Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran

Soetarno, Wahyu Purba Sejati karangan Siswa Harsaya, dan Irawan Rabi karangan Nayawirangka. Dominasi penampilan Arjuna dalam pakeliran juga nampak berkaitan dengan pathet . Sutrisno et al ., 2009:41 mengemukakan bahwa semua bentuk pentas wayang baik semalam, ringkas maupun padat selalu mentaati ketentuan pakem yang terdiri dari pathet nem, sanga, dan manyura . Ketiga pathet dikaitkan dengan makna simbol perjalanan hidup manusia, pathet nem gambaran proses kehidupan masa muda, pathet sanga menyimbolkan kehidupan masa tua, dan manyura simbol ketika manusia telah hampir mendekati kematian. Di antara ketiga pathet Solichin 2010:186 berpendapat bahwa pathet sanga -lah yang tertinggi dan penting karena dalam pathet tersebut manusia sampai pada tahap sepuh artinya sepuh sepi hawa awas loroning atunggal masa tua yang telah mampu mengendalikan napsu serta waspada terhadap kesatuan dikotomi benar dan salah. Tokoh Arjuna leluhur dan keturunanya garis ke atas Pandhu ayah, Abiyasa kakek, Palasara buyud dan garis ke bawah Abimanyu anak, Parikesit cucu dalam pakem tuntunan pedalangan selalu ditampilkan dalam pathet sanga yang dikatakan Solichin sebagai pathet tertinggi. Kekhususan Arjuna pada adegan tersebut adalah tampil dalam adegan meditasi di tengah hutan, berguru pada pendeta dan perang kembang . Ketiga adegan tersebut dipandang sangat penting dalam pedalangan karena dianggap representasi nilai Jawa sebagai manusia yang telah sempurna dalam hal pengendalian diri, mencari ilmu dan mengesampingkan napsu-napsu negatif.

4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran

Pewacanaan Arjuna selain dibangun oleh Sultan Agung dan keturunannya secara eksplisit lewat teks-teks pakem, juga dibangun secara implisit melalui nilai-nilai wayang. Hal itu dikarenakan pencipta Babad Tanah Jawi sebagai sumber wacana tentang Arjuna sangat menyadari bahwa nilai adalah sumber ide yang menuntun etika dan estetika, bagi masyarakat Jawa, maka wacana Arjuna lewat nilai-nilai merupakan strategi sangat efektif untuk mempengaruhi masyarakat Jawa Magnis Suseno, 1991:69- 71. Nilai-nilai tokoh Arjuna tersembunyi di balik makna-makna baik rupa wayang sebagaimana semiotika di atas maupun lewat dialog-dialog, narasi, sulukan , dan juga adegan. Nilai-nilai dalam pakeliran disampaikan dalang sebagai amanat atau pesan moral secara tersirat. Penonton akan menangkap pesan-pesan itu melalui kontemplasi dan refleksi makna pertunjukan. Nilai-nilai moral dalam pakeliran terkandung pada hampir seluruh unsur dan aspek pakeliran, tetapi dalam pembahasan ini dikhususkan pada nilai yang menyangkut wacana tokoh Arjuna dalam adegan perang kembang dan relasinya dengan Panakawan. Adegan perang kembang sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan tentang pakem tuntunan pedalangan di atas, mengandung nilai pengendalian diri sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup yang diistilahkan kasampurnan. Cresnayani et.al ,. 2009:289 mengemukakan bahwa adegan perang kembang , Arjuna berperang dan membunuh empat raksasa, Cakil, Rambut geni, Pragalba, dan Buta Galiyuk adalah simbol dari pribadi yang selalu menghadapi empat napsu lauamah, amarah, sufiyah dan mutmainah . Keempat napsu itu maknanya masing-masing, lauamah napsu kemalasan , amarah napsu kemarahan, sufiyah napsu birahi dan mutmainah napsu kesucian. Kemenangan Arjuna melawan keempat raksasa dipandang sebagai simbol kesempurnaan manusia mencapai hakekat hidup setelah mampu mengesampingkan keempat napsu. Solichin 2010:282 berpendapat bahwa makna simbol dari adegan perang kembang adalah makna esensial adanya wayang karena makna itu menuntun manusia Jawa untuk mencapai hakekat kesempurnaan untuk manunggaling kawula gusti yang artinya bersatu dengan hakekat hidup yaitu Tuhan. Nilai-nilai perang kembang itu dikonstruksi dan diwacanakan lewat pertunjukan wayang untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat luas bahwa Raja-Raja Mataram yang disimbolkan tokoh Arjuna adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan menyatu dengan dzat Tuhan. Persatuan manusia dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa populer disebut Manunggaling Kawula Gusti mengandung dimensi legitimasi kekuasaan. Solikhin 2008:104-105 dalam tulisannya berjudul Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa syarat manusia bisa menyatu dengan Dzat Allah adalah jika telah mencapai derajat insan al kamil manusia sempurna, dan pada derajat itu-lah manusia bisa disebut sebagai kalifah fi al- Ardh yang artinya wakil Tuhan di muka Bumi. Dengan demikian perang kembang mengandung pesan bahwa Sultan Agung adalah wakil Tuhan di Tanah Jawa. Demikian pula relasi antara Arjuna dengan Panakawan dan musuhya para danawabuta , adalah nilai-nilai implisit dalam pakeliran yang disampaikan kepada masyarakat penonton yang berisi pesan bahwa Raja-Raja Mataram adalah wiji luhur trahing kusuma rembesing madu wijiling andanawa ri ras super, keturunan para pahlawan, darah bangsawan, dan musuh para angkara murka. Sultan Agung dikodratkan sebagai penguasa orang Jawa dan satria penahluk bagi para pembangkang, sehingga siapa-pun golongan pembangkang disimbolkan sebagai kaum raksasa, buta, sabrang danatau danawa. Adegan Arjuna dengan Panakawan abdinya yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, serta peperangan Arjuna dengan raksasa dalam Perang Kembang adalah representasi dari konsep tersebut. Nilai-nilai implisit relasi Arjuna dengan Panakawan dan para raksasa dalam perang kembang dapat digambarkan dalam skema berikut. Gambar 14. Skema Relasi antara Arjuna dengan Panakawan, dan Buta. Dalam setiap pentas, dalang selalu mengacu ketiga jenis pakem di atas. Pakem gancaran sebagai sumber acuan bagi dalang tentang silsilah, isi cerita dan nilai-nilai moral lakon wayang. Pakem balungan menjadi acuan bagi dalang dalam hal alur lakon khususnya lakon-lakon carangan cerita baru yang masih mengacu pada cerita baku, dan pakem tuntunan diacu dalam hal urut-urutan adegan. Selain ketiga jenis pakem tertulis, masih banyak pakem-pakem konvensi tidak tertulis dalam hal tehnik mendalang tentang sulukan vokal dalang, sabet tata cara menggerakkan wayang, dan catur tata wacana wayang. Semua pakem bersumber dari para pujangga dan guru-guru pedalangan keraton yang telah mendapat pengesahan raja yang sedang berkuasa, diturunkan dari dalang legendaris Mataram, Kyai Panjangmas serta berpedoman pada isi Babad Tanah Jawi karya sastra era Sultan Agung Graaf, 2002:327. Raja-Raja Mataram trah Arjuna istimewa di atas kebanyakan orang Panakawan lambang orang kebanyakan Buta dan danawa lambang musuh Mataram

4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton