dengan  flame  tube  yang  dibutuhkan.  Hal  ini  yang  pada  akhirnya  mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
1. Tentang Pertimbangan Hukum
Ada  beberapa  hal  yang  menarik  untuk  dibahas  dalam  pertimbangan majelis  hakim  pada  putusan  No  94Pid.Sus.K2013Pn.Mdn  tersebut.  Jaksa
Penuntut Umum mendakwakan terdakwa dengan 3 tiga dakwaan yaitu dakwaan primer diancam dengan pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU
No  20  Tahun  2001  Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  Jo  Pasal  55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dakwaan subsidair diancam dengan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU
No  31  Tahun  1999  Jo  UU  No  20  Tahun  2001  Tentang  Pemberantasan  Tindak Pidana  Korupsi Jo  Pasal 55 ayat  1 ke-1  KUHP,  serta  Dakwaan Lebih Subsider
diancam  dengan  Pasal 9  UU 31 Tahun 1999 Jo  UU  No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangan terhadap unsur – unsur didalam pasal 2 ayat 1 Jo
pasal  18  UU  No  31  Tahun  1999  Jo  UU  No  20  Tahun  2001  Tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi Jo  Pasal 55 ayat  1 ke-1  KUHP,  majelis
hakim  berpendapat  bahwa  unsur  setiap  orang  didalam  pasal  2  UU  No  31  tahun 1999  jo  uu  20  tahun  2001  tersebut  tidak  tepat  untuk  diterapkan.  Unsur  setiap
orang  merupakan  pelaku  atau  subjek  delik  dalam  Pasal  2  ayat  1,  dan  unsur  ini bukanlah  delik  inti  bestandeel  delict  melaiknkan  elemen  delik.  Subyek  delik
dalam  pasal  ini  tidak  hanya  terdiri  dari  manusia,  tapi  juga  korporasi.  Sekalipun makna  setiap  orang  pada  pasal  2  ayat  1  meliputi  orang  perseorangan  atau
korporasi,  tapi  makna  orang  perseorang  tersebut  tidak  meliputi  pegawai  negeri
Universitas Sumatera Utara
atau  pejabat.  Jika  pegawai  negeri  atau  penyelenggara  negara  diajukan  ke persidangan  karena  diduga  melakukan  tindak  pidana  korupsi,  maka  Pasal  2  ayat
1  uu  korupsi  tidak  dapat  digunakan  sebagai  dasar  untuk  mendakwa  pegawai negeri atau penyelenggara tersebut.
131
Pertimbangan hakim dalam  mempertimbangkan Pasal 2 ayat 1 tersebut sudah  tepat  karena  terdakwa  merupakan  penyelenggara  negara  dalam  hal  ini
adalah  Manager Produksi  PT.PLN  Persero  KITSBU.,  maka Pasal 2 ayat  1 uu korupsi  tidak  dapat  digunakan  sebagai  dasar  untuk  mendakwa  terdakwa.
Seharusnya  Jaksa  Penuntut  Umum  lebih  cermat  dan  teliti  dalam  membuat dakwaannya,    karena  dalam  kasus  ini  Jaksa  Penuntut  Umum  sudah  mengatahui
bahwa terdakwa merupakan seorang penyelenggara negara. Majelis  Hakim  kemudian  mempertimbangkan  dakwaan  subsidair  yaitu
Pasal  3  Jo  Pasal  18  UU  No  31  Tahun  1999  Jo  UU  No  20  Tahun  2001  Tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Apabila  diteliti  ketentuan  tentang  tindak
pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3, akan ditemui beberapa unsur yaitu: a.
Setiap orang b.
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi c.
Menyalahgunakan  kewenangan  kesempatan  atau  sarana  yang  ada karena jabatan atau kedudukan
d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan “setiap  orang”  sehingga  seolah-olah  “setiap  orang”  dapat  melakukan  tindak
131
Marwas Ali, Op.Cit, halaman 95-96
Universitas Sumatera Utara
pidana  korupsi  yang  terdapat  dalam  Pasal  3.  Tetapi  dalam  Pasal  3  tersebut ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang  dimaksud  harus  memangku
suatu  jabatan  atau  kedudukan.  Oleh  karena  yang  dapat  memangku  jabatan  atau kedudukan  hanya orang  perseorangan,  maka tindak pidana korupsi  yang terdapat
dalam pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang-perseorangan, sedang korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
132
Pertimbangan majelis hakim terhadap pasal 3 yang menarik untuk dikaji adalah tentang unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Majelis  hakim  dalam  pertimbangannya  menyatakan  bahwa  untuk  menentukan adanya  unsur  menguntungkan  diri  sendiri  haruslah  mempertimbangk  an  terlebih
dahulu unsur penyalahgunaan wewenang yang ada padanya. Yang  dimaksud  menguntungkan  adalah  sama  artinya  dengan
mendapatkan  untung,  yaitu  pendapatan  yang  diperoleh  lebih  besar  dari pengeluaran,  terlepas  dari  penggunaan  lebih  lanjut  dari  pendapatan  yang
diperolehnya.  Dengan  demikian,  yang  dimaksud  dengan  unsur  menguntungkan diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  korporasi  adalah  sama  artinya  mendapatkan
untung  untuk  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu  korporasi.  Soedarto  didalam Wiyono  mengemukakan  pada  waktu  berlakunya  UU  no  3  Tahun  1971  “ini
merupakan  unsur  batin  yang  menentukan  arah  dari  perbuatan  penyalahgunaan kewenangan  dan  sebagainya.  Adanya  unsur  ini  harus  pula  ditentukan  secara
132
Wiyono,  Pembahasan  Undang –  Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Halaman 45.
Universitas Sumatera Utara
obyektif  dengan  memperhatikan  keadaan  lahir  yang  menyertai  perbuatan tersangka.
133
Sejalan  dengan  pendapat  Soedarto  tersebut,  perlu  dikemukakan  adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 1989 Nomor 813 KPid1987  yang
pertimbangan  hukumnya  antara  lain  menyebutkan  bahwa  unsur  menguntungkan diri  sendiri  atau  suatu  badan  cukup  dinilai  dengan  kenyataan  yang  terjadi  atau
dihubungkan  dengan  perilaku  terdakwa  sesuai  dengan  kewenangan  yang dimilikinya, karena jabatan atau kedudukannya.
134
Unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi berarti tidak harus  mendapatkan  banyak  uang  namun  cukup  apabila  dengan  mendapatkan
sejumlah uang yang dari uang tersebut  seorang akan  memeproleh keutungan dari padanya  walaupun  sedikit.
135
Menurut  Nur  Basuki  Minarno  perumusan memperkaya diri sendiri pada Pasal 2 ayat 1 uu Tindak Pidana Korupsi  dengan
“tujuan  menguntungkan..”  pada  Pasal  3  uu  Tindak  Pidana  Korupsi  mempunyai pengertian  yang  sama  yakni  kedua  unsur  delik  tersebut  dirumuskan  secara
materil.
136
Bertambahnya  keuntungan  atau  kekayaan  harus  benar-benar  terjadi  atau secara  materil  kekayaan  dari  pejabat  atau  pegawai  negeri,  orang  lain,  atau  suatu
korporasi  itu  menjadi  bertambah  dengan  adanya  penyalahgunaan  wewenang.
133
Ibid, halaman 46
134
ibid
135
Marwas Ali, Op.Cit, halaman 112
136
P.A.F Lamintang, Op.Cit, halaman 276
Universitas Sumatera Utara
Manakala  penyelenggaran  wewenang  telah  terbukti,  maka  dengan  sendirinya unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri” tidak perlu dibuktikan.
137
Majelis  hakim  dalam  pertimbangannya  mengenai  unsur  menguntungkan diri  sendiri,  orang  lain  atau  suatu  korporasi  berpatokan  pada  unsur
menyalahgunakan  kedudukan  atau  kewenangan  yang  ada  padanya  sudah  tepat, karena  terdakwa  telah  menyalahgunakan  kewenangan,  kesempatan,  sarana  yang
melekat  pada  jabatan  atau  kedudukan  yang  dijabat  atau  diduduki  oleh  terdakwa untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya.
138
Terdakwa  dalam  perkara  ini  terbukti  telah  menyalahgunakan kewenangan,  kesempatan  dan  sarana  yang  ada  padanya  karena  jabatan  atau
kedudukan  dilihat dari terdakwa  secara  sadar  dan  sengaja  membuat  syarat  teknis untuk  pengadaan  barang  Flame  Tube  PLTGU  DG  10530  tahun  anggaran  2007
hanya berdasarkan buku panduan dari PT.SIEMENS saja tidak melakukan survey terlebih  dahulu  perihal  barang  tersebut  masih  diproduksi  apa  tidak.  Walaupun
pada SK Direksi PT.PLN Nomor 100 dan Nomor 200 tidak ada ketentuan ataupun tidak  ada  keharusan  untuk  melakukan  survey  terlebih  dahulu  dalam  pengadaan
barang  dan  jasa  namun  hal  itulah  yang  mengakibatkan  terjadinya  perbedaan spesifikasi  Flame Tube  yang  diterima. Hal  ini juga bertentangan  dengan prinsip-
prinsip dasar pengadaan barang dan jasa. Unsur  selanjutnya  yang  dipertimbangkan  oleh  majelis  hakim  dalam
perkara ini adalah unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau  sarana
137
Mahrus Ali,Op.Cit, halaman 113
138
Ibid, halaman 116
Universitas Sumatera Utara
yang  ada  padanya  karena  jabatan  atau  kedudukan.  Makna  menyalahgunakan wewenang sejak peraturan penguasa militer tahun 1997 hingga undang-undang no
20  tahun  2001  tentang  pemberatasan  tindak  pidana  korupsi,  tidak  pernah diberikan  arti  yang  memadai.  Untuk  memecahkan  persoalan  ini,  tidak  salah  bila
menggunakan  teori  otonomi  dari  hukum  pidana  materil  de  autonomie  van  hed materiele  straafrecht  oleh  H.  A.  Demeersemen.  Teori  ini  pada  intinya
mempertanyakan  apakah  ada  harmoni  dan  disharmoni  antara  pengertian  yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan hukum perdata dengan hukum tata
usaha negara administrasi negara sebagai satu cabang hukum lainnya.
139
Dalam hukum administrasi negara pengertian penyalahgunaan wewenang diartikan dalam tiga bentuk, yaitu :
140
1. Penyalahgunaan  wewenang  untuk  melakukan  tindakan-tindakan
yang bertentangan
dengan kepentingan
umum atau
untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan;
2. Penyalahgunaan  wewenang  dalam  arti  bahwa  tindakan  pejabat
tersebut  adalah  benar  ditujukan  untuk  kepentingan  umum,  tapi menyimpang  dari  tujuan  apa  kewenangan  tersebut  diberikan  oleh
undang-undang atau peraturan-peraturan lain; 3.
Penyalahgunaan  wewenang  dalam arti  menyalahgunakan prosedur yanga  seharusnya  dipergunakan  untuk  mencapai  tujuan  tertentu  tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
139
Indrianto seno adji,  Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,  CV. Diadit Media, Jakarta, 2006, Halaman 426 di dalam Mahrus Ali, Loc..Cit.
140
Ibid, halaman 115
Universitas Sumatera Utara
Indikasi  terjadinya  penyalahgunaan  wewenang  yang  pada  awalnya perbuatan  administrasi,  tetapi  dapat  dijerat  sebagai  korupsi  dengan  tujuan
menguntungkan  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu  korporasi,  serta  dapat merugikan keuangan negara karena hal berikut:
141
1. Tidak menggunakan kewenangan sebagaimana mestinya.
2. Kewenangan  digunakan,  tetapi  melampaui  batas  yang  diberikan
sesuai ketentuan. 3.
Kewenangan  digunakan,  tetapi  dilakukan  secara  sewenang- wenang.
4. Tidak  melakukan  sesuatu  yang  seharusnya  dilakukan  menurut
ketentuan,  atau  tidak  dilakukan  berdasarkan  kewenangan  yang diberikan.
Pertimbangan hakim menafsirkan bahwa kewenangan yang ada pada diri terdakwa  tidak  digunakan  sesuai  dengan  tugas  dan  kewenangan  yang  telah
ditetapkan  didalam  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  maupun  di  dalam peraturan lainnya. Salah satu kewenangan yang dimiliki terdakwa selaku manager
produksi  PT.PLN  Persero  KITSBU  yaitu  membuat  syarat  teknis  pekerjaan pengadaan  Flame  Tube  PLTGU  GT  12  PT.PLN  Persero  KITSBU  sektor
Belawan.  Kemudian  terdakwa  membuat  syarat  teknis  tersebut  berdasarkan  buku petunjuk  yang  dikeluarkan  oleh  PT.Siemens  tanpa  melakukan  survey  terlebih
dahulu.  Kemudian  majelis  hakim  berpendapat  bahwa  perbuatan  terdakwa  yang tidak  melakukan  survey  tersebut  merupakan  perbuatan  yang  tidak  sesuai  dengan
141
Marwan Mas , Op.Cit, Halaman 47
Universitas Sumatera Utara
tujuan  dan  filosofi  dari  pengadaan  barang  dan  jasa  sehingga  majelis  hakim berkeyakinan bahwa unsur menyalahgunakan wewenang yang ada padanya karna
jabatan telah terbukti dan terpenuhi. Majelis  hakim  dalam  perkara  ini  tidak  memepertimbangkan  salah  satu
keterangan  ahli  yang  diajukan  ke  dalam  persidangan  yaitu  keterangan  ahli  Nur Basuki  Minarno.  Pada  dasarnya  keterangan  ahli  tersebut  sangat  berhubungan
dengan  pembuktian  unsur    penyalahgunaan  wewenang,  dimana  di  dalam keterangannya  bahwa  pengadaan  barang  dan  jasa  di  BUMN  ada  dibuat  SK
Direksi  sendiri,  tidak  tergantung  pada  Keppres  No  80  Tahun  2003  tentang Pengadaan
BarangJasa Pemerintah.
Majelis hakim
seharusnya memeprtimbangkan  SK  Direksi  PT.PLN  Nomor  100  dan  Nomor  200  karena  SK
tersebutlah  yang  berlaku  didalam  pengadaan  barang  dan  jasa,  serta  SK  tersebut merupakan SOP atau pedoman tentang pengadaan barang. Kemudian di dalam SK
tersebut  tidak  ada  ketentuan  dan  tidak  ada  keharusan  untuk  survei  barang  atau survei kelapangan, maka jika tidak dilakukan survei tidak ada perbuatan melawan
hukum. Unsur  menyalahgunakan  kewenangan  dalam  kasus  ini  sudah  terpenuhi
berdasarkan  fakta  yang  terungkap  dipersidangan,  perbuatan  terdakwa  yang  tidak melakukan survei secara langsung mengakibatkan perbedaan spesifikasi dan tetap
menyetujui  serta  menerima  flame  tube  tersebut.  Hal  ini  dapat  dianggap  sebagai penyaahgunaan  wewenang. Namun,  walaupun  demikian  sangat disayangkan bagi
majelis hakim tidak mempertimbangkan mengenai SK direksi No 100 dan No 200
Universitas Sumatera Utara
yang seharusnya
menjadi dasar
bagi  terdakwa  untuk  melaksanakan kewenangannya dalam hal untuk membuat syarat teknis tersebut.
Pertimbangan hakim selanjutnya yang menarik untuk diperhatikan adalah unsur  dapat  merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara.  Jenis-jenis
keuangan  negara  diatur  dalam  pasal  2  uu  No  17  Tahun  2003  tentang  keuangan negara, meliputi berikut ini :
142
a. Hak  negara  untuk  memungut  pajak,  mengeluarkan  dan  mengedarkan  uang,
dan melakukan pinjaman; b.
Kewajiban  negara  untuk  menyelenggarakan  tugas  layanan  umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa  uang,  surat  berharga,  piutang,  barang,  serta  hak-hak  lain  yang  dapat dinilai  dengan  uang,  termasuk  kekayaan  yang  dipisahkan  pada  perusahaan
negaraperusahaan daerah; h.
Kekayaan  pihak  lain  yang  dikuasai  oleh  pemerintah  dalam  rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan  atau kepentingan umum;
i. Kekayaan  pihak  lain  yang  diperoleh  dengan  mengginakan  fasilitas  yang
diberikan pemerintah.
142
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan  merugikan adalah  sama artinya  dengan  menjadi rugi  atau  menjadi  berkurang,  sehingga  dengan  demikian  yang  dimaksudkan
dengan  unsur  merugikan  keuangan  negara  adalah  sama  artinya  dengan  menjadi ruginya  keuangan  negara  atau  berkurangnya  keuangan  negara.  Adapun  yang
dimaksud  dengan  keuangan  negara,  didalam  penjelasan  umum  undang – undang
No  31  Tahun  1999  disebutkan  bahwa  keuangan  negara  adalah  seluruh  kekayaan negara  dalam  bentuk  apapun  yang  dipisahkan  atau  yang  tidak  dipisahkan
termasuk  di  dalamnya  segala  bagian  kekayaan  negara  dan  segala  hak  dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada  dalam  penguasaan,  pengurusan,  dan  pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di Daerah b.
Berada  didalam  penguasaan,  pengurusan,  dan  pertanggungjawaban Badan  Usaha  Milik  NegaraBadan  Usaha  Milik  Daerah,  yayasan,
badan  hukum  dan  perusahaan yang  menyertakan  modal  negara, atau perusahaan  yang  menyertakan  modal  pihak  ketiga  berdasarkan
perjanjian dengan negara. Di  dalam  penjelasan  umum  UU  no  31  tahun  1999  disebutkan  bahwa  yang
dimaksud  dengan  perekonomian  negara  adalah  kehidupan  perekonomian  yang disusun  sebagai  usaha  bersama  berdasarkan  asas  kekeluargaan  ataupun  usaha
masyarakat  secara  mandiri  yang  didasarkan  pada kebijaksanaan pemerintah,  baik di  tingkat  pusat  maupun  di  daerah  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang
Universitas Sumatera Utara
undangan  yang  berlaku  yang  bertujuan  memberikan  manfaat,  kemakmuran,  dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
143
Unsur  dapat  merugikan  keuangan  negara  atau  perekonomian  negara secara  teoritis,  kata  dapat  berarti  kerugian  negara  dapat  berarti  secara  nyata  dan
real  dan dapat  pula tidak atau hanya  berbentuk  potensial lose.  Potensi terjadinya kerugian  negara  akibat  tindakan  orang  perorangan,  korporasi,  pegawai  negeri,
atau pejabat  sudah dapat  dikategorikan  sebagai  merugikan keuangan  negara atau pereko
nomian negara, karena kata “dapat” fakultatif sifatnya bukan imperatif. Jika  kerugian  negara  bisa  dalam  bentuk  potensial  lose,  maka  unsur
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“ bertentangan atau tidak konsisten dengan unsur “dengan  tujuan  menguntungkan diri  sendiri, orang
lain  atau  suatu  korporasi”.  Sebab  unsur  ini  mengisyaratkan  bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materiel kekayaan
dari  pejabat  atau  pegawai  negeri,  orang  lain,  atau  suatu  koporasi  itu  menjadi bertambah  dengan  adanya  penyalahgunaan  wewenang.  Adanya  penambahan
kekayaan pada mereka disatu sisi, disisi lain keuangan negara atau perekonomian negara  telah  mengalami  kerugian.  Sehingga  dengan  sendirinya,  merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara secara materiel harus ada dan mutlak harus dibuktikan tidak cukup dengan potensial lose semata.
144
Pembahasan  mengenai  kerugian  keuangan  negara  tidak  lepas  dari pembahasan  mengenai  pejabat  berwenang  yang  dapat  menghitung  jumlah
kerugian keuangan negara, yaitu:
143
Wiyono, Op.Cit, Halaman 41
144
Ibid, Halaman 119-120
Universitas Sumatera Utara
1. Badan Pemeriksaan Keuangan BPK
Sesuai dengan pasal 2 ayat 2 UU No. 152004, dinyatakan bahwa “BPK melaksanakan  pemeriksaan  atas  pengelolaan  dan  tanggung  jawab  kerugian
negara”.  Berdasarkan  ketentuan  ini  maka  lembaga  yang  berwenang  untuk melaksanakan  pemeriksaan  adalah  Badan  Pemeriksaan  Keuangan  BPK  RI.
Dalam  menjalankan  kewenangannya,  BPK  melakukan  pemeriksaan  yang dilakukan BPK adalah melakukan perhitungan kerugian negara.
Pasal  13  UU  No.  152004  menyatakan  bahwa  “Pemeriksa  dapat melaksanakan  pemeriksaan  investigatif  guna  mengungkap  adanya  indikasi
kerugian negaradaerah dan atau unsur pidana”. Yang dimaksud pemeriksa pada pasal 13 tersebut, sesuai pasal 1 angka 3, adalah “orang yang melaksanakan tugas
pemeriksaan  pengelolaan  dan  tangung  jawab  keuangan  negara  untuk  dan  atas nama  BPK”.  Oleh  karenanya,  siapapun  yang  melaksanakan  pemeriksaan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara harus untuk dan atas nama BPK RI.
2. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP
Mulanya  landasan  hukum  yang  memberikan  kewenangan  BPKP  untuk dapat  melakukan  pemeriksaan  adalah  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia
Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan  Pengawasan  Keuangan  dan  Pembangunan “Keppres  No.  311983”,  dimana  berdasarkan  Pasal  3  huruf  J,  L,  N,  O  dan
khususnya  Pasal  22  sampai  dengan  Pasal  24  dari  Keppres  No.  311983 memberikan  kewenangan  kepada  BPKP  untuk  melakukan  pemeriksaan  atas
BUMN. Perlu disampaikan bahwa Keppres No. 311983 pada saat ini sudah tidak
Universitas Sumatera Utara
berlaku  lagi,  lebih  tepatnya  sejak  tanggal  27  maret  2001  dengan  dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,  susunan  organisasi  dan  tata  kerja  lembaga  pemerintah  non
departemen  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah  terakhir  dengan  keputusan presiden  nomor  16  tahun  2001  “Keppres  No.  422001”  tertanggal  27  maret
2001. Jadi, setelah  dikeluarkannya keppres tersebut  BPKP tidak lagi  mempunyai kewenangan  secara  hukum  atas  kegiatan  pemeriksaan,  apalagi  pemeriksaan  atas
BUMN. Keputusan  Presiden Republik Indonesia Nomor 166 tahun 2000 tentang
kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah  non  departemen  “Keppres  No.  1662000”,  BPKP  diklasifikasikan
sebagai  lembaga  pemerintah  non  departemen  “LPND”.  Dalam  Keppres  No. 1662000 tersebut dinyatakan bahwa tugas, fungsi dan kewenangan BPKP adalah
melakukan  evaluasi  dan  menyiapkan  kebijakan  nasional  sehubungan  dengan keuangan  dan  pembangunan.  Keppres  No.  1662000  tidak  mencantumkan  lagi
pemeriksaan  sebagai  salah  kewenangan  BPKP.  Selanjutnya  pada  setiap  tahun dilakukannya  perubahan  lagi  atas  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  yang
menyangkut  LPND  tersebut,  dimana  pada  tahun  2001  melalui  Keppres  No. 422001  tanggal  27  maret  2001,  Keppres  No.  311983  yang  menjadi  dasar
kewenangan pemeriksaan BPKP dinyatakan tidak berlaku seperti yang dinyatakan pada pasal 112 Keppres No. 422001 tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan  perundang-undangan  yang  terakhir  yang  menjadi  dasar pelaksanaan  tugas  BPKP  adalah  Peraturan  Pemerintah  Nomor  60  Tahun  2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah “PP SPIP”. Sesuai dengan Pasal 1  angka  2  PP  SPIP  tersebut,  Sistem  Pengendalian  Intern  Pemerintah  SPIP
didefinis ikan  sebagai  “Sistem  Pengendalian  Intern  yang  diselenggarakan  secara
menyeluruh  dilingkungan  Pemerintah  Pusat  dan  Pemerintah  daerah”.  Untuk memelihara  sistem  pengendalian  yang  baik  maka  diperlukan  aparat  pengawasan
intern pemerintah seperti yang diatur pada Pasal 49 ayat 1 PP SPIP yang terdiri atas:
a. BPKP;
b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern; c.
Inspektorat provinsi; dan d.
Inspektorat KabupatenKota. Selanjutnya,  ayat  2  dalam  pasal  yang  sama  menyatakan  bahwa  BPKP
melakukan  pengawasan  intern  terhadap  akuntabilitas  keuangan  negara  atas kegiatan tertentu yang meliputi:
a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. Kegiatan  kebendaharaan  umum  negara  berdasarkan  penetapan  oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan c.
Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden. Berdasarkan  PP  SPIP,  salah  satu kewenangan BPKP adalah  melakukan
audit,  baik  audit  kinerja  maupun  audit  dengan  tujuan  tertentu,  seperti  yang
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan  dalam  Pasal  50  PP  SPIP  bahwa  Audit  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 48 ayat 2 terdiri atas:
a. Audit kinerja; dan
b. Audit dengan tujuan tertentu.
Namun demikian, PP SPIP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 58 ayat 2 UU Perbendaharaan Negara yang lingkupnya adalah instansi pemerintah pusat
dan  daerah.  Hal  ini  berarti  pula  bahwa  lingkup  PP  SPIP  juga  berkenaan  dengan instansi  pemerintah  pusat  dan  daerah.  Untuk  menegaskan,  Pasal  1  angka  2  PP
SPIP  menatakan  bahwa  “  Sistem  Pengendalian  Intern  Pemerintah,  yang selanjutnya  disingkat  SPIP,  adalah  Sistem  Pengendalian  Intern  yang
diselenggarakan  secara  menyeluruh  di  lingkungan  pemerintah  pusat  dan pemerintah  daerah”.  Tidak  ada  satu  pasal  pun  dalam  PP  SPIP  ini  yang
memberikan  kewenangan  kepada  BPKP  untuk  melakukan  pemeriksaan  atas BUMN.
Namun  demikian,  UU  15  tahun  2004,  menyatakan  bahwa  institusi  yang berwenang
untuk melakukan
pemeriksaan atas
pengelolaan dan
pertanggungjawaban  keuangan  negara  adalah  Badan  Pemeriksaan  Keuangan Republik Indonesia BPK RI. Oleh karenanya, bila laporan BPKP akan dijadikan
dasar  yang  sah  untuk  menentukan  adanya  kerugian  negara,  maka  laporan  BPKP tersebut hanya menyatakan secara jelas dalam laporannya bahwa:
a. Menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara SPKN dan
b. Merupakan pelaksanaan pekerjaan untuk dan atas nama BPK RI
Universitas Sumatera Utara
Bila  kedua  hal  tersebut  tidak  ada  dalam  laporan  BPKP,  maka  laporan BPKP tersebut dapat  digunakan sebagai  dasar dalam  penentuan adanya kerugian
negara. Berdasarkan  hal  diatas  walaupun  BPKP  mempunyai  kewenangan
kembali  untuk  melakukan  pemeriksaan  namun  dibatasi  baik  kegiatannya  seperti pada  pasal  49  ayat  2  PP  SPIP  diatas  maupun  jenis  pemeriksaannya.  Namun
demikian,  tidak  ada  satupun  peraturan  yang  memberikan  kewenangan  kepada BPKP untuk dapat melakukan pemeriksaan atas BUMN.
Majelis  hakim  dalam  perkara  ini  keliru  mempertimbangkan  perhitungan kerugian keuangan negara berdasarkan total lose only karena sesuai dengan fakta-
fakta hukum yang ada Flame Yube yang dibeli telah dipergunakan selama 2 tahun barulah  kemudian  mengalami  kerusakan.  Selain  itu,  majelis  hakim  juga  keliru
telah  mempertimbangkan  perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini yang  dilakukan  oleh  BPKP  karena  sebenarnya  badan  tersebut  tidak  berhak
menghitung  kerugian  keuangan  negara  apalagi  dalam  BUMN.  Badan  yang sebenarnya  berhak  mengghitung  kerugian  keuangan  negara  ialah  BPK  RI  sesuai
dengan yang tercantum  dalam Pasal 2 ayat 2 UU No 15 tahun 2004. Walaupun demikian  unsur  kerugian  keuangan  negara  terpenuhi  dalam  perkara  ini  oleh
karena  alasan  rusaknya  Flame  Tube  terjadi  akibat  dari  berbedanya  Flame  Tube yang disuplai dengan Flame Tube yang dibutuhkan.
Dalam  dakwaan  subsidair  yang  di  dakwakan  kepada  terdakwa  Penuntut umum juga mendakwakan Pasal 55 ayat 1 KUHP yang berbunyi :
Universitas Sumatera Utara
“Dipidana  sebagai  pelaku  tindak  pidana  orang  yang  melakukan, yangm
enyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan“. dari  rumusan  Pasal  55  ayat  1  ke-1  KUHP  tersebutterdapat  3  tiga
bentuk penyertaan, yaitu : 1.
Orang yang melakukan  pleger  ; 2.
Orang yang menyuruh melakukan  doen pleger  ; 3.
Orang yang turut serta melakukan medepleger  ; pengertian  “orang  yang  melakukan”  adalah  jikaseseorang  melakukan
sendiri  perbuatannya,  dan  “orang  yang  menyuruhmelakukan”  adalah  jika  ada seseorang yang menyuruh orang lain untukmelakukan suatu perbuatan, sedangkan
pada “orang yang turut serta melakukan”adalah jika ada dua atau lebih orang yang melakukan  perbuatan  dan  adakesadaran  dalam  bekerja  sama  untuk  melakukan
perbuatan  serta  ada  hubunganyang  erat  antara  perbuatan  yang  satu  dengan perbuatan  yang  lainnya,  sehinggahal ini  d
isebut pula “ bersama-sama melakukan “.
Berdasarkan  fakta-fakta  hukum  dipersidangan  bahwa  terdakwa  telah mengetahui  perbedaan  design  Flame  Tube  Baru  dengan  Flame  Tube  Existing
namun tetap menyetujui dan menerima Flame Tube sulaian Yuni selaku Direktur Cv. Sri  Makmur  dan  memberikan paraf pada Berita  Acara Serah Terima  Barang
yang  mana  Berita  Acara  Serah  terima  Barang  Tersebut  digunakan  Untuk Melakukan  Pembayaran  Kepada  Yuni  yang  berpotensi  tejadinya  Kerugian
keuangan Negara.
Universitas Sumatera Utara
Peran  terdakwa  yang  demikian  merupakan  turut  serta  dalam  melakukan suatu perbuatan sehingga unsur dalam pasal 55 ayat 1 KUHP ini telah terpenuhi.
II.  Tentang Putusan
Putusan  Pengadilan  Negeri  Medan  No.94Pid.sus.K2013PN.Mdn  yang menjatuhkan putusan terhadap terdakwa sebagai berikut :
1. Menyatakan  Terdakwa  ir.  fahmi  rizal  lubis,  tidak  terbukti  secara  sahdan
meyakinkan  bersalah  melakukan  tindak  pidana  sebagaimanadidakwakan dalam Dakwaan Primair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair;
3. Menyatakan  Terdakwa  Ir.  FAHMI  RIZAL  LUBIS,  telah  terbukti  secara
sahdan  meyakinkan  bersalah  melakukan  tindak  pidana”Korupsi  “ secarabersama-sama;
4. Menjatuhkan  pidana  kepada  Terdakwa  oleh  karena  itu  dengan
pidanapenjara  selama  :  9  sembilan  tahun  dan  pidana  denda  sebesar Rp.700.000.000,-  tujuh  ratus  juta  rupiah,  dengan  ketentuan  jika
dendatersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama 6enambulan;
5. Menetapkan
masa penahanan
yang telah
dijalani Terdakwa
dikurangkanseluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6.
Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 7.
Memerintahkan  barang  bukti  yang  terlampir  Nomor  urut  1  sampai  dengan Nomor urut 70 diserahkan kepada  Kejaksaan Negeri Medan untuk menjadi
alat bukti dalam perkara ini;
Universitas Sumatera Utara
8. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5000 Lima Ribu
Rupiah hal  yang  perlu  diperhatikan  dalam  putusan  hakim  pengadilan  Negeri
Medan  No  94Pid.Sus.K2013PN.Mdn  adalah  mengenai  pidana  penjara  yang dijatuhkan kepada terdakwa selama 9 sembilan tahun dan pidana denda sebesar
Rp. 700.000.000,- Tujuh Ratus Juta Rupiah. Majelis  hakim  keliru  dalam  menjatuhkan  lamanya  pidana  penjara  yang
diberikan  kepada  terdakwa  dikarenakan  tidak  mempertimbangkan  semua  fakta- fakta  hukum  yang  terdapat  dalam  peradilan,  serta  tindak  pidana  korupsi
merupakan  delik  formil  yaitu  tindak  pidana  yang  dilihat  berdasarkan perbuatannya  bukan  akibatnya,  perbuatan  dari  terdakwa  merupakan  perbuatan
lalai  karena  tidak  melakukan  survei  terlebih  dahulu,  dikatakan  perbuatan  lalai karena  keharusan  melakukan  survei  tidak  diatur  secara  jelas  dalam  SK  Direksi
PT.PLN No.100 dan No.200. Pidana  pokok  dalam  Undang-undang  Tindak  Pidana  Korupsi  antara  lain
berupa  pidana  mati,  pidana  denda,  dan  pidana  penjara.  Pidana  mati  terdapat  di dalam  pasal  2  ayat  2  UU  No.  31  Tahun  1999  menyatakan  bahwa“dalam
haltindak  pidana  korupsi  sebagaimana  keadaan  tertentu  pidana  mati dapatdijatuhkan”.  Sedangkan  pidana  penjara  dan  pidana  denda  terdapat  dalam
pasal 2 ayat 1,  Pasal 3, Pasal 5 sampai  pada Pasal 24. Lamanya pidana  penjara mulai    berkisar  mulai  15  tahun  sampai  seumur  hidup.  Sedangkan  banyaknya
pidana denda paling banyak 1 miliar.
Universitas Sumatera Utara
Ide  dasar  pemidanaan  yang  digunakan  untuk  menerapkan  sanksi  pidana terhadap  para  pelaku  korupsi  dalam  UU  Pemberantasan  Tidak  Pidana  Korupsi
adalah  Teori  Retributifteori  absolutteori    pembalasan  dan  teori  relatifteori tujuanteori utilitarian.  Karena  dalam proses   pemberantasannya  masih  menganut
prinsip  pembalasan,  yaitu  dengan  memberikan  sanksi  pidana  penjara  sebagai bentuk  pembalasan  akan  kejahatan  korupsi  yang  dilakukannya.  Kemudian
mengenai  teori  tujuan,  karena  dalam    proses  pemberantasannya  juga  memliki tujuan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi yang melakukan kejahatan
korupsi,  misalnya  dengan  merampas  aset  atau  memiskinkan  pelaku  kejahatan korupsi dan menjatuhkan sanksi pidana denda kepada pelaku korupsi. Jadi dalam
penerapannya  di  Indonesia  dalam  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  sanksi pidana  yang  diterapkan  bersifatDouble  Track  System  atau    pemidaan  dua  jalur,
yaitu  sanksi  pidana  penjara  dan  sanksi  pidana  denda.  Dengan  kata  lain  sanksi pidananya bersifat kumulatif atau penggabungan.
145
Pidana penjara merupakan salah satu pemidanaan yang dijatuhkan untuk pelaku  tindak  pidana  korupsikarena  sebagai  dasar  pertanggungjawaban  pidana
atas  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  seorang  koruptor  selain  itu  juga  berfungsi untuk menciptakan efek jera agar tidak terulang lagi perbuatan yang sama. Namun
penjatuhan pidana penjara ditentukanoleh  hati nurani majelis hakim berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dipersidangan.
Hal  terakhir  yang  perlu  diperhatikan  dalam  putusan  majelis  hakim pengadilan  negeri  medan  adalah  penentuan  pidana  denda  terhadap  terdakwa.
145
Analisis  Ekonomi  Atas  Hukum  Pidana  Mengenai  Sanksi  Pidana  Yang  Efektif  Dan Efisien  Bagi  Pelaku  Tindak  Pidana  Korupsi,  https:www.academia.edu6880063,  Diakses  pada
tanggal 19 Juni 2015 Pukul 17.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
Carut  marutnya  pidana  denda  yang  diatur  dalam  undang-undang  tindak  pidana korupsi  telah  menunjukkan  kelemahan  dari  strategi  pemberatasan  korupsi
sekaligus membuka celah lebar masyarakat untuk melakukan korupsi. Salah  satu  hukuman  yang  tepat  diberikan  kepada  pelaku  tindak  pidana
korupsi  adalah  hukuman  denda  Hal  ini  didasarkan  karena    biaya  untuk mengumpulkan denda dari seseorang yang bisa membayarnya adalah lebih rendah
lebih  murah  daripada  biaya  untuk  memenjarakannya.  Sehingga  akhirnya, membebankan  denda  terhadap  pelaku  akan  memberikan  keuntungan  terhadap
negara, serta tetap memberikan efek jera terhadap pelaku. Majelis  hakim  dalam  menentukan  besarnya  pidana  denda  terhadap
terdakwa  kurang  tepat  jika  mengingat  perbuatan  terdakwa  berakibat  merugikan keuangan  negara,  pasal  3  Undang-undang  tindak  pidana  korupsi  manyatakan
pidana  denda  paling  sedikit  adalah  Rp.  50.000.000,-  Lima  Puluh  Juta  Rupiah dan  paling  banyak  Rp.  1.000.000.000,-  Satu  Miliyar  Rupiah  .  Korupsi  yang
dilakukan  mengakibatkan  kerugian  keuangan  negara  yang  sangat  besar seharusnya  majelis  hakim  menetapkan  maksimal  pidana  denda  yang  tercantum
pada pasal 3 kepada terdakwa agar tujuan pemidanaan itu terwujud dalam putusan ini
Dalam  pemidanaan  terdapat  asas  Ex  Falso  Quo  Libet  yang  artinya  jika dalam  pemeriksaan  digunakan  konsep  yang  keliru  dan  sesat  dalam  mengambil
kesimpulan  yang  dikhawatirkan dalam  pengambilan putusan tersebut akan keliru dan  sesat.  Perlu  disampaikan  bahwa  putusan  incracht  dalam  kasus  ini  adalah
putusan  pada  tingkat  banding  sebagai  upaya  hukum  pada  tingkat  sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
yaitu  putusannya  Pengadilan  Tinggi  No  19Pid.sus.K2014PT-MDN.  Majelis Hakim  pada  tingkat  banding  ini  dalam  putusannya  mengadili  terdakwa  sebagai
berikut : 1.
Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa; 2.
Menguatkan Putusan
Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi
pada pengadilanNegeri
Medan tanggal
10 Maret
2013, No.
94Pid.Sus.K2013PN-Mdn,yang dimintakan banding; 3.
Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan; 4.
Membebankan  biaya  perkara  kepada  Terdakwa  dalam  keduatingkat peradilan,  sedang  ditingkat  Banding  ditetapkan  sebesarRp.  5.000,-  lima
ribu rupiah; Seharusnya  majelis  hakim  tingkat  Judec  Factie    tidak  menerima  sepenuhnya
putusan  Pengadilan  Negeri  Medan,  melainkan  harus  mempertimbangkan  fakta - fakta  hukum  yang  ada.  Dalam  hal  ini  majelis  hakim  pengadilan  tinggi  harus
mempertimbangkan  lagi  mengenai  unsur  kerugian  negara,  terutama  mengenai penghitungan kerugian negara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A.  Kesimpulan