4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna
Berdasarkan prosedur semiosis wacana Bartes di atas, pemaknaan Arjuna dapat dirinci dari dua aspek, denotasi dan konotasi . Tataran denotasi semiotika wacana terdiri
dua komponen yaitu ekspresi tentang citra visual wujud ornamen Arjuna, dan
content
makna dari citra visual tersebut. Antara citra visual direlasikan dengan
content
atau makna dari ekspresi yang dicitrakan.
Pertama
ekspresi, wujud ornamen Arjuna terdiri dari: a
gelung minangkara
berwujut sanggul bulat bagai capit udang, b hidung
wali miring
berujud hidung mancung bagai ujung pisau, c mata
liyepan
berujud mata mengatup memandang ujung hidung, d s
umping waderan
adalah hiasan telinga berujut sumping mas bermotif ikan
wader, e w
arna muka tampak hitam kelam kontras dengan kulit tubuhnya yang berwarna emas, f leher
manglung
berupa leher jenjang yang condong ke depan dengan kepala menunduk, g badan
pideksa
adalah postur tubuh sedang tidak terlalu tinggi juga bukan pendek, h kampuh
limar ketangi
berujut kain dengan motif batik lingkaran permata berjajar-jajar dilingkari garis-garis lengkung tipis seperti rambut.
Kedua
, citra visual itu berelasi dengan
content
sebagai
petanda
makna dari ekpresi figur Arjuna. Pemaknaan ini sangat khusus dalam dunia seni rupa, karena
dalam meng-interpretasinya diperlukan bekal pengetahuan dan kebiasaan bagi orang- orang yang menekuni seperti dalang atau penggemar yang bisa memahami wujud
wayang yang dikatakan oleh Sunarno bukan citra manusia tetapi gambar abstraksi dari karakter manusia wawancara Sunarno, 24 Desember 2014.
Makna denotasi ornamen wayang Arjuna antara lain:
Seorang pria dewasa berwajah tampan, bersanggul dan berbadan tegap dari sorot mata yang tajam ia
adalah seorang yang berpengalaman. Sederhana dalam penampilan tetapi tubuhnya yang tegap atletis memancarkan keindahan dan kewibawaan. Pandanganya tajam
tersungging senyum menawan memancarkan karakter Arjuna yang romantis.
4.1.3.1.2. Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna
Pada tataran konotatif di mana mitos dan ideologi bertempat, interpretasi pada wayang lebih mengacu pada norma-norma, pandangan histori tertentu, atau stok
stereotif kultural masyarakat lokal yang oleh Bartes disebut
ground
atau kode budaya Budiman, 2002:22.
Dalam tataran konotasi figur wayang Arjuna bisa diinterpretasi bahwa Arjuna adalah
seorang pria dewasa yang bertubuh tegap berwajah tampan rupawan. Dalam hal karakter Arjuna mencitrakan orang yang matang, penuh pengalaman di bidang
kesatriaan yaitu sebagai sosok pengayom rakyat pembela kebenaran bagi siapa saja , dan di mana saja pemenang dari semua pertempuran melawan kebatilan. Dari sorot
matanya yang tajam menunjukkan seorang bangsawan yang santun, bijak penuh kasih sayang bagi semua umat dan semua lapisan masyarakat. Dalam hal berbusana Arjuna
menampilkan pakaian bagi bangsawan yang prasaja dalam arti sederhana namun tetap memancarkan keagungan dan kekhususan yaitu berkain limar ketangi sebuah karya
batik khusus bagi bangsawan bercita rasa seni yang tinggi dan sangat rumit. Citra pandangan Arjuna yang tajam namun sayu menunjukkan bahwa Arjuna pria romantis,
meskipun pecinta kebenaran tetapi tidak mengelak kodratnya sebagai pria yang memiliki kecenderungan suka digandrungi wanita dan suka menjalin cinta dengan
wanita. Dalam konteks tersebut Arjuna seorang pria pemuja cinta. Arjuna adalah ksatria yang tampan, memiliki ketahanan berta pa luar biasa, bijak, pemenang dalam
segala peperangan, penerima segala anugerah, ahli bercinta serta representasi da ri Tuhan.
Makna tersebut menurut Bartes masuk dalam tataran mitos karena makna itu tetap dan wajar di tengah-tengah masyarakat Hoed, 2011:18. Mitos tersebut lebih jelas
lagi dengan hadirnya
linguistik message
yang diartikan Bartes sebagai citra penambat
, berupa
citra verbal berbentuk kata atau kalimat, dalam narasi dalang. Cerita dalang tentang mitos karakter Arjuna baik dalam dialog maupun narasi, menjelaskan sifat-sifat
khas Arjuna melalui pentas wayang kemudian menjadi wacana-wacana tetap, dalam teks sastra, serta pertunjukan-pertunjukan lain yang berkaitan dengan mitos itu, seperti
wayang wong
dan
ketoprak
. Mitos itu adalah julukan Arjuna sebagai
satriya pinandita, satriya tohjalining jagat,
dan
satriya lelananging jagad. Pertama, mitos satriya pinandita,
diuraikan dalam karya sastra wayang seperti
Arjuna Wiwaha, Partayatna,
atau
Pustakarajapurwa
dan dinarasikan dalang bahwa karakter Arjuna adalah perpaduan dari sifat brahmana dan satria, yang dalam kode
budaya Jawa
di-dikotomikan
bahwa pendeta selalu bersifat cinta kasih, menjaga kedamaian dunia dengan berdoa; sedangkan ksatria menjaga perdamaian dunia dengan
berperang membunuh angkara murka. Arjuna dimitoskan memiliki sifat keduanya, baik
sebagai seorang ksatria sekaligus petapa. Dari ketahanannya bertapa Arjuna banyak mendapatkan anugerah berujut pusaka, kedudukan, ilmu pengetahuan termasuk wahyu
Makutharama yang dipercaya menjadi sarana menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Dalam kedudukannya sebagi ksatria, Arjuna dimitoskan penolong dan pengayom
masyarakat baik dari golongan teman maupun lawan. Sangat banyak lakon wayang atau karya sastra yang menonjolkan sifat penolong dari Arjuna.
Dalam “
Adi Parwa
” bab I
Mahabarata
, Arjuna menolong para brahmana dari ancaman naga Taksaka yang sering mencuri sapi-sapi piaraan kaum brahmana. Karena
kejadian itu ia iklas melaksanakan hukum buang 12 tahun disebabkan terpaksa harus melanggar peraturan perjanjian yang dibuat oleh Pancali, isteri Pandhawa, untuk
mengambil busur
Gandhiwa
di kamar Dropadi di luar waktu yang ditetapkan untuknya Soekotjo, 1984:85
Dalam “
Wana Parwa
”, bab IV
Mahabarata
, terdapat lakon yang sangat terkenal “
Arjuna Wiwaha
”, mengisahkan Arjuna menolong Dewa Indra dari serangan para
asura niwata
, yang kemudian mengantarkannya mendapatkan anugerah dari Mahadewa berupa mantra
Pacupata sastra
dan senjata Pasupati. Demikian pula dalam Lakon
Wahyu Pakem Makutharama
, Karna musuh bebuyutannya juga pernah ditolong Arjuna ketika senjata andalanya
Kunta Wijayandanu
direbut Anoman. Arjuna mengembalikan senjata raja Angga itu setelah berhasil mendapatkan
wejangan Hasthabrata
dari Kesawasidhi, penjilmaan Wisnu Soetarno dalam Nugroho, 1996:57. Karena sifat
penolong itu sebagai ksatria Arjuna bergelar Dananjaya yang diartikan oleh Soetarno kesaktiannya digunakan untuk beramal.
Kedua
mitos
satria tohjalining Jagat
. Mandali 2006: 16 dalam
Bangun Tuwuh
menguraikan bahwa makna
tohjali
adalah
panitisan
inkarnasi. Dalam relasi Arjuna satria
tohjalining jagat
bermakna mitos titisan Tuhan. Dalam Pedalangan mitos itu diceritakan bahwa Arjuna dan Krisna adalah
dwi tunggal
titisan Wisnu. Dalam narasi adegan Arjuna diceritakan bahwa “
Wisnu binelah panitise marang Kresna lan Arjuna kaya suruh lumah lan kurebe, yen dinulu seje rupane yen ginigit tunggal rasane
”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Wisnu terbelah dua dalam menitis pada diri
Kresna dan Arjuna bagai dua sisi daun sirih jika dilihat tampak berbeda warnanya, tetapi jika digigit sama rasanya Suratno dalam Sumarno
,
1996:1. Makna simbol Arjuna sebagai tempat penitisan separoh Wisnu berkorelasi dengan
dasa nama Janaka
yang oleh Soetarno diartikan sebagai wadah penitisan Soetarno dalam Nugroho , 1996:49.
