4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang
Kesempatan pentas wayang terselenggara sesuai dengan kebiasaan masyarakat Jawa yang telah mentradisi, diantaranya hajatan keluarga, ritual-ritual tradisi
masyarakat dan acara-acara yang diadakan keraton.
Pertama
, pentas wayang di lingkungan keluarga diselenggarakan dalam ritual memperingati vase-vase pergantian tataran kehidupan seperti tradisi
mitoni
selamatan tujuh bulan kehamilan wanita,
sepasaran bayi
selamatan lima hari kelahiran bayi
, tetakantetesan
selamatan pergantian vase anak-anak laki-lakiperempuan menjadi dewasa
,
pernikahan
, dan nyewu
selamatan seribu hari kematian. Salah satu ritual keluarga,
mitoni
atau populer di Jawa disebut
tingkeban
digunakan sesaji berupa buah kelapa
gading
yang digambari tokoh Arjuna dan Subadra dengan maksud harapan dari keluarga agar bayi yang akan lahir laki-laki atau perempuan meniru sifat-sifat Arjuna
atau Subadra.
Kedua
, pentas yang diselenggarakan oleh masyarakat misalnya
bresih dusun, sedhekah bumi
, dan
sadranan
, yang bertujuan memuliakan roh-roh nenek moyang serta doa keselamatan untuk masyarakat.
Ketiga
pentas wayangan di lingkungan keraton diantaranya peringatan
wiyosan jumenengan, tumbuk yuswa
, yaitu berjaga pada malam-malam ulang tahun penobatan raja kelahiran raja, serta
tuguran
yaitu berjaga ketika raja sedang pergi dari keraton Soetarno, 2002:11.
4.2.2. Tempat Pentas Wayang
Tempat atau ruang dalam pembahasan ini mencakup pengertian tidak hanya ruang dan waktu pementasan diadakan, tetapi juga berkaitan dengan golongan lapis
sosial yang menyelenggarakan. Perbedaan sosial penyelenggara pentas wayang akan berpengaruh pula terhadap nilai pengetahuan yang disampaikan oleh dalang. Soetarno
2002:13 mengutip pendapat Nayawirangka membagi ruang pentas dalang menjadi tiga, yaitu:
wayangan pringgitan, pendapan
dan
kebonan.
Pembagian ruang
wayangan
sebagaimana dipilah oleh Soetarno itu tidak sekedar berkaitan
pringgitan, pendapa
, dan
kebon,
sebagai ruang dalam arti harfiah tetapi lebih bermakna status sosial pemilik dari tempat tersebut.
Pringgitan
adalah sebuah ruangan di keraton yang terletak di antara ruang terdepan
pendhapa
dan
dalem
, rumah bagian dalam, yang dalam tradisi Jawa diperuntukan untuk menyelenggarakan wayang. Pentas di
pringgitan
bagi dalang menduduki status tertinggi karena disaksikan oleh raja, permaisuri, para pangeran serta
pejabat tertinggi di lingkungan keraton serta para bupati undangan raja, bisa juga raja- raja lain di luar Jawa sebagai undangan raja. Sesuai dengan tradisi
wayangan
di keraton dalang ditunjuk oleh raja dari para pangeran dengan menggunakan wayang terbaik
Soetarno, 2002:11. Sebagaimana telah terbangun pada kultur sebelumnya, pentas wayang di keraton
lebih mengarah pada pemuliaan raja yang sedang berkuasa. Di era Mataram awal Sultan Agung, misi utama pementasan wayang adalah untuk mewacanakan pengetahuan
dan nilai-nilai yang berkaitan tentang Arjuna sebagai alat untuk membangun legitimasi kekuasaan, dengan cara mengukuhkan Arjuna sebagai leluhur raja-raja Mataram.
Dalang sebagai pemeran utama dalam pertunjukan wayang di keraton selain terdiri dari para pangeran juga
abdi dalem
dalang yang dipandang memiliki kemampuan oleh raja. Sayid 1958:60 dalam
Bauwarna Kawruh Wayang
menguraikan bahwa dalang-dalang terkenal
abdi dalem
di Mataram diantaranya adalah Ki Widiguna, Ki Cermanasa, Ki Widi Leksana, Ki Tur Krucil dan yang paling populer Ki Panjangmas
dipercaya sebagai moyang dalang-dalang di Solo, Jogja, serta Banyumas. De Graaf 1987 : 28 menguraikan bahwa Ki Panjangmas selain ahli mendalang juga seorang
sastrawan yang dipandang memiliki kapasistas intelektual pada jaman itu. Selanjutnya Graaf mengemukakan bahwa Panjangmas ditunjuk oleh Susuhunan Hanyakrawati,
ayahanda Sultan Agung, sebagai penyusun
Babad Demak,
serta menjadi tetua dalang yang bertanggung jawab atas kegiatan pedalangan di Mataram terutama terkait dengan
ritual
pangruwatan.
Di ruang
pringgitan
Kraton Mataram itulah, awal mula nilai-nilai pengetahuan tentang Arjuna digali dan diwacanakan. Oleh karena konsep Jawa yang memposisikan
raja sebagi pusat kekuasaan, maka pentas-pentas wayang di keraton adalah ruangan paling efektif sebagai wahana tranformasi wacana-wacana pengetahuan tentang
wayang, karena nilai-nilai pengetahuan tersebut langsung ditranfer kepada pejabat penting pemegang kuasa baik di dalam maupun di luar keraton.
Wayangan pringgitan
adalah sebagai doktrin tidak langsung secara komprehensip yang memungkinkan akan
secara mudah menyebar ke seluruh lini kerajaan Jawa, mengingat bahwa nilai-nilai yang diciptakan di keraton bermakna sebagai hukum yang akan dipatuhi oleh seluruh rakyat
Soetarno, 2002:14. Ruang
kedua
di luar keraton adalah
wayangan pendapan
. Akhiran an pada kata
pendapa
mengacu pada makna ruang terdepan rumah kaum
priyayi
biasanya berbentuk joglo representasi dari orang-orang di sekitar raja, sejak pejabat terdekat hingga pejabat
tingkat desa seperti
demang, lurah, jagabaya, kebayan
dan sebagainya. Rumah-rumah
priyayi
meskipun di luar tembok keraton tetapi dalam budaya Jawa, masih tergolong tempat terhormat karena para
priyayi
adalah pemegang kuasa di bawah kendali penguasa. Berbeda wayangan
pringgitan
yang khusus ditonton oleh keluarga raja serta para tamu penting kerajaan,
wayangan pendapan
di rumah-rumah priyayi Jawa memungkinkan menghadirkan penonton homogen. Lebih banyak didominasi kehadiran
para tamu sesama
priyayi
kenalan dari penanggap; bisa juga dihadiri oleh para pangeran atau-pun raja bagi
priyayi
yang memiliki hubungan dekat dengan raja. Sangat memungkinkan juga, kehadiran orang kebanyakan dari golongan rakyat, jika rumah
priyayi
terletak di desa jauh dari kota raja. Karakter pementasan wayang
pendapan
meskipun masih mengacu pada norma-norma
pakem
sebagaimana di keraton, bentuk pertunjukan mengarah ke tontonan yang menghibur; menyesuaikan cita rasa penonton
campuran antara
priyayi
dan kalangan rakyat yang pada umumnya kurang berminat pada bentuk tontonan serius tentang kedalaman filosofi. Dalam hal pemilihan dalang
wayangan
pendapan
berbeda dengan kebiasaan keraton. Jika di keraton dipilih dalang-
dalang dari para pangeran dan
abdi dalem
dalang, di lingkungan
priyayi
biasanya mendatangkan dalang-dalang keraton, atau dalang-dalang terkenal di daerah. Kehadiran
dalang terkenal tersebut selain menjamin kualitas mutu pentas juga akan menjadi
prestise
bagi penanggap karena dalang terkenal di daerah, biasanya honor serta dana penyelanggaraannya relatif tinggi.
Ruang pementasan wayang
ketiga
menurut Soetarno 2002:13 adalah
kebonan
.
Kebonan
adalah berasal dari kata dasar
kebon
mendapat akhiran an mengacu pada makna pekarangan rumah, bagian depan atau belakang. Menurut Soetarno wayangan
kebonan
mengacu pada bentuk pementasan di masyarakat luas, di luar level keraton maupun rumah kaum
priyayi,
yang tidak dikekang oleh pedoman-pedoman
pakem,
sehingga lebih cenderung sebagai tontonan atau hiburan. Pilihan dalang yang
ditampilkan oleh penanggap di kalangan rakyat juga beragam sesuai dengan kemampuan ekonomi penanggap. Sesuai kebiasaan masyarakat agraris Jawa, wayangan
di daerah akan dipilih dalang lokal yang telah dikenal di daerah tersebut. Di ketiga ruang pentas wayang baik di keraton dan di masyarakat luas ditinjau
dari levelitas dan komunitas penonton merupakan unsur-unsur proses yang menunjang diskursus Arjuna di Mataram.
4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang.