Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton

4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton

Pakem pedalangan yang sebelumnya berujut konvensi-konvensi lisan di lingkungan para dalang mulai dilembagakan secara resmi sejak era PB X dalam Pasinaon Dalang ing Surakarta PADASUKA berdiri tahun 1923 di keraton Surakarta, Pasinaon Dalang Mangkunagaran PDMN didirikan pada tahun 1931, di Pura Mangkunagaran, dan Hanggiyarake Biwara Rancangan Dalang HABIRANDA berdiri tahun 1925 di keraton Jogjakarta Soetarno 1995:15. Melalui pakem dan sekolah-sekolah dalang tersebut calon dalang dan bahkan juga dalang-dalang yang meskipun sebelumnya telah laris, dituntut menjalani tahap sosialisasi dengan norma- norma dan aturan-aturan pedalangan gaya keraton sesuai dengan disiplin-disiplin yang telah di buat para empu-empu pedalangan keraton yang mendapat pengesahan raja, PB X dan MN VII saat itu. Pakem dan sekolah dalang dalam teori Foucault tentang power dipahami sebagai institusi-institusi yang didirikan oleh penguasa sebagai sarana untuk mendisiplinkan dan mensosialisasikan norma-norma kepada individu-individu Yusuf Lubis, 2014a:80. Dalam bukunya berjudul The History of Sexuality 1978, Foucault menguraikan bahwa: Bio-power adalah satu bentuk kekuasaan yang berfokus pada bagaimana mengatur kehidupan manusia pada tingkat populasi masa. Pada bio-power institusi melakukan apa yang disebut “ powerknoledge ” dengan melakukan pelatihan dan pendidikan bagi individu dan ini meningkatkan dan mengatur kehidupan manusia secara umum Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:80. Sejak lahirnya pakem pedalangan keraton terjadi kecenderungan di masyarakat penilaian yang positif terhadap dalang-dalang penganut pakem terutama lulusan sekolah pedalangan PADASUKA, PDMN, maupun HABIRANDA di Jogjakarta, sebagai dalang berkualitas yang merepresentasikan cita rasa priyayi keraton. Dengan adanya norma- norma dan aturan-aturan pementasan wayang dalam bentuk pakem sebagai acuan semua dalang di Jawa maka wacana tokoh Arjuna disosialisasikan terus secara menerus oleh dalang kapan-pun dan di mana-pun. Dengan demikian tidak hanya para dalang yang mengalami tahap sosialisasi dan pendisiplinan di sekolah-sekolah dalang, tetapi juga para penonton baik di lingkungan komunitas keraton, rumah-rumah priyayi , atau di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam jangka waktu tertentu, sosialisasi itu akan mengkonstruksi kesepahaman dan kesepakan dalam kesatuan kolektif Jawa dalam bentuk sebuah cita rasa bersama, kegemaran bersama atau identitas bersama dalam periode Mataram yang disebut oleh Foucault sebagai episteme Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:184. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa diskursus tokoh Arjuna diwacanakan sejak zaman Sultan Agung dengan cara desentralisasi dan pluralisasi, kuasa pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas. Artinya, pengetahuan tentang Arjuna yang mendatangkan power knowledge kuasa pengetahuan bagi setiap individu di Mataram, tidak memusat di lingkungan keraton tetapi disebarluaskan melalui agen- agen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton dalam ivent-ivent yang telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di lingkungan keraton, rumah priyayi maupun masyarakat umum. Sedangkan pluralisasi adalah sebuah proses dimana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan dihimbau melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai ketokohan Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu adalah tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di Jawa dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan episteme yang menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.

4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa

Arti kata implikasi menurut KBBI Kamus Besar bahasa Indonesia online adalah “keterlibatan” atau “keadaan terlibat” Setiawan, 2014:1. Makna dari relasi kata implikasi dengan diskursus tokoh Arjuna bagi kehidupan orang Jawa adalah hubungan keterlibatan diskursus tersebut terhadap kehidupan orang Jawa era Mataram hingga sekarang, sebagai akibat atau dampak dari proses diskursus tokoh Arjuna yang telah di bangun oleh Sultan Agung, dan terus-menerus di-reproduksi oleh para raja penerusnya hingga Paku Buwono di Surakarta sekarang. Hubungan keterlibatan itu adalah pengaruh dari wacana-wacana tentang Arjuna terhadap kesadaran personal dan inter- personal di Mataram, atau pada umumnya orang Jawa. Untuk memahami keterlibatan dan pengaruh-pengaruh pengetahuan terhadap pribadi dan kolektif Jawa perlu dituntun teori Foucault tentang tubuh dan episteme. Teori genealogi dari Foucault 1978 menguraikan tentang tubuh sebagai berikut. Tubuh diukir secara total oleh sejarah. Tubuh juga terlibat secara langsung dalam ranah politik, relasi kekuasaan memunculkan secara langsung terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya, menandainya, memaksanya melakukan berbagai tugas. “Investasi politik” tubuh ini terikat sejalan dengan relasi-relasi timbal balik yang kompleks, dikaitkan dengan berbagai relasi kekuasaan dan dominasi. Menjadi tubuh yang bermanfaat jika produktif sekaligus patuh Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:82. Konsep teori di atas, menuntun pemahaman bahwa penguasa Sultan Agung menyemaikan, mengkondisikan dan melatih pengetahuan tentang Arjuna dengan membangun kesadaran subyek, dan inter-subyek di Mataram agar setuju, sepaham dan tersosialisasi dengan nilai-nilai tersebut. Setiap subyek dalam jaringan diskursif mengalami sosialisasi nilai-nilai tokoh wayang Arjuna secara budaya lewat tontonan wayang di lingkungan sekitarnya pada event-event yang mentradisi di Jawa, wacana- wacana di masyarakat atau-pun pelajaran muatan lokal di sekolah yang akhir-akhir ini digalakkan. Kesadaran masing-masing subyek terhadap wacana Arjuna, dalam satu kesatuan kolektif Jawa menjadi kesapahaman dan kesepakatan kolektik yang pada akhirnya membentuk sistem berpikir dan perilaku yang diistilahkan Foucault episteme. Berkaitan dengan episteme, Kali menguraikan pendapat Foucault sebagai berikut. Episteme merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan praktik-praktik lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah tertentu. Dengan demikian episteme adalah sistem tersembunyi di balik pengetahuan yang dominan pada masa tertentu. Sistem tersembunyi itu dianggap