petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi
expression
dilambangkan E, dan isi
content
dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi
relation
yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan ERC
Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna
bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi subyek-subyek individu. Hoed 2011:66 tentang semiotika wacana Barthes
mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer mana suka digolongkan sebagai
mitos
jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir
masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi. Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur
tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “
Lelananging Jagat
” bertujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu
sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram.
Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra
lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.
2.4. Model Penelitian
Sebuah model atau pola diperlukan untuk menampilkan gagasan yang abstrak menjadi sebuah pola-pola visual yang mudah dipahami 2010:286. Model penelitian
tentang diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini berupa diagram yang menampilkan objek, variabel, dan masalah-masalah dan implikasi-implikasi yang
terjadi dari proses budaya tersebut. Rekonstruksi alur pemikiran penelitian ini bisa divisualkan dalam gambar 2 berikut.
Gambar 2. Model Penelitian.
Dari gambar di atas dapat diuraikan alur pemikiran penelitian sebagai berikut: 1
Wayang adalah jenis teater tradisi yang telah berkembang di Jawa dahulu hingga sekarang. Kelestarian wayang tersebut karena orang Jawa menganggap bahwa
wayang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya dalam hal sejarah, kultus, mitologi, dan tokoh anutan.
2 Menyadari posisi wayang yang sangat satrategis dalam kehidupan budaya Jawa,
maka Sultan Agung sebagai raja Mataram yang sangat membutuhkan legitimasi kekuasaan dari masyarakat Jawa, memilih wayang tokoh Arjuna sebagai media
diskursus. Pertimbangan pemilihan itu adalah tokoh Arjuna selain sangat populer dan diidolakan oleh orang Jawa juga dikultuskan, dan dimitoskan sebagai pembawa
kejayaan bagi seorang raja. 3
Diskursus Arjuna diwacanakan dengan cara menyebar
power knowledge
kepada masyarakat pendukung wayang yaitu dalang, penanggap, dan penonton yang terdiri
dari masyarakat luas.
NILAI-NILAI KULTUS,MITOLOGI, IDEOLOGI WAYANG
Sultan Agung, dan Raja- raja Mataram dan
penerusnya Para agen kuasa
pengetahuan wayang, dalang, penanggap
penonton
1 Motifasi dipilihnya Arjuna
sebagai media diskursus Nilai-nilai kultus, mitologi
dan anutan moral Arjuna DISKURSUS TOKOH ARJUNA
2 Proses terjadinya diskursus
dengan menyebar kuasa pengetahuan
3 Implikasi Diskursus
dalam kehidupan orang Jawa
4 Implikasi dari diskursus Arjuna itu, menjadikan masyarakat jawa secara pribadi dan
kolektif tersosialisasi terhadap pengetahuan tentang Arjuna sehingga menerima secara total dalam bentuk kesatuan pemahaman, pola pikir dan perilaku berkaitan
tentang mitologi, serta ideologi Jawa berkaitan tentang Arjuna. 5
Proses sosialisasi masyarakat baik secara individu atau kolektif dalam
episteme
era Mataram Sultan Agung itu secara otomatis menumbuhkan hegemoni terhadap
legitimasi Raja-Raja Mataram.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Ratna 2010:289 mengutip metode penelitian dari Black dan Champion 1999 mengemukakan bahwa
rancangan penelitian
adalah sebuah desain proses pelaksanaan penelitian semacam
blue prient
yang bertujuan memberi kejelasan keseluruhan proses baik pengumpulan data, sumber data, analisis, paradigma serta pendekatan yang
digunakan. Penelitian ini dirancang dengan paradigma kajian budaya ranah postmodernisme,
menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai model analisis, dan memanfaatkan metode analisis kualitatif interpretatif yang akan mengungkap nilai-nilai serta makna-
makna dari objek material pewayangan dalam
ground
budaya Jawa di masa klasik maupun kekinian.
Paradigma
, oleh Ratna 2010:38 didefinisikan sebagai kerangka pokok sebuah ilmu yang membedakan dengan ilmu lain. Ia mengutip pandangan yang lebih lengkap
dari Lincoln dan Guba yang mendefinisikan bahwa paradigma adalah sistem anggapan dasar pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan
kerangka ontologisnya. Paradigma post modernisme lahir di Inggris sejak tahun 1960-an melalui lembaga
Centre of contemporery Cultural Study
CCCS dipelopori oleh Richard Hoggart, Raymond William, E.P. Thomson, Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Dari
ketiga pelopor tersebut kajian budaya melangkah lebih jauh memanfaatkan budaya sebagai arena pertarungan ideologi, beroperasi secara independen bukan semata-mata
sebuah refleksi dari sistem ekonomi. Sebagai sebuah ilmu paradigma postmodernisme memiliki ciri umum filosofis yaitu secara ontologi kajian budaya digali dari hakikat
multidisiplin, multikultur, budaya minoritas, dan analisis permukaan; secara epistemologis kajian budaya termasuk ranah postmodernisme yang melakukan analisis
melalui teori-teori post strukturalisme; dan tidak berbeda dengan ilmu lain, kajian budaya juga digunakan untuk memahami keseluruhan aspek budaya. Perbedaanya, ilmu
pengetahuan lain lebih cenderung untuk mempertahankan eksistensi yang sudah ada,