Ragam Budaya Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa

bahwa wayang adalah ideologi tersendiri, bahkan bentuk keyakinan khusus bagi para dalang, sehingga banyak para dalang tidak merasa perlu memeluk agama formal secara khusuk karena wayang telah memberi banyak penghayatan religiusitas, lengkap dengan tuntunan ritualnya Sularso, wawancara 24 Oktober 2014. Berkaitan dengan sangat rumitnya jalinan unsur budaya episteme Matara man, kejawen, adiluhung , atau dengan istilah yang lain, Mulder dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia mengemukakan. Cara berfikir orang jawa melaraskan semua gejala. Perbedaan yg prinsipial di antara macam-macam kelas gejala seperti obyeksubyek, bentukwaktu, bentukwaktu, simbolbenda, hidupmati, kawulagusti, dan idehal tidak dipikirkan; semua disederhanakan dalam satu bagan yang mana semua berhubungan secara mitologis Mulder, 2001: 52. Mengacu pendapat Mulder di atas dalam pembahasan tentang bentuk-bentuk khas episteme era Mataram sebagai pengaruh implikasi diskursus Arjuna akan diuraikan beberapa contoh aspek budaya yang mengindikasikan pengaruh episteme tersebut dalam masyarakat Jawa sekarang. Untuk mempermudah pemahaman bentuk-bentuk khas dari aspek episteme era Mataram itu diuraikan sesuai dengan kecenderungannya masing- masing, misalnya episteme adiluhung lebih mengarah pada bentuk khas seni, kejawen lebih mengacu pada bentuk religiusitas, dan poligami sebagai gaya hidup priyayi yang hingga saat kini kontroversial di masyarakat. Meskipun episteme era Mataram masih sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang Jawa hingga saat ini, tetapi karena implikasi globalisasi di mana pengaruh global seperti kapitalisme, budaya populer, liberalisasi, dan demokrasi tidak bisa dihindarkan dalam perkembangan kehidupan masyarakat Jawa modern, maka perbenturan budaya antara tradisi dan modern berdampak masalah-masalah budaya di masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta itu maka pembahasan selanjutnya juga mengkritisi masalah-masalah tersebut.

4.3.1. Ragam Budaya

Adiluhung. Salah satu sistem berpikir yang mencirikan episteme era Mataram di bidang wayang dan seni pertunjukan pada umumnya adalah seni budaya adiluhung. Solichin 1998:2 menguraikan bahwa karya seni budaya adiluhung adalah ungkapan-ungkapan dalam budaya khususnya seni yang menampilkan estetika keindahan dilandasi dengan makna filosofis tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Salah satu bentuk dari adiluhung itu dikenal dengan istilah ngrawit yaitu karya seni yang me-representasikan keindahan pada tingkat kerumitan yang tinggi, misalnya batik, wayang, tari, dan karawitan klasik. Makna filosofis yang terkandung dalam seni adiluhung , sebagaimana dimaksud oleh Solichin tersebut adalah makna-makna mistik tentang cita-cita kehidupan manusia mencapai kasampurnan dengan manunggaling kawula gusti. Dalam pertunjukan wayang, kasampurnan dan manunggaling kawula gusti itu tercermin secara implisit dalam sistem tiga pathet , alur pengadegan, dan perang kembang sabagaimana telah disinggung di atas. Selain itu juga sangat tampak pada lakon-lakon yang dikeramatkan dalam pedalangan yaitu Dewa Ruci dan Bima Suci , yang bertema mistik Jawa tentang keberhasilan Bima bertemu dengan Dewa Ruci sebagai simbol dari kehadiran Tuhan. Salah satu produk budaya adiluhung yang mengakar di masyarakat adalah pakem. Pakem sebagai kumpulan dari pedoman mendalang hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat pendukung wayang. Meskipun pakeliran telah mengalami banyak perubahan dari para dalang dan lembaga-lembaga pengembangan wayang seperti sekolah-sekolah formal jurusan pedalangan di SMKI, SMK, ISI dan juga di sanggar-sanggar, tetapi pengembangan itu sebatas pada tata lampu, iringan, garapan alur menjadi pakeliran ringkas atau padat; sedangkan secara garis besar acuan terhadap pakem, balungan , maupun gancaran tidak ditinggalkan. Pakem sebagai produk adiluhung dipandang masyarakat sebagai strandar mutu etika dan estetika wayang. Bagi para dalang yang melanggar ketentuan pakem akan mendapat sangsi dari masyarakat berupa penilaian sebagai dalang yang tidak bermutu. Karena pelanggaran-pelanggaran itu maka muncul sebutan negatif dari masyarakat seperti dalang edan, dalang stress, dalang degleng, dalang setan dan sebagainya Sulistiono, 2014:5. Di sisi lain pakem dipandang sebuah belenggu bagi seniman. Wahyudi 2012:3 mengemukakan bahwa pakem mulai dikritisi sekitar tahun 50-an oleh direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia ASKI Gendhon Humardani, beserta cantrik-cantriknya murid-murid di Jurusan Pedalangan ASKI Surakarta, seperti Bambang Suwarno, Bambang Murtiyoso, Sumanto dan lainnya. Mereka mendekonstruksi pakem dengan garapan kontemporernya saat itu “pakeliran padat” yang berusaha memadatkan unsur- unsur pakeliran, alur cerita, dan iringan, serta durasi waktu pentas yang sebelumnya selama sembilan jam dalam vase pembagian waktu tiga pathet, nem, sanga, dan manyura , menjadi tiga jam, satu, atau bahkan 45 menit. Berkaitan dengan pakem pedalangan Murtiyoso berpandangan. Pakem tersebut memang semula sekedar sebagai pancadan para murid. Tetapi dalam penyebaran selanjutnya ditafsirkan suatu hal mutlak harus begitu. Harus dijalankan, tidak boleh dilanggar sebab itu dianggap yang benar, kalau tidak seperti itu salah Murtiyoso 1981:8 Kecenderungan sebagian besar masyarakat Jawa untuk selalu melanggengkan pakem yang bernilai adiluhung sekarang ini dipandang memiliki kelemahan sebagai berikut. Pertama , bagi seniman pencipta, pakem adalah penghilangan hak personal untuk mengakui karya ciptanya; dikarenakan telah dikondisikan sejak jaman Sultan Agung, bahwa setiap karya di lingkungan keraton baik karya sastra, seni pertunjukan, rupa, atau-pun yang lain harus diatasnamakan raja, sebagaimana diuraikan di atas karya- karya monumental seperti Babad Tanah Jawi , Sastragendhing , Wayang Arjuna wanda Mangu , Tari Bedaya Ketawang , semua tidak menyertakan pencipta aslinya, Pangeran Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai Panjang Mas, Pangeran Purbaya dan sebagainya. Akibatnya setelah pamor keraton semakin memudar karya-karya tersebut anonim tidak diketahui penciptanya. Di era pengakuan hak cipta sebagaimana dikatakan Sedyawati 2009:69 bahwa semua pengguna karya seni wajib ijin kepada pencipta dengan memberi kompensasi bonafit kemanfaatan dan profit keuntungan, formulasi budaya pengingkaran hak cipta, atas nama raja itu sungguh sangat merugikan pencipta dan keturunanya yang seharusnya menerima royalti. Kedua , bentuk pemakeman karya seni sesungguhnya juga merupakan belenggu kreativitas bagi para seniman. Seni yang dalam konsepnya adalah suatu kebebasan berekspresi bagi masyarakat menjadi terhalang dan terbelenggu oleh pedoman-pedoman pakem, waton, angger-angger dan sebagainya yang sebetulnya sengaja diciptaan keraton untuk memuliakan raja dan keluarganya. Pemakeman-pemakeman itu akhirnya mengakibatkan terbentuknya vokabuler blangkon konvensi-konvensi teknik pentas yang tinggal memakai tanpa ada ruang penciptan bagi para seniman, misalnya ketentuan dalam pentas wayang dalam hal alur pengadegan yang harus dimulai dari jejer , kedatonan, pagela ran njaba, budhalan hingga tancep kayon adegan I keraton, keputrian, penghadapan di ruang pagelaran, parade keberangkatan prajurit dan tancep kayon pertanda pertunjukan selesai. Bentuk-bentuk konvensi sebagaimana contoh di atas lebih banyak menonjolkan keagungan kekuasaan raja misalnya dialog baku dalam jejer antara Sri Kresna dan Samba, putranya “ Kulup aja was sumelang atinira, Sira tansah antuk palimirmaningsun, lamun Sira nandhang ukum pati mung bakal tumeka lara, yen nandhang ukum lara bakal antuk pangapuraningsun ” artinya “putraku, Kamu selalu akan mendapat anugerah dariku, jika Kamu mendapat hukuman mati hanya akan kuganjar sakit, jikalau Kamu mendapat hukuman sakit akan aku bebaskan ” Soeratno dalam Soemarno 1996:3 . Dialog tersebut mengungkapkan tentang kekuasan raja yang tak terbatas termasuk pembenaran melakukan nepotisme dengan melaksanakan hukum negara semaunya tanpa berpedoman dengan hukum positif. Ketiga, kehadiran pakem juga berdampak karya seni lokal di luar keraton menjadi terpinggirkan. Intervensi keraton terhadap karya seni masyarakat yang dimulai sejak jaman Sunan Hanyakrawati turun temurun hingga Surakarta, menyebabkan keraton dijadikan kiblat etika dan estetika budaya Jawa. Karena pengaruh wibawa raja segala hal yang berkaitan pedoman dan karya produk keraton, mendapat penghormatan sangat tinggi di masyarakat luas, sebaliknya karya lokal kedaerahan di luar pengaruh raja dianggap kerakyata n dan produk rendahan . Karena asumsi itu maka masyarakat pendukungnya meninggalkan sehingga pelan-pelan karya seni kedaerahan mengalami kepunahan. Hal itu terbukti setelah Sunan Hanyakrawati menitahkan kepada tetua dalang di Mataram Kyai Panjangmas agar pentas ruwatan pentas wayang yang dipercaya sebagai pembuang sial yang sebelumnya menggunakan wayang beber diganti dengan wayang purwa, mengakibatkan kepunahan wayang beber baik bentuk pentas maupun regenerasi dalangnya. Akhir-akhir ini berkembang wacana pelestarian wayang beber di lingkungan dalang-dalang muda dan kepariwisataan Surakarta, untuk menampilkan lagi wayang tertua itu. Namun usaha rekonstruksi menemui kegagalan karena telah sangat langka dalang senior yang memiliki kemampuan mementaskannya. Hanya tinggal satu keluarga saja Bapak Guna Sarnen di Pacitan, pewaris wayang beber Pacitan, tetapi ia tidak bisa menularkan kepada orang lain dikarenakan takut pada kutukan leluhurnya bagi yang mengajarkan pentas wayang beber di luar keluarga Soetarno, 1995:19. Demikian pula, semenjak Pedalangan gaya priyayi Surakarta populer di masyarakat, dampak yang terjadi adalah semakin punahnya gaya Pedalangan kedaerahan seperti wayang gaya Pesisiran, Jawatimuran, wayang Golek Menak, Krucil, Klithik, dan sebagainya. Nasib yang sama menimpa pula produk seni kedaerahan seperti Srandul, Topeng Klaten, Jathilan, Sronthol, Orek-orek, Barongan, Jaran dhor, Angguk , bahkan seni Ketoprak yang pada tahun 70-an mengalami kejayaan sekarang ini telah punah dikarenakan mendapat stigma karya seni rendahan bukan produk kraton. Masyarakat dalam budaya Jawa pada umumnya beramsumsi bahwa raja adalah sumber dari berbagai anugerah seperti pandangan Soetarno berikut “ Raja adalah pusat segala-galanya; pusat kekuasaan, pusat kesejahteraan, pusat kekuatan dan sebagainya, maka tidak aneh apa yang ada di kalangan keraton itu akan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan di masyarakat ”Soetarno,1995:44. Pandangan tentang budaya adiluhung bisa dipahami menggunakan teori budaya tinggi dan rendah dari Penulis Inggris Matthew Arnold pada abad 19, bahwa kebudayaan adalah hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diucapkan manusia di dunia, dengan membaca, mengobservasi, dan berfikir sebagai sarana menuju penyempurnaan moral dan kebaikan sosial. Argumen estetik dan politis kebudayaan sebagai peradaban itu dilawankan dengan sifat anarkis massa yang mentah dan tidak berbudi daya Arnold dalam Barker, 2005:48 Teori Arnold dikembangkan oleh F.R Leavis dan Q.D. Leavis yang karyanya dimulai sekitar Tahun 1930-an. Dalam argumennya leavis mengemukakan tujuan budaya tinggi adalah untuk menghidupkan, merawat, dan menyebarkan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang baik dari hal-hal yang buruk dalam kebudayaan. Bagi Leavisisme, tugasnya adalah mendefinisikan dan membela yang terbaik dari kebudayaan, kanon karya-karya hebat dan mengkritik hal-hal terburuk dari budaya massa dengan candu pengalih perhatian Leavis dalam Barker, 2005:49. Berkaitan dengan konsep budaya adiluhung tinggi yang sangat superior, Barker 2005 mengutip pendapat yang berbeda dari Williams sebagai berikut: Kebudayaan memiliki dua aspek makna dan arahan-arahan yang sudah dikenal yang sudah dilatihkan pada para anggota budaya itu; dan observasi dan makna-makna baru, yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses-proses biasa dalam proses masyarakat manusia dan jiwa manusia, dan melaluinya kita bisa melihat sifat dari kebudayaan: bahwa kebudayaan selalu tradisional sekaligus kreatif; bahwa ia adalah makna-makna umum yang paling biasa sekaligus makna-makna individual yang paling halus Williams dalam Barker, 2005 :50 Williams memposisikan budaya secara netral dan alami, bahwa budaya tinggi- rendah, adiluhung -kerakyatan, kontemporer, klasik dan populer sesungguhnya hanya perbedaan dimensi tempat dan waktu saja, sedangkan penilaian seni halus dan kasar, narasi besar dan kecil hanya asumsi-asumsi yang sangat dilatarbelakangi oleh relatifitas pengalaman masing-masing. Namun baik seni keraton, maupun rakyat, budaya klasik maupun populer semuanya adalah proses alami dalam sosial budaya, semuanya berhak hidup bersama-sama tidak ada yang saling mengungguli.

4.3.2. Religiusitas Kejawen