Dalam tafsir mistik Islam, Arjuna dipandang perwujudan
Nur Muhammad
yang menurut Abd al- Qadir al-Jaillani adalah
dzat
pertama yang diciptakan Allah dari cahaya-Nya sebagai
kalifatullah
wakil Tuhan di Bumi dan penuntun umat manusia Solikhin, 200:223. Karena perannya sebagai penuntun umat manusia itu maka Arjuna
memiliki kecerdasan luar biasa. Kecerdasan Arjuna itu berelasi dengan nama lainnya Kuntadi yang artinya senjata panah yang sangat tajam. Dalam adegan Arjuna, dalang
menarasikan “
keplasing pambudi Raden Arjuna ngungkuli bantering jemparing
,” yang terjemahannya, kecepatan berfikir Arjuna melebihi kecepatan perjalanan senjata panah
Soetarno dalam Nugroho, 1996:49. Sebagai
tohjalining jagat
esensi dari
Nur Muhammad,
Arjuna juga memiliki ketajaman rasa, senantiasa tajampeka dan siap terhadap segala kemungkinan situasi
dan kondisi, dalam menghadapi kehidupan maupun perkembangan jaman. Interpretasi mitos itu berelasi dengan
dasa nama
nama lain dari Arjuna, yaitu Premadi dan Jahnawi yang menurut Ki Ng. Wignyo Soetarno, nama Premadi diuraikan bermakna
“
premati mumpuni saliring reh
” artinya efektif menguasai segala hal. Nama Jahnawi oleh guru senior Pedalangan Pura Mangkunagaran itu diartikan “
wiyaring pambudi
ngungkuli jembaring samodra” terjemahannya luas pengetahuan Arjuna melebihi luasnya lautan Soetarno dalam Nugroho, 1996:49
Ketiga,
mitos Arjuna sebagai
lelananging jagat
dalam semiotika model Bartes dapat dianalisis berdasarkan struktur wacana yang bersifat linier yang diistilahkan
sintagme
. Analisis
sintagme
mengungkap makna wacana berdasarkan relasi-relasi unsur-unsur kata danatau kalimat. Analisis ini adalah padanan dari
sintagmatik
model Saussure dalam lingguistik Hoed, 2011:65. Dalam analisis
sintagme
gelar Arjuna
lelananging jagat
dapat diurakain sebagai berikut
.
Kata
lelananging
jagat berasal dari
parama sastra
tata bahasa Jawa
la + lanang + e
dan
Jagat.
Bentukan kata majemuk
la+ lanang+ e
dan jagat, menyebabkan akhiran e harus luluh menjadi ing, sehingga menjadi
lelananging jagat,
artinya seorang pria yang memiliki kemampuan melebihi banyak para pria, atau pria yang memiliki kemampuan di atas umumnya pria.
Makna
sintagme lelananging jagat
adalah pria yang istimewa di dunia. Keistimewaan Arjuna di antara pria lain adalah ketampannya dan kesaktiannya yang
melebihi para pria lain di jamannya sebagaimana narasi dalang dalam adegan Arjuna sebagai berikut “
Raden Arjuna tuhu satriya lelananging jagat bagus tanpa cacat, lamun lanang padha ngondhangake kasektene lamun wadon padha ngondhangake
kebagusane. Turta tau tate sinarayeng dewa ngrabaseng mengsah sekti
.” Terjemahan narasi tersebut adalah Raden Arjuna sebagai seorang
ksatria
adalah pria istimewa di dunia, tampan tiada cacat, para pria selalu menyebut-nyebut kesaktiannya, sedangkan
para wanita terpesona dengan ketampanannya. Demikian pula sering diduta para dewa untuk melawan musuh sakti Soeratno dalam Soemarno, 1996:20.
Selain makna
sintagme,
wacana citra verbal mitos Arjuna
lelananging jagat
bisa juga diungkap berdasarkan relasi antar paradigma berdasarkan pandangan budaya yang diistilahkan
sistem
wacana Hoed, 2011:65 Merujuk konsep
sistem
wacana, Bartes di atas makna mitos
lelananging jagat
lebih mengungkap makna-makna peristiwa di balik gelar itu berkaitan dengan lakon, serta simbol-simbol dalam budaya Jawa. Julukan
lelananging jagat
dalam lakon wayang muncul pada lakon
carangan Wahyu Tohjali
, yang garis besar ceritanya mengkisahkan kemenangan Arjuna mendapatkan anugerah dewa,
wahyu tohjali
yaitu anugerah kekuatan sebagai pria sejati Sularso, wawancara 24 oktober 2014.
Suwandono 1977:35 dalam
Ensiklopedi Wayang Purwa I
mendeskripsikan bahwa
lelananging jagat
bermakna pahlawan ulung yang benar-benar jantan bersifat ksatria sejati menguasai segala hal.
Pokok paradigma dari
lelananging jagat
adalah: lanang + jagat. Kata
la nang
dalam bahasa Jawa bermakna pria, menang, dan jantan. Kata
lanang
dalam arti pria adalah sosok figur laki-laki yang dibedakan sekaligus berpasangan dengan
wadon
artinya perempuan.
Lanang
dalam arti menang sering dijumpai dalam bahasa klise wayang tokoh tetua yang memberkati pada yang lebih muda ketika dimintai restu
menjelang maju perang. Restu itu biasanya diungkapkan dengan rangkaian kata “
dak pangestoni muga lanang yudamu
.” Terjemahannya saya berkahi agar menang dalam perang. Makna ketiga berarti jantan menampilkan pengertian sifat-sifat kejantanan
Arjuna dalam hal kejayaannya dalam peperangan di dunia
kanuragan
olah bela diri di antara para
ksatria
sebagai seorang pribadi yang pemberani bertanggung jawab serta sportif dalam pertempuran. Karena sifat utama Arjuna itu oleh pengarang
Baghavad Gita
, Lokamaya ia digelari sebagai
Dananjaya
artinya seorang pemenang. Baik dalam
Mahabarata, maupun
Baghawad Gita
, dialog Krisna dan Arjuna yang terkenal disebut
The song of God
nyanyian Tuhan, dinarasikan bahwa kesatuan antara Dananjaya dan Krisna mampu mengalahkan semua musuh-musuhnya termasuk golongan,
asyura
iblis
, raksasa, naga,
bahkan raja dewa Indra-pun kalah dengan Arjuna, ketika menghalangi putranya itu membakar hutan Kandhawa, yan kemudian menjadi
Indraprastha Pasaribu
et al.
, 2004:40. Dalam masa pendidikankanya, oleh gurunya
Rsi
Drona, Arjuna dipersiapkan menjadi pemanah tanpa tanding. Untuk tujuan luar biasa itu Drona membekali Arjuna
penguasaan mantra yang memungkinkan murid kesayangannya itu melepaskan anak panah gaib dari unsur-unsur bumi, api, angin, dan air, yang disebut
bayyabyastra, bramahastra, bayubyastra, dan barunastra
Soekotjo, 1984:85. Oleh karena, kemampuan itu Arjuna mampu mengalahkan satria sakti seniornya seperti
Rsi
Bisma, Drona bahkan penentang dan saudaranya tertua Karna raja Angga, juga harus mati dari
busur Gandhiwa dan Pasupati, pusaka andalan putra Kunthi itu. Mitos
lelananging jagat
juga bermakna kejantanan Arjuna dalam hal
libido seksual
yang diceritakan sangat luar biasa dalam lakon wayang. Cerita yang bersumber pada pakem Jawa, seperti
Pustaka Rajapurwa
,
Serat Kandha
maupun
Serat Pakem Ringgit Purwa
karya MN VII, menarasikan bahwa selain Arjuna beristeri Subadra, Srikandhi, Sulastri, Larasati, Manuhara, dan Hulupi, juga beristeri para bidadari
sejumlah
sekethi kurang siji
999, tujuh diantaranya pemimpin bidadari itu adalah Supraba, Tilotama, Irim-irim, Leng-leng Mandanu, Tunjung Biru, Warsiki, dan
Mayangsekar Diyono,1997:24. Dalam hal berhubungan suami isteri dengan wanita sebanyak itu, Arjuna menggunakan
aji Asmaranggama
ajian percintaan dan sanggama, yang daya kekuatanya mampu melayani dan memuaskan semua isterinya
secara bersamaan dalam satu waktu setiap kali berhubungan intim Suwandono
et al
, 1977:40.
Cerita-cerita yang berkembang dalam wayang baik tertulis maupun konvensi- konvensi lisan dari
lakon-lakon carangan
para dalang lebih menggambarkan bahwa Arjuna adalah sosok pria gemar kawin, dan pemburu cinta sejati. Gambaran yang
kedua dibuktikan dengan banyaknya lakon-lakon tertulis maupun lisan yang menceritakan karakter Arjuna mudah tertarik kepada wanita cantik yang mana; ketika
Arjuna telah terpikat ia akan memperjuangkan cintanya itu meskipun harus melanggar
aturan. Kisah tentang Arjuna berselingkuh dan merebut isteri orang lain itu misalnya, dengan Banuwati isteri Duryudana, Dewi Antrakawulan isteri Prabu Barata di Ayodya,
dan Dewi Citrahoyi isteri Prabu Arjunapati di Sriwedari. Kisah percintaan Arjuna dan Dewi Citrahoyi dalam Serat Kalimataya, karangan
MN IV, menarasikan bahwa sesudah perang Baratayuda, Arjuna dengan direstui oleh Kresna memboyong permaisuri Prabu Arjunapati, ke Astina. Kejadian tidak lazim pada
kehidupan keraton itu, dilatarbelalakangi kematian Banuwati oleh sisa-sisa tentara Korawa yang membunuh isteri Arjuna itu pada waktu malam hari. Untuk mengobati
kegalauan Arjuna akibat ditinggal mati Banuwati, maka Kresna memohon kepada sahabatnya Prabu Arjunapati agar permaisurinya termuda yang wajahnya mirip
Banuwati itu diserahkan pada Arjuna. Sahabat Prabu Kresna raja Sriwedari itu tidak keberatan memenuhi permintaan
itu, karena isteri termudanya itu kurang mencintainya. Akan tetapi, adik Prabu Arjunapati, Raden Suwanda, patih Sriwedari sangat kecewa dengan arogansi Arjuna,
sehingga terjadi perang besar antara Pandhawa dan
ksatria
Sriwedari. Kisah cinta Arjuna dengan Dewi Citrahoyi yang menyulut perang besar itu meninggalkan tragedi
memilukan berupa tumpasnya Arjunapati dan semua bala tentaranya, serta patih
sepuh
Dwaraka, Hudawa MN IV dalam Laginem, 1981:4. Kisah percintaan Arjuna yang kontroversi itu sesungguhnya adalah sisi negatif
moral ketokohannya, namun demikian kisah-kisah itu tidak pernah menyurutkan popularitas
panengah
pandhawa itu, sebaliknya malah menjadi model
identifikasi
kehebatan pria Jawa terutama kaum
priyayi
di lingkungan keraton yang akan di bahas selanjutnya.
Makna
lelananging jagat
berkaitan dengan perspektif
kejantanan
Arjuna dalam mengawini banyak wanita bukan tidak mungkin dipengaruhi pandangan Jawa kuno
yaitu
tantrayana
dan pemujaan kesuburan di Jawa. Coitus persetubuhan antara pria dan wanita dalam pandangan Hindu maupun Budha secara umum sangat disakralkan,
sehingga penyatuan pria dan wanita itu harus memenuhi syarat-syarat ketentuan agama dalam lembaga pernikahan yang disebut
grehastha
. Di luar ketentuan tersebut persetubuhan adalah tindakan
jina
yang melanggar agama dan dianggap sebuah kotoran jiwa. Namun berbeda dengan keyakinan kedua agama tersebut,
tantrayana,
sebuah sekte dalam Hindu
,
yang konon dicipta oleh Mahadewa, memandang bahwa
persetubuhan adalah sebuah ritual suci yang disebut
maituna,
lambang bersatunya Siva dan Parwati yang akan mendatangkan anugerah, kesuburan Soekmono 1985:34.
Soekmono 1985:34 lebih lanjut mendeskripskan bahwa
maituna
adalah lambang kesatuan dewa dan
saktinya,
justeru dari sakti-sakti dewa itu asal mula aliran energi
trimurti
. Konsep itulah yang mendasari setiap pasangan kehadiran arca-arca dewa di candi Jawa yaitu, Brahma-Sarasvati, Wisnu-Laksmi, dan Siva
– Parwati, demikian pula lambang
lingga
dan
yoni
dalam
tantrayana
. Sisa-sisa kepercayaan kesuburan dengan ritual
maituna
itu salah satunya terdapat di Candi Sukuh lereng Lawu dalam
candra sengkala Gapura Bhuta Anguntal Jalma
dalam tahun Jawa Gapura Raksasa Menelan Manusia
artinya 1359 Caka atau 1437 masehi.
Candi di lereng Lawu yang berdiri masa pemerintahan Ratu Suhita 1429-1447 periode akhir Majapahit tersebut banyak relief maupun arca
pallus
alat kelamin pria dan
vagina
alat kelamin wanita ukuran besar sebagai media ritual
maituna
bertujuan mendapatkan berkah bagi kesuburan masyarakat Majapahit di sekitar Lawu, serta
harapan kebangkitan datangnya pencerahan bagi kerajaan dinasti
Rajasa
yang saat itu terus-menerus mengalami kemunduran karena perang saudara memperebutan tahta
Majapahit Soekmono, 1985:78.
4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna