Williams memposisikan budaya secara netral dan alami, bahwa budaya tinggi- rendah,
adiluhung
-kerakyatan, kontemporer, klasik dan populer sesungguhnya hanya perbedaan dimensi tempat dan waktu saja, sedangkan penilaian seni halus dan kasar,
narasi besar dan kecil hanya asumsi-asumsi yang sangat dilatarbelakangi oleh relatifitas pengalaman masing-masing. Namun baik seni keraton, maupun rakyat, budaya klasik
maupun populer semuanya adalah proses alami dalam sosial budaya, semuanya berhak hidup bersama-sama tidak ada yang saling mengungguli.
4.3.2. Religiusitas Kejawen
Di bidang religius masyarakat, di Jawa maupun Indonesia pada umumnya telah dilembagakan oleh negara dalam bentuk agama yang di
cantumkan dalam “kartu tanda penduduk” KTP. Dalam pelaksanaanya terutama Agama Islam, tradisi lokal sangat
mempengaruhi, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Wahied, bahwa bentuk ritual Islam tradisi Indonesia terdiri dari tiga model yaitu a model Sumatera Barat yang
berakar pada tradisi Minangkabau, b model Gowa di Sulawesi yang berakar pada tradisi Islam kerajaan Gowa, dan c model Jawa yang berakar pada tradisi Islam Jawa
Wahied, 2000:19-21. Islam Jawa terutama daerah pedalaman sering disebut dengan dua istilah yaitu
Islam
Kejawen
dan
abangan
. Kedua istilah tersebut mendeskrepsikan bahwa pelaksanaan ritual Islam di Jawa sangat dipengaruhi tradisi Jawa yang dalam
pembahasan ini menunjukkan indikasi-indikasi pengaruh
episteme
era Mataram Sultan Agung yang bersifat sinkretik. Suyamto 1992:13 memaknai
kejawen
adalah sistem pemikiran dan perilaku yang memadukan dua unsur agama atau lebih menjadi sebuah
bentuk religi lain dari sebelumnya. Lebih lanjut diuraikan oleh Ketua Yayasan Jatidiri Propinsi Jawa tengah itu bahwa pemaduan itu bukan sebuah pencampuradukan dogma
agama tetapi sebuah sikap saling toleransi sesama pemeluk agama dan keyakinan yang diwujudkan dalam religiusitas. Oleh sebab itu ia lebih suka menggunakan istilah
tantularisme,
yang berakar dari ajaran Mpu Tantular di era Majapahit yang mengajarkan nilai
“
bhineka tunggal ika tan hana darma mangrwa
” berbeda-beda dalam kesatuan
tidak ada agama yang mendua. Koentjaraningrat 1994:318 berpandangan bahwa sikap pemaduan beberapa agama dan keyakinan itu digolongkan dalam sinkretisme
yang disebut
Agami Jawi
, yaitu suatu sikap budaya menampakkan pengamalan Islam di
permukaan tetapi di dalamnya belum meninggalkan nilai-nilai
hinduistik, budaistik, animistik
dan
dinamistik.
Geetz 1959:353 menyebut budaya sinkretik itu dengan istilah tradisi
Islam abangan,
yang digunakan sebagai pembeda Islam
putihan
yang dianut oleh sebagian besar pemeluk di pesisir utara Jawa
.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa akar ritual
Agami Jawi
diturunkan sejak era Mataram, Sultan Agung bersama para tim ahlinya, Panembahan Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai
Panjang Jiwa, dan Kyai Panjang Mas, diteruskan
trah
keturunannya PB III 1749-1788 di Surakarta , bersama pujangga R.Ng. Yasadipura 1729-1803, untuk tetap
melestarikan warisan nilai-nilai budaya sebelumnya, era Demak, ataupun Majapahit. Lebih lanjut dikemukakan bahwa formulasi
Agami Jawi
itu dilatarbelakangi oleh semakin kuatnya desakan budaya Islam pesisir yang mistik dan
heterodog
kepada budaya pedalaman Mataram yang
hinduistik, animistis
dan
dinamistis
, ditandai dengan semakin merebaknya pemakaian tulisan
Arab
di masyarakat serta populernya karya- karya
suluk
dari pesantren pesisir yang salah satunya
Serat Dewa Ruci
. Untuk mempertahankan budaya Jawa kuno itu maka budaya Islam pesisir kemudian disatukan
dengan kearifan lokal yang telah lama berkembang, dalam bentuk nilai-nilai ideologi Mataram sebagaimana dalam
Babad Tanah Jawi, Sastra Gending
dan penetapan penanggalan Jawa yang didalamnya berisi mitologi baru perpaduan antara dewa dan
nabi dari Arab dalam satu keluarga sesama keturunan Nabi Adam dan Sis Koentjaraningrat, 1994:317-318.
Nilai-nilai sinkretik sebagai konstruksi budaya yang dibangun dari diskursus Arjuna, sangat nampak dalam silsilah wayang, dengan sangat pentingnya peran dewa-
dewa dalam menentukan nasib para
titah
manusia. Tokoh-tokoh dewa pemelihara alam seperti Wisnu, Indra, Naradha dan Guru sangat berperan dalam menentukan
kemenangan perang, serta anugerah wahyu yang akan diterima para manusia. Sangat berbeda dengan konsep Hindu bahwa Wisnu dan Guru sebagai inkarnasi dari Hyang
Widiwasa Tuhan, dalam
pakem
wayang
episteme
Mataram, para dewa diposisikan sebagai kerurunan dari nabi Sis dan Adam Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:354 .
Selain pada wayang, pengaruh tradisi sinkretik di keraton penerus Mataram, Surakarta, dan Jogjakarta, tampak pada acara
Maesa Lawung
yaitu upacara persembahan sesaji di Laut selatan, Puncak Lawu, Merapi dan Hutan Krendhawahana di
Kaliyasa Sragen yang diselenggarakan setiap tahun untuk menghormati empat penjuru
danyang
leluhur penjaga kedua keraton tersebut wawancara Winarno, 1 Desember 2014. Berkaitan dengan tradisi selamatan di keempat tempat itu Soeratman 2000:179
mengemukakan, bahwa dimensi kekuasaan Raja Jawa tidak hanya hamparan Tanah Jawa dan manusia yang mendiami, tetapi juga didukung oleh empat penjuru kekuatan
supranatural yaitu dari arah timur Sunan Lawu di puncak Gunung Lawu, dari arah selatan Raja laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, dari arah barat Danyang Gunung Merapi
Eyang Sapujagat, dan dari utara Hutan Krendhawahana, Kanjeng Ratu Kalayuwati.
Episteme
era Mataram juga mengakar pada tradisi keraton tentang pemakaian gelar raja baik di Surakarta dan Jogjakarta selalu mengacu gelar Sultan Agung yang
memadukan antara unsur Islam dan Jawa. Gelar Sultan Agung 1613-1645, yang lengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan gelar sebelumnya yang dipakai sejak
tahun 1624 M,
Susuhunan Ngalaga ing Mataram Prabu Hanyakrakusuma
, terdiri dari gabungan kata-kata simbol pemimpin Islam,
Sultan
dan
Susuhunan
serta simbol raja Jawa kuno,
Prabu
dan
Hanyakrakusuma
Graaf, 2002:157 . Gelar sunan dan sultan
telah dipakai para pemimpin negara sebelumnya di Pajang maupun Demak, seperti Sunan Bonang, Sultan Hadiwijoyo maupun Sultan Patah Jimbuningrat. Konsep kata
Hanyakusuma
berasal dari tradisi raja-raja hinduistis dari kata dasar
cakra
dan
kusuma
. Konsep cakra dilandasi sifat raja
Jawa mbau dhendha
dan
nyakrawati
, artinya raja memiliki kekuatan tidak terbatas bagai berpundak
gada
dan raja sebagai penguasa dunia Soeratman, 2000:6 .
Fenomena
Agami Jawi
di keraton juga nampak pada tradisi
sekaten
yang hingga kini masih dilestarikan oleh dinasti Mataram di Surakarta, maupun Jogjakarta.
Peringatan hari besar Islam, kelahiran Nabi Muhammad, SAW pada setiap bulan Maulud di kedua keraton Jawa yang merupakan pelestarian tradisi Mataram jaman
Sultan Agung selalu diwarnai tradisi prosesi
garebeg tumpeng gunungan
arak-arakan tumpeng menyerupai gunung, dan kemeriahan gamelan
sekaten.
Bahkan, ada pula nilai-nilai Mataram yang secara eksplisit masih berlaku hingga saat ini setiap tahun di
lingkungan keraton dan daerah-daerah kolektif agraris, yaitu penanggalan Jawa yang oleh Sultan Agung mulai dipakai sejak hari Jum’at 1 Sura 1555 Jawa 8 Juli 1633.
Sejak penetapan itu, orang Jawa memasuki tradisi baru pemakaian nama bulan yang dipengaruhi budaya Arab seperti
Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir
dan seterusnya. Demikian juga nama-nama hari, orang Jawa mulai
menggunakan hari Arab, meskipun pemakaian pasaran produk Hindu masih dipertahankan, Graaf, 2002:245.
Akar budaya Mataram yang sangat penting bagi ideologi Jawa dahulu dan sekarang, adalah tradisi berfikir mistik, berkaitan dengan tasawuf Islam atau mistik
yang mengarah pada kepercayaan takhayul. Graaf 2002:256 mendeskripsikan bahwa mistik Islam telah dirintis oleh keturunan ke-7 dari Sunan Ampel, Pangeran Pekik
saudara ipar Sultan Agung, dengan karyanya yang sangat populer yaitu
Sastragendhing.
Karya monumental itu dipersembahkan atas nama Sultan Agung menarasikan tasawuf Islam, sebuah refleksi ruhani islami dengan perpaduan perumpamaan-perumpamaan
tembang, gendhing
Jawa dan tokoh-tokoh wayang yang lebih bercorak hinduistik. Salah satu ajaran tasawuf
itu adalah “
pupuh tembang Asmarandana pada 8
” sebagai berikut:
Dudu ngakal trusing gendhing, ngakal lungiting susastra,
ngakal ing gendhing jatine, babaring jatining sastra,
kawitaning aksara, sawiji alif kang tuduh,
mengku gaibul uwiyah
Sultan Agung dalam Rendra, 2010:10. Terjemahan tembang tersebut sebagai berikut:
Bukan pemahaman tentang gendhing, pemahaman tentang sastra,
sejatinya pemahaman gendhing, penjelasan tentang hakikat sastra,
tentang asal mula huruf-huruf, satu alif yang menjadi petunjuk,
memuat substansi kegaiban. Salah satu contoh lagi
episteme
era Mataram yang masih marak hingga kini yaitu kepercayaan orang Jawa terhadap roh-roh, penunggu desa atau tempat tertentu
yang disebut
danyang,
terutama kepercayaan tentang
Kanjeng Ratu Kidul.
Sumber mitos tentang isteri raja-raja Jawa di Mataram itu selain dari wacana lisan, juga
Babad Tanah Jawi
, yang disusun di era Sultan Agung, sebagaimana telah disinggung di atas. Diceritakan dalam
Babad Tanah Jawi
setelah melaksanakan pertapaan berat menghanyutkan diri di kali Opak yang bermuara di pantai laut selatan Parang Kusuma,
di tempat itu Sutawijaya nama Senopati sewaktu remaja bertemu dengan makluk magis Ratu Kidul. Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa raja laut selatan itu bersedia
diperisteri Sutawijaya dan akan membantu berdirinya Mataram secara turun-temurun. Dalam sebuah ketegangan di desa Taji dekat Prambanan ketika kedua negara Pajang
dan Mataram siap berperang, Ratu Kidul membantu Panembahan Senopati secara gaib membunuh Sultan Hadiwijaya, raja Pajang yang juga ayah angkat dari Sutowijaya
Graaf dan Pigeaud, 2003:253 . Dipengaruhi kepercayaan tentang
Ratu Kidul
itu hingga kini orang Jawa masih banyak yang mentaati pantangan-pantangan seperti larangan punya kerja di bulan
Sura,
memakai pakaian hijau
gadhung melathi
di pinggir pantai selatan, serta kepercayaan datangnya
lampor
yang mendatangkan
pagebluk
wabah. Sejak era keterbukaan dan demokrasi, jaman reformasi, tradisi
kejawen
era Mataram mulai dikritisi masyarakat, terutama dari lingkungan
santri.
Qordowi 1980:327-329 mengemukakan bahwa sinkretisme, mistisisme, dan
perdukunan
, dalam konsep Islam digolongkan amalan
bid’ah, kurafat,
dan syirik,
yang sangat di larang oleh agama Qordowi, 1980:327-329. Ketua Dewan Syuro Nahdatul Ulama NU, Gus
Dur 2000, 19-21 berpandangan bahwa Mataram adalah tonggak sejarah awal terbentuknya masyarakat Islam yang menempatkan keraton sebagai pusat kekuasaan
agama, tetapi ajaran Islam hanya sebagai simbol ornamental belaka. Simbol Islam mudah dilihat secara fisik seperti gelar raja
Syayidin Panatagama Kaliffaulloh Tanah Jawi
, masdjid agung selalu di bangun megah di sebelah kanan alun-alun di keraton- keraton Jawa, dengan upacara-upacara besar pada hari besar Islam seperti Maulud Nabi
dan Hari Raya Idul Fitri yang rutin selalu diperingati orang Jawa dengan sangat meriah. Akan tetapi, bisa diketahui bahwa raja dan hampir seluruh rakyatnya tidak
melaksanakan syariat Islam dengan baik; hal itu mudah diketahui dengan hadirnya raja hanya tiga kali ke masjid, pada upacara Garebeg Sekaten, Syawal, serta Besar.
Simbol-simbol islami seperti itu ditiru dan dilestarikan oleh propinsi-propinsi dan kebupaten-kabupaten di Jawa tengah dan timur, bahkan juga Pemerintahan
Republik dalam penataan posisi Istana Negara dengan Masjid Istiqlal. Namun harus diakui bahwa pengamalan Islam di Jawa pada umumnya baru sebatas pada
ornamental Islam
belum menyentuh substansi maupun penghayatan nilai-nilai Islam itu sendiri.
4.3.3.Patuh terhadap Raja
Salah satu etika masyarakat yang mengindikasikan episteme era Mataram dalam budaya Jawa adalah kepatuhan terhadap raja. Bentuk kepatuhan itu selain taat terhadap
perintah raja juga nampak dalam etika hubungan masyarakat kepada raja dan keluarganya dengan menunjukkan sikap penghormatan khusus yaitu dengan
menyembah
menyatukan ujung jari tangan di depan hidung dengan menunduk serta berbicara dengan menggunakan
krama hinggil
berbahasa halus tingkat tinggi untuk raja dengan se
butan khusus kepada raja misalnya “
Sampeyan ndalem ingkang Sinuwun
” Paduka yang mulia untuk sunan di Surakarta, “
Ngarsadalem Kanjeng Sultan
” kepada paduka Sultan yang mulia, untuk sultan di Jogjakarta, dan “
Sripaduka yang Mulia
” untuk menyebut Mangkunagara. Demikian pula panggilan untuk para pangeran dan putri raja seperti, gusti,
kanjeng pangeran, gusti ayu, raden ayu
, dan panggilan lain seperti
kanjeng
,
mas ngabehi
bagi orang-orang terdekat raja yang dalam budaya Jawa disebut kaum
priyayi
wawancara dengan Winarno, 24 Desember 2014. Sikap hormat orang Jawa kepada keluarga raja juga ditunjukkan dengan kepatuhan
dalam hal berpakaian misalnya larangan memakai kain
parang rusak
dan alas kaki di lingkungan keraton, karena kedua pakaian itu dikhususkan untuk raja dan permaisuri
Soeratman, 2000:158 . Perilaku orang Jawa memuliakan raja-raja dan kerabatnya adalah konstruksi
sosial yang mengakar pada sikap legitimasi Raja-Raja Mataram sebagai penguasa tunggal di Tanah Jawa sebagai trah agung keturunan nabi dan para dewa. Wacana
pengagungan dinasti itu berdampak stratifikasi sosial dikotomi hierarkis
kawula-gusti
, dan
wirya
-
sudra. Gusti dan wirya
, menempati hierarkis agung sebagai patron, sedangkan
kawula-sudra
berada dalam strata rendahan sebagai klien yang harus melayani.
Pertama
makna kata
gusti
dan
kawula.
Menurut kamus bahasa Jawa
bausastra, gusti
adalah sebutan bagi Tuhan dan orang-orang terhormat Atmojo, 1994:126. Dalam bahasa Jawa, kata
gusti
biasa digunakan untuk menyebut Tuhan seperti
Gusti Allah, Gusti kang Maha Agung, Gusti Maha kuwasa
. Namun, kata itu juga untuk menyebut dzat manusia yang berstatus tinggi khususnya para raja ataupun para putra raja seperti
Kanjeng Gusti Sri Mangkunagara IX, Gusti Koesmurtiyah, Gusti Puger, dan sebagainya. Status pangeran, raja, dan Tuhan disamakan karena dalam budaya Jawa,
sebagaimana diajarkan PB IV dalam
Wulangreh
raja adalah wakil Tuhan di dunia, siapa saja berani menentang raja sama juga dengan menentang Tuhan Soeratman, 1983:4.
Sebaliknya kata
kawula
dalam bahasa Jawa dimaknai sebagi pembantu, abdi, dan rakyat orang-orang di bawah kekuasaan raja Atmojo, 1994:157. Dalam fungsi yang berbeda
kawula
biasa di sinonimkan dengan
abdi
artinya pelayan bagi para
gusti.
Interaksi sosial antara
kawula
dan
gusti
bisa dipahami pada ajaran PB IV dalam
Wulangreh
“
pupuh Maskumambang
pada 16
–
17
” sebagai berikut “
wong neng donya kudu manut marang Gusti......Nora beda putra sentana wong cilik, yen padha ngawula, pan kabeh
namaning abdi, yen dosa ukume padha” PB IV dalam Sukiyat, 1990:75. Tembang tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut “manusia di dunia harus taat kepada
tuwan...tidak berbeda saudara dan rakyat kecil jika mengabdi semua disebut abdi, jika bersalah hukumnya sama”.
Soemarsaid Moertono 1985:25 berkaitan dengan hubungan antara kawula dan gusti menguraikan sebagai berikut.
Hubungan antara raja dan rakyat, konsep
kawula-gusti
tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi menunjukkan
kesalingtergantungan
yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari yang
sama.
Kedua
, makna kata
wirya
dan
sudra
.
Wirya
menurut Sarkoro 2000:181 dalam tulisanya
Bahasan dan Wawasan atas Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagoro IV
, dimaknai manusia yang berderajat tinggi, yang karena jabatan dan kedudukannya maka dihormati orang lain.
Wirya
dalam budaya Jawa dianggap satu kesatuan dengan
harta
kekayaan dan
wasis
kecerdasan. Ketiga-tiganya dalam budaya Jawa dipandang sebagai sebuah kesempurnaan bagi manusia yang bermartabat luhur.
Setidaknya, satu atau dua diantara
wirya, harta,
dan
wasis
harus ada dalam diri manusia, sebaliknya jika satu-pun tidak dimiliki, manusia akan jatuh pada derajat
terendah yang tidak akan dihargai oleh siapa-pun. Konsep pandangan itu diajarkan oleh Mangkunagoro IV dalam
Wedhatama
“
pupuh tembang Sinom pada 15
“ sebagai berikut:
Bonggan yen tan merlokena, angger ugering aurip,
uripe mung tri prakara, wirya harta tri winasis,
kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma, aji godhong jati aking,
temah papa, papariman ngulandara.
MN IV dalam Sarkoro, 2000: 181 . Terjemahan bebas tembang di atas sebagai berikut:
Salah sendiri jika tidak berusaha, kebutuhan baku orang hidup,
kehidupannya ada tiga hal, kewibawaan, harta, dan kepandaian,
jikalau sampai tidak memiliki di antara ketiga tersebut, sirna bekas-bekas kemanusiaanya,
lebih berharga dari pada daun jati kering, akhirnya jatuh miskin bagai pengemis yang mengembara.
Kaum
sudra
telah dikenal dalam era Hindu yaitu golongan terakhir dari catur warna, kasta
brahmana, ksatria, weisya dan sudra
. Kawuryan 2006:240 mengutip undang-undang tata negara Majapahit
Kutara manawa Darmasastra
, yang menurut Soekmono 1985:72 disusun oleh Mahapatih Gajahmada 1313-1364 M menguraikan
bahwa kaum
sudra
dikodratkan oleh dewa menjadi pelayan dari kaum
brahmana, Ksatria dan Weisya
. Kaum
sudra
dianjurkan untuk taat dan patuh melayani tuan-tuanya terutama para
brahmana
agar di alam baka mendapatkan
nirwana
, sedang ketaatan kepada
ksatria
dan
weisya
mendapatkan pahala duniawi.
4.3.4. Perilaku Poligami