dengan  hukuman  penjara  ringan  Pasal  18  UU  Korupsi.  Hal  tersebut  tidak memberikan efek jera dan tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain.
5. Tidak  ada  keteladanan  pemimpin.  Sebagai  masyarakat  agraris  rakyat
Indonesia  cenderung  paternalistik,  yaitu  mereka  akan  mengikuti  apa  yang dipraktikkan  oleh  pemimpin,  senior,  atau  tokoh  masyarakat.  Tapi  tidak
adanya  teladan  yang  baik  dari  pemimpin  di  Indonesia  menyebabkan perekonomian di Indonesia masih dililit hutang dan korupsi.
6. Masyarakat  yang  apatis.  Pemerintah  mengeluarkan  PP  68  1999  yang
menempatkan  masyarakat  sebagai  elemen  penting  dalam  pemberantasan korupsi.  KPK  membentuk  Deputi  Bidang  Pengawasan  Internal  dan
Pengaduan Masyarakat, yang antara lain  bertugas  menerima dan  memproses laporan dari masyarakat.
2.  Sejarah dan Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi
Sejarah  perundang-undangan korupsi  di Indonesia  dapat dikelompokkan dalam  beberapa  peraturan  perundang-undangan  yang  pernah  lahir  berkaitan
dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya: 1.
Delik-delik Korupsi dalam KUHP; 2.
Peraturan  Pemberantasan  Korupsi  Penguasa  Perang  Pusat  Angkatan  Darat dan Laut;
3. Undang-undang No. 24 PRP  Tahun 1960 Tentang  Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
Universitas Sumatera Utara
4. Undang-undang  No.  3  Tahun  1971  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana
Korupsi; 5.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
6. Undang-undang  No.  20  Tahun  2001  tentang  Perubahan  atas  Undang-
Undang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 1
Delik-delik korupsi dalam KUHP Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan Kitab
Undang-undang  Hukum  Pidana  Wetboek  van  Strafrecht  yang  berlaku  sejak  1 Januari  1918.  KUHP  sebagai  suatu  kodefikasi  dan  unifikasi  berlaku  bagi  semua
golongan  penduduk  di  Indonesia  sesuai  dengan  asas  konkordansi  diselaraskan dengan  WvS  tahun  1981  di  Belanda.
67
KUHP  merupakan  suatu  sistem  dimana segala  Pasal  serta  bab  yang  ada  didalamnya  terikat  dengan  sistem  itu.  Sehingga
ditarik 19 buah Pasal untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik  korupsi  yang  masuk  dalam  delik  jabatan  tercantum  dalam  Bab  XXVIII
Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 210 orang yang  menyuap  pegawai  negeri atau lazim disebut  active
omkoping, berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP.
68
Perincian  delik-delik  korupsi  yang  berasal  dari  KUHP  telah  disebut dalam  Bab  I  Pendahuluan.  Semua  merupakan  kejahatan  biasa,  artinya  bukan
kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
67
Chaerudin Dkk Editor Aep Gunarsa,Op.Cit, halaman 33
68
Ibid, halaman 38
Universitas Sumatera Utara
2 Peraturan  Pemberatasan  Korupsi  Penguasa  Perang  Pusat  Angkatan  Darat
dan Laut Peraturan  pemberantasan  korupsi  yang  pertama  adalah  Peraturan
Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt PM 06 1957, tanggal 27 Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut:
”Bahwa  berhubungan  tidak  adanya  kelancaran  dalam  usaha-usaha memberantas  perbuatan-perbuatan  yang  merugikan  keuangan  dan
perekonomian Negara,  yang oleh khalayak ramai  dinamakan korupsi, perlu segera  menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan dalam
usaha- usaha  memberantas  korupsi,….dan
seterusnya.”
69
Penting  untuk  diketahui  dari  peraturan  perundangan-undangan  tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilah-istilah korupsi
sebagai  istillah  hukum  dan  member  batasan  pengertian  korupsi  sebagai  berikut: “perbuatan-perbuatan  yang  merugikan  keuangan  dan  perekonomian  Negara”.
70
Kemudian  peraturan  penguasa  militer  ini  digantikan  dengan  Peraturan Pemberantasan  Korupsi  Penguasa  Perang  Pusat  Nomor:  Prt  Peperpu  013  1958
yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958.
71
Bagian  yang  menarik  dari  peraturan  penguasa  perang  pusat  ADAL tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1 yang
juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa perbuatan korupsi terdiri atas:
72
69
Ibid, halaman 41
70
Ibid, halaman 42
71
Ibid.
72
Ibid, halaman 43-44
Universitas Sumatera Utara
1 Perbuatan korupsi pidana
2 Perbuatan korupsi lainnya Pasal1
Perbuatan korupsi pidana antara lain
73
: a.
Perbuatan  seseorang  denga  atau  karena  melakukan  suatu  kejahatan  atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara  langsung  atau  tidak  langsung  merugikan  keuangan  atau perekonomian  Negara  atau  daerah  atau  merugikan  suatu  badan  yang
menerima  bantuan  dari  keuangan  Negara  atau  badan  hukum  lain  yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
b. Perbuatan  seseorang  yang  dengan  atau  karena  melakukan  suatu  kejahatan
atau  pelanggaran  memperkaya  diri  sendiri  atau  suatu  badan  dan  yang dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan-kejahatan  yang  tercantum  dalam  Pasal  41  sampai  50  Peraturan
Penguasa  Perang  Pusat  ini  dan  dalam  Pasal  209,  210,  418,  419,  dan  420 KUHP Pasal 2.
3 Undang-undang  Nomor  24  PRP  Tahun  1960  Tentang  Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang  Nomor  24  PRP  Tahun  1960  ini  pada  awalnya
berbentuk  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-undang  yang  kemudian disahkan  menjadi  Undang-undang.  Dasar  pengesahan  tersebut  adalah  Undang-
undang  Nomor  1  Tahun  1961  tentang  Penetapan  semua  undang-undang  darurat
73
Mahrus ali, Asas Teori Praktek Hukum Pidana Korupsi,UII Press, Yogyakarta, 2013, halaman 21-22
Universitas Sumatera Utara
dan  semua  peraturan  pemerintah  pengganti  undang-undang  yang  sudah  ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.
74
Defenisi  perbuatan  pidana  korupsi  menurut  undang-undang  tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 yang menyatakan:
75
Pertama,  “tindakan  seseorang  yang  dengan  atau  karena  melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran  memperkaya diri  sendiri atau orang
lain  atau  suatu  badan  yang  secara  langsung  atau  tidak  langsung merugikan keuangan tau perekonomian Negara tau daerah atau badan
hukum  lain  yang  mempergunakan  modal  dan  kelonggaran- kelonggaran dari Negara atau masyarakat”
Kedua,  “perbuatan  seseorang  yang  dengan  atau  karena  melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran  memperkaya diri  sendiri atau orang
lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan…”
Ketiga,  “kejahatan  yang  tercantum  dalam  Pasal  17  dan  Pasal  21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, d an 432 KUHP”
4 Undang-undang  Nomor  3  Tahun  1971  tentang  Pemberantasan  Tindak
Pidana Korupsi Rumusan  tindak  pidana  korupsi  menurut  Undang-Undang  Nomor  3
Tahun  1871mencakup  perbuatan-perbuatan  memperkaya  diri  sendiri  dan  orang
74
Dani  Krisnawati  Dkk  Editor  Eddy  O.  S.  Hiariej,  Bunga  Rampai  Hukum  Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48
75
Ibid, halaman 48-49b
Universitas Sumatera Utara
lain  atau  badan  yang  dilakukan  secara  melawan  hukum  yang  secara  langsung ataupun  tidak  langsung  dapat  merugikan  keuangan  Negara  dan  perekonomian
Negara,  atau  diketahui  atau  patut  disangka  bahwa  bahwa  perbuatan  tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
76
Rumusan  sebagaimana  tersebut  diatas  mensyaratkan  bentuk  kesalahan pro  parte  dolus  pro  parte  culpa.  Artinya,  entuk  kesalahan  disini  tidak  saja
diisyaratkan  adanya  kesengajaan,  tetapi  cukup  adanya  kealpaan  berupa  patut disangka  dapat  merugikan  keuangan  atau  perekonomian  Negara  sudah  dapat
menjerat pelaku.
77
Secara  tegas  perbuatan  korupsi  menurut  Undang-Undang  Nomor  3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
78
1. Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri
sendiri  atau  orang  lain,  atau  suatu  badan  yang  secara  langsung  atau  tidak langsung  merugikan  keuangan  Negara  dan  perekonomian  Negara,  atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut  merugikan keuangan atau perekonomian Negara;
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu  badan,  menyalahgunakan  kewenangan,  kesempatan  atau  sarana  yang ada  padanya  karena  jabatan  atau  kedudukan,  yang  secara  langsung  atau
76
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini selanjutnya diubah dan digantikan dengan Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  yang
kemudian  diubah  ladi  dengan  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
77
Ibid, halaman 54
78
Ibid, halaman 54-56
Universitas Sumatera Utara
tidak  langnsung  dapat  merugikan  keuangan  Negara  atau  perekonomian Negara;
3. Barang  siapa  melakukan  kejahatan  yang  tercantum  dalam  Pasal-Pasal  209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP; 4.
Barang siapa  yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud pada Pasal 2  dengan  mengingat  suatu kekuasaan atau  wewenang
yang  melekat  pada  jabatannya  atau  kedudukannya  atau  oleh  sipemberi hadiah atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini;
5. Barang  siapa  dengan  tanpa  alasan  yang  wajar,  dalam  waktu  sesingkat-
singkatnya  setelah  menerima  pemberian  atau  janji  yang  diberikan kepadanya,  seperti  yang  tersebut  dalam  Pasal-Pasal  418,  419,  dan  420
KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib; 6.
Barang  siapa  melakukan  percobaan  dan  pemufakatan  untuk  melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut  dalam ayat 1 a, b, c, d, e Pasal ini.
Rumusan  formulasi  dan  ruang  lingkup  tindak  pidana  korupsi  didalam Undang-Undang  Nomor  3  tahun  1971  ini  kemudian  berkembang  menjadi
Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  Jo  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun 2001 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi.
Perkembangan pengaturan
perundang-undangan pidana
dalam pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  di  Indonesia  tidak  dapat  dilepaskan  dari
perkembangan  dan  proses pembaruan  hukum pidana pada umumnya.  Pembaruan hukum  pidana  itu  sendiri  erat  kaitannya  dengan  sejarah  perkembangan  bangsa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.
79
Pembentukan  sebuah  undang-undang  baru  sebagai  sebuah  instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat  didekati dan di analisis atas
dasar 3 alasan utama, yaitu:
80
1. Alasan Sosiologis
Krisis kepercayaan dalam setiap segemn kehidupan yang melanda bangsa Indonesia,  secara  umum  bermuara  pada  suatu  penyebab  besar,  yaitu  belum
terciptanya  suatu  pemerintahan  yang  baik,  bersih  dan  bebas  dari  korupsi.  Sikap pemerintah  yang  terkesan  belum  konsisten  dalam  menegakkan  hukum,
mengakibatkan  bangsa  ini  harus  membayar  mahal,  sebab  realitas  korupsi  telah menghancurkan perekonomian Negara.
Bertolak  dari  berbgai relitas  sosial,  maka secara  sosiologis adalah  wajar dilakukan  kebijakan  legislative  untuk  memperkuat  landasan  hukum  dalam
menciptakan  pemerintahan  yang  bersih  bebas  korupsi.  Esensi  pemikiran  yang demikian  dapat  diterapkan  dalam  kerangka  filosofi  penyusunan  suatu  undang-
undang  tentang  pemberantasan  korupsi.  Kerangka  filosofi  tersebut  disamping guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih
dan  sulit  pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar terhadap keuangan dan perekonomian Negara.
79
Elwi Danil, Opcit, halaman 17
80
Ibid, halaman 17
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan praktis
Alasan  dan  latar  belakang  pementukan  suatu  undang-undang  dapat diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU Nomor
31  tahun  1999  yang  dibentuk  dengan  konsideran  dan  pengakuan  bahwa  tindak pidana  korupsi  yang  terjadi  di  Indonesia  selama  ini  sangat  merugikan  keuangan
Negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional  yang  menuntut adanya  efisiensi tinggi  dalam rangka  mewujudkan suatu
masyarakat  yang  adil  dan  makmur  sebagai  tujuan  kebangsaan  berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya dianggap  sudah  tidak  sesuai  dengan  perkembangan  dan  kebutuhan  dianggap
sudah  tidak  sesuai  dengan  perkembangan  dan  kebutuhan  hukum  di  masyarakat. Oleh  karena  itu,  perlu  diganti  dengan  undang-undang  yang  baru  sehingga  akan
lebih  efektif  dalam  mencegah  dan  memberantas  tindak  pidana  korupsi  dimasa mendatang.
3. Kebijakan Politis
Kebijakan  legislasi  yang  diwujudkan  dengan  lahirnya  peraturan perundang-undangan  secara  politis  pada  akhirnya  dapat  ditempatkan  dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki  kedudukan  sebagai  peraturan  yang  memayungi  undang-undang  lain
dalam  upaya  menciptakan  pemerintahan  yang  bersih  bebas  dari  korupsi  good governance.  Artinya,  kebijakan  pembentukan  peraturan  perundang-undangan
Universitas Sumatera Utara
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan masalah korupsi.
3.  Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi