regulasi sosialisasi kepatuhan terhadap norma-norma dan aturan-aturan di masyarakat, yang norma serta aturan itu dikonstruksi oleh rezim kebenaran atau
episteme
era sejarah tertentu oleh penguasa Barker, 2005:104.
2.3.2. Teori Hegemoni
Teori hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci, berkait dengan pembahasan tentang masalah politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980. Konsep
ini menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan
cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik
yang dominan atau otoritatif Gramsci dalam Barker, 2005:467. Teori hegemoni dalam penelitian ini akan dimanfaatkan untuk menuntun analisis
peranan raja-raja Jawa merebut persetujuan dari orang Jawa dengan makna tokoh Arjuna yang pada finalnya akan melegitimasikan kekuasaan mereka. Wayang memiliki
sejarah panjang berkaitan dengan perananya dalam masyarakat untuk kepentingan penguasa. Helen 2004 dalam jurnal internasional
Journal of Southeast Asian Studies menguraikan
“
The use of wayang shadow puppets as means of conveying political propaganda in Java is far from new
.” Sejak dahulu hingga sekarang wayang sering dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan politiknya.
2.3.3. Teori Semiotika
Untuk menganalisis nilai-nilai moral dalam figur wayang Arjuna dan gelar- gelarnya, digunakan semiosis wacana dari Bartes. Tokoh terkemuka semiosis pasca
strukturalisme yang bernama lengkap Roland Barthes 1915-1980 lahir di Cherbourg Prancis utara mengembangkan analisis wacana Budiman, 2002:102. Hal itu berbeda
dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana
parole
termasuk bentuk-bentuk ujaran individual adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau
analisis. Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan
konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai
petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi
expression
dilambangkan E, dan isi
content
dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi
relation
yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan ERC
Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna
bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi subyek-subyek individu. Hoed 2011:66 tentang semiotika wacana Barthes
mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer mana suka digolongkan sebagai
mitos
jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir
masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi. Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur
tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “
Lelananging Jagat
” bertujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu
sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram.
Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra
lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.
2.4. Model Penelitian