentuk mitos di dalam puisi tampak dengan adanya perumpamaan sebagai metafora yang hadir menjadi ambiguitas. Metafora itu bukanlah bimbingan yang membingungkan, namun bentuk perumpamaan yang difungsikan untuk menjelaskan realitas di alam imajinasi. commit to user 154 Sebagai contoh, seorang guru yang menerangkan pelajaran kepada muridnya. Ia mengilustrasikan ilmu pengetahun untuk ditransfer ke murid melalui bentuk analogi. Dengan demikian, suatu titik tengah yang dapat dipetik dari uraian tersebut bahwa puisi yang melalui imajinasi mengandung pengetahuan mengenai berbagai realitas yang diproyeksikan. Pengaruh puisi dapat terjalin melalui nuansa keindahan yang memunculkan keberkesanan dan ketakjuban. Pesona alam di dalam puisi bersifat historis hadir sebagai metafor dan personifikasi. Di sinilah, imajinasi menyusun metafora dan pengatahuan dapat berubah menjadi mitos. Permainan metafora yang demikian tampak sangat rumit. Dengan nada humor, A. Mustofa Bisri dalam pengantar Rumah Cahaya mengatakan puisi yang baik sebagai puisi yang sulit dipahami yang sering menjadi keluhan. Puisi dengan lambang-lambang tertentu berdasarkan konvensi subjektivitas penyair mengharuskan pemaknaan dilakukan dengan bolak-balik untuk keluar masuk antara teks, imajinasi, kenyataan, dan sudut pandang. Ada yang hilang saat senja mencat pelangi kanvas langit:Sebentuk kata Digelombangkan hujan yang memberkati pohon-pohon jalan raya, dan rerumputan kering mencium bumi Sajak berjudul “Yang Hilang Saat Senja” 2003a:47 pada bait pertama tersebut tampak begit rumit dan susah membongkar makna yang disusun. Teks lebih menampilkan imajinasi dengan sudut pandang yang subjektif. Makna belum tertemukan, meski kenyataan begitu tampak oleh bahasa. Teks tersebut menjadi dapat dipahami dengan bait kedua berikut ini. Ada yang hilang, “tapi kita di mana?” tanyamu Jejaknya nyelinap antara orang bergantungan di buskota. Mamam pun berhias lampu warna-warni commit to user 155 Menandai kota. Menandai dunia yang kian renta. Kerumitan yang ada pada bait pertama menjadi jelas dengan bait kedua. Susunan peristiwa mengenai keterasingan itu ditampilkan dalam keadaan yang hilang menjelang senja. Kata senja itu sendiri tidak hanya sebagai waktu setelah sore, tapi sebelum magrib. Senja lebih merujuk pada gambaran dunia yang mulai berakhir, dengan pretensi kata tersebut sebagai simbol yang sureal. Sudut pandang itu tertuju pada Islam, yang memberikan keterangan tentang ciri-ciri zaman yang berubah adalah menuju keberakhiran. Hal itu dibandingkan dengan senja dengan tatanan nilai yang hilang di tengah perkotaan. Abdul Wachid B.S. tak hanya itu, ia juga memiliki komposisi sureal dengan memainkan metafora dengan citraan dan dengan refleksi pemikiran: ….Kaki -kaki kecil itu Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam Hari jauh dari malam, terasa kelam . Wacana mengenai “Kaki-kaki kecil” bersifat metonimis yang pada akhirnya simbolis ketika berkorelasi dengan “Tanpa alas meluncur”, yang kemudian ditutup deng an citraan “Hari jauh dari malam,” bukan suasana karena digunakan untuk menandai sekaligus menyimbolkan. Ada penemuan fisik yang bergerak seperti halnya agen untuk memainkan wacana menuju kebenaran, meskipun bernada pseudo-realis. Secara utuh, sajak “Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur” menggunakan sarana retorika dengan gaya sureal. Kesan hiperbolik banyak muncul seperti “darah tambah membasah di haedline ” atau “kata-kata hujatan seperti hujan” dan banyak lainnya, yang akan menghantarkan pesan dalam ketakjuban:dalam hiper-realitas. Kombinasi artikulasi akan memusatkan perhatian pada konkretasi susunan sosial yang mudah dipahami seperti:bocah yang commit to user 156 memainkan musik jalanan, seorang perempuan yang berpupur gelisah di trotoar, para politisi yang tak henti dari teriakan, sampai penegasan pada sebuah kota yang diserang perang. Penanda itu muncul sebagai kompleksitas dari wacana sosial yang beredar dalam perkembangan modern. Dengan demikian, sarana retorika dengan gaya sureal masih menjadi komunikasi kultural dalam produksi dan pertukaran makna dalam keyakinan masyarakat. Abdul Wachid B.S. dalam sajak “Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur” tidak sedang menyampaikan informasi, ia bekerja dalam ‗arena yang bebas‘ untuk menandai struktur, relasi dan institusi sosial. Tidak ada ajakan yang dogmatis, namun ia berusaha untuk memberikan pengetahuan dalam dampak modern, yang sesunguhnya di situlah sebuah wacana sedang beroprasi. Penyair adalah salah satu intelektualitas, di mana ia akan memainkan tanda-tanda sosial menjadi teks pada setiap susunan kata. Abdul Wachid B.S. sendiri menyadari bahwa dekade 1980- 1990-an merebak citraan yang mengacu pada masyarakat kota, seperti yang dituliskan oleh Afrizal Malna, Soni Farid Maulana atau Ahmad Syubbanuddin Alwy, seperti yang pernah ditulisnya di dalam buku Religiositas Alam hal. 170- 171 untuk membedakan kekhasan alam dari D. Zawawi Imron yang tak tereduksi oleh apapun. Metafora selalu berusaha untuk memakai sudut pandang dengan warna lain untuk bisa memosisikan teks itu lebih bervariatif sehingga pembacaan bisa lebih beragam, sebagaimana hakikat karya sastra yang selalu multi - interpretable dan kaya makna. Dalam wilayah ini, metafora peka terhadap politisasi yang menerpa diri pembaca sebelum berkomentar, atau jangan-jangan justru pembaca itu sedang commit to user 157 masuk dalam wilayah politisi tertentu dalam memahami teks. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora cinta yang berada di antara:cinta sufi dan manusia. Cinta antara manusia dengan manusia dilukiskan dengan idiom-idiom sufi, yang tentu memainkan kebenaran dalam makna yang berantai. Hal itu dapat dilihat pada s ajak “Ijinkan Aku Mencintaimu” 2002:124 berikut ini. Ijinkan Aku Mencintaimu waktu batu kaulayangkan wajahku terasa benar rindu berpijar waktu batu kaulayangkan wajahku semua arah cinta berserah betapa rajam ke sukma menghujam betapa ganas hasrat berbalas waktu batu kaulayangkan wajahku ijinkan aku mencintaimu Dalam sajak tersebut, cinta menjadi sangat multi-interpretable . Pemaknaan yang berlebih terhadap puisi persebut akan menempatkan pada cinta kepada Tuhan seperti yang dialami oleh para sufi. Abdul Wachid B.S. memainkan cinta dengan objek yang menyebar dan bergerak melalui meafora. Bayangan imajiner lebih memungkinkan cinta tampak begitu sakral dan berada dalam wilayah batin, namun seseungguhnya hal itu dapat dijangkau oleh kekuatan rasa dalam melihat cinta. commit to user 158 Persoalan cinta dalam proses kreatif seorang penyair terkait pada obsesifitas dan lingkup sosial yang melatarbelakangi. Sebagaimana yang sudah diceritakan dalam proses kreatif bahwa Abdul Wachid B.S. memulai membaca puisi karena untuk membalas surat cinta. Ada pandangan indah dan keterkesanan terhadap cinta dan puisi yang menjadikan permainan imajiner begitu kuat. Hal itu dilakukan dengan bahasa yang telah dikuasai sehingga realitas menjadi terbentuk lagi di dalam teks. Proses penciptaan sajak itu sendiri dibentuk dengan kondisi sosial yang memungkinkan penyair dapat memainkan kebenaran dalam kekeliruan. Kondisi sosiologis ini tentunya ada relasi-relasi sosial di antara penyair itu sendiri untuk membentuk idealitas dengan menyampaikan wacana cinta, perputaran politik pupuler. Wilayah ideologis yang terkait dengan politik metafora memungkinkan bahasa dapat berkembang dengan baik. Ada banyak kemungkinan yang dapat ditelusuri jejaknya sebagai suatu historis dalam perpuisian Indonesia, yang senyatanya mengalami perubahan dari rezim Orde Baru ke pasca-reformasi. Segala praktik sosial itu, berada dalam wilayah tekanan, termasuk kegiatan menulis puisi, dan wilayah distribusinya. Keterlingkupan ruang produksi dari sebuah kreativitas ini masuk dalam satu “arena” yang sama, yang mengondisikan penyair untuk menciptakan puisi cinta dalam metafora yang ketat. Abdul Wachid B.S. sendiri juga menulis puisi berjudul “Metafora I” 2004:55 tentang cinta yang dianalogikan dengan pohon, seperti yang tertera beriku ini. commit to user 159 Metafora I Cinta itu telah tumbuh Akarnya mengakar ke dalaman lubuk hati Tanahnya keras berlapis-lapis Menembusnya begitu linggis Cinta itu telah tumbuh Pohonnya merindangi bagi burung-burung Begitu tamparan angin mau merapuh Akarnya mengokohkan, sambung-menyambung Tapi begitu pemilik kebun mau mencabutnya Akar-akar itu terasa mengelupas di lubuk hati Ada rasa sakit berlapis-lapis Ada beribu kenangan mengiris-iris 2004 Puisi tersebut memperlihatkan suasana tumbuh-tumbuhan yang ada di kebun. Tanda-tanda tentang alam hanyalah suasana. Ada maksud yang tersembunyi melalui gambaran kisah tersebut, yakni tentang cinta. Cinta seperti tumbuhan yang kadang tumbuh dengan jerih payah, namun harus rela hilang ketika si Pemilik akan mengambilnya. Hakikat hubungan manusia dengan manusia dijalin melalui kisah yang tidak mudah, namun harus ikhlas ketika pada akhirnya harus berpisah juga. Pada buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku , cinta menjadi tema sentral dengan metafora yang ketat dalam struktur bahasa yang ia ciptakan. Hakikat puisi adalah metafora yang mampu mengubah realitas menjadi realitas baru. Ada konstruksi yang dimainkan oleh penyair melalui kekuatan bahasa. Pembaca akan melihat bahasa sebagai keindahan dan kebenaran dengan mampu membentuk sebagai wacana. Kepenyairan Abdul Wachid B.S. yang telah dimulai pada pertengahan 80-an telah cukup membuktikan eksistensi commit to user 160 dalam sastra Indonesia untuk diakui. Oleh karena itu, ketika pada awal tahun 2000-an, dia memproduksi puisi-puisi cinta telah diterima oleh publik sebagai keindahan dan kebenaran. Hal ini ditunjang dengan kekuatan bahasa yang matang sebagai titik tumpu puisi untuk membentuk beraneka tafsiran. Puisi Abdul Wachid B.S. justru terlahir dalam tahun 2000-an terasa mengikuti mainstream “pasar”. Penyair hanya mengeksplorasi metafora sebagai poros kekuatan puisi, tanpa mengindahkan persoalan- persoalan yang “luput”. Eksplorasi metafora digunakan untuk memiliki otoritas atas karakter dan subjektivitas imajinasi. Hal itu dapat dilihat pada s ajak “SMS Semu Merah” 2004:6 berikut ini. SMS Semu Merah Jika kau henti pikirkanku Nanti puisi tak mau lagi dituliskan Maka berkali sms-lah aku Lantaran itu kau aku berdekatan Jika nanti henti sms kamu Nanti pulsaku tak habis, sayang Maka kuhabis-habiskan kata Lantaran itu kau aku menjadi puisi 2003 Kecendrungan itu memunculkan lirisisme dan ekspresionisme cinta. Sebuah ungkapan tersirat yang dipahami secara pragmatis atas keinginan penyair dari puisinya dalam tradisi lirisisme dan ekspresionisme. Kenyataan ini menjadikan puisi lupa kepada bundanya; “… kehidupanmereka yang alot dan berat ”, yang mana puisi hanyalah menjadi alat ungkap dari penyair untuk menemukan jati commit to user 161 dirinya. Penyair telah terhanyut oleh legitimasi eksistensi “ke-Aku-annya”. Sebuah proses kreatif sia-sia karena diburu oleh angin. Padahal, Rendra dengan seksama mengilustrasikan realitas yang tampaknya sepele, namun mengandung dinamika yang problematis. Konsepsi itu dapat dilihat pada kekayaan pengalaman dan gagasan yang mewujud dalam beberapa bukunya, semisal Potret Pembangunan, Orang-orang Rangkas Bitung . Rendra sangat sadar akan keeadaan masyarakat Indonesia yang tidak semuanya terpelajar dan lebih senang dengan eforia. Oleh karena itu, selain puisi itu ditulis, Rendra juga membacakan puisinya di tengah lingkaran orang. Hal itu sebagai kesadaran bahwa masyarakat Indonesia tak sepenuhnya menguasai budaya tulis, tatapi lebih berkecendrungan memiliki budaya lisan. Secara prosesnya, kepekaan —menangkap fonemena melalui intuisi— menjadi hal penting, sekaligus sebagai tenaga mistik untuk memunculkan sense dan aura. Di dalam kepekaan memahami peristiwa, daya naluri dan perasaan mewujudkan gerakan-gerakan yang membimbing untuk menemukan pengetahuan. Karena itu, puisi tidak hanya berisi ekspresi, namun kumpulan benang pengetahuan kejiwaan mengenai realitas atas peristiwa-peristiwa yang mungkin terlupakan. Benang-benang itu menjadi pakaian yang unik dan menarik, yang menjadi wacana baru pesan. Dalam pandangan Roland Barthes 2006, wacana baru pesan dapat menjadi mitos. Ideologis atau tidak ideologis sesungguhnya puisi adalah persoalan kehidupan, tetapi acuannya bukanlah empirisme murni, melainkan berporos pada humanisme sehingga puisi mampu melampaui pengalaman panca indra dengan commit to user 162 adanya konsepsi imajinasi di dalamnya. Seyogianya, puisi memiliki kedekatan dengan realita, di samping juga memiliki aktualitas dan relevansi bagi peradaban sehingga eksistensinya terus dibutuhkan sebagai bagian dari ilmu humaniora. Karenanya, tingkat pendewasaan dalam diksi, metafora, dan simbol untuk mengalirkan gagasan menjadi terbendung. Sebuah prespektif yang baik selalu diimbangi dengan kekayaan pengetahuan. Dalam kaitan ini, wacana bermukim dan menempatkan kebenaran-kebenaran dengan membebaskan metafisika beserta batasan-batasannya. Tata bahasa mengendalikan penafsiran dengan mendatangkan imajinasi tersendiri. Penciptaan puisi seperti itu didukung dengan simbol yang kuat mengacu ke beberapa referen. Metafora itu menjadikan dunia ini tampak lain di dalam bahasa dan bergetarlah perasaan. Hal itu bisa dilihat dalam sajak “Hujan Gemuruh di Tengah Malam” 2011:56-57 berikut ini. Hujan Gemuruh di Tengah Malam Hujan gemuruh di tengah malam Seperti beribu sayap malaikat mendarat Langit sebermula benderang ditaburi bintang Berubah pekat, dan kini dicambuki kilat Maka terkagetlah orang-orang bercinta Yang dosa, dan yang mensyukuri surga Maka makin dinginlah orang-orang trotoar Yang lapar, dan dahaga dari doa Hujan gemuruh di tengah malam Daun-daun gemerincing, pohon-pohon berderakan Seperti peperangan, malaikat maut mengancam Mimpi-mimpi buruk dinganunkan oleh kenyataan Dia yang kemarin memuja tanya, tak sempat lagi bertanya Ini Tuhan yang melahirkan ketakutan? Ataukah ketakutan yang melahirkan Tuhan? commit to user 163 Hujan gemuruh di tengah malam Dia yang gentayangan di jalan malam Tergoda kepada megah perempuan Tetapi senantiasa berujung pada ketakberdayaan Dan Tuhan? Selalu hadir tepat saat dibutuhkan Bahkan si Pendosa yang ngrasa pongah Ini gagah berjalan di jalan-jalan yang salah Dia terima, menjelma jadi kurcai di telapak tangan-Nya Diberinya kehangatan, lalu dia pulang pada ketentraman Tuhan, Engkau hadir bahkan tanpa diminta Menguati hati orang-orang yang terjatuh Oleh derita dan nestapa Oleh baying-bayang yang mereka ciptakan sendiri Setelah capek memanjakan kelamin Mereka takut pada ketakutannya sendiri Setelah kenyang menikmati buah-buah dosa Kini aku pun menjadi ngeri pada duri-duri kematian Hujan gemuruh di tengah malam Hujan menyebar racun ke segenap penjuru malam Dan sudut kamar, aku diteror oleh dosa-dosa masa silam “Tuhan, aku kalut, tak berdaya, aku butuh pertolongan” Yogyakarta, 31 Desember 2008 Metafora yang tersusun dalam sajak tersebut seperti sajak-sajak yang termuat dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih . Melalui bahasa yang tidak terduga, puisi mengalirkan suara kecil ke rongga tubuh untuk menggetarkan bulu-bulu halus. Dengan gerak lambat, puisi menampilkan komposisi naturalistik atas fonemena yang dialami oleh penyair dan diucapkan dengan bahasa singkat dan padat, serta dalam bentuk perumpamaan mistal. Fonemena tersebut terjadi dengan telah tersublimasi di dalam ruang penyair yang hadir bersama imajinasi sehingga melahirkan wajah metafora dengan tidak terduga. Sebuah metafora “aneh” datang dari bayangan. commit to user 164 Adanya metafora di dalam puisi justru akan membuka emosi pembaca dengan tergugahnya perasaanmelalui citra bahasa yang indah. Mislanya, di pipimu mekar mawar merah . Teks itu memang membingungkan, tetapi membuat orang yang mendengar akan tergugah perasaanya dan sekaligus merasakan senang karena tersanjung oleh citra bahasa, bahkan ada kemungkinan lain yang dapat ditemukan oleh pendengar. Dalam keadaan itu, pendengar juga pembaca akan menemukan berbagai makna dari sebuah puisi, di mana pada akhirnya teks tidak hanya terbatas dalam satu peristiwa, tetapi melampaui ruang dan waktu. Matrik Strategi Wacana Strategi Wacana Komponen Wacana yang Terungkap Politik Metonimi Ideologi, artikulasi, representasi Satu peristiwa, tapi melampaui ruang dan waktu Politik Metafora Ideologi, sudut pandang, analogis Beraneka peristiwa dengan ruang dan waktu yang berbeda dalam elemen ketakterhinggan Dari matrik tersebut, kerja dari imajinasi penyair dalam rangka menyimulasikan realitas melalui bahasa ia gunakan untuk menjelaskan. Bahasa itu bukan cerminan, tapi perwakilan yang dapat ditandai dalam susunan alam dan budayanya. Pernyataan ‗hanya ada satu kata: lawan” akan membawa pada kondisi ketertekanan dan penindasan sehingga perlu adanya perlawanan. Teks tersebut puisi dengan nada tuturan. Itu akan merujuk pada konteksseperti juga pada sajak , ‗Kalian : pun‘ merupakan wacana untuk menyajikan pandangan antitesis, sekaligus juga sebagai refleksi. Untuk menciptakan teks-teks yang padat dan singkat semacam itu membutuhkan daya imajinasi agar bisa menyiratkan. commit to user 165 Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami oleh penyair sebagai ide yang bergerak.

4.3.2 Rekonstruksi Wacana Puisi