Pendapat Soekmono tersebut dibenarkan Raffles 2014:355 dalam tulisannya berjudul
History of Java
yang mencatat bahwa candi adalah monumen yang berfungsi untuk mengabadikan dan memuja para leluhur orang Jawa, termasuk Pandhawa. Demikian
pula penulis
Santri, Priyayi dan Abangan
, Clifors Geerz 1959:353, menandaskan bahwa tujuan utama diadakan wayang bagi orang Jawa adalah pemujaan terhadap
Pandhawa yang dianggap sebagai leluhur, raja-raja Jawa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan Raja-Raja Mataram memilih
Arjuna sebagai media diskursus, dari sisi tradisi kultus, didorong oleh keyakinan bahwa tokoh Arjuna akan mendatangkan magi-magi positif berupa kesejahteraan, tolak bala
serta kemenangan perang. Harapan itu bisa dipahami karena pada saat itu Mataram sedang dalam suasana peperangan penaklukan raja-raja bekas bawahan Pajang yang
membangkang pada Mataram. Pemujaan Arjuna oleh Raja-Raja Mataram dan leluhurnya dengan penulisan
Babad Tanah Jawi
dan pembuatan wayang Arjuna wanda Jimat, Kanyut dan Mangu adalah kelanjutan tradisi pengkultusan Arjuna sebagaimana
telah dilakukan raja-raja Jawa kuno, di Kediri, Singasari dan Majapahit dalam era Islam, atau lebih tepatnya sebagai bentuk transformasi budaya kultus Arjuna HinduBuda
dalam Islam.
4.1.2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram
Motivasi kedua yang menjadikan alasan dipilihnya Arjuna menjadi tokoh wacana dalam rangka membentuk legitimasi Raja-Raja Mataram, adalah kepercayaan
tentang adanya mitos-mitos Arjuna sebagai leluhur raja-raja Jawa yang
mewariskan wahyu keraton
. Berkaitan denga mitos Rahcman 2008:2 mengutip Wallek dan Werren mendefinisikan bahwa mitos adalah cerita anonim tentang dewa-dewa, tokoh-tokoh
foklor, dan kejadian alam. Mitos berupa penjelasan-penjelasan dari orang tua kepada penerusnya yang berkaitan tentang tingkah laku, citra alam dan tujuan hidup manusia.
Frazer dalam teori evolusinya mengemukakan bahwa adanya pemikiran mitos karena upaya manusia setiap dekade dalam memahami realitas alam Subiyantoro, 2011:63.
Berkaitan dengan pengertian mitos dalam konteks tanda, Bartes mengemukakan bahwa mitos terjadi dari kesepakatan dan kesepahaman kode budaya dalam kolektif
masyarakat. Adanya sebuah tanda jika mendapatkan kesepahaman dan kesepakatan dari masyarakat secara
tetap
digolongkan sebuah mitos, selebihnya jika kesepahaman
itu menjadi
mapan
akan mengkristal menjadi sebuah ideologi Bartes dalam Budiman, 2002:93.
Mitos-mitos berkaitan dengan Arjuna itu diantaranya diuraikan oleh Graaf 2002:327
penulis
Puncak Kekuasaan Matara m, Politik Ekspansi Sultan Agung
, memanfaatkan sumber tutur Jawa,
Serat Kandha, Babad Demak, Babad Tanah Jawi
, diverifikasi dengan dokumen utusan Belanda, Jan Vos tahun 1624, serta sumber-sumber
lain dari kantor dagang Inggris, di bawah bimbingan ahli bahasa senior Pigeaud, menyimpulkan bahwa
Babad Tanah Jawi
disusun pada era Sultan Agung sekitar tahun 1641
– 1645, oleh tim penyusun yang dipimpin oleh Panembahan Kadilangu seorang ulama keturunan wali Sunan Kalijaga. Buku dokumen resmi sejarah silsilah raja-raja di
Mataram itu sesungguhnya hasil pemikiran beberapa pakar di era itu, salah satunya adalah Pangeran Pekik, seorang raja bawahan di Surabaya, keturunan Sunan Ampel.
Diterangkan lebih lanjut bahwa
Babad Tanah Jawi
berisi rangkuman berbagai cerita tutur dari Surabaya, Demak, Cirebon, dan Sunda, sehingga Graaf memuji sebagai
tulisan yang lengkap dan luar biasa. Abimanyu 2014:387 mengutip
Babad Tanah Jawi
memerinci silsilah raja-raja Mataram yang menjelaskan bahwa Panembahan Senopati kakek Sultan Agung adalah
keturunan ke-35 dari Arjuna, dan Sultan Agung merupakan keturunan ke-37. Melengkapi rincian silsilah itu, Abimanyu menyatakan bahwa menurut
Sejarah Leluhur Dalem saking Pangiwa Utawi Panengen
dari alur
panengen
garis ibu dinasti Mataram keturunan dari Sunan Giri putra Syeh Maulana Ishak penyebar Islam awal dari Arab
yang masih bernasab Nabi Muhammad SAW, sedangkan dari alur
pangiwa
garis bapak adalah keturunan Arjuna. Alur keturunan
pangiwa
dinasti Mataram itu bisa dilihat dalam gambar 5 tabel silsilah berikut.
SILSILAH ALUR PANGIWA GARIS AYAH RAJA-RAJA MATARAM
1. Nabi Adam
28 Prabu Pancadriya
2. Nabi Sis
29 Prabu Anglingdriya
3. Nurcahya
30 Prabu Swelacala
4. Nurasa
31 Prabu Srimahapunggung
5. Sang Hyang Wenang
32 Prabu Kandhihawan
6. Sang Hyang Tunggal
33 Resi Gentayu
7. Bathara Guru
34 Lembu Miluhur
8. Bathara Brama
35 Panji Kartapati
9. Bathara Bremani
36 Panji Kuda Laleyan
10. Trithustha
37 Prabu Banjaransari
11. Parikenan
38 Prabu Mundhingsari
12. Manumayasa
39 Prabu Mundhingwangi
13. Sakutrem
40 Prabu Sri Pamekas
14. Sakri
41 Prabu Joko Sesuruh
15. Palasara
42 Prabu Anom
16. Wiyasa
43 Prabu Adaningkung
17. Pandhu
44 Prabu Hayamwuruk
18. Arjuna
45 Lembu Amisani
19. Abimanyu
46 Bratanjung
20. Parikesit
47 Prabu Brawijaya
21. Yudayana
48 Raden Bondan Kejawan
22. Gendrayana
49 Ki Gedhe Getas Pandhawa
23. Jayabaya
50 Ki Ageng Sela
24. Jaya amijaya
51 Ki Ageng Enis
25. Jaya Misena
52 Ki Ageng Pemanahan
26. Kusuma Wicitra
53 Panembahan Senopati
27. Citrasoma
Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Dinasti Mataram Abimanyu, 2014:378
Dari garis keturunan
panengen
Abimanyu 2014:354 menyajikan silsilah Panembahan Senopati sebagai berikut.
Syeh Maulana Ishak Syeh Wali Lanang Ki Getas Pandhawa
Sunan Giri I Prabu Satmata Ki Ageng Sela
Sunan Giri II Sunan Kedul Ki Ageng Enis
Ki Ageng Saba
Ki Jurumertani Nyai Sabinah + Ki Gedhe Pemanahan
Panembahan Senopati
Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram Abimanyu, 2014:354.
Catatan harian dari Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris untuk Jawa tahun 1811
– 1816, tentang kajian Jawa mengambil sumber sejarah dari keraton Kasunanan Surakarta kemudian diterbitkan pertama kali tahun 1817 di London berjudul
The History of Java
mendeskrepsikan silsilah yang kurang lebih sama dengan tulisan Abimanyu di atas Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:431.
Wacana-wacana yang berkembang tentang silsilah raja-raja Mataram sebagaimana dicatat
Babad Tanah Jawi
dan
Sejarah Leluhur Dalem saking Pangiwa Utawi Panengen
mengukuhkan legitimasi kekuasaan raja-raja dinasti Mataram, karena wacana itu mengandung pesan bahwa Panembahan Senopati dan
trah
keturunannya bukan orang biasa sebaliknya manusia istimewa keturunan dari Arjuna dan nabi
Muhammad Koentjaraningrat, 1994: 326-327.
Pengukuhan Arjuna sebagai leluhur dinasti Mataram dalam penulisan
Babad Tanah Jawi
itu dilatarbelakangi keyakinan mitologi bahwa Arjuna akan mewariskan
wahyu yang telah diterima dan Abimanyu, putranya yaitu
wahyu Makutharama
dan
Cakraningrat.
Kedua wahyu itu dipercaya dalam budaya Jawa sebagai
pikukuh
kekuatan bagi raja dalam memegang kekuasaan. Berkaitan dengan kedua wahyu tersebut, Soeratman 2000:3 berpandangan
bahwa syarat kelayakan raja di Tanah Jawa harus memiliki empat wahyu yaitu: a
wahyu nubuwah
, wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil tuhan, b
wahyu kukumah
, yang menempatkan raja sebagai sumber hukum,dan penguasa tertinggi, c
wahyu wilayah
, yang mendudukkan raja menaungi wilayahnya, dan d
wahyu Cakraningrat
, yang memberi daya kekuatan menjadi penguasa. Lebih lanjut dalam tulisannya
Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830
–
1939
Soeratman mendeskripsikan bahwa setelah raja berkuasa harus memiliki kebijaksanaan sebagai raja utama, dari
wahyu Makutharama.
Dalam pedalangan wahyu Makutharama adalah ajaran Sri Rama kepada adiknya Barata sebelum memerintah di Ayodya tentang
karakter kepemimpinan
hastha brata
sesuai dengan watak dari bumi, api, air, angin, matahari, bulan, bintang dan mendung Soetarno dalam Nugroho, 1996: 93-94. Wahyu
kebijaksanaan raja itu telah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi penjilmaan dari Wisnu setelah bertapa berat di hutan Kutharunggu. Demikian pula putra Arjuna,
Abimanyu dari laku tapanya di hutan Krendhawahana, berhasil menerima wahyu keraton
Cakraningrat.
Dari kedua wahyu itu Arjuna dan Abimanyu, diramalkan oleh dewa bahwa kelak anak cucunya turun temurun akan menjadi raja
binathara
di Tanah Jawa meskipun Arjuna dan putranya itu tidak dikodratkan menjadi raja Soetarno dalam
Nugroho, 1996:95 Dari uraian di atas bisa dirangkum bahwa dari sisi mitologi pertimbangan dari
Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media diskursus juga sangat dipengaruhi keyakinan dan harapannya bisa mewarisi wahyu Cakraningrat dan wahyu
Makutharama, dari Arjuna dan Abimanyu, yang akan meningkatkan kekuasaanya di Mataram. Kedua wahyu itu adalah kekuatan supra natural yang harus dimiliki oleh
setiap pemimpin Jawa di dalam menguasai wilayah kekuasaanya, baik manusia, alam lahir, maupun dimensi batin yang
nir
kasat mata.
4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna