persetubuhan adalah sebuah ritual suci yang disebut
maituna,
lambang bersatunya Siva dan Parwati yang akan mendatangkan anugerah, kesuburan Soekmono 1985:34.
Soekmono 1985:34 lebih lanjut mendeskripskan bahwa
maituna
adalah lambang kesatuan dewa dan
saktinya,
justeru dari sakti-sakti dewa itu asal mula aliran energi
trimurti
. Konsep itulah yang mendasari setiap pasangan kehadiran arca-arca dewa di candi Jawa yaitu, Brahma-Sarasvati, Wisnu-Laksmi, dan Siva
– Parwati, demikian pula lambang
lingga
dan
yoni
dalam
tantrayana
. Sisa-sisa kepercayaan kesuburan dengan ritual
maituna
itu salah satunya terdapat di Candi Sukuh lereng Lawu dalam
candra sengkala Gapura Bhuta Anguntal Jalma
dalam tahun Jawa Gapura Raksasa Menelan Manusia
artinya 1359 Caka atau 1437 masehi.
Candi di lereng Lawu yang berdiri masa pemerintahan Ratu Suhita 1429-1447 periode akhir Majapahit tersebut banyak relief maupun arca
pallus
alat kelamin pria dan
vagina
alat kelamin wanita ukuran besar sebagai media ritual
maituna
bertujuan mendapatkan berkah bagi kesuburan masyarakat Majapahit di sekitar Lawu, serta
harapan kebangkitan datangnya pencerahan bagi kerajaan dinasti
Rajasa
yang saat itu terus-menerus mengalami kemunduran karena perang saudara memperebutan tahta
Majapahit Soekmono, 1985:78.
4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna
Sebagaimana dikemukakan Bartes dalam Hoed 2011:18 di atas bahwa wacana mitos akan menjadi ideologi dari masyarakat tertentu jika mengalami kemapanan
makna. Sejajar dengan Bartes, dan
episteme
dari Foucault, Gramsci lebih jelas mendefinisikan
ideologi
sebagai berikut. ideologi adalah peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial
tertentu mengakar pada praktik sosial kehidupan sehari-hari kehidupan populer....ideologi memberi kita aturan-aturan perilaku praktis dan moral.
Ideologi adalah pengalaman sehari-hari sekaligus sekumpulan ide-ide sistematis yang berperan untuk mengatur dan mengikat suatu blok elemen sosial yang
beragam dalam pembentukan blok-blok hegemonik maupun kontra hegemonik. Hegemoni ideologi adalah proses di mana cara-cara pemahaman tertentu tentang
dunia menjadi demikian gamblang atau ternaturalisasi sehingga cara pemahaman alternatif di luar mereka terasa tidak masuk akal atau tidak terpikirkan Gramsci
dalam Barker, 2005:468.
Sejajar dengan konsep Gramsci, wacana ideologi dari Barthes dipahami sebuah makna yang sistematis di masyarakat berupa sekumpulan ide-ide, aturan-aturan, serta
perilaku moral sehari-hari untuk menyatukan keberagaman baik yang menghegemoni maupun kontra hegemoni dalam suatu tatanan yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kembali pada ideologi sebagai wacana semiosis, tokoh Arjuna adalah makna- makna yang mapan menjadi sebuah nilai bagi masyarakat Jawa di Mataram. Nilai-nilai
itu didukung oleh penguasa sebagai sebuah sistem anutan moral dan praktik tingkah laku bagi masyarakat Mataram saat itu. Sebagai pengetahuan, ideologi Arjuna menjadi
kiblat karakter, baik oleh anggota masyarakat maupun perilaku individu penguasa sendiri, dikarenakan sebagaimana dikemukakan Gramsci di atas, nilai-nilai tersebut
telah menjadi sistem pengetahuan, sehingga dalam hal penghayatan nilai itu, anggota blok hitori Mataram tidak mungkin melampau sistem pengetahuan yang ada.
Merangkum berbagai mitos di atas dengan merujuk teori ideologi, baik semiosis dari Bartes maupun Gramsci,
nilai-nilai pengetahuan
berkaitan dengan tokoh Arjuna di Mataram, adalah representasipersonifikasi dari ide kekuasaan Raja-Raja Mataram, yang
mendambakan kesempurnaan kekuasaan yang dalam konsep Jawa disebut oleh Soeratman
mukti wibawa mbahudhendha nyakrarawati
mulia berwibawa berkekuatan tinggi berbahu gada dan memutar roda kekuasaan dunia. Kesempurnaan kekuasaan
dibangun dari empat sumber kekuatan yang berpusat pada satu titik Raja Mataram, yang disebut
keblat papat lima pancer atau mancapat dan mancalima
Soeratman, 2000:89. Konsep
kasampurnan
dalam dimensi kekuasaan itu bisa dijelaskan dengan skema gambar sebagai berikut.
Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Raja-Raja Mataram.
Diperjelas oleh skema di atas dapat diuraikan bahwa Arjuna adalah pusat dari empat dimensi kekuasaan secara vertilal dan horisontal. Secara vertikal dari atas
bersumber dari
Nur Muhammad kaliffatullah
di muka bumi, dari arah bawah bersumber dari dukungan rakyat yang dilambangkan Panakawan Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong, sedangkan secara horisontal dari arah belakang sebagai kawan pendukung Nur
Muhammad
yang berasal dari raja-raja keluarga para isteri Arjuna, dan dari depan Arjuna dalam posisi berhadapan dengan para raksasa kaum
sabrang
sebagai musuh yang harus ditahlukkan yang pada akhirnya juga menjadi sumber kekuatan kekuasaan.
Nilai-nilai pengetahuan
keblat papat lima pancer
kekuatan Arjuna itu adalah representasi kekuasaan Raja-Raja Mataram, dari atas sebagai
trah agung binathara
keturunan para dewa dan nabi, dari belakang para pendukung permanen dari para isteri yang berasal dari putri raja-raja bawahan misalnya pada zaman Sultan Agung, putri dari
Cirebon, Pati, dan Batang; sedangkan dari arah bawah dan musuh para raja pembangkang di Jawa timur dan barat, Raja-Raja Mataram itu menempatkan diri
sebagai
trahing kusuma
dan
satria Tanah Jawa,
yang istimewa dan berkuasa memerintah raja lain.
Berdasarkan uraian di atas dari sisi nilai dapat disimpulkan bahwa sebab dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus bagi Raja-Raja Mataram dimotifasi untuk
memposisikan Arjuna sebagai tokoh tauladan bagi orang Jawa, karena panengah Pandhawa memiliki karakter sempurna sebagai pria Jawa yaitu, berkuasa, jantan,
superior, produktif, dan religius. Nilai-nilai itu sesungguhnya adalah representasi ideologi kekuasaan
mancapat dan manca lima
dari Raja-Raja Mataram. Nilai kesempurnaan karakter Arjuna itu disebut oleh Solichin 2011 sebagai
Insan Kamil
artinya manusia sempurna. Demikian pula Laurie 1994:1 dalam jurnal internasional Spring 1994 pokok bahasan “
Comparative Drama
” mengatakan “
Arjuna the third Pandhawa brother, and his sons are the self controlled and exalted heroes, experts in
love, war, and mystical practices
”. Moertono 1985:34 berkaitan dengan konsep kedudukan raja Jawa
mengemukakan bahwa raja diposisikan sebagai pusat mikrokosmos negara yang menempati hierarki tertinggi sebagai penguasa negara dan rakyat. Karena mikrokosmos
dianggap sejajar dengan makrokosmos maka raja
disamasesuaikan
dengan dewa dengan permaisurinya, biasanya Wisnu-Laksmi atau Syiva
– Parwati. Di era Mataram meskipun doktrin Islam menolak penyamasesuaian itu tetapi doktrin raja sebagai
kalifatullah
; di mana raja sebagai wakil Tuhan di muka Bumi, juga memiliki pengertian sejajar dengan raja era Hindu yaitu kekuasaan total raja atas negara dan rakyatnya.
4
.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI,
kata proses bermakna
“runtunan perubahan peristiwa dalam perkembangan sesuatu” Setiawan, 2011:1. Relasi kata proses dengan diskursus tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram
menguraikan runtunan peristiwa, perubahan dan cara-cara yang digunakan oleh penguasa Mataram dalam mewacanakan tokoh Arjuna untuk kepentingan-kepentingan
legitimasi kekuasaanya.
Kali menguraikan
pandangan Foucault
tentang diskursuswacana sebagai berikut.
Wacana dipahami
oleh Foucault
sebagai penjelasan,
pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran orang, pengetahuan, serta sistem-sistem
abstrak pemikiran, tidak terlepas dengan relasi kekuasaan. Wacana selalu bersumber dari manusia yang memiliki kekuasaan dan dari mereka yang
memiliki pemikiran kreatif. Hal itu memungkinkan
mereka untuk membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam sitem sosial, dan
kemudian dengan berpijak pada tautan relasi tersebut mereka mampu memproduksi wacana yang kebenarannya diakui dan bertahan suatu rentang
historis tertentu Kali, 2013:55. Yusuf Lubis mengemukakan 2014a:176 menurut teori Foucault diskursus
dibangun melalui jejaring
kuasa
–
pengetahua n
–
kebenaran
. Kuasa didapat dari pengetahuan, dan dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Kuasa-
pengetahuan-dan kebenaran adalah relasi-relasi yang dimaknai spesifik oleh Foucault. Kuasa bukan dimaknai sebagai sesuatu yang diperoleh, disimpan, dibagi, dan dimiliki,
tetapi adalah strategi pengetahuan yang dipraktikkan, artinya pengetahuan tertentu akan mendatangkan kekuasaan bagai seseorang di bidang terkait. Kuasa menurut Foucault
bukan wewenang yang terfokus pada penguasa tetapi menyebar ke banyak figur maupun lembaga; tidak selalu bekerja secara negatif dan represif tetapi positif sekaligus
produktif menghasilkan makna-makna baru, obyek-obyek, pandangan-pandangan, dan ritus-ritus yang disepahami dan disepakati oleh kolektif sosial sebagai sebuah
kebenaran. Pengetahuan disini dipandang sebagai
power knowledge
yaitu kesatuan antara kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan yang terbentuk dari bahasa akan menjadikan
kuasa, yaitu kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain. Pengetahuan yang dimaksud adalah bahasa itu sendiri yang oleh Ricoer
dianggap “rumah sang ada”. Maksudnya, bahasa adalah media bagi manusia untuk
mendapatkan segala pengetahuan. Melalui bahasa Foucault dalam
genealogi
mengkronologikan, bahwa manusia belajar mengetahui berbagai hal yang dilihat, belajar norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, apa yang boleh dan dan yang tidak yang
rasional
atau-pun
irrasional
yang pada gilirannya membentuk kesadaran pada jiwa-jiwa manusia yang diistilahkan sebagai personal-personal atau subyek-subyek Yusuf Lubis,
2014b:167-192.
Kebenaran
dalam relasi kuasa dan pengetahuan adalah norma-norma, nilai- nilai, dan aturan-aturan yang telah menyatu dalam sistem cara berpikir dan bertingkah
laku manusia dalam kurun era tertentu yang oleh Foucaul disebut
episteme.
Disebut sebagai kebenaran karena
episteme
adalah konstruksi budaya sebagai sebuah kesepakatan dan kesepahaman kolektif tentang apa yang dianggap benar dan tidak
benar, apa yang dianggap boleh dan yang dilarang, apa yang memenuhi etika dan yang tidak etis dan sebagainya. Hubungannya dengan penguasa dikemukakan oleh Foucault
bahwa kebenaran dalam sebuah
episteme
itu berakar dan dikontrol oleh penguasa dengan cara desentralisasi dan pluralisasi, yaitu mensosialisasikan wacana dari
penguasa melalui lembaga-lembaga terkait dan kepada individu-individu secara budaya dalam masyarakat Yusuf Lubis, 2014a:80-87
Untuk memperjelas bagaimana diskursus dibangun dalam jejaring kuasa, pengetahuan dan kebenaran dalam teori Foucault, sebagaimana diuraikan oleh Kali dan
Yusuf Lubis di atas bisa dijelaskan melalui gambar skema berikut.
Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:176.
Skema di atas menjelaskan bahwa kuasa oleh Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain.
Kuasa didapat dari pengetahuan-pengetahuan melalui bahasa diwacanakan oleh penguasa menjadi sebuah ide, tingkah laku, norma, aturan yang membudaya menjadi
pola pikir kolektif yang diistilahkan Foucault
episteme
, melalui lembaga-lembaga yang ada seperti pendidikan, pelatihan, himbauan, instruksi, dan komunitas-komunitas publik
yang memungkinkan menerima pengetahuan. Pribadi-pribadi di lingkungan wacana baik para penguasa maupun rakyat anggota kolektif akan memahami dan menerima
episteme
sebagai sebuah kebenaran karena mereka telah dikondisikan secara budaya sejak tahap balita belajar berbahasa hingga tersosialisasi menjadi bagian masyarakat
diskursif.
Dengan demikian, kuasa-kuasa sebagai sebuah pengetahuan menyebar ke seluruh individu-individu maupun kelompok yang secara budaya akan patuh kepada
episteme
yang telah dikonstruksi penguasa Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:178. Dituntun oleh pemahaman konsep jejaring kuasa dari Foucault di atas, dapat
diuraikan alur analisis tentang proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram seperti gambar skema berikut.
KUASA PENGETAHUAN
BAHASA WACANA
KEBENARAN
PRAKTIK DISKURSIF Jalinan hubungan antara bahasa,
pengetahuan, pikiran dan tindakan
Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna.
Skema di atas memetakan analisis bahwa tokoh Arjuna diwacanakan oleh Raja- Raja Mataram dengan bersumber pada
Babad Tanah Jawi,
secara desentralisasi dan pluralisasi lewat relasi pertunjukan wayang.
Secara desentralisasi
, pertunjukan wayang disosialisasikan lewat tradisi di berbagai lapisan dan hierarki masyarakat Mataram
seperti di lingkungan keraton, rumah para priyayi, adat tradisi masyarakat maupun kepentingan ritual-ritual keluarga. Diskursus
secara pluralisasi
berupa penyebaran nilai-nilai wayang Arjuna kepada para penonton umum secara ekplisit maupun implisit
dalam
pakeliran
. Penyebaran pengetahuan diskursus Arjuna itu pada gilirannya membentuk personal-personal yang terkondisi dalam budaya pewayangan dengan
Arjuna sebagai sentral tokoh panutan. Dari proses praktik diskursif itu menghasilkan personal-personal masyarakat kolektif Jawa yang menerima secara total sistem berfikir
tata kehidupan
priyayi
Mataram. Proses subyektifitas dalam kolektifitas Jawa untuk senyawa dengan budaya priyayi itulah faktor utama hegemoni terhadap legitimasi Raja-
Raja Mataram awal, terutama era Sultan Agung hingga sekarang. Alur pemikiran tersebut dianalisis seluruhnya dalam pemaparan selanjutnya.
Raja-Raja Mataram
Pengetahuan Wayang Arjuna
Kuasa Dalang,
Penanggap Penonton
Episteme Budaya Wayang
Mataraman
Berpedoman pada alur pemikiran di atas pengetahuan tentang nilai-nilai Arjuna dimiliki oleh relasi kuasa dalang, penanggap, dan penonton dan dipraktikkan dalam
pementasan wayang.
Pertama
, dalang sebagai aktor utama dalam pertunjukan wayang mendapat perhatian utama dalam sebuah pertunjukan wayang baik dari penanggap maupun para
penonton. Perhatian tersebut bisa berujud fasilitas-fasilitas atau-pun honor yang diberikan dalang atau penghormatan terhadap profesi dalang sebagai tetua dan guru
masyarakat. Dengan berbekal pengetahuan tentang wayang dalang mendapat kuasa sebagai tetua dan guru masyarakat.
Kedua
, penanggap sebagai penyelenggara pertunjukan wayang juga akan menduduki posisi terhormat dalam masyarakat Jawa dikarenakan selain sebagai hiburan
dan tuntunan, pentas wayang adalah simbol kemapanan ekonomi bagi penanggap. Semakin tinggi honor dalang dan beaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan
pentas wayang, akan menunjukkan gengsi yang tinggi bagi penanggap di tengah-tengah masyarakat. Kedudukan wayang dalam budaya Jawa sebagai karya
adiluhung
juga akan mendatangkan apresiasi kepada penanggap sebagai anggota masyarakat yang bercita
rasa seni tinggi, berwawasan budaya serta akan dinilai sebagai pelestari identitas Jawa. Dengan menanggap wayang penanggap mendapatkan kuasa sebagai pelestari budaya.
Ketiga,
penonton sebagai
audiens
penikmat pentas wayang akan mendapatkan pengalaman jiwa tentang nilai-nilai moral yang disampaikan oleh dalang dalam
kemasan cerita wayang. Sutrisno
et.al
.,2009:1 menyebut bahwa pentas wayang adalah wahana refleksi, kontemplasi, dan introspeksi intuitif yang akan berpengaruh pada
pengendalian diri bagi para penikmat. Dengan demikian penonton wayang lewat amanat dari dalang dituntun menjadi warga masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai Jawa
yang berlaku. Penonton mendapat kuasa pengetahuan untuk bersosialisasi dengan norma budaya Jawa.
Bentuk relasi antara dalang, penanggap maupun penonton, nampak pada pementasan wayang yang bisa dilihat dari
event-event
penyelenggaraan, tempat di mana pentas diadakan serta bentuk dan cara-cara yang dilakukan dalang dalam
menyampaikan pesan kepada masyarakat.
4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang