Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

terakhir penyajian simpulan yang salah satunya berupa saran-saran adanya penelitian berikutnya pada bidang masalah yang belum sempat dibahas pada sebuah penelitian. Menurut Miles dan Huberman ketiga tahap terakhir, reduksi data, penyajian data dan simpulan itulah tahap analisis data. Khusus mengenai interpretasi Ratna mendeskripsikan bahwa proses itu memiliki kesamaan dengan imajinasi, khayalan, kreativitas, dan bentuk-bentuk kontemplasi rohaniah lain, kekhasannya interpretasi bertujuan akhir kualitas obyektifitas. Interpretasi bukan ekpresi dan aktualisasi personal tetapi interpersonal sebagai bagian sosial budaya masyarakat yang berlandasan kuat terhadap tiga pijakan yaitu: a secara ontologis merupakan hakekat dasar manusia, b secara epistemologis ditunjukan dengan interpretasi secara obyektif, dan c secara aksiologis interpretasi bertujuan mengembangkan aspek kehidupan manusia secara keseluruhan Ratna, 2010:307. Berlandaskan ketiga pijakan di atas interpretasi unsur-unsur maupun keseluruhan diskursus berkaitan dengan tokoh Arjuna akan menyajikan makna baru sebagai berikut. 1 Hakekat dari terjadinya wacana-wacana tentang Arjuna berkaitan dengan legitimasi raja-raja Jawa Mataram dalam masyarakat budaya Jawa; 2 Menyajikan proses terjadinya diskursus Arjuna di Mataram yang kemudian akan membangun kuasa pengetahuan berkaitan dengan wayang; 3 Menunjukkan bahwa hasil penelitian yang mengurai tentang implikasi-implikasi wacana tentang tokoh Arjuna terhadap budaya Jawa sekarang perlu dipahami dan disikapi secara proporsional terutama berkaitan dengan tranformasi budaya di era sekarang.

3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Teknik penyajian hasil analisis data adalah dengan menggunakan gabungan antara informal dan formal. Tehnik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis secara naratif dengan menggunakan Bahasa Indonesia ragam Ilmiah, sedangkan teknik penyajian formal adalah hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, diagram, foto, atau semacamnya. Teknik penyajian ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analitis. Keseluruhan sajian urainnya akan dibagi menjadi lima bab dengan berpedoman teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku di kalangan akademis.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna Oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media Diskursus

Mataram adalah sebuah era peradaban dalam sejarah Jawa yang sangat termasyur hingga saat ini. Dalam sejarah Jawa, Mataram bermakna dua pengertian era Hindu didirikan oleh Dinasti Sanjaya pada abad IX dan era Islam yang didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan pada abad XVI. Dalam pembahasan ini Mataram mengacu pada makna terakhir era Islam, pasca runtuhnya peradaban sebelumnya Pajang atau Demak. Jejak-jejak kemasyuran Mataram Islam hingga kini masih disebut-sebut dalam arena sejarah dan budaya, karena dinasti keturunanya hingga abad 21 saat ini masih eksis di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan masih berwibawa di bidang budaya yaitu Keraton Surakarta, Kasultanan Jogjakarta, Kadipaten Mangkunagaran dan Pakualaman Jogjakarta. Sebagaimana telah disinggung dalam konsep “Raja-Raja Dinasti Mataram” pada bab II, Graaf dan Pigeaud 2003:249 dalam bukunya berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mendeskrepsikan bahwa Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan seorang prajurit karismatik dari Sela Purwodadi Grobogan pada tahun 1577 M, di Kota Gede. Sebelum dibangun menjadi kerajaan, wilayah itu berujud hutan yang disebut Hutan Mentaok, bagian dari wilayah Sultan Hadiwijaya di Pajang. Hutan yang terkenal angker itu dianugerahkan kepada Pemanahan sebagai hadiah kemenangan Pajang atas Jipang, setelah terjadi kemelut perebutan tahta Demak berkepanjangan di antara pewaris keturunan Sultan Demak, setelah Raden Patah wafat. Setelah Ki Gedhe Pemanahan wafat, penguasa Mataram diteruskan oleh raja- raja trah keturunannya, yaitu Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati seda Krapyak , Sultan Agung, Sunan Mangkurat I dan seterusnya. Sepeninggal perintisnya Pemanahan dan Panembahan Senopati, pusat pemerintahan Mataram berpindah-pindah sejak dari Kota Gedhe, ke Kedhaton Plered, kemudian berpindah ke Kartasura dan Surakarta, disebabkan terjadinya berbagai pergolakan perebutan tahta di antara para raja dan pangeran keturunan Dinasti Mataram yang pada akhirnya karena campur tangan