Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan masalah korupsi.

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa saja yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan Hukum Pidana. Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang manusia – manusia mana yang hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Hal ini berarti, bahwa hukum bisa mengecualikan manusia atau segolongan manusia tertentu sebagai mahkluk hukum. Sekalipun mereka adalah manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Bila hukum menentukan demikian, maka tertutuplah kemungkinan bagi orang – orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban. 81 Dalam tindak pidana korupsi Subjek pembuat korupsi menurut rumusan Pasal 1 ayat 1 sub-a undang- undang korupsi tahun 1971 disebut sebagai “barang siapa” tetapi pengertiannya, sedangkan pada undang-undang korupsi tahun 1999 disebut “setiap orang” tetapi pengertiannya sama, yaitu “subjek hukum” sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang “manusia dan atau badan hukum atau 81 Muhammad Ekaputra, Dasar – dasar Hukum Pidana, Medan, USUPress, 2010, Hal. 21 Universitas Sumatera Utara korporasi. 82 Makna setiap orang tidak hanya menunjuk pada orang perorangan tapi termasuk juga korporasi pasal 1 ayat 3, sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 83 Komariah Emong Sapardjaja dalam Elwi Daniel menyatakan dalam hubungan itu mengatakan, 84 pada mulanya memang sulit diterima bahwa badan hukum dapat melakukan tindak pidana, karena badan hukum dan bukanlah subjek hukum dalam hukum pidana. Beliau bertolak dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP. sejak KUHP itu dibuat sudah terlihat bahwa subjek hukum pidana hanyalah orang pribadi alami. Hal tersebut disebabkan bukan saja karena seluruh rumusan tindak pidana dalam KUHP dimulai dengan perkataan “barangsiapa” melainkan juga karena bunyi pasal 59 KUHP yang membatasi diri kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris secara pribadi. Akan tetapi, dikaitkan dengan laju perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi, dan dengan melihat pada pertumbuhan dan peranan badan hukum, maka penempatan badan hukum sebagai subjek hukum pidana secara umum dalam kehidupan hukum pidana dianggap merupakan suatu yang mendesak. Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1 telah ditentukan setiap orang. Dalam pasala 2 ayat 1 tidak ditentukkan 82 Marwan Mas, Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2014, halaman 31 83 Mahrus Ali, Asas Teori Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, halaman 52 84 Elwi Daniel, Korupsi Konsep Tindak pidana dan Pemberatasannya, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2012, halaman 104-105 Universitas Sumatera Utara adanya suatu syarat, misalnya syarat pegawai negeri yang harus menyertai setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Oleh karena itu, sesuai yang dimaksud dalam pasal 1 angka 3 maka Tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1 dapat terdiri atas orang perseorangan atau korporasi. 85 Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3 ditentukkan setiap orang, sehingga seolah-olah setiap orang dapat melakukan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3. Tetapi dalam pasal 3 tersebut ditentukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau kedudukan. Oleh karena yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan hanya orang perseorangan maka tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal hanya dapat dilakukan oleh orang perseorangan, sedangkan korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh suatu korporasi dalam UU PTPK dirumuskan dalam Pasal 20 yang menyatakan sebagai berikut: 86 1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya; 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama; 85 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Halaman 45 86 Marwan Mas, Op.Cit, Halaman 31-32 Universitas Sumatera Utara 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi tersebut diwakili oleh pengurus; 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat diwakili oleh orang lain; 5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan; 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan unutk menghadap dan penyerahan surat tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat penguru berkantor; 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 satu per-tiga.

B. Kerugian Keuangan Negara 1. Pengaturan Kerugian Keuangan Negara

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29