Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia secara terus- menerus berlangsung tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Hal ini ditandai dengan banyaknya masalah yang timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengharuskan berbagai pihak untuk peka, bertindak dan segera mencari solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis karakter. Krisis karakter merupakan salah satu fenomena sosial yang akhir-akhir ini terjadi di masyarakat. Krisis karakter terjadi ditandai dengan semakin banyaknya perilaku menyimpang dan di luar batas moral yang dilakukan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Krisis karakter dapat diartikan sebagai sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan menadahkan tangan ataupun dengan menuntut ke kiri dan ke kanan. Sebagaimana yang kita ketahui, karakter bangsa justru semakin mengalami kemerosotan. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Kasus korupsi ini pun sudah merambah di lingkungan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN Negara. Kasus-kasus seperti suap-menyuap pada anggota DPR, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain adalah beberapa contoh kasus korupsi yang sering kita dengar dan tonton di media massa. Hal tersebut 2 menggambarkan bahwa semakin lama aktivitas yang ada di lembaga Negara semakin terjebak kepada budaya koruptif, bahkan dapat mengacu pada budaya yang lebih materialistik. Padahal, sebuah lembaga kenegaraan haruslah jauh dari kepentingan materialistik dan harus mengacu pada nilai- nilai pendidikan spiritualitas, sebagaimana yang dicita-citakan. Masalah tersebut hanya sebagian contoh kecil dari merosotnya karakter bangsa, namun membutuhkan upaya besar dalam memperbaikinya. Selain itu, kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain juga merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan bangsa ini. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi sosial masyarakat, krisis karakter yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Adapun penyebab yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus berkelanjutan hingga kini sebagaimana dipaparkan oleh Gede Raka 2007: 4-6, sebagaimana dikutip Dwiningrum, 2014: 196 antara lain yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang melimpah, pembangunan ekonomi, surutnya idealisme, dan kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri. Penyebab yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang melimpah. Dalam setiap pikiran orang Indonesia telah ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Hal tersebut dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa Indonesia. Memang benar memiliki sumber daya alam melimpah perlu disyukuri, namun di pihak lain, hal itu juga bisa membawa 3 permasalahan tersendiri apabila tidak dapat diolah dengan baik. Kedua adalah pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik. Di Indonesia sendiri, secara sadar maupun tidak sadar pembangunan nasional masih berorientasi pada pembangunan secara fisik dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dan rasakan dengan terwujudnya berbagai sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu juga pembangunan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai usaha dan industri, mulai dari industri kecil, menengah, sampai pada skala yang besar. Sudah saatnya pembangunan nasional berorientasi pada pembangunan secara non-fisik, seperti meningkatkan kecerdasan bangsa dan membangun karakter bangsa. Ketiga adalah surutnya idealisme, di mana dengan adanya pembangunan ekonomi ini pula, masyarakat Indonesia melakukan segala cara agar mereka dapat memperoleh keuntungan atau keberhasilan. Dengan kata lain bangsa Indonesia menyukai hal yang instan tanpa harus bersusah payah. Keempat adalah kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri. Kemerdekaan bangsa yang diperjuangkan para pahlawan dengan kekuatan senjata dan berubah dengan kekuatan modal maya harusnya menjadi catatan bahwa keberhasilan memerlukan pemikiran besar kecerdasan. Hal ini yang tampaknya belum menginternalisasi dalam bangsa Indonesia sendiri Gede Raka, 2007: 4-6. Krisis karakter yang terjadi sebenarnya merupakan dampak dari kegagalan bangsa Indonesia dalam hal pembangunan nasional. Dengan demikian, proses pembangunan nasional di Indonesia masih dirasa belum 4 berhasil secara optimal. Padahal menurut M. Yasin 2016:1, pembangunan nasional merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Mustofa 2016:1 menjelaskan bahwa pembangunan nasional ini dimaksudkan untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Dengan kata lain pembangunan nasional merupakan cerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Kebijakan pembangunan nasional juga merupakan artikulasi dari aspirasi bangsa dalam menyikapi kegalauan seluruh komponen bangsa tentang kondisi yang dirasakan mengkhawatirkan saat ini dan prospek bangsa di masa depan. Dalam hal ini menyangkut persoalan budaya dan karakter yang kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat pun menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya. Pelaksanaan pembangunan nasional harus dipahami sebagai proses yang komprehensif. Pelaksanaan pembangunan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta pendidikan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap, dan berkelanjutan. Salah satu pilar pembangunan nasional adalah bidang pendidikan. Pendidikan dapat diartikan 5 sebagai sarana mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik. Pendidikan menjadi pioner dalam perbaikan sekaligus pembentukan karakter bangsa. Pendidikan yang baik tidak hanya sekedar menanamkan pengetahuan tetapi juga mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Pendidikan tidak dapat disebut sebagai pendidikan kalau tidak mempunyai tujuan untuk mencapai kebaikan anak di dalam arti yang sebenarnya. Pembangunan nasional pada bidang pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pendidikan bermutu dalam pembangunan suatu bangsa dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, karena tanpa adanya pendidikan yang bermutu, maka tujuan pembangunan suatu bangsa tidak dapat terwujud dengan baik. Dari pernyataan di atas, pendidikan yang bermutu diharapkan dapat mengatasi krisis karakter bangsa yang terjadi, karena pendidikan dipandang sebagai agen perubahan sosial yang diharapkan peranannya mampu mewujudkan perubahan nilai-nilai sikap, moral, pola pikir, perilaku intelektual, keterampilan, dan wawasan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat membentuk karakter bangsa yang seutuhnya yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia dirasa kurang berhasil mengingat kualitas dan karakter manusia yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan kita. Perilaku tidak berkarakter 6 yang menonjol dan dimiliki oleh orang Indonesia adalah tidak suka bekerja keras, sikap tidak jujur seperti kejahatan korupsi yang sedang menjadi fenomena di Indonesia, kurang bisa menghargai prestasi orang lain, suka mengolok-olok, dan kreativitas yang kurang karena lebih suka meniru daripada menciptakan sehingga muncul sikap atau rasa kurang bahkan tidak percaya diri terhadap hasil karya mereka sendiri. Sebagai contoh masih maraknya kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiwa, kasus mencontek dalam kelas sehari-hari, jual beli jawaban soal Ujian Nasional, tindak asusila yang dilakukan oleh sebagian besar remaja, serta remaja tersangkut jaringan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pemakai, merupakan sebagian contoh masalah krisis karakter yang terjadi di kalangan generasi muda. Hal tersebut di atas tidak sejalan dengan apa yang tertulis di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Di dalam Undang-Undang tersebut secara jelas disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada pasal 77 pun menyebutkan bahwa pendidikan menengah termasuk sekolah bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur yaitu berilmu, cakap, kritis, 7 kreatif, dan inovatif, sehat, mandiri, dan percaya diri, toleran, peka, sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Berdasarkan pernyataan di atas, tugas pendidikan tidak hanya mengembangkan kemampuan peserta didik yang cerdas secara ilmu tetapi juga membentuk watak, karakter, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan hendaknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya mementingkan aspek kognitif saja tetapi juga memperhatikan aspek afeksi dan psikomotor. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan sangat berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik. Sukono 2013:1 menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berperan strategis dalam pembentukan karakter peserta didik. Sekolah merupakan tempat kedua bagi peserta didik dalam melakukan proses sosialisasi setelah keluarga, sehingga anak diharapkan dapat menyerap nilai-nilai karakter yang diajarkan di sekolah, dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter adalah salah satu jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral dan membekali peserta didik dalam mengambil keputusan secara bijak sehingga nantinya mereka mampu untuk merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik berinteraksi dengan Tuhan, dengan masyarakat, maupun dengan lingkungannya. Dalam mewujudkan pendidikan karakter, diperlukan keterlibatan berbagai komponen yang ada di sekolah. Komponen- komponen tersebut di antaranya adalah pendidik, proses belajar-mengajar, pengelolaan sekolah, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler, serta 8 pemberdayaan sarana prasarana. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen tersebut dapat menunjang pemberdayaan pendidikan karakter. Sebagian besar sekolah sudah mengimplementasikan pendidikan karakter. Para pendidik mulai menyuarakan pendidikan karakter kepada peserta didiknya, tetapi yang mereka tanamkan sekedar teori tanpa ada tindakan nyata. Sekolah-sekolah mengadopsi pendidikan karakter tanpa tahu urgensi pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter diharapkan menjadi obat mujarab bagi pembentukan kepribadian anak didik, namun penerapan pendidikan karakter di sekolah masih kurang karena sebatas mengimplementasikan kebijakan tanpa ada niat untuk mempraktikkannnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hanya mengejar konten pengajaran daripada subtansi keilmuan yang menjadi titik utama dalam desain kurikulum. Pendidik juga mengalami kesulitan dan terbentur dengan masalah mengukur kemajuan karakter anak didik agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan saat ini. Ratna Megawati sebagaimana dikutip oleh Dharma Kesuma 2011:5 menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik peserta didik agar mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter di sini membekali peserta didik dalam mengambil keputusan secara bijak dan nantinya tindakan mereka ini dapat memberikan sumbangan positif bagi lingkungannya. Pendidikan karakter bukan sekedar penanaman nilai- 9 nilai karakter secara teoritis tetapi yang dibutuhkan anak adalah sosok keteladanan. Oleh karena itu, karakter bagi peserta didik sangat penting agar mereka mampu untuk bersosialisasi dengan baik di dalam lingkungannya. Akhmad Sudrajat 2010 menjelaskan bahwa pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development usaha yang dilakukan secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolahmadrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal akhmadsudrajat.wordpress.com. Dari pengertian di atas terdapat 18 butir nilai-nilai yang ingin ditanamkan melalui pendidikan karakter, di antaranya adalah nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabatkomunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Agar nilai-nilai di atas dapat tercapai dan diwujudkan maka diperlukan metode dalam penanaman pendidikan karakter ini melalui metode pembelajaran, yaitu metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian serta hukuman. Pendidikan karakter perlu ditanamkan pada diri peserta didik. Pendidikan karakter akan berhasil secara optimal jika didukung oleh semua elemen yang ada di dalam masyarakat, khususnya warga sekolah. Sekolah sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa elemen, mulai dari Kepala Sekolah, komite sekolah, pendidik, peserta didik, kurikulum, fasilitas pendidikan, yang masing-masing elemen saling terkait dan saling mempengaruhi untuk 10 mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, elemen-elemen tersebut harus bisa membangun sebuah energi sosial untuk mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik. Energi sosial tersebut salah satunya adalah pendayagunaan modal sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurotul Aeni mengenai Pendayagunaan Modal Sosial dalam Pendidikan Karakter di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta, dapat dijelaskan bahwa j enis-jenis pendayagunaan modal sosial dalam pendidikan karakter pada budaya dan program sekolah yang diterapkan di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta meliputi pendayagunaan modal sosial kerjasama dan tindakan kolektif, kelompok dan jaringan, kepercayaan dan solidaritas sosial, informasi dan komunikasi, kohesi dan inklusi sosial, pemberdayaan, norma, bonding, bridging, dan linking. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggerakkan atau adanya modal sosial, secara tidak langsung dapat membentuk karakter peserta didik. Selain itu, perlu adanya kerjasama antar elemen sekolah, agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud. Modal sosial adalah unsur penting yang diharapkan mampu membantu untuk mengatasi masalah krisis karakter. Modal sosial merupakan hal penting dalam membentuk karakter peserta didik karena memuat nilai- nilai, norma-norma, keyakinan, kerjasama, kepercayaan, jaringan dan juga partisipasi. Modal sosial dapat dikatakan penting jika hal-hal yang terdapat dalam modal sosial mampu untuk dijadikan patokan dalam membentuk karakter peserta didik. Dalam hal ini, karakter peserta didik dipengaruhi oleh 11 bagaimana ia mempunyai modal sosial yang tinggi dalam kehidupannya. Kunci sukses keberhasilan suatu Negara ditentukan oleh sejauh mana masyarakat, dalam hal ini peserta didik mempunyai karakter yang kondusif untuk bisa maju. Kualitas karakter sebuah Negara dicirikan dari kualitas karakter generasi mudanya, yang menjadi indikator penting apakah sebuah bangsa bisa maju atau tidak. Oleh karenanya, jika suatu Negara ingin maju maka karakter yang dimiliki oleh generasi mudanya haruslah baik. Hal ini ditandai dengan tingginya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya peserta didik. Modal sosial masih belum dipahami atau dinilai oleh sekolah sebagai aspek penting yang mampu untuk membentuk karakter anak. Namun demikian, ada salah satu sekolah di Kota Yogyakarta yang sudah menggunakan modal sosial dalam membentuk karakter anak, yaitu SMA Negeri 5 Yogyakarta. Berdasarkan pengamatan awal, sebagian besar peserta didik di SMA Negeri 5 Yogyakarta mempunyai karakter yang dapat dikatakan baik bermuara pada karakter sholehinsan kamil. Hal ini dikarenakan SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah yang berbasis afeksi, di mana peserta didik tidak hanya akan diberi materi pelajaran yang bersifat kognitif, tetapi juga menyentuh afeksi peserta didik yang bisa menumbuhkan kesadaran baru. Selain itu, SMA Negeri 5 Yogyakarta memiliki potensi-potensi untuk mengembangkan diri, seperti memiliki pendidik yang profesional, mempunyai sarana prasarana yang memadai, serta masyarakat sekitar yang mendukung setiap program yang ada. Potensi- 12 potensi tersebut menjadi bahan dasar dari modal sosial yang ada pada SMA Negeri 5 Yogyakarta. Dalam hal ini, rasa kepercayaan, nilainorma, jaringan hubungan sosial, kerjasama, dan partisipasi warga sekolah dalam pembentukan karakter perlu untuk dilakukan agar karakter yang dimiliki sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian yang terkait dengan peran modal sosial dalam membentuk karakter anak menjadi suatu hal yang penting. Harapannya dengan memanfaatkan modal sosial tersebut, sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan mempunyai andil yang besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Dari pernyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menggali mengenai modal sosial ini. Adapun judul penelitian yang penulis angkat yaitu: “Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak di SMA Negeri 5 Yogy akarta.”

B. Identifikasi Masalah