Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa

Penjelasan skema di atas bisa dipahami bahwa diskursus Arjuna yang bersumber dari Babad Tanah Jawi adalah sebuah strategi politik Raja-Raja Mataram, dalam membangun wacana-wacana legitimasi dan keagungan lewat pengetahuan wayang yang dikonstruksi secara dialetik ; instruksi dari pemerintah pusat secara desentralisasi dan sosialisasi untuk mendapatkan umpan balik hegemoni masyarakat Jawa terhadap kekuasaannya di Mataram. Basuki dalam jurnal internasional Kta menguraikan “Wayang kulit shadow puppet has not only been an entertainment; it is a medium to disseminate Javanese values to the public. Therefore, wayang kulit has been a site of power game. Those who could control it have their best opportunity to pass their values to the public”Basuki, 2006 : 1. Wayang adalah media ampuh untuk mengendalikan masyarakat Jawa dikarenakan karakter kolektif Jawa yang selalu patuh dan berusaha menggapai nilai-nilai. Berlandaskan konsep di atas bisa dipahami motivasi Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media wacana, didorong oleh eksistensi ketokohan Arjuna di era itu yang memungkinkan bisa menjadi media legitimasi kewibawaan Raja-Raja Mataram. Sesuai dengan budaya jamannya; di mana orang Jawa masih dalam tahap tradisi-tradisi pengkultusan, dan mitologi, maka eksistensi itu bisa diketahui dari pandangan dan tradisi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Mataram terhadap kultus yang berkaitan dengan magi-magi, mitologi, serta nilai-nilai anutan yang melekat pada ksatria panengah Pandhawa itu. Ketiga penyebab motivasi itu diuraikan per-sub judul sebagai berikut.

4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI online, kata kultus diartikan penghormatan resmi dalam agama, seorang raja dantokoh yang didewa-dewakan Setiawan, 2014:1. Dalam arti luas kultus bisa diartikan sebagai pemujaan terhadap dewa atau tokoh mitologi yang dihormati dan diyakini mendatangkan berkah. Pemujaan Arjuna berkaitan terhadap diskursus yang konstruksi oleh Raja-Raja Mataram tentu tidak bisa dipisahkan dengan popularitas tontonan wayang di era itu. Popularitas wayang era Islam diawali konvensi-konvensi lisan tentang peranan wali dalam mengembangkan seni pentas wayang, terutama Sunan Kalijaga yang konon berdakwah menggunakan cerita wayang. Soetarno 1995:22 menguraikan bahwa era Islam awal partisipasi keraton terhadap wayang pada tahun 1518 M, Raden Patah menginstruksikan pelarangan mementaskan wayang purwa gaya Majapahit yang wujudnya mirib manusia, selanjutnya diperintahkan kepada para dalang dan abdi dalem pemahat wayang untuk membuat dalam bentuk stilisasi . Raja I Demak itu juga melengkapi wayang dengan pembuatan wayang gunungan dan tokoh kera. Kultus tokoh Arjuna di Mataram diketahui sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati 1584-1601 dengan instruksi raja kepada abdi dalem dalang agar membuat wayang Arjuna wanda Jimat . Sejak itulah, tonggak awal lahirnya pemakaian wanda, yaitu penampilan wayang dengan ekspresi muka disesuaikan dengan suasana adegan. Wanda itu pertama kali diperuntukkan wayang Arjuna dengan raut muka ekpresi mitis dan tajam yang dinamakan Jimat . Kata jimat dalam bahasa Jawa juga bermakna pusaka yang sangat dikeramatkan. Demikian pula Sunan Hanyakrawati, ayahanda Sultan Agung 1601 – 1613 memerintahkan membuat wayang Arjuna wanda Kanyut, dan Sultan Agung Tahun 1630 M memerintahkan membuat wayang Arjuna wanda Mangu . Pemujaan Arjuna sangat nampak di era Mataram dengan dibuatnya tiga karya wayang wanda Jimat, Kanyut dan Mangu dari tiga generasi raja. Ketiga wayang Arjuna tersebut di Mataram dan dinasti keturunannya diposisikan sebagai pusaka keramat sejajar dengan pusaka yang memiliki sejarah monumental seperti tumbak Kyai Pleret pusaka tinggalan Senopati yang telah digunakan untuk membunuh Harya Penangsang, dan Keris Kyai Crubuk, tinggalan Sunan Kalijaga. Sesuai tradisi keraton, pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna selalu mendapatkan persembahan sesaji bunga, pembakaran dupa, serta dimandikan setahun sekali dalam bulan Sura , dan mendapatkan sebutan gelar kehormatan Kyai Soetarno, 1995:24. Yuwono 2012:14 mengutip pandangan Sumardjo mengemukakan bahwa sikap memuliakan pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna ketiga wanda di atas, dilatarbelakangi religiusitas budaya Jawa kuno yang telah lama berkembang terhadap kepercayaan magi-magi, yaitu keyakinan bahwa benda-benda keramat bisa mendatangkan pengaruh baik atau buruk. Magi-magi itu dibedakan menjadi empat fungsi yaitu magi produktif, berfungsi mendatangkan tuah positif, magi simpatetik untuk mendatangkan pengasihan pesona, magi destruktif untuk mendatangkan pengaruh buruk, dan magi proteksi sebagai tolak bala. Berkaitan magi Arjuna, Anderson 1972:5 mengemukakan bahwa pengumpulan benda-benda pusaka itu dalam pemikiran penguasa Jawa adalah sebuah strategi pengumpulan kesaktian, di samping askesis atau laku tirakat, berpuasa, berpanjang seks, penyucian ritual, berjiarah, bertapa mbisu dan lain sebagainya. Pencarian kesaktian itu dimaksudkan memusatkan esensinya yang utama agar memiliki kekuatan supra natural, untuk meneguhkan esensinya sebagai pusat mikrokosmos Jagat kecil duniawi. Dalam tradisi pertunjukan wayang juga dikenal kepercayaan sejenis, misalnya lakon tentang kemenangan dan kesuksesan Arjuna akan dapat mendatangkan magi tuah positif terhadap penanggap dan penontonnya; sebaliknya lakon-lakon bertema tragis tentang kesengsaraan Pandhawa akan mendatangkan magi yang buruk pula kepada masyarakat wawancara dengan Sunarno, 24 Oktober 2014. Pemujaan atau kultus terhadap tokoh Arjuna telah berkembang cukup lama jauh sebelum era Mataram Islam. Kultus tokoh pewayangan mulai dikenal bersama dengan popularitas tontonan wayang di masa lampau abad XI jaman Raja Airlangga dalam Kitab Arjuna Wiwaha bait 59 karangan Mpu Kanwa sebagai berikut “ Hananonton mawayang asekel muda hidepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana ri tatwan jan maya sahan- haning bhawa siluman ”. Terjemahan kalimat tersebut demikian: para penonton wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa wayang yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat, berbentuk orang, yang digerak-gerakkan begitulah perumpamaan, manusia yang dimabuk nafsu mengakibatkan kegelapan hati Soetarno 2002: 4. Zoetmulder 1983: 308-311 mendeskripsikan dalam Kalanggwan , bahwa pemuliaan Arjuna paling awal dilakukan oleh Empu Kanwa, seorang pujangga jaman pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan 1028-1035, dimana ia menyadur bagian dari Mahabarata , “ parwa IV Wanaparwa ”, kemudian menyusun kisah Arjuna Wiwaha dengan tujuan memperoleh berkah dari tokoh Arjuna bagi kemenangan Airlangga yang ketika itu tengah berjuang merebut kembali tahta mertuanya, Darmawangsa Teguh, dari serangan musuh. Secara garis besar Zoetmulder menguraikan cerita Arjuna Wiwaha , berisi tentang kesuksesan Arjuna ketika bertapa di Gunung Indrakila, mendapatkan anugerah senjata Pasupati, dari Hyang Guru. Berkat Pasupati yang mata panahnya berbentuk bulan sabit itu, Arjuna mampu mengalahkan musuh dewa, Niwata kawaca, kemudian dinobatkan menjadi raja serta berhak memperisteri para bidadari di kayangan. Arjuna Wiwaha kala itu selain dimaksudkan oleh Empu Kanwa sebagai puja sastra bagi tuannya Airlangga, juga berharap agar lakon itu memberi tuah kemenangan bagi Airlangga, dalam peperangan melawan musuh dari Kerajaan Wengker. Harapan Empu Kanwa itu terkabul, pada penyerbuan Airlangga di Kediri dengan para pengikutnya berhasil mengalahkan musuh, kemudian ia bertahta di Kahuripan sejak tahun 1019 M bergelar Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Jaman pemerintahan Raja Mapanji Jayabaya 1130-1160 keturunan Airlangga di Jenggala Kediri kultus Arjuna masih berkembang. Ia memerintahkan pujangga keraton Mpu Sedah dan Panuluh, untuk menggubah kemenangan Arjuna dalam Bharatayuda dengan maksud mendapatkan magi positif dan protektif sesudah menaklukkan Raja Hemabupati di Panjalu, yang masih kakaknya sendiri. Kitab Baratayuda gubahan Mpu Sedah dan Panuluh yang bersumber dari Mahabarata India itu dimaksudkan sebagai sastra pangruwatan , yaitu sastra pembersih anasir buruk di kerajaan Jayabaya setelah terjadi perang saudara sesama keturunan Airlangga Kawuryan, 2006:96-101. Kepercayaan terhadap magi-magi dari dari tokoh Arjuna selain direpresentasikan dalam sastra dan pentas wayang, juga nampak dalam tradisi pemahatan ornamen relief candi-candi sejak Jaman Kediri hingga Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono 1985:101-102 bahwa sejak jaman Kediri cerita tentang Arjuna dipahat dalam relief Candi Jajagu di Singosari Malang, dan Surawana Kediri dengan lakon Partayadnya dan Arjuna Wiwaha . Relief kedua candi yang dibangun pada tahun Masehi 1268 masa pemerintahan Krtanegara di Singosari, dan tahun 1365 masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bertema tentang kemenangan Arjuna itu selain untuk memuliakan para leluhur yang telah disemayamkan juga sebagai media untuk mendapatkan magi-magi positif. Satu hal yang menarik menurut Soekmono bahwa kedua relief Partayadna dan Arjuna Wiwaha di kedua candi itu para tokoh dipahat mirip wayang purwa yang kita lihat sekarang, sehingga bisa diperkirakan wacana pemuliaan Arjuna telah berkembang di masyarakat saat itu bersamaan dengan popularitas tontonan wayang di masyarakat. Pendapat Soekmono tersebut dibenarkan Raffles 2014:355 dalam tulisannya berjudul History of Java yang mencatat bahwa candi adalah monumen yang berfungsi untuk mengabadikan dan memuja para leluhur orang Jawa, termasuk Pandhawa. Demikian pula penulis Santri, Priyayi dan Abangan , Clifors Geerz 1959:353, menandaskan bahwa tujuan utama diadakan wayang bagi orang Jawa adalah pemujaan terhadap Pandhawa yang dianggap sebagai leluhur, raja-raja Jawa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media diskursus, dari sisi tradisi kultus, didorong oleh keyakinan bahwa tokoh Arjuna akan mendatangkan magi-magi positif berupa kesejahteraan, tolak bala serta kemenangan perang. Harapan itu bisa dipahami karena pada saat itu Mataram sedang dalam suasana peperangan penaklukan raja-raja bekas bawahan Pajang yang membangkang pada Mataram. Pemujaan Arjuna oleh Raja-Raja Mataram dan leluhurnya dengan penulisan Babad Tanah Jawi dan pembuatan wayang Arjuna wanda Jimat, Kanyut dan Mangu adalah kelanjutan tradisi pengkultusan Arjuna sebagaimana telah dilakukan raja-raja Jawa kuno, di Kediri, Singasari dan Majapahit dalam era Islam, atau lebih tepatnya sebagai bentuk transformasi budaya kultus Arjuna HinduBuda dalam Islam.

4.1.2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram