Kritik Modern sebagai Pengetahuan

commit to user 173 masuk pada ruang kesadaran baru melalui bahasa dengan menampilkan bayangan- bayangan beberapa fenomena secara integral. Di Indonesia sendiri, hal itu muncul ketika era pembangunan menjadikan banyak industri berdiri, model perpuisian dengan citra dan suasana telah diawali oleh Goenawan Mohamad, yang terus mengalami evolusi hingga masa kini.

4.3.2.2. Kritik Modern sebagai Pengetahuan

Karya sastra tidak hanya mengungkap fenomena yang ada di dalam teks itu sendiri, melainkan relasinya dengan konteks sehingga, seperti yang dikatakan oleh Derrida dalam Fayadl, 2005:229 bahwa, “tidak ada yang di luar teks”. Karya sastra sebagai representasi realitas maksudnya adalah kumpulan penanda dari sosial budaya yang dikonstruksi ke dalam baca:menjadi realitas baru. Pandangan sosiologi sastra, yang memandang teks diciptakan oleh pengarang karena pengaruh dari dunia yang ada di sekelilingnya, maka sedemikian pesat perkembangan zaman, representasinya hadir pada teks sastra. Keadaan itu semua, harus dilakukan dengan kesadaran untuk memberlakukan karya sastra memiliki “otonomi” untuk mempertanyakan ideologi. Puisi sebagai salah satu genre sastra, yang menekankan pada bahasa untuk mendekonstruksi realitas sehingga menjadi realitas baru, juga tersusun atas penanda sosial-budaya. Namun, yang hadir di dalam puisi adalah sisi partikularitas dari sudut pandang penyair dalam menyikapi realitas. Melalui puisinya, ia menampilkan wacana berdasarkan kumpulan penanda —yang secara sengaja ataupun tidak sengaja —merupakan entitas. Penyair, sebagai manusia yang commit to user 174 terbiasa melatih kepekaan, berusaha untuk kritis dalam memandang dunia tradisi, modern, maupun berbagai perkembangannya melalui puisi-puisi sebagai teks. Struktur kesadaran sosial yang bertumpu pada rasio dengan berbagai kelemahan karena terlalu antroposentris berusaha untuk dikritisi oleh para penyair. Pandangan dari penyair yang mencoba bersikap tegas kepada realitas perlu dilihat sebagai tindakan sosiologis karena setiap puisi yang ditulisnya tidak hanya sebatas ekspresi, juga ruang komunikasi. Adanya pandangan-pandangan di dalam puisi merupakan wacana yang berpretensi melakukan komunikasi, di mana “bahasa yang digunakan tidaklah netral” sebagai “cerminan sosial”, tapi lebih struktur diskursif yang membentuk wacana. Puisi modern berada dalam fase terciptanya pola pikir masyarakat yang rasional untuk merespons setiap perubahan pada infrastruktur dan suprastruktur. Abdul Wachid B.S. 2005b: 57 telah melihat “sastra” baca:puisi. pen - “dalam konteks masyarakat tidak dapat lepas dari soal politik” sebab ia adalah kehidupan. Lanjutnya, bahwa “puisi memiliki kekuatan air” yang dengan keheningan mampu untuk masuk ke dalam struktur kesadaran. Setiap realitas sosial, menjadi penting bagi puisi dengan perubahan sosial. Perubahan-perubahan yang didasarkan pada “rasio” telah menciptakan kesenjangan yang teramat jauh sehingga banyak manusia menjadi korban dari teknologi. Pola pandang ini banyak tampil pada masyarakat yang dipandang secara kolektif untuk menerima perubahan pola pikir dari tradisional menuju modern dengan adanya teknologi yang dapat diterima oleh akal, dibandingkan percaya kepada hal-hal yang tidak tampak oleh indra. Perubahan ini terjadi dengan pesat semenjak Revolusi Industri menyebar ke commit to user 175 berbagai negara, dan mesin telah membentuk kerja dari manusia. Perubahan dari masyarakat yang mistis menuju rasional tidak hanya memberikan keuntungan, tetap juga memunculkan efek-efek, baik oleh manusia yang melakukan penyimpangan terhadap teknologi, maupun rancangan yang kurang matang pada teknologi itu sendiri sehingga dianggap tidak ramah lingkungan. Ketika seseorang tidak memiliki kemampuan rasional, maka dia hanya berada di arena komunikatif, yang diposisikan sebagai konsumen. Sulit untuk memberikan kategori perpuisian Abdul Wachid B.S. sepenuhnya merupakan abstraksi modern karena harus berpikir ulang mengenai dunia modern dalam kesusastraan Indonesia dalam medan wacana. Kendati, posisi modern itu sendiri bisa ditemukan di dalam puisi, tapi ruang sosiologis perlu dibuka untuk memasuki sisi yang lain. Selain itu, adanya pergeseran pada setiap wacana dan pola bahasa sebagai cara ungkap; bahasa bukan dipandang dari gaya bahasa, tapi bahasa sebagai cara ungkap adalah “bahasa sebagai pengetahuan.” Roland Barthes 2010:36 menggunakan bahasa untuk melihat kode-kode sebagai elemen, dan menurutnya “bahasa tidak sekadar ujaran yang terungkapkan atau tersampaikan, bahasa mesti membuka diri bagi ‗keserbamungkinan‘ pemaknaan.” Oleh karenanya, pemilihan bahasa sebagai cara ungkap merupakan pola pengetahuan. Derrida dalam Norris, 2008:69-70 menekankan bahasa pada tulisan, yakni “permainan bebas” dan ia adalah “sumber dari seluruh aktivitas kultur.” Yang muncul di dalam tulisan, adalah konstruksi bahasa, yang sesungguhnya ada aktivitas lain. Tulisan bukanlah kebenaran itu sendiri, ia harus dirujuk lebih jauh pada kultur atau keberadaan dari teks-teks lain. commit to user 176 Dalam membaca puisi Indonesia modern, juga perlu untuk melihat kultur dan keserbamungkinan dari posisi puisi —sebagai teks. Rachmat Djoko Pradobo 2002:3-5 menandai kesusastraan Indonesia modern pada tahun 1920, yang bersamaan dengan itu juga lahir kritik sastra tulis dengan pengaruh Barat, khususnya Belanda, yang masuk dalam pengajaran kesusastraan. Balai Poestaka telah berdiri sejak 1917, hanya karya-karya yang diterbitkan bersifat pragmatis dan mengurangi nilai kesastraanya. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh oleh Dr. Mikihiro Moriyama berjudul “Ketika Sastra Dicetak:Perbandingan Tradisi Tulis Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad ke- 19” terjemahan dari Nazan University, Faculty of Foreign Studies, menyebutkan bahwa munculnya keberaksaraan cetak dari Belanda telah menggoyahkan jagat kehidupan orang Sunda untuk memasukkan ideologi Belanda untuk secara perlahan-lahan diterima oleh masyarakat Sunda. Pada masa itu, ketika masuknya tradisi tulis ke Sunda, adalah kemungkinan bahwa bahasa telah memasuki modern. Pengetahuan terbentuk dengan kesadaran untuk menyimpan setiap jejak, tepatnya paruh kedua abad ke- 19. Akan tetapi, Indonesia sendiri adalah modern, dengan ia telah memiliki bahasa sendiri, dengan struktur pemerintahan lengkap, dan skala pengetahuan yang penuh dengan perkembangan. Indonesia adalah varian dari berbagai macam kebudayaan, lokal, India, Arab dan Kolonial. Membicarakan kesusastraan Indonesia modern tidak hanya berkutat pada sejarah —dalam kewaktuan—sebagai poros untuk memahami sistematikanya, commit to user 177 maupun kerangka metodologisnya. Berikut ini, pendapat dari Perry Anderson 2008:137 mengenai dielektika sejarah dalam perkembangan modern. “Sejarah adalah apa yang terluka, sejarah adalah apa yang menolak kehendak dan menetapkan batas-batas yang tidak mengenal ampun terhadap individual dan juga praksis kolektif —di atas segalanya dalam “kegagalan tidak tertentu dari semua revolusi yang telah berlangsung dalam sejarah manusia” sampai hari ini. Tetapi kerinduan utopia tidak dengan mudah ditekan, dan dapat dibangkitkan kembali dalam penyamaran-penyamaran yang paling tidak dapat diprediksi. Ini adalah juga catatan —kerasnya kehendak bawah tanah untuk berubah —yang telah member kekuatan daya tarik pada Jemeson melampaui wilayah- wilayah Barat yang letih dan lesu.” Pendapat tersebut juga berlaku pada puisi, seperti yang diakui oleh Abdul Wachid B.S. 2005a: 11 bahwa “penyair mencari ide baru, tema baru bahkan bahan pokok baru bagi penciptaan sajaknya.” Inovasi bagi penyair merupakan penghayatan yang total, dan setiap inovasi terkait dengan pola keasadaran masyarakat untuk menemukan partikularitas yang unik. Puisi yang sebagai salah satu genre sastra memiliki penanda khusus dari penyair, yang di satu sisi dipengaruhi oleh struktur sosial. Sebagaimana temuan dari Bourdieu 2010:4- 5 bahwa “sastra baca:puisi,- pen . berada dalam arena tertentu terkait pada posisinya dan relasinya” sehingga ada wacana khusus yang tampil berdasarkan zamannya. Penggolongan kriteria puisi berdasarkan kewaktuan selain menghilangkan identitas penyair secara partikular juga terlalu melegitimasi pola sastra secara estetik. Setiap penyair memiliki pola tersendiri, terkait dengan visi-misi berpuisi dan intensitasnya dalam suatu arena kultural. Dengan mengutip kata Sutan Takdir Alisjahbana, Goenawan Mohamad 2009 mengatakan bahwa “sifat khusus puisi Indonesia yang baru ditandai tiga kata, yakni ekspresionisme, lyrik, dan romantik”. Tiga wilayah tersebut, yang commit to user 178 nantinya harus berhadapan dengan “eksotisme rasa dan indra”, terkait dengan situasi masa:ruang penciptaan sebagai referensi secara genetis. Bentuk yang bebas dalam puisi modern Indonesia muncul pertama oleh Chairil Anwar dengan kekuatan ekspresi menampilkan daya lyrik dan beberapa nuansa keindahan agoni. Kendati, kemudian muncul gaya realisme-sosialis dan surealisme adalah bentukan dari kerangka konseptual mengenai puisi di era modern Indonesia selanjutnya, melalui pergolakan politik, dan usaha untuk merekonstruksi cara komunikasi melalui teks. Alex Callinicos 2008:31 menggunakan beberapa karya penyair ternama seperti T.S Eliot, Pound, dan Joice untuk melihat perubahan mendasar dari seni romantik menuju klasik. Artinya, bahwa puisi dengan berbagai relasi sosial dari ideologi estetis memiliki visi-misi struktur sosial, yang tidak hanya luapan ekspresi. Penyair melalui pencermatan dan kedalaman intusi secara empiris berusaha untuk menemukan konstelasi. Melalui puisi —sebagai teks—dapat dilihat pola kondisi sosial, dengan mengacu pada ambivalensi, ambiguitas, penciptaan arti dan pergantian makna baru. Aspek itulah yang merupakan entropi, selebihnya adalah redundasi dengan keterikatan pada realitas, melalui petujuk- petunjuk yang hadir di dalam teks. Abdul Wachid B.S. 1995: 37, dalam sajak “Diam Mawar”, melihat era modern sebagai “yang berdentang dan pergi hingga ruang dikosongkan di dalam pusat:di kening d an dadaku.” Sisi kehidupan dunia memang selalu menampilkan kelahiran dan kematian, juga bagi kemunculan sains yang menyejahterakan, juga memiskinkan. Sesuatu hal yang hilang lagi, adalah nalar metafisis yang diganti commit to user 179 oleh rasionalisasi. Jurgen Habermas memandang dunia modern sebagai masa yang menampilkan rasio dari setiap individu sehingga dalam tataran masyarakat mengalami kepercayaan kepada kemampuan pikirnya masing-masing dengan pengaruh teknologi yang sangat kuat. Kemampuan Abdul Wachid B.S. merespon gejala sosial dengan eksistensialisme untuk mengkritisi hedonisme sebelum hidup benar-benar mati. Pengetahuan sebagai struktur kesadaran memasuki kedalaman rasa untuk menampilkan wacana dalam bentuk artifisial. Rasionalitas Abdul Wachid B.S. hadir untuk membangun bahasa menjadi sistem makna yang indah saat dirasakan. Dia sadar bahwa bahasa adalah segalanya untuk mengungkap wacana:tempat segala hal saling bertempur. Ada upaya untuk memasuki struktur kesadaran sosial, dengan menarik kenyataan bahwa dunia modern telah mengubah tatanan kehidupan, yang menjadikan pola pikir masyarakat juga berubah —ruang komunikasi juga berubah. Maka, “lewat trotoar sosok keheningan itu mulai bangkit di tengah kota kekosongan”. Trotoar sebagai penanda arsitektur modern diwacanakan sebagai tempat pembuangan, dan di situlah tempat untuk melihat yang “esensial dari modern”. Kehadiran trotoar adalah tepian modern, sebagai ruang yang bebas, dengan telah memungkinkan segala hal berinteraksi, dan melakukan pendekatan kepada kultur. Dasar perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang terjadi karena adanya struktur-struktur sosial yang berubah sehingga pola pikir terkondisikan untuk rasional. Abdul wachid B.S. melihatnya “sebagai tahun yang lepas satu- satu” ketika para tua memahatkan adat yang memberhala.” Dalam pandangan Piotr Sztompka 2007: 15, “proses sosial yang mengarah mungkin commit to user 180 bertahap, meningkat atau adakalanya linear.” Adanya penemuan teknologi misalnya mesin yang dapat diterima oleh manusia dengan tingkat kerja yang efektif karena memberikan kemudahan-kemudahan menjadi lekas diterima dalam beberapa tingkatan. Namun, modern tidak hanya menciptakan teknologi, tapi juga pada ruang sosial, yang ditata untuk terjadinya pertemuan antar elemen masyarakat secara bertahap. Perubahan-perubahan itu menciptakan keterasingan hingga “ada yang hilang saat senja”. Ada yang hilang, “tapi kita di mana?” tanyamu Jejaknya nyelinap antara orang bergantungan di biskota. Malam pun berhias lampu warna-warni Menandai kota. Menandai dunia kian renta. Perubahan dari setiap kehadiran teknologi membawa Abdul Wachid B.S. mencapai pada wilayah eksistensial. Riuh kota yang mungkin secara umum tampak semarak, namun baginya adalah tanda bahwa “dunia kian renta”, meksipun dalam tataran wacana ia mencoba memasukkan mitos rawa pening dengan “lidi telah dicabut”. Namun, wacana itu diambil untuk menunjukkan potret keterasingan yang makin menjadi untuk menuju pada kehancuran, melalui malapetaka. “Tapi kita di mana?” tanyamu ada yang hilang Dengan berprahu lesung dan berdayung alu Mari melaju sampai laut lain Sampai di luar dunia yang ini Dia berusaha menunjukkan bahwa ada tataran dimensi yang lain:bahwa hedonisme kesenangan-kesenangan hidup di dunia membuat manusia tidak sadar. Kesadaran adalah pengetahuan. Dan, ia mengetahui, maka mewacanakan pula untuk sadar kepada yang lain. Ada tataran Yang Lain, yang perlu dipahami, commit to user 181 yakni eksistensi setelah kematian: “di luar dunia yang ini”. Sesungguhnya, Abdul Wachid B.S. membuat relasi antara bentuk dan isi secara dinamis dan interaktif. Jalinan kata-katanya —dengan sendirinya—adalah paket transmisi pesan yang memiliki kekuasaan, yang saling memadukan entitas. Setiap perubahan adalah entitas baru yang unik sebagai teks, Umberto Eco dan Jacques Derrida dalam Budiman, 2004:26 merumuskannya dalam semiosis tanpa batas. Penemuaan masyarakat melalui teknologi atas terciptanya struktur- struktur yang baru kemudian menjadi sistem karena dilakukan dalam reproduksi sosial yang panjang, dan di situlah perubahan terjadi. Maka, persoalan persepsi dan makna secara bergantian membaca antara penanda dan petanda sebagai hierarki. “Tapi kita di mana?” adalah pertanyaan yang memandang persepsi bagi pembaca atas setiap peruabahan secara evolutif yang terjadi hingga tak sadar bahwa tatanan sosial telah berubah. Sistem sosial yang telah didasarkan pada teknologi sebagai benda ciptaan manusia, membuat manusia hanya percaya kepada dirinya sendiri yang telah menciptakan ‗benda‘ untuk bisa lebih hebat, maka pengetahuan hanya terpusat padanya, tanpa mempertimbangkan keadaan secara utuh. Pandangan Anthony Giddens 2010:251 menegaskan bahwa sifat- sifat struktural masyarakat memandu stabilitas dan perubahan. Dalam hal ini, segala sesuatunya telah dihitung atau diprediksi oleh pikiran manusia sebagai perkembangan organisme. Segala teknologi ciptaan manusia dalam hitungan atau prediksi telah mengarahkan pada adanya ‗kepastian‘ dari pikiran manusia. Kepastian adalah dasar dari logika yang dibangun manusia untuk menentukan commit to user 182 batas-batas kebenaran berdasarkan pada perkiraan, pemaknaan, dan pecernaan terhadap setiap fenomena, dari yang telah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi . Oleh karena itu, rasional menjadi ‗struktur kesadaran‘ bagi manusia untuk menyikapi setiap fenomena yang berkembang atau berubah dalam ruang dan waktu. Terciptanya pandangan rasional bagi manusia membuat arah pandang menjadi antroposentris. Setelah itu, “prasyarat modernisasi ditentukan oleh elite modern baru yang menang dalam persaingan” Sztompka, 2007:155. “Setiap tatanan sosial yang berubah, selalu membentuk setiap resiko baru dan sejumlah konsekuensi yang harus diterima ” Giddens, 2005:165 karena hidup, memberikan pilihan kepada manusia. Abdul Wachid B.S. memilih “untuk sendiri ”, dan “bangkit mendirikan tiang langit” untuk mendapatkan petunjuk di tengah dominasi rasionalitas. Nalar metafisisi terhadap Yang Lain merupakan pilihannya, dengan konsekuensi dia harus sendiri. Nihilisme Nietzche 2008:83 juga pernah berbicara mengenai keterasingan diri agar tidak memakai topeng. Penyair yang mencermati setiap gerak perubahan tidak hanya melihat yang universal, juga pada sisi yang teralienasi, yang hilang, dan persoalan ketimpangan sosial. Melalui sajak “Diam Mawar”, Abdul Wachid B.S. dengan simbol mawar mengatakan “biarlah aku tinggal diam diutuhkan Cinta - Mu”, maka ada konstruksi wacana untuk mengembalikan ‗sistem nilai‘ masyarakat melalui aku- mawar, untuk mencermati kehadiran Tuhan dalam anugrah cinta:sebuah kasih sayang yang sulit terdefinisikan. Posisi “diam” bukan berarti sebuah kekalahan, melainkan “tawaran mengahadapi kedatangan dan kepergian,” meski commit to user 183 sesungguhnya yang terjadi adalah kepergian dengan “jam tak kembali” sebagai musuh modern yang tidak bisa dipecahkan melalui waktu. Anthony Giddens 2005:23 mencermati waktu terkait dengan ruang yang mesti dicocokkan dengan organisasi sosial untuk melakukan standardisasi modern dalam menandai setiap kejadian:antara pagi, siang, sore dan malam. Waktu yang mungkin sangat penting dalam studi historis, tapi dalam modern berada dalam perkembangan dan setiap perubahan baru dari tatanan sosial. Tidak pantas untuk curiga kiranya. Bagi Abdul Wachid B.S., bahasa adalah kesatuan lingual yang merepresentasikan makna. Subjektivitas berada pada sisi yang jauh, namun tersembunyi di dalam sistem semantik. Abdul Wachid B.S. telah mencipta “Sajak Kami Datang Padamu”: Seribu-ribu semut mengendus gula Kamilah semut itu ya rabbi Mengitari gula-gula dunia Sembari berharap cemas gula surga Labaika, alahuma labaika Hadirnya bahasa [seribu-ribu] untuk menyatakan [banyak] adalah kesatuan lingual, dengan pernyataan bahwa modern telah menghadirkan beragam jenis sehingga manusia seperti semut. Kenikmatan-kenikmatan pada gula teriring dengan kemampuan rasional manusia mencermati perputaran bumi, sehingga ia juga harus berputar pada pusat, yakni ka‘bah. Pusat merupakan ciri dari modern. Pusat bagi Abdul Wachid B.S. bukalah pusat struktur sosial sebagaimana pemerintahan yang sentral, melainkan pusat terbentuknya kosmologi. Anehnya, sistem semantiknya terhenti oleh petunjuk Labaika, alahuma labaika . Simbol semut dan rekonstruksi dialog terasa sia-sia karena berubah menjadi pesan commit to user 184 dakwah dalam terapi modern. Rekonstruksi dialogis membentuk hubungan formal dengan tanda di sekitarnya. Seruan-seruan dengan representasi realitas masuk dalam tataran psikologis karena adanya “harapan cemas pada gula surga”, yakni kenikmatan lain. Labaika, alahuma labaika terbentuk oleh redundasi. Konvensinya, tertuju pada haji, sebagai tindakan religius, yang di satu sisi juga memperkuat hubungan sosial:dengan adanya “seribu-ribu” untuk menyatakan banyak. Keadaan ini berbeda dengan sajak “Sekuntum Doa yang Mekar”: sekuntum doa mekar dari bibirnya yang mawar. ia menyebut Satu Nama hingga hilang segala sangsai dari sayap waktu angin menerbangkan dari mimpinya yang terberai Upaya paling penting di dalam sajak itu adalah untuk memperjelas doa, kemudian secara visual dapat diterima oleh pembaca. Kode telah tertuju pada kaidah bahasa sebagai medium . Bahasa subjektif Abdul Wachid B.S. menata berbagai ruang ke luar kodratnya untuk melakukan redeskripsi terhadap realita, yakni doa. Keidentikan doa dengan bunga akan terjalin dalam konsep individual, namun abstraksi Abdul Wachid B.S. mencapai tataran metafisis untuk melukiskannya melalui bahasalah yang memberikan keterangan itu. Maka, kehadirannya menjadi simbol individual dari kalangan sufi yang biasa menjalin hubungan dengan tuhan dalam konteks percintaan. Kodrat “doa” sebagai permohonan menjadi bentuk pernyataan cinta, dengan julukan tertentu untuk menerbangkan mimpi hadapan. Kumpulan ingatan membentuk mimpi bagi manusia modern untuk melakukan penandaan berada dalam refleksi, terkait commit to user 185 dengan berbagai tindakan. Representasi visual atas doa yang hadir seperti “bunga” memberikan kesan puitik indah dari sebuah analogi. Abdul Wachid B.S. sebagai manusia senang menyusun simbol berdasarkan kedalaman jiwanya. Sejak dulu, Ernest Cassirer dalam Subiyantoro, 2010:1 telah menyatakan manusia sebagai animal symbolicum. Susunan simbol Abdul Wachid B.S. dipilih dengan bahasa yang sangat ketat sehingga wajar jika buku puisi Rumah Cahaya harus mengalami edisi revisi, sesuai dengan pola pengetahuan terbarunya. Bahasalah yang sebagai alat kesadaran menyusun kata-kata sehingga puisi menjadi medan makna. Bahasa, sebagaimana telah disebutkan di awal, adalah prasyarat dari tetanan modern sebagai susunan kode. Ketika mengungkapkan percintaan yang senyatanya berada dalam dimensi perasaan, bahasa menampilkan kesadaran tersendiri sehingga letusan api dari gelora perasaan mampu diredam, seperti pada bait sajak “Pematang Kita”: Pematang itu masih utuh Ada dam. Gejolak diredam Saat itu tengah bulan jatuh Nafasmu, lava yang dalam Perlukisan cinta dalam gejolak romantik masih mampu diredam oleh sebentuk kesadaran. Sususnan rima abab pada akhir bukanlah berpretensi sebagai pantun, seperti yang diungkapkan oleh Katrin Bandel di dalam kata pengantar buku Beribu Rindu Kekasihku menyebutkan: “ketika bahasa puisi yang arkais tradisional bertemu dengan bahasa sehari-hari, tidak terjadi peleburan, melainkan kontras dan kejanggalan tetap dipertahankan.” Justru, yang terpenting bukanlah susunan bentuk yang hadir berdasarkan rima saja yang menandai kepenyairan seseorang dalam masa lampau tradisional. Kontruksi metafora commit to user 186 pada: nafasmu, lava yang dalam, merupakan susunan khas dari puisi lyrik yang kuat pada bahasa, dengan sedikit mempermainkan makna sehingga terkumpullah beberapa petunjuk untuk menemukan entitas. Bahasa adalah medium pengetahuan yang disusun dalam wilayah representasional dan memberikan berbagai macam tanda. Dari tanda itu, menuju pada satu keseluruhan teks sehingga susunan yang romantik itu menjadi jalur kesadaran, bagi kritik terhadap kehidupan modern, yang saling sentuh terhadap tubuh. Wacana yang terbentuk dalam medan ini bukanlah ilustrasi itu, tetapi untuk tidak dalam keadaan di luar ketaksadaran agar pada akhirnya yang tiada menjadi ada. Abdul Wachid B.S. memasuki dunia romatik, justru ketika dewasa. Kesan percintaan terbangun melalui buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku. Dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu, dunia romantik yang ditampilkan berada dalam sisi simbolik. Pengaburan antara cinta terhadap sesama manusia dengan tuhan terjadi begitu dominan, dengan mengalihkannya pada sisi sufi, semisal ketika “kangen ingin ditelpon dengan fatihah.” Susunan bahasa puisi lyrik yang ketat bagi Abdul Wachid B.S. telah menciptakan ambiguitas petunjuk. waktu batu kulayangkan wajahku terasa benar rindu berpijar Penyusunan bahasa khas Chairil Anwar dengan kata-kata yang padat penuh pertimbangan hadir untuk membentuk puisi lyrik. Aspek semantik sangat diperhitungkan untuk menyatakan maksud secara ekspresionis. Kekuatan rasa menjadi warna dalam “rindu berpijar”. Asonansi bunyi dipilih untuk memperdalam renungan:waktu batu. Persentuhan daya intuisi Abdul Wachid B.S. commit to user 187 dengan benda-benda sebagai media tidak hadir pada buku Ijinkan Aku Mencintaimu, namun justru hadir pada Tunjammu Kekasih. Pemahaman realita yang dekat, yang berkaitan dengan dunia sosial, sebagai perkembangan modern ketika “Malioboro Malam”:Di sebrang jalan seorang perempuan seperti putri duyung. Mengingatkan ibunya di dusun, dengan rangkaian doa dan kembang di tangan.” Menyikapi berapa puisi Abdul Wachid B.S yang ketat pada bahasa bukanlah pada cara dia membentuk susunan bunyi, sebagaimana ingin menyamakannya dengan pantun. A. Teeuw ketika memaknai sajak “Si Anak Hilang” karya Sitor Situmorang melihatnya sebagai sajak modern, padahal ada sampiran dan isi. Anak disuruh duduk bercerita Ayam disembelih nasi di masak Seluruh desa bertanya-tanya Sudah beristri, sudah beranak? Kata A. Teeuw 1983: 33 bahwa “Sajak ini menunjukkan bentuk tradisional, walaupun makna utamanya justru meniadakan dan memungkiri kemungkinan seorang anak muda yang sudah merantau untuk pulang, kembali ke tradisi dan suasanya lama”. Pada sajak tersebut bisa dicermati mengenai alasan orang desa perlu bertanya:Sudah beristri, sudah beranak? Karena lama tak jumpa. Yang terpenting di sini, adalah keseluruhan dari isi untuk memperlihatkan konteks dunia modern dengan bahasa yang ketat. Sementara itu, pantun lebih mementingkan keindahan bunyi untuk mengguggah rasa. Kehadiran dari pantun dalam tradisi lisan, membut susunan bunyilah yang membentuk suasana dalam menjalin dengan isi. Pantun disusun dengan rima dan irama yang tetap untuk memperindah struktur bunyi karena pada masa itu begitu kuat tradisi lisan commit to user 188 sehingga keharuan perasaan ditentukan oleh bentuk rima, yang secara isi harus ada sampiran untuk memulai percakapan. Sampiran menjadi ketidaklangsungan ekspresi, sebelum menuju inti atau maksud untuk diutarakan. Sementara itu, dalam tradisi lyric, ekspresionisme dan romantisme, ketidaklangsungan ekspresi untuk menimbulkan keharuan dan keterkesanan melalui bahasa imajinatif untuk menciptakan renungan-renungan. Struktur kesadaran orang modern berada dalam rasionalitas, maka metafora akan dipikirkan sebagai hal yang ambingu dan tak lazim, dan secara magis memberikan suasana kontemplatif. Abdul Wachid B.S. akan terlihat arkaik ketika dia harus bersentuhan dengan pengulangan-pengulangan sejarah. Mircea Eliade 2002:2 menyebutkan bahwa orang primitif bukan hanya melakukan ritual yang memiliki model mistis, melainkan ada usaha untuk mengulangi tindakan yang dilakukan pada awal waktu dewa, pahlawan ataupun leluhur. Dalam buku puisi Rumah Cahaya, ekspresi diri Abdul Wachid B.S. banyak dipandu oleh susunan kata Chairil Anwar dengan skema narasi Rendra. Abdul Wachid B.S. senantiasa menggali kekuatan “rasa” melalui diri sehingg a ekspresi begitu kental seperti “Topan begitu menderu hingga tak terduga laut dalam dadamu mengombak kembali.” Gelora-gelora rasa sangat terasa sebagai wilayah ungkap, namun sekema beralih dengan serentetan kisah panjang. Konstruksi sebuah sajak dengan berbagai pola mengikuti pola sosial budaya, dalam pandangan penyair terhadap lingkungan. Skolimowski 2004:124 mencermati sejumlah arsitektur sebagai fungsi dari kebudayaan yang dominan. Dalam sastra, A. Teeuw 1988:100 telah mendasarkan pemikiran pada Roland commit to user 189 Barthes mengenai “kode budaya” yang hadir sebagai penanda, juga pada Julia Kristeva bahwa “sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya.” Kumpulan penanda sosial budaya di dalam teks itulah representasi. Dan, setiap penanda memiliki cara ungkap tersendiri, sesuai dengan selera penyair membakukannya lewat tulisan. Masa pencermatan terhadap Chairil Anwar menjadi pupus ketika kesadaran untuk bernarasi terjadi di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S, di mana peristiwa itulah sendiri yang lebih penting di dalam kehadiran puisi. Jika pada puisi yang ketat pada bahasa kekuatan ditampilkan pada dekonstruksi kata-kata, tetapi pada puisi yang membebaskan bahasa kekuatan muncul pada dekonstruksi peristiwa, baik suasana, maupun narasi. Ciri khas dari sajak panjang memiliki keutuhan peristiwa dengan realitas yang dinarasikan oleh empirisme penyair. Pola ini mendekati gaya berkisah dan balada Rendra. Ada kesadaran untuk menjadikan “puisi adalah ruang” sehingga dapat menampung berbagai fenomena, namun ia juga dapat diterima sebagai bunyi yang bergaung di auditorium, semisal sajak “Kasidah Negeri Hijau Mimpi” bila dibandingkan dengan “Sajak Lisong”. Menghisap lisong Melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengakang berak di atas kepala mereka Sajak tersebut akan dapat dipadukan dengan sajak “Kasidah Negeri Hijau Mimpi” berikut ini: di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi memetik mawar hari-hari yang menyimpan keharuman masadepan yang commit to user 190 tak kunjung hilang Perbedaan mendasar dari Abdul Wachid B.S. lebih terlihat pada wilayah intuisi. Rendra dengan kemampuan intuisi sosial yang kuat berusaha untuk menjadikan realita tampil seperti ilustrasi peristiwa, sedangkan intuisi Abdul Wachid B.S. berada dalam kontemplasi sehingga konteks sosial menjadi penuh dengan simbol, yang selalu terkait dengan religiusitas. Cara pengulangan yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. adalah bentuk kreatif dengan mempertemukan berbagai komposisi puisi modern. Kemampuan dan kemauan untuk bebas, masih mencoba sedikit terikat pada struktur. Paparan-paparan dari A. Teeuw terlampau menjejaki konsep kepenyairan Abdul Wachid B.S. Cara untuk menemukan tradisi kepenyairannya muncul dengan keterikatan teks pada bahasa sebagai sistem semiotik primer. Bahasa sebagai sistem khas:retorik dan stilistik mempengaruhi subjektivitas kepenyairan Teeuw, 1988:70, tapi Abdul Wachid B.S. juga mengetahui permainan makna sebagai hal yang penting. Maka, ia pun perlu untuk membaca makna, yang dimulai dari Chairil Anwar sampai ke A. Mustofa Bisri melalui semiotika. Abdul Wachid B.S. selalu berusaha untuk peka dalam melihat perkembangan sastra Indonesia modern. Setidaknya, dia berhasil menandai rezim Orde Baru dalam berbagai tekanan di dalam Sastra Pencerahan . Oleh karena itu, dia harus hati-hati pada setiap kata-katanya. Kata-kata disikapi dengan cermati, dan perlu untuk menyimbolkan. Yang terjadi adalah sentuhan surealis, yang masuk kemudian. Ia mencermati bahwa “surealisme di Indonesia melompat- lompat” dan “berbeda dengan di Prancis sebagai aliran yang memberontak commit to user 191 rasionalisme” 2005b:37-48. Asumsinya lebih untuk meruntuhkan Freud mengenai simbol yang disusun berdasarkan bawah sadar, padahal simbol juga tersusun atas imajinasi untuk menciptakan realitas baru. Tetapi, pandangan- pandangannya hanya didasarkan pada konteks Indonesia modern, dan tidak mencermati Indonesia yang terkolonialisasi, seperti halnya Faruk 2001:8 melihat struktur sosial yang menyerupai piramida telah menempatkan penguasa pada lingkup tertinggi. Kemunculan puisi surealis di Indonesia pada tahun 1980-an karena belenggu rasional yang ketat pada Rezim Orde Baru dalam masa modern sehingga menuntut bahasa simbolik agar tidak terlalu dimaksud oleh penguasa, tetapi meggerakan elemen masyarakat. Dunia modern menampilkan kepercayaan pada sistem abstrak yang simbolik Giddens, 2005:117, yang memberikan rasa aman pada setiap model lingkungan sosial dan fisik terhadap konsekuensi- konsekuensi. Kehadiran surealis bagi Abdul Wachid B.S. yang paling terang adalah dengan memasukkan imaji visual, seperti pada sajak “Doa”: gerimis memanjang seekor angsa di halaman mengepakkan sayap sepi Suasana yang dihubungkan dengan judul “Doa” membentuk simbol. Kendati simbol itu tidaklah serumit Rimabud, namun konstruksi imajis harus dihayati secara dalam. Hubungan doa dan sepi, terlihat pada perjuangan seekor angsa untuk terus mengepakkan sayap:itu adalah sebuah perjuangan besar dalam keadaan gerimis. Banyangan itu adalah sisi lain, di mana teks dan konteks tidak dapat dipisahkan sehingga terjadilah kontektualisasi. Pada ungkapan inilah, Abdul commit to user 192 Wachid B.S. telah lebih jauh melampaui modern. Ia membentuk hiper-realitas ‗doa‘ dengan citra. Doa yang biasanya berada dalam tataran sakral, justru telah didekonstruksi realitas kesediahan melalui simbol angsa yang sendiri. Efek dari perkembangan modern selalu berdampak pada rentang jarak yang jauh:dengan adanya pemisahan. Anthony Giddens 2005:26-27 mengakui masalah batas telah muncul sebagai akibat dari resiko adanya modernitas. Keterpisahan ibu, yang berada sangat jauh di dalam ingatan adalah resiko dari pilihan hidup, karena berubahnya tatanan sosial. Antara masa silam, dan sekarang seolah- olah saling berdialog dan “ibu” adalah sosok penting dalam membentuk penandaan:sesuatu yang ditinggalkan. Kendati kisah perpisahan ibu dan anak, telah jauh muncul semasa mitos Maling Kundang, tapi dalam efek modern, ibu adalah sosok yang paling setia dengan rumah. Ibu merupakan penanda asal-usul seseorang karena dari rahimnyalah menjadi ada. Rentang kenangan yang sangat panjang membuat ingatan hanya membaca arketip. Sosok ibu yang secara mitologis adalah agung. Ia hadir dalam berbagai rupa:perempuan, cantik, kasih sayang. Namun, berbagai penanda lain tentang ibu seiring dengan terbukanya kemungkinan da pat saja hadir dalam “gairah yang medesak” seperti berbagai ekspresi kerinduan. Ibu menampilkan persona rasa, yang sangat terlihat dalam “Wanita Mengandung Sembilan Purnama”. Pembelaan terhadap perempuan yang mengandung adalah mengembalikan esensi wanita sebagai makhluk yang keberadaannya diperlukan. tapi, wanita yang mengandung sembilan purnama terlanjur tak memakan kata sebab pahit hidup lebih kenyang bicara ia seperti melihat celurit commit to user 193 atas emas yang ngancam di tiap sudut ia bangkit limbung, menghujat bayang-bayang Posisi perempuan yang telah memperjuangkan hidup pertaruhan nyawa untuk kandungan, perlu mendapatkan penghargaan. Abdul Wachid B.S. tak sedang menjadikan perempuan sebagai objek, tetapi ia mengkonstruksi perjuangan perempuan yang mungkin dalam sudut pandang laki-laki adalah lazim untuk mengandung. Ia menempatkan perempuan sebagai gaung yang berkorespondensi dengan rasa. Makanya, susunan makna tidak hanya dalam citra bahasa, tetapi juga citra peristiwa ketika terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ketika suami bermaksud akan menceraikan istri kalau melahirkan anak laki-laki lagi dan akan mencari sosok perempuan lain, yang mungkin dari rahimnya akan lahir anak perempuan, semua itu adalah konstruksi peristiwa untuk mencitrakan betapa perjuangan perempuan yang mengandung tidak hanya karena ingin punya anak saja, melainkan juga perjuangan untuk mendapatkan cinta dari suami. Tersedianya pilihan perempuan bagi suami telah memosisikan perempuan sebagai objek. Post-feminisme menekankan agar terjadi pemahaman untuk tidak menjadikan perempuan sebagai objek. Ann Brooks 2009:105 mengarahkan untuk menempatkan perempuan sebagaimana mestinya, agar tidak keliru. Upaya yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. melalui puisi adalah mengembalikan esensi perempuan yang agung karena telah berani mengorbankan dan menghargai kecintaan. Hubungan antara perempuan dan laki-laki makin terpisah karena konsep rasional manusia modern akibat tatanan sosial yang membagi peran. Kurindui airmata disebabkan asap trotoar commit to user 194 Segala air kasihmu, Ibu, ditimbun kubur Mengisyaratkan Yang paham geliat embun mengerti bahasamu Kehadiran ibu sebagai perempuan karena adanya rasa yang terbangkitkan. Dunia modern yang membuat jarak telah menyusun berbagai isyarat baru. Keganjilan-keganjilan pada dunia modern membuat kekuatan rasa dicari. Ibu, karena telah membuatnya hingga kini ada secara halus memiliki kekuatan rasa. Di sini, tataplah bahwa puisi berkaitan erat dengan “rasa” sebagai harmonisasi. Puisi di tangah modern, di tengah berbagai kemungkinan, Abdul Wachid B.S. membangun spiritualitas, sebagai suasana jiwa. Penciptaan itu sendiri, baginya, adalah “moment puitik” yang dinikmati dengan rasa:segala keindahan bertaut, membentuk pola kreatif dengan daya cipta bahasa. Ambivalensi terjadi, yakni antara kemampuan menunggu ide dan kemampuan teoritik. Sejumlah referensi telah memberikan pengaruh kuat pada berbagai bacaan, yang membuatnya harus berpikir sesuai dengan struktur sosial, dan sedikit inovasi. Yang ada, tidak lain utopia zaman. Kesenjangan sosial akibat merebaknya pembangunan telah menunjukkan kritik-kritik tegas oleh Abdul Wachid B.S. dalam memahami berbagai gejala kehidupan. Manakala, pola kehidupan yang terang di malam hari telah membuat orang betah lama-lama di luar, membuat ilustrasi mengenai “Gentayangan Pulang” adalah efek terbesar dari modern. Kekuatan citra muncul dalam redeskripsi: Kamar mandi penuh cucian dengan kran-kran yang meruncingkan taringnya. Mengancamku segera pergi. Gentayangan dalam cuaca beku. Masih terdengar dapur memainkan piring, sendok, garpu. Sebuah konser, commit to user 195 memukau pada jarak kebisuan. Dan dahaga mendadak mendesak dari arah perut ke puncak Menyeretku ke sudut-sudut kafe. Kemana sepatu? Tanggal malam. Tanpa bulan. Tanpa kopi. Tanpa puisi. Tanpa dirimu. Tinggalkan bayang-bayang. Gentayangan. Dan aku bimbang mengubah arah, mencari pulang. Sebab memanggil kelebat tiap jejakmu : Sebuah kamar, yang seluruh perabotnya mengubah diri, menjadi ciuman. Citra mengenai ketidakharmonisan sebuah keluarga muncul dengan redeskripsi ruang. Representasi bahasa yang melukiskan dan memberikan keyakinan pada kedalaman pengalaman. Sentuhan dengan dunia secara langsung telah menyusun pilihan sendiri secara bebas. Perkembangan lajut, ditandai dengan dominasi teknologi sebagai bentukan baru oraganisasi sosial. Abdul Wachid B.S. menulis “SMS Biru”, “SMS Putih”, “SMS Semu Merah”, “SMS Pucat Kapas”, “SMS Sahaya”, “SMS Tak Hingga”, “SMS Pagi”, “SMS Tak Terkirim”, “SMS Harap-harap Cemas”, “SMS Firdausi”, SMS Sarie untuk Ste ve”, “SMS Steve untuk Sarie”, dan “SMS Rindu”. Perkembangan teknologi tidak lagi disikapi sebagai potret keterasingan, melainkan sebagai budaya popular dan masa, dalam dialogis global secara individual. Ruang dialogis yang disusun adalah percintaan, dan sangat mempertimbangkan setiap diksi juga tanda baca. Justru berdesakan keinginan Sedu rayu, jeritan doa-doa, berhamburan Ke nomormu. Bahkan angan-angan Cemburu, curiga :jangan-jangan Secara bahasa, Abdul Wachid B.S. tidak ada peralihan persandaran pada Ch airil Anwar yang selalu “menimang, menimbang, bahkan membuang” pada setiap kata. Elemen yang terhubung dengan elemen lainnya memproduksi relitas commit to user 196 baru secara paralel. Keindahan bahasa ditampilkan untuk menciptakan bentuk dan makna secara ketat, yang masih khas dari tradisi modern dengan menekankan pada medium literar, tanpa lagi merespon media mekanis. Yang terjadi adalah peralihan wacana, perjalanan perasaan, perjumpaan emosi dengan teknologi, dan hasrat untuk menganggap “teknologi menciptakan pertemuan.” Ruang kosmologi yang mulanya berada pada eksistensial, berubah dalam kultur baru melalui HP yang memberikan kemudahan komunikasi sebagai budaya masa sehingga interaksi sosial bisa berlangsung secara terpisah. Penembusan ruang dan waktu oleh teknologi membentuk penyatuan antar individu. Pengetahuan refleksif Abdul Wachid B.S. memutuskan untuk menerima teknologi yang aman bagi manusia dan membuang yang merugikan, atau mencipta yang baru. Mungkin untuk lebih mengefektifkan transmisi komunikasi perlu mempertimbangkan kerja dari media mekanis mengabstraksikan realita dalam bentuk citra. Abdul Wachid B.S. memilih kemungkinannya sendiri dalam menciptakan puisi di tengah kondisi rezim yang penuh modern. Perpuisian modern Abdul Wachid B.S. tidak hanya tataran tema modern yang dia garap, tapi juga pada cara tradisi modern dalam menyikapi bahasa. Bahasa adalah sebuah arena permainan yang penuh dengan ambiguitas, tetapi ia juga jaringan dari antar titik budaya yang harus disikapi dengan hati-hati karena setiap kemungkinan dapat lahir. Kondisi modern bagi perpuisian Abdul Wachid B.S. menyusun pola pada pengetahuan bahasa yang ketat untuk menekankan titik budaya pada antar kata, sedangkan susunan narasi memberikan aspek dekonstruktif pada peristiwa dengan pemilihan suasana yang dramatis. Postmodernisme —yang menurut Perry commit to user 197 Anderson muncul pada awal 1970-an awal —memiliki bahasa yang unik, seperti filsafat yang bersatu dengan teori, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, meskipun tak sepenuhnya juga. Matrik Rekonstruksi Wacana Dimensi Realitas Wacana Ide Bacaan, realitas Identitas Lingkup sosio-kultur Tradisi, modern dan pasca- modern Ruang ungkap Penyampaian Pesan Bahasa Style Keterhambatan Tanda, kode dan simbol Varian Dari matrik tersebut, dapat dicermati yang ketat dan dramatis merupakan ambivalensi berbagai kultur, yakni kultur tradisi, modern, dan pasca-modern. Namun, ia tidak menepatkan penanda-penanda identitas tradisi dalam kemodernannya sebagai cara mencari kemungkinan baru untuk memasukki berbagai ruang. Persentuhannya dengan media dan persebaran dari perubahan tatanan sosial banyak muncul sebagai kritik, di satu sisi juga ada upaya menempatkan tradisi sebagai cara ungkap, pola struktur kebahasaan sebagai varian dari penyair terdahulu, bukan varian berdasarkan persentuhan dengan realitas. Padahal, dalam Tunjammu Kekasih dialetika dengan realitas begitu kuat dalam menghadirkan bebagai sisi dari ruang sosial secara abstrak.

4.3.3 Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa