kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma, aji godhong jati aking,
temah papa, papariman ngulandara.
MN IV dalam Sarkoro, 2000: 181 . Terjemahan bebas tembang di atas sebagai berikut:
Salah sendiri jika tidak berusaha, kebutuhan baku orang hidup,
kehidupannya ada tiga hal, kewibawaan, harta, dan kepandaian,
jikalau sampai tidak memiliki di antara ketiga tersebut, sirna bekas-bekas kemanusiaanya,
lebih berharga dari pada daun jati kering, akhirnya jatuh miskin bagai pengemis yang mengembara.
Kaum
sudra
telah dikenal dalam era Hindu yaitu golongan terakhir dari catur warna, kasta
brahmana, ksatria, weisya dan sudra
. Kawuryan 2006:240 mengutip undang-undang tata negara Majapahit
Kutara manawa Darmasastra
, yang menurut Soekmono 1985:72 disusun oleh Mahapatih Gajahmada 1313-1364 M menguraikan
bahwa kaum
sudra
dikodratkan oleh dewa menjadi pelayan dari kaum
brahmana, Ksatria dan Weisya
. Kaum
sudra
dianjurkan untuk taat dan patuh melayani tuan-tuanya terutama para
brahmana
agar di alam baka mendapatkan
nirwana
, sedang ketaatan kepada
ksatria
dan
weisya
mendapatkan pahala duniawi.
4.3.4. Perilaku Poligami
Implikasi lain dari episteme era Mataram dalam sosial masyarakat Jawa, dikarenakan adanya diskursus Arjuna adalah perilaku poligami, yang menurut
Koentjaraningrat 1994:261-267 lebih banyak dilakukan para raja dan kaum
priyayi
. Di masa lampau poligami di lingkungan keraton dilakukan oleh raja agar memiliki
banyak keturunan untuk mendukung kekuasaanya sebagai bupati di daerah jajahan. Hal itu adalah sebuah strategi untuk menjamin kelestarian kekuasaan raja. Selain itu diluar
isteri utama raja yang berstatus
garwa padmi
, isteri selir lebih banyak berasal dari
kawula
klas rendah untuk mendapatkan keturunan dari raja agar ikut mengangkat derajat keluarga para selir tersebut. Soeratman 2000:359 menguraikan poligami di
lingkungan istana seringkali menyebabkan terjadinya masalah-masalah perselisihan di antara keluarga raja disebabkan saling cemburu untuk mendapatkan perhatian dari raja.
Poligami berakar dari
episteme
era Mataram yang menurut Graaf 2002:299 mengarah pada ekploitasi dan diskriminasi perempuan. Tindak diskriminasi terhadap
perempuan itu sering direpresentasikan dalam narasi klise wayang atau seni rakyat ketoprak bahwa para raja taklukan di luar Jawa setiap setahun sekali harus menyerahkan
glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi putri tandha panungkul
, artinya bahan mentah dan bahan jadi bahan perhiasan mentah seperti intan, emas, perak, mutiara maupun perhisan siap pakai , hingga putri sebagai tanda patuh
Soeratno dalam Soemarno, 1996:2. Bahasa klise yang biasa dinarasikan
babad,
wayang
, ketoprak
serta syair
bedaya
turun temurun itu meng-aktualisasikan sikap budaya Jawa khususnya keraton, bahwa para kaum hawa dipersamakan dengan barang-
barang mentah, intan, perak, serta perhiasan. Oleh karena ideologi itu kedudukan wanita Jawa era Mataram sangat inferior dan tidak dilindungi oleh hukum.
Tindak diskriminatif terhadap perempuan era Mataram bisa diketahui dari adanya tradisi pergundikan di lingkungan keraton dan perselingkuhan di lingkungan
para bangsawan, ketika perjinaan itu diketahui umum, pihak wanita yang dipersalahkan, sebagaimana catatan dari Jan Vos 1637 di Mataram telah terjadi
kehebohan karena putra mahkota kelak bertahta sebagai Sunan Mangkurat I berselingkuh dan melarikan selir tercantik dari tumenggung senior Wiraguna. Tidak
terima dengan ulah sang pangeran itu Wiraguna melapor kepada raja memohon keadilan, tetapi sikap itu malah menimbulkan murka Sultan Agung. Catatan Jan Vos
selanjutnya menguraikan bahwa akhirnya dengan kesadaranya sendiri putra mahkota mengembalikan selir Wiraguna. Akan tetapi malang nasib bagi selir cantik tersebut
karena ia menjadi sasaran kemarahan Wiraguna ditusuk enam kali dengan keris disekujur tubuhnya hingga menemui ajalnya. Atas sikap semena-mena Wiraguna
kepada selir itu, biang perselingkuhan putra mahkota dan Sultan Agung tidak mengambil tindakan apa-apa Graaf, 2002: 299.
Menarik untuk dikaji berkaitan perilaku diskriminatif tersebut, mengapa Sultan Agung tidak menghukum putranya sebagai biang perselingkuhan, sebaliknya memarahi
kepada pelapor Wiraguna, bahkan mengatakan bahwa “biasa sesekali seorang pria berselingkuh “ Graaf, 2002:299.
Perkataan Raja Mataram bahwa berselingkuh sebagai sebuah hal biasa tersebut mengisyaratkan bahwa, berselingkuh bagi kaum pria adalah hal yang biasa. Pandangan
itu bisa dipahami dalam konteks kode budaya Jawa, dikarenakan mereka mengkultuskan Arjuna yang beristeri banyak dan suka berselingkuh. Graaf mengutip
catatan Coen bahwa Sultan Agung dilayani oleh 50 000 wanita dalam
kedaton
dan putra mahkota dengan selir 10 000. Tiga diantara wanita ribuan itu putri keturunan
bangsawan di Cirebon, Pajang, dan Pati berstatus sebagai permaisuri yang memiliki hak-hak istimewa dalam berinteraksi dengan raja serta fasilitas-fasilitas yang di dapat,
sedangkan bagi para wanita yang berstatus
selir
di terangkan oleh Koentjaraningrat 1994:261-267, hanya memiliki kontak-kontak terbatas dengan raja, fasilitas serba
terbatas, dan perilaku yang kadang semena-mena sebagaimana dicontohkan di atas. Bukan tidak mungkin poligami perselingkuhan dan sifat
thuk mis
mudah terpesona terhadap wanita bagi pria Jawa khusunya para priyayi, adalah perilaku yang
diturunkan dari sifat Arjuna sebagai
lelananging jagad
sebagaimana dikemukakan di atas. Berkaitan dengan sikap peniruan, Freud dalam tulisannya berjudul
Psikologi Kepribadian
, terjemahan dari Sumadi menguraiakan bahwa untuk menghilangkan mereduksi empat macam ketegangan pokok kepribadian yaitu 1 proses pertumbuhan
fisiologis, 2 frustasi 3 konflik 4 ancaman, manusia melakukan
identifikasi
atau peniruan kepada orang lain. Proses itu lebih banyak tidak disadari oleh manusia, dengan
memilih sosok tokoh yang bisa mengantarkan tujuannya juga agar dapat identik dengan yang ditiru. Menurut Sigmund Freud obyek peniruan itu tidak sebatas pada manusia
bisa juga sifat-sifat binatang, tumbuhan, dan barang-barang dipandang bisa menjadi acuan. Berbeda dengan
imitasi
peniruan itu kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya Freud dalam Sumadi, 1982 : 164:165.
Poligami adalah perilaku fenomenal di masyarakat Jawa dahulu hingga sekarang yang selalu diwarnai pro dan kontra disebabkan lebih merupakan subordinasi wanita
berdampak penderitaan. Vreede 2008 mengutip pandangan pelopor pejuang emansipasi wanita Indonesia, R.A. Kartini dalam surat kepada sahabatnya di negeri
Belanda Zeehandelaar bertanggal 23 Agustus 1900, mengungkapkan keluhan mengenai kehidupan poligami di lingkungan para priyayi sebagai berikut:
Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola saja yang sama. Kami tak boleh bercita-cita. Satu-satunya yang boleh kami
mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi seorang lelaki......mereka begitu saja dikawinkan dengan siapa saja yang dipandang baik
oleh orang tuanya.......Tidak semua orang memiliki empat orang isteri, tetapi dalam dunia kami tiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa ia
bukan satu-satunya isteri dari suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta dapat saja membawa perempuan menjadi temannya, hampir tiap perempuan
yang kukenal mengutuk hak para lelaki itu. Namun kutukan itu tak berguna Kartini dalam Vreede, 2008:67.
Terbentuknya
episteme
era Mataram sebagaimana telah diuraikan di atas dengan bentuk-bentuk khas
episteme
itu menunjukkan bahwa tujuan Raja-Raja Mataram untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Jawa telah tercapai dengan relatif sempurna.
Tidak saja dukungan itu mampu menyokong target politik Sultan Agung yang sifatnya sesaat untuk mendapatkan pengakuan terhadap legitimasi kekuasaan di Jawa, tetapi juga
menghegemoni relatif
langgeng
terhadap kekuasaan keturunannya zaman Mataram hingga era Surakarta dan Jogjakarta sekarang ini. Proses membangun dukungan dengan
mewacanakan diskursus Arjuna itu dalam pandangan hegemoni Gramsci adalah upaya Sultan Agung merebut persetujuan dari masyarakat Mataram untuk mendukung
kekuasaanya. Dalam konsep hegemoni, Gramsci mengemukakan seperti di bawah ini. Ada suatu blok historis dari faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas
sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni terjadi proses-proses penciptaan makna yang
digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik- praktik yang dominan atau otoritatif Gramsci dalam Barker, 2005:467
Dari berbagai uraian di atas bisa dirangkum bahwa implikasi diskursus Arjuna
dalam kebudayaan Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik secara individu-individu maupun inter-individu. Artinya, pengetahuan itu diterima
melalui tahap sosialisasi kehidupan sejak balita hingga dewasa, di masing-masing pribadi dan kolektif masyarakat Jawa di lingkungan masyarakat tradisi Jawa tradisi
yang mengkultuskan Arjuna, lewat ritual-ritual maupun pentas wayang. Dalam vase yang cukup panjang pengetahuan itu kemudian mempribadi menjadi sebuah nilai-nilai
yang dipahami, disepakati, dan ditaati bersama sebagai sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut dengan istilah
episteme
era Mataram. Episteme itu dalam budaya Jawa sering disebut dengan budaya gagrag ragam
mataraman
, atau Mataram
sultan- agungan
. Terkonstruksinya episteme era Mataram itu menandakan bentuk hegemoni masyarakat Jawa terhadap legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan dinasti
keturunannya. Bentuk-bentuk riil dari episteme
mataraman
itu adalah kecenderungan, kesetujuan dan hegemoni terhadap pengagungan produk budaya keraton, sebagaimana
dipahami masyarakat Jawa umumnya misalnya budaya
adiluhung, kejawen
, pengkultusan terhadap para raja Jawa dan gaya hidup priyayi terutama yang masih
poluler hingga sekarang poligami. Ketika episteme budaya keraton telah
mbalung sungsum
mengakar dalam kebudayaan Jawa, tidak bisa dihindari perjalanan budaya memasuki era globalisasi, di
mana budaya Jawa harus menyesuaikan diri dengan isyu-isyu global seperti demokrasi, kapitalisme, budaya populer, simulacra, gender, emansipasi dan feminisme, sehingga
akhirnya benturan budaya tersebut menimbulkan masalah-masalah budaya di masyarakat. Problem itu misalnya budaya
adiluhung
dalam sisi tertentu adalah kultus terhadap kekuasaan raja yang sudah tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Produk
adiluhung
di bidang
pakem
juga dicurigai sebagai pembelenggu kreatifitas berkarya seni, serta biang dari kematian budaya kerakyatan. Ciri khas releigiusitas
kejawen
yang bersifat sinkretik juga mulai dihujat karena menjadi faktor penghalang pengamalan
Islam dan agama lain secara totalitas atau dalam istilah Islam pengalaman yang
kaffah.
Lebih-lebih gaya hidup para raja dan
priyayi
, poligami dituduh sebagai model poligami dan perselingkuhan bagi kaum pria sekarang di masyarakat, yang bertentangan dengan
semangat kesetaraan gender, dan emansipasi.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari berbagai analisis dalam pembahasan “Bab IV” bisa disimpulkan bahwa
diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa adalah wacana yang dibangun oleh Sultan Agung menggunakan media tokoh wayang Arjuna bertujuan untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat Jawa. Jawaban ketiga permasalahan sebagai sasaran dari tujuan penelitian berkaitan dengan dipilihnya tokoh Arjuna sebagai media
diskursus, proses serta implikasinya dalam masyarakat Jawa sekarang, dalam pembahasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama
tujuan penelitian untuk mendapatkan kejelasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus dijelaskan bahwa pemilihan itu dengan pertimbangan bahwa
Arjuna adalah tokoh protogonis Wayang Purwa yang bernilai kultus, mitologis dan anutan. Sebagai tokoh yang dikultuskan Arjuna dipercaya membawa
magi
keberkahan, tolak bala dan kemenangan perang. Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur
Raja-Raja Mataram yang akan mewariskan wahyu keraton kepada keturunannya raja- raja dinasti Mataram, dan sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi
kekuasaan Sultan Agung.
Kedua
, tujuan penelitian untuk mengungkap proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna yang diwacanakan oleh Sultan Agung, dijelaskan bahwa wacana itu dibangun
dengan cara desentralisasi dan pluralisasi
power knowledge
kuasa pengetahuan bagi setiap individu di Mataram.
Desentralisasi
kuasa pengetahuan disebarluaskan melalui agen-agen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton pada
ivent-ivent
yang telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di lingkungan keraton, rumah
priyayi
maupun masyarakat umum.
Pluralisasi
adalah sebuah proses di mana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan dihimbau
melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai ketokohan Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu adalah
tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di Jawa dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan
episteme
yang menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.