manusia mengalami proses menjadi pribadi-pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek. Pribadi-pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula
oleh
episteme
pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa
Yusuf Lubis, 2014a: 162-188. Masih berkaitan dengan diskursus, diuraikan oleh Yusuf Lubis 2014b:168 dalam
metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut
genealogi
, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai sebuah kebenaran dikonstruksi untuk
mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang
gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan.
Kedua
, kata legitimasi berarti kredibelitas seorang penguasa berujut pengakuan kekuasaan dari rakyat, bawahan maupun penguasa lain sebagai seorang pemimpin yang
syah Abimanyu, 2013:386. Dalam kajian budaya legitimasi dan pengakuan terjadi lewat proses hegemoni yang oleh Gramsci adalah suatu blok historis dan faksi kelas
penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses
penciptaan makna digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif Gramsci dalam Barker, 2005:467.
2.2.2. Tokoh Arjuna dalam Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram.
Satuan konsep kata tokoh Arjuna dalam raja-raja Jawa dinasti Mataram dapat diurai menjadi
tokoh, Arjuna
,
dalam
,
Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram
. Makna konsep kata-kata tersebut bisa diuraikan sebagai berikut.
Pertama,
makna dari kata tokoh. Kata tersebut adalah unsur penting dalam karangan-karangan rekaan baik bentuk prosa, puisi maupun drama. Maryanto 2009:10
mengutip pendapat Sudjiman mendefinisikan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam
cerita tokoh digolongkan menjadi dua yaitu tokoh atasan atau utama dan tokoh bawahan pendukung tokoh utama.
Menurut dramaturgi tokoh dipilahkan sebagai berikut: a protogonis, b
antagonis, c deutragonis dan d tritagonis. Protogonis adalah tokoh utama cerita, yang
kehadirannya untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam meraih cita-cita. Tokoh antagonis diklasifikasikan tokoh-tokoh yang melawan tujuan protogonis, deutragonis
adalah tokoh pendamping protogonis dalam menyelesaikan masalah, dan tritagonis adalah tokoh penengah konflik antara protogonis dan antagonis Anirun, 1998:124-
126.
Kedua
Arjuna adalah tokoh protogonis dalam wayang. Wayang kulit purwa meskipun diklaim asli karya orang Jawa oleh Hazeau dan Brandes, tetapi menggunakan
sumber lakon asal India kuno, yaitu
Mahabarata
dan
Ramayana
. Dua epos itu sangat populer di Jawa dahulu hingga sekarang mengalahkan karya pujangga lokal Jawa.
Cerita
Mahabarata
sebanyak 18
parwa
menceritakan ketokohan ksatria utama anak Pandhu yang populer disebut Pandhawa, terutama Arjuna. Sentralitas Arjuna dalam
Mahabarata
terjadi karena berperan sangat dominan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa kelima saudara Pandhawa, terutama dalam memenangkan
perang besar Baratayuda Soekmono, 1985: 113.
Ketiga
, makna kata dalam. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI,
makna kata dalam adalah bagian yang di dalam; yang tak tampak dari luar Setiawan, 2014:1. Relasi kata
dalam
dengan raja-raja Jawa Mataram bermakna berbagai masalah yang menyangkut kedalaman kehidupan sosial budaya raja-raja Jawa Mataram.
Keempat
, raja-raja Jawa dinasti Mataram berkaitan dengan pengertian penguasa Islam Jawa pasca Kerajaan Pajang, yaitu masa pemerintahan Mataram dan
trah
keturunanya di Kartasura dan Surakarta. Graaf dan Pigeaud 2003:249 dalam bukunya berjudul
Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
mendeskrepsikan sejarah Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan seorang prajurit karismatik dati Sela pada tahun 1577 M
bertempat di Kota Gede sebagai ibu kota pemerintahan. Sebelum dibangun menjadi kerajaan Mataram, wilayah itu berujud hutan yang disebut Hutan Mentaok, merupakan
tanah hadiah dari Raja Pajang Hadiwijaya, setelah Pemanahan mampu mengalahkan Harya Penangsang Bupati Jipang yang makar kepada raja Pajang. Setelah Ki Gedhe
Pemanahan wafat Mataram diteruskan oleh raja-raja
trah
keturunannya, yaitu Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati
seda Krapyak
, Sultan Agung, Sunan Mangkurat I dan seterusnya.
Buyut
Pemanahan, Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada era kekuasaanya tahun 1613
– 1645 memindahkan ibu kota ke Pleret. Era Sultan Agung itu bisa dikatakan jaman keemasan Mataram, karena di era itu merupakan superioritas raja Jawa Islam
dalam hal politik budaya dan sosial. Di era Sultan Agung bupati-bupati di Jawa tengah dan timur berhasil ditahlukkan oleh cucu Panembahan Senopati itu. Kompeni Belanda
di Batavia yang sejak masa pemerintahan ayah Sultan, Sunan Hanyakarawati diberi ijin mendirikan beteng di Jayakarta diserang dua kali tahun 1628 dan 1629.
Di bidang budaya era Sultan Agung tercipta karya seni yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi dinasti selanjutnya di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta maupun
orang Jawa pada umumnya, di antaranya adalah penetapan tahun Jawa 1555, penciptaan
Sastragendhing
,
pemakeman
wayang
pangruwatan
, dan
Bhedhaya Ketawang
. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram menjadi semakin terpuruk akibat perang saudara
sesama dinasti keturunan Panembahan Senopati yang menyebabkan Keraton Mataram berpindah-pindah serta terbagi-bagi. Perpindahan dan pembagian itu dicatat oleh
Soeratman 2000 sebagai berikut: a masa Sunan Mangkurat II 1677-1703 Mataram pindah ke Kartasura akibat serbuan Trunajaya, b tahun 1743 Mataram dipindahkan
oleh PB II ke Surakarta, c tahun 1755 Mataram dibelah menjadi Surakarta dan Jogjakarta akibat perjanjian Giyanti antara PB III, Mangkubumi, dan Belanda, dan d
tahun 1775 sekali lagi Surakarta harus dikurangi wilayahnya oleh Belanda untuk diserahkan kepada Raden Mas Said yang kemudian mendirikan Kadipaten
Mangkunagaran. Demikian pula Jogjakarta atas prakarsa pemerintah kolonial Inggris, Raffles pada tahun 1813 membagi kasultanan Jogjakarta diberikan kepada Pangeran
Nata Kusuma yang kemudian mendirikan
Kadipaten Pakualaman
bergelar Sri Paku Alam I.
Jadi, batasan konsep tentang dinasti Mataram adalah
trah
dinasti Ki Gedhe Pemanahan beserta anak keturunanya sejak putranya Panembahan Senopati hingga raja-
raja di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman. Bisa diabstraksikan secara ringkas judul
Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram
adalah wacana-wacana tentang tokoh Arjuna yang dibangun oleh para raja Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan
hegemoni legitimasi kekuasaan.
2.3. Landasan Teori Tulisan ini merupakan penelitian kajian budaya yang bertujuan mengungkap
makna wacana-wacana tokoh wayang Arjuna di era raja-raja Jawa Mataram Sultan Agung hingga Zaman Surakarta, yang mana diskursus itu ditujukan untuk mendapatkan
hegemoni dari orang Jawa. Sebagaimana tradisi penelitian ilmiah yang ciri-cirinya mengembangkan metode
berfikir kritis objektif, konsisten serta sistematis, maka dalam rangka pengungkapan makna tujuan penelitian sangat perlu dituntun oleh teori-teori yang tepat. Ratna
2010:49-53 mengemukakan bahwa peranan sebuah teori dalam sebuah penelitian adalah sebagai penuntun memahami obyek yang akan mengarahkan peneliti
memecahkan masalah. Teori berbentuk konsep, argumentasi, dan proposisi yang lahir dari pemikiran yang sensitif, tajam, dan sistematis. Sifat analisis kajian budaya yang
holistik dan ekletik mengarahkan penelitian ini bisa menggunakan multi disiplin serta memanfaatkan berbagai teori secara dinamis dengan tujuan menghasilkan harmoni
makna. Grand teori atau teori induk dari penelitian ini menggunakan teori wacana dari
Foucault, didukung teori-teori minor seperti semiotika, dan hegemoni. Khusus berkaitan dengan semiotika pada bab pembahasan akan digunakan untuk mengungkap makna
nilai-nilai yang terkandung dalam figur wayang Arjuna beserta gelar-gelarnya. Makna- makna yang terungkap berupa nilai-nilai etika serta estetika klasik orang Jawa
merupakan struktur-struktur mapan dari nilai-nilai Jawa. Hal itu adalah konsekuensi dari semiotika yang harus mengacu pada
ground
atau kode budaya lokal. Ratna berpandangan bahwa tidak bisa dihindari semiotika sebagai teori tanda selalu berkaitan
dengan semua teori lain. Untuk memudahkan pemahaman jalinan metodologi serta teori yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1.
Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-raja Jawa Mataram
Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori
2.3.1. Teori Wacanadiskursus