PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA.
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Destyanto Sumarno Putro NIM 13110241028
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
v
MOTTO
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan” (Terjemahan Q. S. Ar-Rahman: 13)
“Selalu jadi diri sendiri tidak peduli apa yang orang lain katakan dan jangan pernah menjadi orang lain meskipun mereka tampak lebih baik dari dirimu”
(6)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orangtua tercinta yang sesungguhnya jauh lebih lelah daripadaku, yang selalu memberi motivasi dan doa, serta memberikan pengorbanan yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga saya bisa menjadi kebanggaan mereka.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu Pendidikan, khususnya program studi Kebijakan Pendidikan.
(7)
vii
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
Oleh
Destyanto Sumarno Putro NIM 13110241028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Yogyakarta, 2) mendeskripsikan modal sosial yang dimiliki sekolah, dan 3) mendeskripsikan peran modal sosial dalam membentuk karakter anak di SMA N 5 Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, guru, dan peserta didik. Objek penelitian ini mengenai modal sosial dalam membentuk karakter anak. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles dan Huberman, yaitu reduksi, penyajian data, dan kesimpulan. Uji validitas data melalui triangulasi sumber, teknik, dan waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pendidikan karakter yang ada di SMA Negeri 5 Yogyakarta terintegrasi dengan mata pelajaran, pembiasaan atau kultur, dan program sekolah. Pengembangan moral knowing diintegrasikan melalui mata pelajaran dan program sekolah. Pengembangan moral feeling
diintegrasikan melalui program-program yang ada di sekolah, dan pengembangan
moral action diintegrasikan melalui program sekolah dan pembiasaan atau kultur yang ada di sekolah. Modal sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta terdiri dari kepercayaan, nilai dan norma, jaringan sosial, kerjasama, partisipasi, dan kebersamaan. Keempat bentuk modal sosial yang dimiliki masing-masing dimanfaatkan dalam pembentukan karakter anak dan menjalankan program sekolah.
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA”. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari doa dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, terimakasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan fasilitas dan sarana sehingga studi saya berjalan lancar.
3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan kelancaran dalam proses penelitian ini.
4. Ibu Dr. Siti Irene Astuti D, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan mengarahkan, memberi masukan, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Prodi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan ilmu, inspirasi, dan dorongan selama kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. 6. Kepala Sekolah, guru-guru, karyawan, dan siswa SMA Negeri 5 Yogyakarta
yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan informasi.
7. Bapak Sumarno dan Ibu Sri Sukarjilah dan saudara saya tercinta, Dwi Bagas Yuniarto yang telah memberikan doa, dukungan, nasehat, dan semangat, serta memberikan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Keluarga besar Pawiro Hartono dan Dipo Prayitno yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materiil selama kuliah.
9. Sahabat-sahabatku, Tri Wulaningrum, Bekti Sukesti, Rizkha, Devin, Satya, Anggi, Berlian, Pradipto, Ayu, Dwikita, Maryani, Irhamna, Rahmawati,
(9)
(10)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN.……….. ii
HALAMAN PERNYATAAN.……….….. iii
HALAMAN PENGESAHAN..……….. iv
HALAMAN MOTTO…..……….….. v
HALAMAN PERSEMBAHAN...……….. vi
ABSTRAK………...……….. vii
KATA PENGANTAR……….. viii
DAFTAR ISI………....……….. xi
DAFTAR TABEL……….. xii
DAFTAR GAMBAR………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.……….. 1
B. Identifikasi Masalah...……….……….. 12
C. Fokus Penelitian.……….……….. 13
D. Rumusan Masalah..……….……….. 13
E. Tujuan Penelitian……….. 13
F. Manfaat Penelitian..……….. 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Modal Sosial…...……….. 15
1. Pengertian Modal Sosial………..……….. 15
2. Unsur Modal Sosial……….... 19
B. Karakter……… 26
1. Pengertian Karakter……… 26
2. Membentuk Karakter Anak ………... 35
(11)
xi
1. Pengertian Pendidikan Karakter………. 37
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter……… 39
3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa………….. 43
4. Strategi Penanaman Pendidikan Karakter……….. 46
D. Hasil Penelitian yang Relevan.……...……….. 53
E. Kerangka Pikir…….…...……….. 57
F. Pertanyaan Penelitian.……….…….. 59
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian.………...……….. 62
B. Subjek dan Objek Penelitian....……… 63
C. Waktu dan TempatPenelitian……….. 63
D. Teknik Pengumpulan Data.……….. 64
E. Instrumen Penelitian...……….. 69
F. Teknik Analisis Data..……….. 70
G. Keabsahan Data..……….. 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian..……….….. 74
1. Gambaran Umum SMA Negeri 5 Yogyakarta…....……….….. 74
a. Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta…….……….….. 74
b. Sejarah sekolah……….…... 75
c. Keadaan sekolah……….. 82
d. Tata tertib pendidik, tenaga pendidik, dan peserta didik…………. 86
e. Keadaan tenaga pendidik……...……….….. 87
f. Keadaan tenaga kependidikan……….. 88
g. Keadaan peserta didik……….. 90
2. Data Hasil Penelitian……….. 91
a. Pendidikan Karakter di SMA Negeri 5 Yogyakarta………..…..… 91
b. Modal Sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta...………. 95
c. Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak…….……. 109
B. Pembahasan……....……….. 126
(12)
xii
2. Modal Sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta….……….. 129
3. Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak……..……… 142
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…….……….. 149
B. Saran…………...……….. 151
DAFTAR PUSTAKA ... 153
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Deskripsi Nilai-nilai Karakter... 45
Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi... 66
Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara...………... 68
Tabel 4. Kisi-Kisi Pedoman Dokumentasi………... 69
Tabel 5. Kebijakan Kepala SMA Negeri 5 Yogyakarta………...…... 81
Tabel 6. Data Tenaga Pendidik SMA Negeri 5 Yogyakarta.………….….... 88
Tabel 7. Data Tenaga Kependidikan SMA Negeri 5 Yogyakarta ..………..8 89
Tabel 8. Data Jumlah Peserta Didik 3 Tahun Terakhir.…...….………. 90
Tabel 9. Unsur Modal Sosial SMA Negeri 5 Yogyakarta...…….…………. 130
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Komponen Karakter Baik menurut Thomas Lickona... 31
Gambar 2. Tujuan Pendidikan Karakter... 42
Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir ....………..……. 59
Gambar 4. Teknik Analisis Data Miles dan Huberman ..……….... 70
Gambar 5. Lambang Puspanegara ...……….……...………... 74
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Surat-surat Perizinan………... 160
Lampiran 2. Pedoman Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi…... 163
Lampiran 3. Transkrip Wawancara………... 169
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian……….. 180
(16)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia secara terus-menerus berlangsung tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Hal ini ditandai dengan banyaknya masalah yang timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengharuskan berbagai pihak untuk peka, bertindak dan segera mencari solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis karakter. Krisis karakter merupakan salah satu fenomena sosial yang akhir-akhir ini terjadi di masyarakat. Krisis karakter terjadi ditandai dengan semakin banyaknya perilaku menyimpang dan di luar batas moral yang dilakukan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Krisis karakter dapat diartikan sebagai sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan menadahkan tangan ataupun dengan menuntut ke kiri dan ke kanan. Sebagaimana yang kita ketahui, karakter bangsa justru semakin mengalami kemerosotan. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Kasus korupsi ini pun sudah merambah di lingkungan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN Negara. Kasus-kasus seperti suap-menyuap pada anggota DPR, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain adalah beberapa contoh kasus korupsi yang sering kita dengar dan tonton di media massa. Hal tersebut
(17)
2
menggambarkan bahwa semakin lama aktivitas yang ada di lembaga Negara semakin terjebak kepada budaya koruptif, bahkan dapat mengacu pada budaya yang lebih materialistik. Padahal, sebuah lembaga kenegaraan haruslah jauh dari kepentingan materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan spiritualitas, sebagaimana yang dicita-citakan. Masalah tersebut hanya sebagian contoh kecil dari merosotnya karakter bangsa, namun membutuhkan upaya besar dalam memperbaikinya. Selain itu, kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain juga merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan bangsa ini.
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi sosial masyarakat, krisis karakter yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Adapun penyebab yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus berkelanjutan hingga kini sebagaimana dipaparkan oleh Gede Raka (2007: 4-6, sebagaimana dikutip Dwiningrum, 2014: 196) antara lain yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang melimpah, pembangunan ekonomi, surutnya idealisme, dan kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri.
Penyebab yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang melimpah. Dalam setiap pikiran orang Indonesia telah ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Hal tersebut dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa Indonesia. Memang benar memiliki sumber daya alam melimpah perlu disyukuri, namun di pihak lain, hal itu juga bisa membawa
(18)
3
permasalahan tersendiri apabila tidak dapat diolah dengan baik. Kedua adalah pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik. Di Indonesia sendiri, secara sadar maupun tidak sadar pembangunan nasional masih berorientasi pada pembangunan secara fisik dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dan rasakan dengan terwujudnya berbagai sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu juga pembangunan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai usaha dan industri, mulai dari industri kecil, menengah, sampai pada skala yang besar. Sudah saatnya pembangunan nasional berorientasi pada pembangunan secara non-fisik, seperti meningkatkan kecerdasan bangsa dan membangun karakter bangsa. Ketiga adalah surutnya idealisme, di mana dengan adanya pembangunan ekonomi ini pula, masyarakat Indonesia melakukan segala cara agar mereka dapat memperoleh keuntungan atau keberhasilan. Dengan kata lain bangsa Indonesia menyukai hal yang instan tanpa harus bersusah payah. Keempat adalah kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri. Kemerdekaan bangsa yang diperjuangkan para pahlawan dengan kekuatan senjata dan berubah dengan kekuatan modal maya harusnya menjadi catatan bahwa keberhasilan memerlukan pemikiran besar (kecerdasan). Hal ini yang tampaknya belum menginternalisasi dalam bangsa Indonesia sendiri (Gede Raka, 2007: 4-6).
Krisis karakter yang terjadi sebenarnya merupakan dampak dari kegagalan bangsa Indonesia dalam hal pembangunan nasional. Dengan demikian, proses pembangunan nasional di Indonesia masih dirasa belum
(19)
4
berhasil secara optimal. Padahal menurut M. Yasin (2016:1), pembangunan nasional merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Mustofa (2016:1) menjelaskan bahwa pembangunan nasional ini dimaksudkan untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Dengan kata lain pembangunan nasional merupakan cerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Kebijakan pembangunan nasional juga merupakan artikulasi dari aspirasi bangsa dalam menyikapi kegalauan seluruh komponen bangsa tentang kondisi yang dirasakan mengkhawatirkan saat ini dan prospek bangsa di masa depan. Dalam hal ini menyangkut persoalan budaya dan karakter yang kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat pun menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya.
Pelaksanaan pembangunan nasional harus dipahami sebagai proses yang komprehensif. Pelaksanaan pembangunan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta pendidikan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap, dan berkelanjutan. Salah satu pilar pembangunan nasional adalah bidang pendidikan. Pendidikan dapat diartikan
(20)
5
sebagai sarana mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik. Pendidikan menjadi pioner dalam perbaikan sekaligus pembentukan karakter bangsa. Pendidikan yang baik tidak hanya sekedar menanamkan pengetahuan tetapi juga mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Pendidikan tidak dapat disebut sebagai pendidikan kalau tidak mempunyai tujuan untuk mencapai kebaikan anak di dalam arti yang sebenarnya.
Pembangunan nasional pada bidang pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Pendidikan bermutu dalam pembangunan suatu bangsa dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, karena tanpa adanya pendidikan yang bermutu, maka tujuan pembangunan suatu bangsa tidak dapat terwujud dengan baik.
Dari pernyataan di atas, pendidikan yang bermutu diharapkan dapat mengatasi krisis karakter bangsa yang terjadi, karena pendidikan dipandang sebagai agen perubahan sosial yang diharapkan peranannya mampu mewujudkan perubahan nilai-nilai sikap, moral, pola pikir, perilaku intelektual, keterampilan, dan wawasan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat membentuk karakter bangsa yang seutuhnya yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia dirasa kurang berhasil mengingat kualitas dan karakter manusia yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan kita. Perilaku tidak berkarakter
(21)
6
yang menonjol dan dimiliki oleh orang Indonesia adalah tidak suka bekerja keras, sikap tidak jujur seperti kejahatan korupsi yang sedang menjadi fenomena di Indonesia, kurang bisa menghargai prestasi orang lain, suka mengolok-olok, dan kreativitas yang kurang karena lebih suka meniru daripada menciptakan sehingga muncul sikap atau rasa kurang bahkan tidak percaya diri terhadap hasil karya mereka sendiri. Sebagai contoh masih maraknya kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiwa, kasus mencontek dalam kelas sehari-hari, jual beli jawaban soal Ujian Nasional, tindak asusila yang dilakukan oleh sebagian besar remaja, serta remaja tersangkut jaringan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pemakai, merupakan sebagian contoh masalah krisis karakter yang terjadi di kalangan generasi muda.
Hal tersebut di atas tidak sejalan dengan apa yang tertulis di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Di dalam Undang-Undang tersebut secara jelas disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada pasal 77 pun menyebutkan bahwa pendidikan menengah termasuk sekolah bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur yaitu berilmu, cakap, kritis,
(22)
7
kreatif, dan inovatif, sehat, mandiri, dan percaya diri, toleran, peka, sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pernyataan di atas, tugas pendidikan tidak hanya mengembangkan kemampuan peserta didik yang cerdas secara ilmu tetapi juga membentuk watak, karakter, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan hendaknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya mementingkan aspek kognitif saja tetapi juga memperhatikan aspek afeksi dan psikomotor. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan sangat berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik.
Sukono (2013:1) menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berperan strategis dalam pembentukan karakter peserta didik. Sekolah merupakan tempat kedua bagi peserta didik dalam melakukan proses sosialisasi setelah keluarga, sehingga anak diharapkan dapat menyerap nilai-nilai karakter yang diajarkan di sekolah, dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter adalah salah satu jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral dan membekali peserta didik dalam mengambil keputusan secara bijak sehingga nantinya mereka mampu untuk merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik berinteraksi dengan Tuhan, dengan masyarakat, maupun dengan lingkungannya. Dalam mewujudkan pendidikan karakter, diperlukan keterlibatan berbagai komponen yang ada di sekolah. Komponen-komponen tersebut di antaranya adalah pendidik, proses belajar-mengajar, pengelolaan sekolah, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler, serta
(23)
8
pemberdayaan sarana prasarana. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen tersebut dapat menunjang pemberdayaan pendidikan karakter.
Sebagian besar sekolah sudah mengimplementasikan pendidikan karakter. Para pendidik mulai menyuarakan pendidikan karakter kepada peserta didiknya, tetapi yang mereka tanamkan sekedar teori tanpa ada tindakan nyata. Sekolah-sekolah mengadopsi pendidikan karakter tanpa tahu urgensi pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter diharapkan menjadi obat mujarab bagi pembentukan kepribadian anak didik, namun penerapan pendidikan karakter di sekolah masih kurang karena sebatas mengimplementasikan kebijakan tanpa ada niat untuk mempraktikkannnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hanya mengejar konten pengajaran daripada subtansi keilmuan yang menjadi titik utama dalam desain kurikulum. Pendidik juga mengalami kesulitan dan terbentur dengan masalah mengukur kemajuan karakter anak didik agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan saat ini.
Ratna Megawati sebagaimana dikutip oleh Dharma Kesuma (2011:5) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik peserta didik agar mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter di sini membekali peserta didik dalam mengambil keputusan secara bijak dan nantinya tindakan mereka ini dapat memberikan sumbangan positif bagi lingkungannya. Pendidikan karakter bukan sekedar penanaman
(24)
nilai-9
nilai karakter secara teoritis tetapi yang dibutuhkan anak adalah sosok keteladanan. Oleh karena itu, karakter bagi peserta didik sangat penting agar mereka mampu untuk bersosialisasi dengan baik di dalam lingkungannya.
Akhmad Sudrajat (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha yang dilakukan secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal) (akhmadsudrajat.wordpress.com). Dari pengertian di atas terdapat 18 butir nilai-nilai yang ingin ditanamkan melalui pendidikan karakter, di antaranya adalah nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Agar nilai-nilai di atas dapat tercapai dan diwujudkan maka diperlukan metode dalam penanaman pendidikan karakter ini melalui metode pembelajaran, yaitu metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian serta hukuman.
Pendidikan karakter perlu ditanamkan pada diri peserta didik. Pendidikan karakter akan berhasil secara optimal jika didukung oleh semua elemen yang ada di dalam masyarakat, khususnya warga sekolah. Sekolah sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa elemen, mulai dari Kepala Sekolah, komite sekolah, pendidik, peserta didik, kurikulum, fasilitas pendidikan, yang masing-masing elemen saling terkait dan saling mempengaruhi untuk
(25)
10
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, elemen-elemen tersebut harus bisa membangun sebuah energi sosial untuk mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik. Energi sosial tersebut salah satunya adalah pendayagunaan modal sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurotul Aeni mengenai Pendayagunaan Modal Sosial dalam Pendidikan Karakterdi SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta, dapat
dijelaskan bahwa jenis-jenis pendayagunaan modal sosial dalam pendidikan
karakter pada budaya dan program sekolah yang diterapkan di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta meliputi pendayagunaan modal sosial kerjasama dan tindakan kolektif, kelompok dan jaringan, kepercayaan dan solidaritas sosial, informasi dan komunikasi, kohesi dan inklusi sosial, pemberdayaan, norma,bonding, bridging, dan
linking. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggerakkan atau adanya modal sosial, secara tidak langsung dapat membentuk karakter peserta didik. Selain itu, perlu adanya kerjasama antar elemen sekolah, agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.
Modal sosial adalah unsur penting yang diharapkan mampu membantu untuk mengatasi masalah krisis karakter. Modal sosial merupakan hal penting dalam membentuk karakter peserta didik karena memuat nilai-nilai, norma-norma, keyakinan, kerjasama, kepercayaan, jaringan dan juga partisipasi. Modal sosial dapat dikatakan penting jika hal-hal yang terdapat dalam modal sosial mampu untuk dijadikan patokan dalam membentuk karakter peserta didik. Dalam hal ini, karakter peserta didik dipengaruhi oleh
(26)
11
bagaimana ia mempunyai modal sosial yang tinggi dalam kehidupannya. Kunci sukses keberhasilan suatu Negara ditentukan oleh sejauh mana masyarakat, dalam hal ini peserta didik mempunyai karakter yang kondusif untuk bisa maju. Kualitas karakter sebuah Negara dicirikan dari kualitas karakter generasi mudanya, yang menjadi indikator penting apakah sebuah bangsa bisa maju atau tidak. Oleh karenanya, jika suatu Negara ingin maju maka karakter yang dimiliki oleh generasi mudanya haruslah baik. Hal ini ditandai dengan tingginya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya peserta didik.
Modal sosial masih belum dipahami atau dinilai oleh sekolah sebagai aspek penting yang mampu untuk membentuk karakter anak. Namun demikian, ada salah satu sekolah di Kota Yogyakarta yang sudah menggunakan modal sosial dalam membentuk karakter anak, yaitu SMA Negeri 5 Yogyakarta. Berdasarkan pengamatan awal, sebagian besar peserta didik di SMA Negeri 5 Yogyakarta mempunyai karakter yang dapat dikatakan baik (bermuara pada karakter sholeh/insan kamil). Hal ini dikarenakan SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah yang berbasis afeksi, di mana peserta didik tidak hanya akan diberi materi pelajaran yang bersifat kognitif, tetapi juga menyentuh afeksi peserta didik yang bisa menumbuhkan kesadaran baru. Selain itu, SMA Negeri 5 Yogyakarta memiliki potensi-potensi untuk mengembangkan diri, seperti memiliki pendidik yang profesional, mempunyai sarana prasarana yang memadai, serta masyarakat sekitar yang mendukung setiap program yang ada.
(27)
Potensi-12
potensi tersebut menjadi bahan dasar dari modal sosial yang ada pada SMA Negeri 5 Yogyakarta. Dalam hal ini, rasa kepercayaan, nilai/norma, jaringan (hubungan) sosial, kerjasama, dan partisipasi warga sekolah dalam pembentukan karakter perlu untuk dilakukan agar karakter yang dimiliki sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian yang terkait dengan peran modal sosial dalam membentuk karakter anak menjadi suatu hal yang penting. Harapannya dengan memanfaatkan modal sosial tersebut, sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan mempunyai andil yang besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Dari pernyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menggali mengenai modal sosial ini. Adapun judul penelitian yang penulis angkat yaitu: “Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak di SMA Negeri 5 Yogyakarta.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Salah satu krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis karakter. 2. Maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
3. Adapun penyebab yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus berkelanjutan hingga kini antara lain yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang melimpah, pembangunan ekonomi, surutnya idealisme, dan kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri. 4. Krisis karakter merupakan dampak dari kegagalan bangsa Indonesia dalam
(28)
13
5. Pendidikan di Indonesia dirasa kurang berhasil mengingat kualitas dan karakter manusia yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan nasional pendidikan.
6. Maraknya krisis karakter di kalangan generasi muda.
7. Kurangnya penerapan pendidikan karakter di sekolah karena sebatas mengimplementasikan kebijakan tanpa ada niat untuk mempraktikkannya. 8. Modal sosial yang dimiliki belum dipahami oleh sekolah kaitannya dengan
membentuk karakter anak.
C. Fokus Penelitian
Untuk menghindari meluasnya pembahasan, maka penelitian ini difokuskan pada peran modal sosial dalam membentuk karakter anak.
D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pendidikan karakter yang terjadi di SMA Negeri 5 Yogyakarta?
2. Modal sosial apa yang dimiliki oleh SMA Negeri 5 Yogyakarta?
3. Bagaimana peran modal sosial dalam membentuk karakter anak di SMA Negeri 5 Yogyakarta?
E. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan pendidikan karakter yang terjadi di SMA Negeri 5 Yogyakarta
(29)
14
2. Untuk memetakan modal sosial yang dimiliki SMA Negeri 5 Yogyakarta. 3. Untuk mendeskripsikan unsur-unsur modal sosial dalam membentuk
karakter anak di SMA Negeri 5 Yogyakarta.
F. Manfaat
Manfaat dari adanya penelitian ini antara lain:
1. Manfaat bagi siswa adalah siswa dapat memahami dan mengembangkan modal sosial sekolah dan siswa tersebut mempunyai karakter yang baik. 2. Guru dapat memberikan dan mengembangkan metode pengajaran yang
terkait dengan pendidikan karakter.
3. Manfaat bagi sekolah adalah dapat memberi masukan yang berarti terkait dengan pendidikan karakter dan mampu untuk mengembangkan modal sosial yang dimiliki.
4. Selain itu diharapkan menjadi bahan rujukan dan pertimbangan bagi peneliti yang lain, yang ingin meneliti dengan topik yang sama.
(30)
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Modal Sosial
1. PengertianModal Sosial
Fukuyama (2002:12) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. Sedangkan Putnam (sebagaimana dikutip Field, 2005:51) mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial, seperti jaringan, nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa modal sosial merupakan bagian dari sebuah jaringan atau organisasi, nilai dan norma dalam suatu masyarakat untuk mendorong terjadinya sebuah kerjasama dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Tujuan di atas dijelaskan kembali oleh Lawang (sebagaimana dikutip Damsar, 2011:183) bahwa modal sosial adalah semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya. Jadi, tujuan yang dicapai bukan hanya tujuan individual saja, namun juga tujuan kelompok, dan dilaksanakan secara efisien dan efektif.
(31)
16
Sedangkan Bourdieu (sebagaimana dikutip Dwiningrum, 2014:5) menjelaskan bahwa modal sosial adalah keseluruhan sumber daya yang aktual dan potensial yang berhubungan dengan kepemilikan suatu jaringan yang bertahan dari hubungan-hubungan yang kurang lebih melembaga dan saling menghargai. Modal sosial merupakan suatu modal hubungan yang tetap ada yang memberikan dukungan yang bermanfaat ketika diperlukan. Hubungan-hubungan yang stabil menciptakan kehormatan dan nama baik di antara anggota kelompok, dan karenanya sangat efektif untuk membangun dan menjaga kepercayaan. Dalam hal ini, modal sosial digunakan sebagai sumber daya kelompok dalam menciptakan hubungan harmonis antar anggota organisasi atau lembaga berdasarkan rasa kepercayaan dan jaringan yang dimiliki.
Nan Lin (2004:24-25, sebagaimana dikutip Wibowo, 2012:21) memberikan definisi modal sosial secara operasional, yaitu sebagai sumber daya yang tertanam pada akses jaringan sosial dan digunakan oleh pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Modal sosial di sini dimaksudkan sebagai sumber daya dan motor penggerak seseorang dalam melakukan sebuah tindakan.
Colleta dan Cullen (2000, sebagaimana dikutip Nasdian, 2006) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum
(world-view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (information and economic exchange),
(32)
17
kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya), sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan.
Hasbullah (2006) menjelaskan bahwa inti modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan (reciprocity), dan dibangun di atas kepercayaan (trust) yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Selain itu, untuk mencapai tujuan tertentu, modal sosial juga merupakan investasi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan oleh Damsar (2011:184) bahwa modal sosial merupakan suatu investasi sosial yang di dalamnya meliputi sumber daya sosial, seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma, serta kekuatan yang menggerakkan, dalam struktur sebuah hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual ataupun kelompok secara efektif dan efisien dengan modal lainnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Farida Hanum (2011:26-27) yang menjelaskan bahwa modal sosial mempunyai gagasan sentral, yaitu sebuah jaringan sosial yang merupakan aset bernilai dan memberikan dasar bagi solusi sosial karena menolong orang bekerjasama satu sama lain, serta tidak sekedar orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh
(33)
18
manfaat timbal balik. Jadi, modal sosial merupakan investasi sosial sekaligus aset yang bernilai penting bagi seseorang atau kelompok.
Pratikno, dkk (sebagaimana dikutip Damsar, 2011:184) menemukan bahwa berdasarkan studi literatur, terdapat tiga level bentuk modal sosial yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Nilai terdiri dari simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan timbal balik. Sementara itu, institusi mencakup keterlibatan umum sebagai warga Negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Adapun mekanisme meliputi kerjasama dan sinergi antar kelompok. Ketiga hal ini juga terdapat pada penjelasan yang dikemukakan Dario Castiglione (2008:16, sebagaimana dikutip Ria Putri Palupijati, 2014:23), yaitu
Social capital relates to a family of concepts, such as trust, civil society, and associations, which, like it, have both descriptive and normative characteristic, and which in different ways point to the benefits of social cooperation and social connectedness, but whose effects cannot be seen as exclusively positive.
Dalam pernyataan tersebut, Dario Castiglione menjelaskan bahwa modal sosial berhubungan dengan konsep kekeluargaan, seperti kepercayaan, masyarakat sipil, dan asosiasi atau perkumpulan, di mana hal tersebut seperti mempunyai deskriptif dan karakteristik normatif, dan mempunyai poin-poin yang berbeda untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama dan keterhubungan sosial, akan tetapi efek yang diberikan tidak bisa dilihat secara langsung.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa modal sosial merupakan suatu sumber daya yang
(34)
19
digunakan sebagai investasi yang berupa hubungan sosial yang terjadi secara terus-menerus dalam suatu kelompok, sehingga memudahkan untuk menjalin kerjasama yang difasilitasi oleh jaringan, kepercayaan, dan norma-norma dalam mencapai tujuan individu dan atau kelompok agar dapat lebih efektif dan efisien.
