commit to user 148
membongkar realitas. Kisah menjadi representasi yang berusaha untuk mengungkap melalui pengetahuan yang tidak terlihat oleh umum.
Metonimi tentang, kota, trotoar, dan pasar begitu berwarna dalam buku
Rumah Cahaya
dan
Tunjammu Kekasih
. Dua buku tersebut memang ditulis dalam rezim Orde Baru dengan tekanan kekuasaan modern melalui pembaharuan masa
depan lewat pembangunan. Praktik-praktik sosial yang menjadi keseharian dituturkan dalam posisi dan pola yang berbeda dari struktur birokratik. Realitas
yang bervariasi menjadikan representasi kesengsaraan tampak kental sebagai wacana yang memberikan pengetahuan. Ketidakstabilan kondisi sosial menjadi
suara yang dilantangkan untuk bergema melalui puisi. Semua itu disampikan dalam komunikasi tidak langsung untuk menjadikan makna berpandangan dan
penuh dengan inovasi.
4.3.1.2. Politik Metafora
Bahasa, dalam wilayah ini adalah tulisan, bersifat dialektis, dibakukan dan memiliki metafor dengan elemen ketidakpastian pada sistem komunikasi. Oleh
karenanya, memahami metafora berdasarkan keindahan-keindahan saja menjadi sangat keliru. Di dalam metafora, ada “pengetahuan agung” yang mengungkap
rahasia dalam gerak intuitif, yang membimbing manusia untuk menemukan pengetahuan pada wilayah imajinasi. Metafora bergerak dalam ranah keindahan
untuk menjangkau objek berdasarkan pengamatan indrawi, maupun nurani dalam perasaan-perasaan yang mengalir dari pengalaman rohani maupun konsepsi
pengetahuan yang lebih luas dengan adanya jangkauan intelektualitas penyair.
commit to user 149
Menurut Derrida dalam Sarup 2003:78 , “kajian metafora menjadi penting
seiring dengan semakin luasnya kesadaran bahwa bahasa tidak sekadar mencerminkan, tapi juga membentuk realitas.” Bahasa di dalam puisi tidak hanya
sekadar keindahan atas cerminan, tetapi membentuk dunia yang baru melalui retorika dan imajinasi yang persepsionalistis. Adapun untuk memahami puisi
berdasarkan metafora, perlu untuk membuang paradigma terhadap pemaknaan terdahulu dari teks tersebut. Pengetahuan bahasa yang hadirlah yang akan
membimbing untuk menemukan esensi yang terkandung di dalam teks. Teks menyajikan jejak akan selalu membimbing ketertarikan terhadap realitas untuk
melihat artikulasi yang sebagai representasi. Paradigma ini sebagai konsekuensi untuk memulai melihat adanya bentuk, isi, dan efek dari proses sublimitas teks
dalam variasi bahasa yang hidup. Metafora dalam puisi Abdul Wachid B.S. berusaha untuk menjangkau
wilayah kritis, dengan upaya melepaskan justifikasi dan legitimasi untuk memunculkan eksistensi.
Jika hari merapat ke pagi Adzan subuh hanya luruh
Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu Kini matahari hanya tahu bahasa debu
Di dalam teks tersebut dapat menjelma sebagai deskripsi suasana, namun bersifat dialektis dengan telah meloncat dari unsur semantik. Metafora bekerja
dengan menyingkirkan persepsi, juga telah melampui batas-batas yang ditentukan dalam keseharian. Yang dibutuhkan adalah “pengenalan” kepada sebuah dunia
untuk masuk pada sebuah regionalisasi. Deksripsi suasana mirip sebuah “gambar,” namun ia berpretensi sebagai “petunjuk” dalam menuju kepada
commit to user 150
petunjuk lainnya sehingga bergulir terus-menerus. Metafora ruang mengambil bagian paling besar dalam korelasi antara “pagi”, “subuh”, “embun” dan
“matahari” sebelum menuju pada simbolitas yang sesungguhnya; dalam kumpulan petunjuk.
Metarofa dapat memperlihatkan teks mampu yang berhubungan dengan realitas dalam pengaruh kekuasaan bahasa penyair. Dalam metafora, topik-topik
pembicarakan akan diarahkan pada seperangkat bahasa yang padu, nilai dan konsep yang ada di dalam puisi sebagai komplek
sitas. Sajak berjudul “Orang Sunyi” 2003a:11 berikut ini memperlihatkan adanya kesepian di tengah kota
yang ditulis melalui metafora. aku hanya mengikut jalanan waktu
terseret, lalu hanyut dipukau luka masa silam
lewat belantara kota diserbu rasa sepi dan asing
terlempar sebagai rontokan daun di musim penghabisan
Dalam sajak tersebut, ada gambaran bahwa [aku] berjalan seakan berada
dalam sungai. Ada kata seperti di tengah-tengah:aku
seperti
hanya mengikut jalanan waktu. Proses tersebut masih dalam bahasa, namun dalam tataran filosofis,
puisi tersebut memetaforakan adanya padangan hidup yang “mengalir saja mengikuti arus” untuk hidup yang masih belum bisa diprediksi. Hidup mengikuti
arus seperti berada dalam sungai, namun arus yang diikuti adalah arus waktu yang mengartikan adanya takdir. Arus yang harus dijalani berada antara masa lalu dan
sekarang sehingga banyak menjadikan orang terasing oleh kota dengan berbagai
commit to user 151
macam perubahan, yakni dengan terlempar seperti “rontokan daun” artinya seperti sampah = tidak berguna.
Melalui metafora, pembaca akan bisa membayangkan keadaan yang tak lazim, kemudian akan berpikir bahwa:
“tentu ada alasan bagian itu penting dan masuk di dalam puisi, di mana setiap bagian di dalam puisi memiliki posisi yang
berharga, dan jelas bukan hanya sebatas ambiguitas semata.” Goenawan
Mohamad telah jauh mengembangkan ‗susunan suasana‘ untuk menandai perlukisan keadaan yang sangat detail dalam
Parikesit.
Orang dengan mudah akan membayangkan keadaan-keadaan sehingga perasaan yang terbimbing bukan
pikiran yang akan berkata mengenai puisi itu sendiri. Hal ini karena puisi tidak dapat berdiri tanpa ada realitas melalui dialektika dengan keperibadian. Suasana di
dalam puisi bukan keindahan, namun dapat hadir sebagai metafora untuk menggapai nilai. Metafora mencipta keindahan di dalam puisi yang berbeda
dengan keindahan dalam kehidupan. Keindahan di dalam puisi itu diciptakan oleh penyair untuk membuat terharu Mohamad, 1993:78-79.
Abdul Wachid B.S. memainkan metafora yang cukup rumit dalam buku
Rumah Cahaya
dan
Tunjammu Kekasih.
A. Mustofa Bisri Gus Mus mengatakan: Puisi yang baik adalah puisi yang sulit dipahami. Jika anda termasuk
orang kebanyakan, jangan harap bisa mengerti puisi. Puisi yang gampang dipahami seperti koran atau pidato bukanlah sebenar puisi. Demikianlah
anggapan atau olok-olok atau keluhan yang sering kita dengar. Atau barangkali memang itulah yang sebenarnya. Karenanya puisi, dibandingkan
saudaranya, prosa, menjadi “kurang kaku” di masyarakat yang tentu saja terdiri atas orang-orang kebanyakan melulu.
Pernyataan itu berusaha menyindir bahwa Abdul Wachid B.S. memiliki metafora yang cukup ketat sehingga puisi menjadi rumit untuk dipahami. Simbol-
commit to user 152
simbol yang terbentuk begitu liar muncul dengan petualangan imajinasinya. Misalnya saja pada sajak “Rumah di Atas Batu Tua” 2003a:16 berikut ini.
Sepertinya kita mesti membangun rumah di atas batu. Seperti berhala-berhala yang
ditegakkan dalam hati manusia kita Dan kita pun telah membiakkan
dalam berbagai rupa dan warna Seperti asesori atau
make-up-
mu yang riuh. Hingga ruang-ruang
kerja dan mimpi-mimpi.
Dalam teks itu, tampak susunan yang sangat rumit untuk melihat perbandingan antara rumah dan berhala. Perbandingan ini harus masuk pada
berhala seperti rumah dengan kadar bahwa rumah itu bukan yang sesungguhnya. Rumah menjadi simbol untuk keadaan diri yang membutuhkan tempat nyaman
karena begitu berupa dan berwarna pesona dunia sehingga membutuhkan tempat yang khusus. Keadaan sosial yang menjadi urban menjadikan orang mulai lalai
dengan sistem nilai dari dasar dan yang dipentingkan hanya materi di “ruang kerja” beserta harapan-harapan untuk sukses.
Pemakaian bentuk analogi ini tentunya menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dengan murid agar ilmu pengetahuan lebih aplikatif kontekstual. Tanpa itu
semua, pembelajaran menjadi monoton, tidak berkembang, dan terasa sangat asing. Penjelasan-penjelasan itu menjadi serangkaian metafora dikarenakan ada
perbedaan dimensi. Sementara itu, penyair dalam memproyeksikan pengalaman melalui bahasa terbatas pada bahasa imajinal yang personal. Wilayah bahasa yang
dimiliki oleh penyair menjadi sisi subjektif. Wilayah yang mencakup citra estetik
style
dalam mengungkapkan gagasan atau ide, untuk itu dapat dilihat pada sajak berjudul “Rumah Cahaya” 2003a:58 berikut ini.
commit to user 153
Rumah Cahaya kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit
mendekap manusiaku yang selalu pergi di dalamnya tergaung adzan kefakiran
apakah pasar dunia telah usai di sini? yang batas tawa manusiamu; dan sunyi yang nyanyi
yang tegakkan sujud airmata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti
sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan
ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu sibuk
yang di kotanya menyalalah konser perempuan, menari-nari
dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar
bunga yang terselip payudara telah hilang wangi kasihsayang
aih surga sungguh menjelma di hadapan dalam fantasia kota malam, begitu temeram
begitu megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir?
orang datang orang pergi tanpa manusia
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit
di tengah pasar mengadzankan manusiamu
ya, manusiaku, sampai ke sebelah barat benakdunia manusia kita
1992 Teks tersebut mampu menjadi mitos. Bentuk mitos di dalam puisi tampak
dengan adanya perumpamaan sebagai metafora yang hadir menjadi ambiguitas. Metafora itu bukanlah bimbingan yang membingungkan, namun bentuk
perumpamaan yang difungsikan untuk menjelaskan realitas di alam imajinasi.
commit to user 154
Sebagai contoh, seorang guru yang menerangkan pelajaran kepada muridnya. Ia mengilustrasikan ilmu pengetahun untuk ditransfer ke murid melalui bentuk
analogi. Dengan demikian, suatu titik tengah yang dapat dipetik dari uraian tersebut bahwa puisi yang melalui imajinasi mengandung pengetahuan mengenai
berbagai realitas yang diproyeksikan. Pengaruh puisi dapat terjalin melalui nuansa keindahan yang memunculkan keberkesanan dan ketakjuban. Pesona alam di
dalam puisi bersifat historis hadir sebagai metafor dan personifikasi. Di sinilah, imajinasi menyusun metafora dan pengatahuan dapat berubah menjadi mitos.
Permainan metafora yang demikian tampak sangat rumit. Dengan nada humor, A. Mustofa Bisri dalam pengantar
Rumah Cahaya
mengatakan puisi yang baik sebagai puisi yang sulit dipahami yang sering menjadi keluhan. Puisi
dengan lambang-lambang tertentu berdasarkan konvensi subjektivitas penyair mengharuskan pemaknaan dilakukan dengan bolak-balik untuk keluar masuk
antara teks, imajinasi, kenyataan, dan sudut pandang. Ada yang hilang saat senja
mencat pelangi kanvas langit:Sebentuk kata Digelombangkan hujan yang memberkati pohon-pohon
jalan raya, dan rerumputan kering mencium bumi
Sajak berjudul “Yang Hilang Saat Senja” 2003a:47 pada bait pertama tersebut tampak begit rumit dan susah membongkar makna yang disusun. Teks
lebih menampilkan imajinasi dengan sudut pandang yang subjektif. Makna belum tertemukan, meski kenyataan begitu tampak oleh bahasa. Teks tersebut menjadi
dapat dipahami dengan bait kedua berikut ini. Ada yang hilang, “tapi kita di mana?” tanyamu
Jejaknya nyelinap antara orang bergantungan di buskota. Mamam pun berhias lampu warna-warni
commit to user 155
Menandai kota. Menandai dunia yang kian renta. Kerumitan yang ada pada bait pertama menjadi jelas dengan bait kedua.
Susunan peristiwa mengenai keterasingan itu ditampilkan dalam keadaan yang hilang menjelang senja. Kata senja itu sendiri tidak hanya sebagai waktu setelah
sore, tapi sebelum magrib. Senja lebih merujuk pada gambaran dunia yang mulai berakhir, dengan pretensi kata tersebut sebagai simbol yang sureal. Sudut pandang
itu tertuju pada Islam, yang memberikan keterangan tentang ciri-ciri zaman yang berubah adalah menuju keberakhiran. Hal itu dibandingkan dengan senja dengan
tatanan nilai yang hilang di tengah perkotaan. Abdul Wachid B.S. tak hanya itu, ia juga memiliki komposisi sureal dengan
memainkan metafora dengan citraan dan dengan refleksi pemikiran: ….Kaki
-kaki kecil itu
Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam Hari jauh dari malam,
terasa kelam
. Wacana mengenai “Kaki-kaki kecil” bersifat metonimis yang pada akhirnya simbolis ketika berkorelasi dengan “Tanpa alas meluncur”, yang
kemudian ditutup deng an citraan “Hari jauh dari malam,” bukan suasana karena
digunakan untuk menandai sekaligus menyimbolkan. Ada penemuan fisik yang bergerak seperti halnya agen untuk memainkan wacana menuju kebenaran,
meskipun bernada pseudo-realis. Secara utuh, sajak “Kaki-kaki Kecil Itu
Meluncur” menggunakan sarana retorika dengan gaya sureal. Kesan hiperbolik banyak muncul seperti “darah tambah membasah di
haedline
” atau “kata-kata hujatan seperti hujan” dan banyak lainnya, yang akan menghantarkan pesan dalam
ketakjuban:dalam hiper-realitas. Kombinasi artikulasi akan memusatkan perhatian pada konkretasi susunan sosial yang mudah dipahami seperti:bocah yang
commit to user 156
memainkan musik jalanan, seorang perempuan yang berpupur gelisah di trotoar, para politisi yang tak henti dari teriakan, sampai penegasan pada sebuah kota yang
diserang perang. Penanda itu muncul sebagai kompleksitas dari wacana sosial yang beredar dalam perkembangan modern. Dengan demikian, sarana retorika
dengan gaya sureal masih menjadi komunikasi kultural dalam produksi dan pertukaran makna dalam keyakinan masyarakat.
Abdul Wachid B.S. dalam sajak “Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur” tidak sedang menyampaikan informasi, ia bekerja dalam ‗arena yang bebas‘ untuk
menandai struktur, relasi dan institusi sosial. Tidak ada ajakan yang dogmatis, namun ia berusaha untuk memberikan pengetahuan dalam dampak modern, yang
sesunguhnya di situlah sebuah wacana sedang beroprasi. Penyair adalah salah satu intelektualitas, di mana ia akan memainkan tanda-tanda sosial menjadi teks pada
setiap susunan kata. Abdul Wachid B.S. sendiri menyadari bahwa dekade 1980- 1990-an merebak citraan yang mengacu pada masyarakat kota, seperti yang
dituliskan oleh Afrizal Malna, Soni Farid Maulana atau Ahmad Syubbanuddin Alwy, seperti yang pernah ditulisnya di dalam buku
Religiositas Alam
hal. 170- 171 untuk membedakan kekhasan alam dari D. Zawawi Imron yang tak tereduksi
oleh apapun. Metafora selalu berusaha untuk memakai sudut pandang dengan warna lain
untuk bisa memosisikan teks itu lebih bervariatif sehingga pembacaan bisa lebih beragam, sebagaimana hakikat karya sastra yang selalu
multi
-
interpretable
dan kaya makna. Dalam wilayah ini, metafora peka terhadap politisasi yang menerpa
diri pembaca sebelum berkomentar, atau jangan-jangan justru pembaca itu sedang
commit to user 157
masuk dalam wilayah politisi tertentu dalam memahami teks. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora cinta yang berada di antara:cinta sufi dan manusia. Cinta
antara manusia dengan manusia dilukiskan dengan idiom-idiom sufi, yang tentu memainkan kebenaran dalam makna yang berantai. Hal itu dapat dilihat pada
s ajak “Ijinkan Aku Mencintaimu” 2002:124 berikut ini.
Ijinkan Aku Mencintaimu waktu batu
kaulayangkan wajahku terasa benar
rindu berpijar waktu batu
kaulayangkan wajahku semua arah
cinta berserah betapa rajam
ke sukma menghujam betapa ganas
hasrat berbalas waktu batu
kaulayangkan wajahku ijinkan aku
mencintaimu Dalam sajak tersebut, cinta menjadi sangat
multi-interpretable
. Pemaknaan yang berlebih terhadap puisi persebut akan menempatkan pada cinta kepada
Tuhan seperti yang dialami oleh para sufi. Abdul Wachid B.S. memainkan cinta dengan objek yang menyebar dan bergerak melalui meafora. Bayangan imajiner
lebih memungkinkan cinta tampak begitu sakral dan berada dalam wilayah batin, namun seseungguhnya hal itu dapat dijangkau oleh kekuatan rasa dalam melihat
cinta.
commit to user 158
Persoalan cinta dalam proses kreatif seorang penyair terkait pada obsesifitas dan lingkup sosial yang melatarbelakangi. Sebagaimana yang sudah diceritakan
dalam proses kreatif bahwa Abdul Wachid B.S. memulai membaca puisi karena untuk membalas surat cinta. Ada pandangan indah dan keterkesanan terhadap
cinta dan puisi yang menjadikan permainan imajiner begitu kuat. Hal itu dilakukan dengan bahasa yang telah dikuasai sehingga realitas menjadi terbentuk
lagi di dalam teks. Proses penciptaan sajak itu sendiri dibentuk dengan kondisi sosial yang memungkinkan penyair dapat memainkan kebenaran dalam
kekeliruan. Kondisi sosiologis ini tentunya ada relasi-relasi sosial di antara penyair itu
sendiri untuk membentuk idealitas dengan menyampaikan wacana cinta, perputaran politik pupuler. Wilayah ideologis yang terkait dengan politik metafora
memungkinkan bahasa dapat berkembang dengan baik. Ada banyak kemungkinan yang dapat ditelusuri jejaknya sebagai suatu historis dalam perpuisian Indonesia,
yang senyatanya mengalami perubahan dari rezim Orde Baru ke pasca-reformasi. Segala praktik sosial itu, berada dalam wilayah tekanan, termasuk kegiatan
menulis puisi, dan wilayah distribusinya. Keterlingkupan ruang produksi dari sebuah kreativitas ini masuk dalam satu “arena” yang sama, yang mengondisikan
penyair untuk menciptakan puisi cinta dalam metafora yang ketat. Abdul Wachid B.S. sendiri juga menulis puisi berjudul “Metafora I”
2004:55 tentang cinta yang dianalogikan dengan pohon, seperti yang tertera beriku ini.
commit to user 159
Metafora I Cinta itu telah tumbuh
Akarnya mengakar ke dalaman lubuk hati Tanahnya keras berlapis-lapis
Menembusnya begitu linggis Cinta itu telah tumbuh
Pohonnya merindangi bagi burung-burung Begitu tamparan angin mau merapuh
Akarnya mengokohkan, sambung-menyambung Tapi begitu pemilik kebun mau mencabutnya
Akar-akar itu terasa mengelupas di lubuk hati Ada rasa sakit berlapis-lapis
Ada beribu kenangan mengiris-iris
2004
Puisi tersebut memperlihatkan suasana tumbuh-tumbuhan yang ada di kebun. Tanda-tanda tentang alam hanyalah suasana. Ada maksud yang
tersembunyi melalui gambaran kisah tersebut, yakni tentang cinta. Cinta seperti tumbuhan yang kadang tumbuh dengan jerih payah, namun harus rela hilang
ketika si Pemilik akan mengambilnya. Hakikat hubungan manusia dengan manusia dijalin melalui kisah yang tidak mudah, namun harus ikhlas ketika pada
akhirnya harus berpisah juga. Pada buku puisi
Ijinkan Aku Mencintaimu
dan
Beribu Rindu Kekasihku
, cinta menjadi tema sentral dengan metafora yang ketat dalam struktur bahasa yang
ia ciptakan. Hakikat puisi adalah metafora yang mampu mengubah realitas menjadi realitas baru. Ada konstruksi yang dimainkan oleh penyair melalui
kekuatan bahasa. Pembaca akan melihat bahasa sebagai keindahan dan kebenaran dengan mampu membentuk sebagai wacana. Kepenyairan Abdul Wachid B.S.
yang telah dimulai pada pertengahan 80-an telah cukup membuktikan eksistensi
commit to user 160
dalam sastra Indonesia untuk diakui. Oleh karena itu, ketika pada awal tahun 2000-an, dia memproduksi puisi-puisi cinta telah diterima oleh publik sebagai
keindahan dan kebenaran. Hal ini ditunjang dengan kekuatan bahasa yang matang sebagai titik tumpu puisi untuk membentuk beraneka tafsiran.
Puisi Abdul Wachid B.S. justru terlahir dalam tahun 2000-an terasa mengikuti mainstream “pasar”. Penyair hanya mengeksplorasi metafora sebagai
poros kekuatan puisi, tanpa mengindahkan persoalan- persoalan yang “luput”.
Eksplorasi metafora digunakan untuk memiliki otoritas atas karakter dan subjektivitas imajinasi. Hal itu dapat dilihat pada s
ajak “SMS Semu Merah” 2004:6 berikut ini.
SMS Semu Merah Jika kau henti pikirkanku
Nanti puisi tak mau lagi dituliskan Maka berkali sms-lah aku
Lantaran itu kau aku berdekatan Jika nanti henti sms kamu
Nanti pulsaku tak habis, sayang Maka kuhabis-habiskan kata
Lantaran itu kau aku menjadi puisi
2003
Kecendrungan itu memunculkan lirisisme dan ekspresionisme cinta. Sebuah
ungkapan tersirat yang dipahami secara pragmatis atas keinginan penyair dari puisinya dalam tradisi lirisisme dan ekspresionisme. Kenyataan ini menjadikan
puisi lupa kepada bundanya; “…
kehidupanmereka yang alot dan berat
”, yang mana puisi hanyalah menjadi alat ungkap dari penyair untuk menemukan jati
commit to user 161
dirinya. Penyair telah terhanyut oleh legitimasi eksistensi “ke-Aku-annya”.
Sebuah proses kreatif sia-sia karena diburu oleh angin. Padahal, Rendra dengan seksama mengilustrasikan realitas yang tampaknya
sepele, namun mengandung dinamika yang problematis. Konsepsi itu dapat dilihat pada kekayaan pengalaman dan gagasan yang mewujud dalam beberapa bukunya,
semisal
Potret Pembangunan, Orang-orang Rangkas Bitung
. Rendra sangat sadar akan keeadaan masyarakat Indonesia yang tidak semuanya terpelajar dan lebih
senang dengan eforia. Oleh karena itu, selain puisi itu ditulis, Rendra juga membacakan puisinya di tengah lingkaran orang. Hal itu sebagai kesadaran bahwa
masyarakat Indonesia tak sepenuhnya menguasai budaya tulis, tatapi lebih berkecendrungan memiliki budaya lisan.
Secara prosesnya, kepekaan —menangkap fonemena melalui intuisi—
menjadi hal penting, sekaligus sebagai tenaga mistik untuk memunculkan sense dan aura. Di dalam kepekaan memahami peristiwa, daya naluri dan perasaan
mewujudkan gerakan-gerakan yang membimbing untuk menemukan pengetahuan. Karena itu, puisi tidak hanya berisi ekspresi, namun kumpulan benang
pengetahuan kejiwaan mengenai realitas atas peristiwa-peristiwa yang mungkin terlupakan. Benang-benang itu menjadi pakaian yang unik dan menarik, yang
menjadi wacana baru pesan. Dalam pandangan Roland Barthes 2006, wacana baru pesan dapat menjadi mitos.
Ideologis atau tidak ideologis sesungguhnya puisi adalah persoalan kehidupan, tetapi acuannya bukanlah empirisme murni, melainkan berporos pada
humanisme sehingga puisi mampu melampaui pengalaman panca indra dengan
commit to user 162
adanya konsepsi imajinasi di dalamnya. Seyogianya, puisi memiliki kedekatan dengan realita, di samping juga memiliki aktualitas dan relevansi bagi peradaban
sehingga eksistensinya terus dibutuhkan sebagai bagian dari ilmu humaniora. Karenanya, tingkat pendewasaan dalam diksi, metafora, dan simbol untuk
mengalirkan gagasan menjadi terbendung. Sebuah prespektif yang baik selalu diimbangi dengan kekayaan pengetahuan. Dalam kaitan ini, wacana bermukim
dan menempatkan kebenaran-kebenaran dengan membebaskan metafisika beserta batasan-batasannya. Tata bahasa mengendalikan penafsiran dengan mendatangkan
imajinasi tersendiri. Penciptaan puisi seperti itu didukung dengan simbol yang kuat mengacu ke beberapa referen.
Metafora itu menjadikan dunia ini tampak lain di dalam bahasa dan bergetarlah perasaan. Hal itu bisa dilihat dalam sajak
“Hujan Gemuruh di Tengah Malam” 2011:56-57 berikut ini.
Hujan Gemuruh di Tengah Malam Hujan gemuruh di tengah malam
Seperti beribu sayap malaikat mendarat Langit sebermula benderang ditaburi bintang
Berubah pekat, dan kini dicambuki kilat Maka terkagetlah orang-orang bercinta
Yang dosa, dan yang mensyukuri surga Maka makin dinginlah orang-orang trotoar
Yang lapar, dan dahaga dari doa Hujan gemuruh di tengah malam
Daun-daun gemerincing, pohon-pohon berderakan Seperti peperangan, malaikat maut mengancam
Mimpi-mimpi buruk dinganunkan oleh kenyataan Dia yang kemarin memuja tanya, tak sempat lagi bertanya
Ini Tuhan yang melahirkan ketakutan? Ataukah ketakutan yang melahirkan Tuhan?
commit to user 163
Hujan gemuruh di tengah malam Dia yang gentayangan di jalan malam
Tergoda kepada megah perempuan Tetapi senantiasa berujung pada ketakberdayaan
Dan Tuhan? Selalu hadir tepat saat dibutuhkan Bahkan si Pendosa yang ngrasa pongah
Ini gagah berjalan di jalan-jalan yang salah Dia terima, menjelma jadi kurcai di telapak tangan-Nya
Diberinya kehangatan, lalu dia pulang pada ketentraman Tuhan, Engkau hadir bahkan tanpa diminta
Menguati hati orang-orang yang terjatuh Oleh derita dan nestapa
Oleh baying-bayang yang mereka ciptakan sendiri Setelah capek memanjakan kelamin
Mereka takut pada ketakutannya sendiri Setelah kenyang menikmati buah-buah dosa
Kini aku pun menjadi ngeri pada duri-duri kematian Hujan gemuruh di tengah malam
Hujan menyebar racun ke segenap penjuru malam Dan sudut kamar, aku diteror oleh dosa-dosa masa silam
“Tuhan, aku kalut, tak berdaya, aku butuh pertolongan”
Yogyakarta, 31 Desember 2008
Metafora yang tersusun dalam sajak tersebut seperti sajak-sajak yang
termuat dalam buku
Rumah Cahaya
dan
Tunjammu Kekasih
. Melalui bahasa yang tidak terduga, puisi mengalirkan suara kecil ke rongga tubuh untuk menggetarkan
bulu-bulu halus. Dengan gerak lambat, puisi menampilkan komposisi naturalistik atas fonemena yang dialami oleh penyair dan diucapkan dengan bahasa singkat
dan padat, serta dalam bentuk perumpamaan mistal. Fonemena tersebut terjadi dengan telah tersublimasi di dalam ruang penyair yang hadir bersama imajinasi
sehingga melahirkan wajah metafora dengan tidak terduga. Sebuah metafora “aneh” datang dari bayangan.
commit to user 164
Adanya metafora di dalam puisi justru akan membuka emosi pembaca dengan tergugahnya perasaanmelalui citra bahasa yang indah. Mislanya,
di pipimu mekar mawar merah
. Teks itu memang membingungkan, tetapi membuat orang yang mendengar akan tergugah perasaanya dan sekaligus merasakan senang
karena tersanjung oleh citra bahasa, bahkan ada kemungkinan lain yang dapat ditemukan oleh pendengar. Dalam keadaan itu, pendengar juga pembaca akan
menemukan berbagai makna dari sebuah puisi, di mana pada akhirnya teks tidak hanya terbatas dalam satu peristiwa, tetapi melampaui ruang dan waktu.
Matrik Strategi Wacana
Strategi Wacana
Komponen Wacana yang Terungkap
Politik Metonimi Ideologi, artikulasi,
representasi Satu peristiwa, tapi melampaui
ruang dan waktu Politik Metafora Ideologi, sudut pandang,
analogis Beraneka peristiwa dengan ruang
dan waktu yang berbeda dalam elemen ketakterhinggan
Dari matrik tersebut, kerja dari imajinasi penyair dalam rangka menyimulasikan realitas melalui bahasa ia gunakan untuk menjelaskan. Bahasa itu
bukan cerminan, tapi perwakilan yang dapat ditandai dalam susunan alam dan budayanya. Pernyataan ‗hanya ada satu kata: lawan” akan membawa pada
kondisi ketertekanan dan penindasan sehingga perlu adanya perlawanan. Teks tersebut puisi dengan nada tuturan. Itu akan merujuk pada konteksseperti juga
pada sajak , ‗Kalian : pun‘ merupakan wacana untuk menyajikan pandangan
antitesis, sekaligus juga sebagai refleksi. Untuk menciptakan teks-teks yang padat dan singkat semacam itu membutuhkan daya imajinasi agar bisa menyiratkan.
commit to user 165
Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami oleh penyair sebagai ide yang bergerak.
4.3.2 Rekonstruksi Wacana Puisi