2. Unsur Modal Sosial
Modal sosial merupakan sebuah investasi non-fisik yang diperlukan untuk meningkatkan peran modal lainnya, seperti modal ekonomi dan modal budaya. Hal ini dikarenakan ketiga modal tersebut saling berhubungan dan berkaitan dalam sebuah usaha mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, modal sosial merupakan serangkaian barang keperluan umum (public goods). Sudiyono (2007:6) menjelaskan bahwa
public goods adalah barang yang ketika disediakan akan memberikan pengaruh eksternal terhadap orang lain. Oleh karena itu, modal sosial sangat penting dalam suatu organisasi, lembaga, maupun kelompok tertentu.
Putnam (dalam Christiaan Grootaert and Thierry van Bastelaer, 2002:189) menguraikan bahwa modal sosial merupakan ciri-ciri dari organisasi sosial, di mana dalam organisasi sosial tersebut melibatkan beberapa unsur atau elemen, seperti kepercayaan, norma (aturan), dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi dalam kelompok masyarakat dari tindakan koordinasi yang dilakukan di dalamnya.
(35)
20
Ada beberapa unsur yang terdapat di dalam modal sosial antara lain kepercayaan, nilai, norma, jaringan, kerjasama, dan partisipasi.
a. Kepercayaan
Sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama (2002:22-25), kepercayaan adalah harapan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berlaku normal, jujur, dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota lain dari komunitas itu. Melalui kepercayaan orang-orang dapat bekerjasama secara efektif, oleh karena ada kesediaan di antara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Semuanya ini melekat pada budaya dalam suatu entitas sosial dan menjadi energi luar biasa guna mengembangkan institusi-institusi dan kemampuan berkompetisi secara sehat, guna memperoleh kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi bersama-sama bagi entitas sosial yang menyandangnya.
Tanpa adanya kepercayaan, masyarakat akan merasa enggan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas dan atau mencapai tujuan suatu kelompok. Adanya kepercayaan yang mendukung terwujudnya jaringan sosial juga dapat membuat solidaritas di dalam kelompok. Jika masyarakat saling bekerjasama dan saling percaya yang didasarkan kepada nilai dan norma yang ada, maka akan menghilangkan sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas, dan lain sebagainya. Hal ini dapat meminimalkan
(36)
ketimpangan-21
ketimpangan dalam kelompok maupun antar kelompok (Modul Diskusi Modal Sosial, Marnia Nes)
Dalam hal membangun kepercayaan, diperlukan beberapa proses yang dilakukan secara terus-menerus, bukan hanya sekali proses. Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan dalam membangun kepercayaan, di antaranya penerimaan, berbagi informasi dan kepedulian, menentukan tujuan, serta pengorganisasian dan tindakan (Modul Diskusi Modal Sosial, Marnia Nes)
b. Nilai dan norma
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011:137) menjelaskan pada dasarnya norma memiliki fungsi untuk menunjukkan arah bagi tingkah laku di dalam kehidupan sosial. Hal tersebut karena norma merupakan petunjuk, kaidah, atau aturan untuk berbuat atau berperilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai atau tujuan. Nilai dan norma sangat berkaitan satu sama lain, namun nilai dan norma sering kali disamakan. Padahal terdapat perbedaan di antara keduanya. Norma sosial akan menjabarkan nilai-nilai dengan lebih rinci ke dalam bentuk tata aturan atau tata kelakuan yang secara makro adalah konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi, dan aturan tak tertulis lainnya.
Francis Fukuyama (dalam Agung Wibowo, 2007:20) menjelaskan bahwa dalam modal sosial, nilai dan norma berfungsi sebagai landasan yang mengikat hubungan antar manusia di dalam
(37)
22
kelompok. Hal ini menekankan nilai dan norma pada dimensi yang lebih luas, yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.
Soerjono Soekamto (sebagaimana dikutip Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:133) menjelaskan bahwa norma-norma atau norma sosial itu sendiri terbentuk melalui proses, dan proses tersebut terjadi secara tidak sengaja di dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, untuk mengarahkan perorangan agar dapat menjalani kehidupan sosial perlu adanya aturan dan sanksi sebagai batasan terhadap jalan yang baik. Dengan demikian, adanya norma-norma yang berisi aturan-aturan dan sanksi tersebut tidak dibuat untuk dilanggar, namun harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi suatu kebiasaan dalam berperilaku.
c. Jaringan sosial
Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial. Hubungan manusia sangat berarti baginya sebagai individu. Dapat dikatakan bahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui siapa yang kita kenal. Secara lebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia juga berperan sebagai dinding pembatas bagi struktur-struktur
(38)
23
sosial yang lebih luas. Dalam pandangan Field (2005:16) ide sentral dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai. Jaringan-jaringan menyediakan suatu basis bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal secara langsung agar saling menguntungkan. Dalam alokasi sumber daya alam jaringan, transaksi terjadi tidak melalui pertukaran yang terpisah atau restu administratif, tetapi melalui jaringan-jaringan individu yang terlibat dalam aksi-aksi timbal balik, saling mengutamakan, dan saling mendukung.
Jaringan dapat dikatakan sebagai sumber daya dari modal sosial karena dengan kepemilikan hubungan antarindividu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan, maka para aktor memiliki sesuatu modal yang mampu diinvestasikan dalam suatu struktur hubungan sosial.
Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari modal sosial. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan
(39)
24
garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun- temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.
Pada dasarnya modal sosial merupakan kerjasama yang dibangun dengan untuk mencapai tujuan. Kerjasama yang terjalin tercipta ketika telah terjadinya hubungan interaksi sosial sehingga menghasilkan jaringan kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya dan terbentuknya nilai dan norma dalam hubungan interaksi tersebut.
d. Kerjasama
Unsur yang keempat adalah kerjasama, yang merupakan salah satu ciri suatu hubungan relasi yang berjalan dengan baik. Suranto Aw. (2011:29) mengatakan kerjasama timbul apabila seseorang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dijelaskan pula berbagai bentuk kerjasama, yaitu kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong,
(40)
barang-25
barang dan jasa antara dua orang atau lebih), ko-optasi (suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam suatu hubungan interpersonal), koalisi (kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama), joint venture (kerjasama dalam pengesahan proyek-proyek tertentu).
e. Partisipasi
Unsur yang kelima adalah partisipasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan atau keikutsertaan atau peran serta (KBBI daring 2014). Menurut Made Pidarta (sebagaimana dikutip oleh Dwiningrum, 2015:50) partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan.
Engkoswara dan Aan Komariah (2010:295) menjelaskan bahwa partisipasi penting untuk meningkatkan rasa memiliki yang berimbas pada rasa tangung jawab dan kontribusi dan atau dedikasi. Partisipasi melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian pendidikan.
Bentuk partisipasi menurut Effendi yang dikutip oleh Dwiningrum (2015:58), terbagi atas partisipasi vertikal dan horizontal. Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan di mana masyarakat berada
(41)
26
sebagai posisi bawahan. Sedangkan partisipasi horizontal adalah di mana masyarakat tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa, di mana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Menurut Effendi sendiri, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda perrmulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.
B. Karakter
1. Pengertian Karakter
Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa Latin
character, yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Secara terminologi (istilah), karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri (Hadiyo, 2014).
Abdul Majid dan Dian Andayani (2012:11) mendefinisikan karakter sebagai sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Yahya Khan (2010:1) juga mendefinisikan karakter sebagai sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
Sedangkan Griek yang dikutip Zubaedi (2011:9) merumuskan definisi karakter sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda khusus untuk membedakan orang yang satu
(42)
27
dengan yang lainnya. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu berbeda dari yang lain. Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter menurut Zubaedi (2011:10) meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan dapat bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter adalah nilai-nilai yang terpateri dalam diri dan terjewantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil pola pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
(43)
28
William Berkovitz (2002:45, sebagiamana dikutip Zuchdi, 2011:14) mendefinisikan karakter sebagai serangkaian ciri-ciri psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan pribadi dan kecenderungan berfungsi secara moral. Secara singkat karakter diartikan sebagai tersusun atas ciri-ciri yang akan memandu seseorang melakukan hal-hal yang benar atau tidak akan mengerjakan hal-hal yang tidak benar. Otonomi moral itu penting sebab ia akan menyempurnakan moralitas seseorang. Berkovitz juga menjelaskan ada 7 ciri otonomi moral, yaitu perilaku moral, nilai-nilai, kepribadian, emosi, penalaran, identitas, dan karakter utama.
Karakter menurut Kalidjernih (2010) lazim dipahami sebagai kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang dapat dievaluasi dalam berbagai situasi. Dengan kata lain, karakter adalah gambaran perilaku atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Purwasasmita (2010) disebut watak jika telah berlangsung dan melekat pada diri seseorang. Karakter juga dapat dipahami sebagai watak dari seseorang. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Hasan, dkk (2010:3, sebagaimana dikutip Zuchdi, 2011:253) mengemukakan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
(44)
29
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Menurut Fatchul Mu’in (2011:161) ciri-ciri karakter antara lain sebagai berikut:
a. Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu pada saat orang lain sedang melihat kamu? (character is what you are when nobody is looking).
b. Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan (character is the result of values and beliefs).
c. Karakter adalah sebuah kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua (character is a habit that becomes second nature).
d. Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh orang lain terhadapmu (character is not reputation or what other think about you).
e. Karakter bukanlah seberapa baik kamu daripada orang lain (character is not how much better you are than other).
(45)
30
f. Karakter tidak relatif (character is not relative).
Dari ciri-ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan segala gambaran tingkah laku atau perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari, yang tertanam dalam diri individu tersebut, berdasarkan dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya.
Selain itu, Lickona (2013: 82) juga mengemukakan bahwa karakter berkaitan erat dengan pengetahuan moral, sikap moral, dan perilaku moral. Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Lickona juga menjelaskan bahwa konsep moral memiliki komponen kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan sendiri. Perilaku moral terdiri dari komponen kemampuan, kemauan, dan kebiasaan. Kelengkapan komponen moral dimiliki seseorang akan membentuk karakter yang baik.
Lickona (1991, dalam Rukiyati, 2013:116) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Secara diagramatik, komponen-komponen karakter yang baik oleh Lickona digambarkan sebagai berikut:
(46)
31
Gambar 1. Komponen Karakter Baik menurut Thomas Lickona Anak panah yang menghubungkan masing-masing domain karakter dimaksudkan untuk menekankan sifat saling berhubungan masing-masing domain tersebut. Pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral tidak berfungsi sebagai bagian yang terpisah, namun saling melakukan penetrasi dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam cara apapun.
Komponen-komponen karakter yang baik menurut Lickona (2013:85) akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Komponen yang terdapat dalam moral knowing meliputi 6 unsur, yaitu: Moral Knowing:
1. Moral awareness
2. Knowing moral values
3. Perspective-taking
4. Moral reasoning
5. Decision-making
6. Self-knowledge
Moral Feeling:
1. Conscience
2. Self-esteem
3. Empathy
4. Loving the good
5. Self-control
6. Humility
Moral Action:
1. Competence
2. Will
(47)
32
1) Moral awareness atau kesadaran moral atau kesadaran hati nurani, yang terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab moral dan berpikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut.
2) Knowing moral values atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut antara lain rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati.
3) Perspective-taking atau perspektif yang memikat hati, adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat sesuatu seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri mereka sendiri. 4) Moral reasoning atau pertimbangan-pertimbangan moral, adalah
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan bermoral, dan mengapa kita harus bermoral dalam berperilaku sehari-hari.
5) Decision-making atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. 6) Self-knowledge atau mengenal diri sendiri, adalah kemampuan
(48)
33
bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihat kembali perilaku yang pernah diperbuat.
Komponen-komponen di atas merupakan gambaran kualitas manusia utama, yang membuat orang memiliki pengetahuan moral (moral knowing), yang semuanya ini berkontribusi terhadap bagian dari kognitif karakter.
b. Komponen dalam moral feeling, yang meliputi enam unsur penting, yaitu:
1)Conscience atau kata hati (hati nurani), yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi (rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu).
2)Self-esteem atau harga diri. Mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri sendiri, dan jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri sendiri, dan dengan cara demikian kita akan mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kita sendiri. 3)Empathy atau empati, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi,
seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.
4)Loving the good atau cinta pada kebaikan.
5)Self-control atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
6)Humility atau kerendahan hati, adalah merupakan kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, padahal kerendahan
(49)
34
hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri.
Komponen-komponen di atas akan memperbaiki bagian emosi dari moralitas diri sendiri.
c. Komponen-komponen dari moral action meliputi tiga unsur penting, yaitu:
1) Competence atau kompetensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif.
2) Will atau kemauan, adalah kemampuan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energi moral untuk bertindak tentang apa yang dipikirkan dan apa yang harus dikerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti.
3) Habit atau kebiasaan. Suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar perlu senantiasa dikembangkan.
Tugas pendidikan moral adalah membantu peserta didik supaya memiliki karakter atau akhlak atau budi pekerti yang baik, sekaligus dimilikinya dalam diri peserta didik, pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral yang saling melengkapi satu sama lain, dalam suatu kesatuan organis, harmonis, dan dinamis. Sedangkan tujuan pendidikan moral adalah membantu peserta didik agar menjadi bijak atau pintar dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Baik dalam artian ini adalah
(50)
35
dimilikinya nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia dan mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat.
2. Membentuk Karakter Anak
Pembentukan karakter merupakan tujuan yang sangat penting dari semua rangkaian proses pelaksanaan pendidikan karakter. Menumbuh- kembangkan karakter yang bermoral bukan sekedar persoalan penyampaian teori tentang ilmu etika dan moral sebagai mata pelajaran di sekolah, melainkan membangun kebiasaan yang berkesinambungan dari hari ke hari. Bagi seorang anak, untuk membangun kebiasaan tersebut membutuhkan figur panutan yang dapat dijadikan teladan. Keteladanan dari orang sekitarnya menjadi dasar pembentukan konsep moral yang dimiliki anak. Pembentukan kepribadian seorang anak selama ini banyak dipengaruhi oleh faktor dari dalam dirinya, lingkungan, pola asuh orangtua, dan pendidikan di sekolah.
Selain itu, menurut Mulyasa (2014:161) menjelaskan bahwa komunikasi antara sekolah dengan orangtua merupakan salah satu realisasi dari akuntabilitas sekolah. Pentingnya komunikasi antara orangtua dan sekolah, khususnya pendidik bertujuan untuk memastikan bahwa anak-anak belajar secara efektif dan mendapatkan yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi/karakter bagi peserta didik. Salah satu cara komunikasinya adalah melalui catatan/buku penghubung yang dikirim secara berkala ke rumah untuk memberikan kesempatan kepada
(51)
36
orangtua memantau sekaligus melaporkan perkembangan anak mereka di sekolah.
Kementerian Pendidikan Nasional (2010) menjelaskan bahwa secara psikologis dan sosiokultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosiokultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosiokultural tersebut dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Menurut Agus Zainul Fitri (2012:58) langkah-langkah dalam pembentukan karakter adalah:
a. Guru harus memahami karakteristik peserta didik.
b. Mengembangkan kompetensi anak melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.
c. Mendorong peserta didik agar mau mendapatkan keterampilan dalam berbagai tingkah laku.
d. Menentukan batas-batas tingkah laku yang baik untuk dilakukan oleh peserta didik di lingkungannya.
(52)
37
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembentukan karakter dapat dilakukan dengan memahami karakteristik peserta didik, dan dengan hal tersebut maka guru akan mudah dalam mengajarkan pendidikan karakter kepada peserta didik. Apabila guru bisa memahami langkah-langkah yang harus dilakukan maka keberhasilan pendidikan karakter di sekolah bisa tercapai.
C. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Rahardjo dalam Syamsul Kurniawan (2014:30) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan fondasi utama dalam pembentukan karakter seseorang, agar karakter yang dimiliki berkualitas, sehingga ia dapat hidup secara mandiri dan dapat mempertanggungjawabkan apa yang dipilihnya.
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha (2011) mendefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,
(53)
38
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Peserta didik di sini diharapkan mampu secara mandiri untuk dapat meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasi serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Ratna Megawati (sebagaimana dikutip oleh Dharma Kesuma, 2011:5) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan konstribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter di sini membekali anak-anak dalam mengambil keputusan secara bijak dan nantinya tindakan mereka ini dapat memberikan sumbangan positif bagi lingkungannya.
Muchlas Samani dan Hariyanto (sebagaimana dikutip NurAini Farida, 2014:14) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, dan raga, serta rasa dan karsa. Dalam hal ini pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia seutuhnya agar menjadi manusia yang berkualitas, baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sedangkan Zubaedi (2011:25) berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang intinya merupakan program pembelajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat
(54)
39
peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama). Pendidikan karakter bertujuan agar peserta didik mampu untuk mengimplementasikan ketiga aspek pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah segala usaha dalam mendidik peserta didik agar mampu untuk mengimplementasikan aspek-aspek pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari, agar ia dapat berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Negara. Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk watak peserta didik. Pendidikan karakter berpijak dari karakter manusia yang bersumber dari nilai moral universal dan yang bersumber dari agama.
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Secara umum, fungsi pendidikan karakter sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara lebih khusus, Said Hamid Hasan (2014:5) menjelaskan bahwa pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu
(55)
40
a. Pembentukan dan pengembangan potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga Negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
b. Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga Negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga Negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
c. Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga Negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Sedangkan pendidikan karakter sebagaimana dijelaskan oleh Mansyur Ramly (2011:2) bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Adapun tujuan
(56)
41
pendidikan karakter bangsa pada konteks instruksional dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Selain pernyataan di atas, adapun tujuan pendidikan karakter dalam
setting sekolah menurut Dharma Kesuma (2011:9) adalah sebagai berikut: a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap
penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam setting sekolah bukanlah sekedar suatu dogmatis nilai kepada peserta didik tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk
(57)
42
memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian.
b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Pendidikan karakter memiliki sasaran meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis bukan suatu pemaksaan atau kondisi yang tidak mendidik.
c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter. Proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika pendidikan karakter hanya bertumpu pada sekolah maka pencapaian karakter yang diharapkan sangat sulit diwujudkan.
Proses dan tujuan pendidikan karakter tiada lain adalah adanya perubahan kualitas tiga aspek pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Gambar 2. Tujuan Pendidikan Karakter
Beeing
Kognitif Afektif Psikomotorik
Knowing Doing
(58)
43
Gambar di atas menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran sebagai peningkatan wawasan, perilaku, dan keterampilan, dengan berlandaskan empat pilar pendidikan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya manusia yang berilmu dan berkarakter. Karakter yang diharapkan pun tidak tercabut dari budaya asli Indonesia sebagai perwujudan nasionalisme dan dasar muatan agama (religius) (Barnawi dan M. Arifin, 2014: 28-29)
Penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tertentu. Penanaman pendidikan karakter perlu proses, contoh teladan, dan pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik dalam lingkup keluarga, sekolah, lingkungan, masyarakat, maupun lingkungan media massa. Pendidikan karakter mengusahakan adanya perubahan perilaku karena pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga peserta didik memiliki karakter sebagai karakter dirinya. Dengan memiliki karakter inilah peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Said Hamid Hasan, dkk (2014: 7-10) menjelaskan beberapa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber, antara lain:
a. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, dan oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan
(59)
44
kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
b. Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
c. Budaya:sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
(60)
45
d. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, Said Hamid Hasan, dkk (2014: 9-10) mengidentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini:
Tabel 1. Deskripsi Nilai-Nilai Karakter
Nilai Deskripsi
Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bersikap, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
(61)
46
Lanjutan Tabel 1
Nilai Deskripsi
Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Bersahabat/ Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Strategi Penanaman Pendidikan Karakter
Penerapan pendidikan karakter dalam dilihat melalui bentuk intergrasi, yaitu integrasi ke dalam mata pelajaran, integrasi melalui pembelajaran tematik, integrasi melalui penciptaan suasana berkarakter dan pembiasaan, integrasi melalui kegiatan ekstrakurikuler, integrasi antara program pendidikan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
a. Integrasi ke dalam mata pelajaran
Agus Zainul Fitri (2012: 47) menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam penyusunan silabus dan indikator yang merujuk pada standar kompetensi dan kompetensi dasar.
(62)
47
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).
Jamal Ma’mur Asmani (2011:86) menjelaskan bahwa moral
knowing/learning to know merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. Dimensi-dimensi yang termasuk dalam
moral knowing untuk mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), logika moral (moral reasoning), keberanian dalam mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
b. Integrasi ke dalam pembelajaran tematis
Agus Zainul Fitri (2012:49) menjelaskan bahwa pembelajaran tematis adalah pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan atau memadukan beberapa kompetensi dasar dan indikator
(1)
184
(2)
185 Catatan Lapangan I
Hari/Tanggal : Jum’at, 23 Desember 2016 Waktu : 09.00-14.00 WIB
Kegiatan : Mengurus administrasi perizinan
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan hal-hal yang bersifat administratif, seperti perizinan. Setelah surat izin didapat dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, peneliti langsung meminta izin ke SMA Negeri 5 Yogyakarta.
Catatan Lapangan II
Hari/Tanggal : Kamis, 5 Januari 2017 Waktu : 09.00-11.00 WIB Kegiatan :
1. Menemui Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas untuk menjelaskan judul dan metode penelitian
2. Menentukan narasumber penelitian 3. Wawancara dengan Kepala Sekolah
Dalam kegiatan ini, peneliti melakukan konfirmasi terhadap surat izin penelitian yang telah diajukan. Peneliti langsung menemui Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas untuk menjelaskan judul dan metode penelitian. Setelah berdiskusi mengenai penelitian yang akan dilakukan, beliau membantu peneliti dalam menghubungkan ke beberapa narasumber yang menjadi informan dalam penelitian. Selain itu, beliau juga membantu peneliti dalam mencari dokumen yang dibutuhkan.
Setelah berdiskusi dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas, peneliti bertemu dengan Kepala Sekolah. Pada hari itu juga, peneliti langsung wawancara dengan Kepala Sekolah.
(3)
186 Catatan Lapangan III
Hari/Tanggal : Selasa, 17 Januari 2017 Waktu : 11.00-13.00 WIB Kegiatan :
1. Observasi lingkungan SMA Negeri 5 Yogyakarta 2. Membuat janji dengan guru untuk wawancara
Pada kegiatan ini peneliti hanya bertemu sebentar dengan guru untuk menentukan jadwal wawancara dan observasi lingkungan/kultur fisik dan nonfisik yang ada di SMA Negeri 5 Yogyakarta.
Catatan Lapangan IV
Hari/Tanggal : Rabu, 18 Januari 2017 Waktu : 09.00-10.00 WIB Kegiatan :
1. Wawancara dengan guru
2. Membuat janji dengan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan untuk mencari siswa yang akan diwawancara
Pada kegiatan ini, peneliti mewawancarai salah satu guru yang ada di SMA Negeri 5 Yoyakarta. Wawancara dengan beliau tetap dengan pedoman yang ada, namun juga tetap menggali tentang modal sosial dalam pembentukan karakter anak dan pendidikan karakter yang terjadi di sekolah.
Kegiatan selanjutnya adalah menemui Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan untuk mencari siswa yang akan diwawancara, di mana dalam hal ini beliau memberikan beberapa rekomendasi siswa yang akan diwawanarai. Saat itu juga peneliti bertemu dengan siswa yang direkomendasikan dan membuat janji untuk diwawancara.
(4)
187 Catatan Lapangan V
Hari/Tanggal : Sabtu, 21 Januari 2017 Waktu : 09.00-10.00 WIB Kegiatan :
1. Mencari data profil sekolah, keadaan sarana prasarana, keadaan pendidik dan tenaga kependidikan, serta keadaan peserta didik Pada kegiatan ini, peneliti berusaha mencari dokumen terkait profil sekolah, keadaan sarana prasarana, keadaan pendidik dan tenaga kependidikan, serta keadaan peserta didik di ruang tata usaha. Setelah memperoleh dokumen tersebut, peneliti berusaha mengolah data yang telah diperoleh.
Catatan Lapangan VI
Hari/Tanggal : Jum’at, 27 Januari 2017 Waktu : 13.30-14.15 WIB Kegiatan :
1. Wawancara dengan siswa
Pada kegiatan ini, peneliti mewawancarai salah satu siswa yang ada di SMA Negeri 5 Yoyakarta. Wawancara dengan siswa tersebut tetap dengan pedoman yang ada, namun juga tetap menggali tentang modal sosial dalam pembentukan karakter anak dan pendidikan karakter yang terjadi di sekolah.
Catatan Lapangan VII
Hari/Tanggal : Senin, 30 Januari 2017 Waktu : 13.00-15.00 WIB Kegiatan :
1. Membuat janji dengan guru untuk wawancara 2. Wawancara dengan siswa
(5)
188
Pada kegiatan ini peneliti hanya bertemu sebentar dengan guru untuk menentukan jadwal wawancara dan peneliti mewawancarai salah satu siswa yang ada di SMA Negeri 5 Yoyakarta. Wawancara dengan siswa tersebut tetap dengan pedoman yang ada, namun juga tetap menggali tentang modal sosial dalam pembentukan karakter anak dan pendidikan karakter yang terjadi di sekolah.
Catatan Lapangan VIII
Hari/Tanggal : Selasa, 31 Januari 2017 Waktu : 09.00-11.00 WIB Kegiatan :
1. Wawancara dengan guru
2. Observasi proses pembelajaran di kelas
Pada kegiatan ini, peneliti mewawancarai salah satu guru yang ada di SMA Negeri 5 Yoyakarta. Wawancara dengan beliau tetap dengan pedoman yang ada, namun juga tetap menggali tentang modal sosial dalam pembentukan karakter anak dan pendidikan karakter yang terjadi di sekolah.
Kegiatan selanjutnya adalah observasi saat proses pembelajaran berlangsung, di mana dalam hal ini peneliti sudah meminta izin kepada guru yang bersangkutan untuk mengamati kegiatan yang berlangsung.
Catatan Lapangan VIII
Hari/Tanggal : Kamis, 2 Februari 2017 Waktu : 14.00-14.45 WIB Kegiatan :
1. Wawancara dengan siswa
Pada kegiatan ini, peneliti mewawancarai salah satu siswa yang ada di SMA Negeri 5 Yoyakarta. Wawancara dengan siswa tersebut tetap dengan pedoman yang ada,
(6)
189
namun juga tetap menggali tentang modal sosial dalam pembentukan karakter anak dan pendidikan karakter yang terjadi di sekolah.
Catatan Lapangan IX
Hari/Tanggal : Sabtu, 4 Februari 2017 Waktu : 10.00-14.30 WIB Kegiatan :
1. Wawancara dengan guru
Dalam upaya penggalian data yang lebih mendalam, peneliti melakukan pengulangan wawancara terhadap guru yang telah diwawancarai sebelumnya. Ini menjadi salah satu cara triangulasi peneliti untuk mendapatkan data yang valid.