Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara

Korupsi, pasal 1 dan 2 Undang-Undang Keuangan Negara serta Undang-Undang Pembendaharaan Negara.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara

Pengertian atau definisi kerugian negara ditegaskan dalam pasal 1 butir 22 undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Dalam hukum pidana, pengertian tersebut termasuk delik materiil karena memberi syarat adanya kerugian negara yang benar-benar nyatanya dan pasti jumlahnya yaitu adanya kata “sebagai akibat perbuatan melawan hukum”. 100 Kerugian negara yang dianut dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi menganut delik formil, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat. 101 Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut: Pasal 2: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau 100 Marwan Mas, Op.Cit, Halaman 48 101 Ibid. Universitas Sumatera Utara perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun paling lama 20 dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.” Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.” Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut: 102 1. Setiap orang; 2. Secara melawan hukum; 3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut: 102 Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19. Universitas Sumatera Utara 1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut: 1 Penjelasan Pasal 2 UU PTPK Penjelasan pasal 2 UU PTPK, tidak hanya dijelaskan dalam undang-undang. Banyak para ahli yang menjelaskan unsur-unsur dalam pasal 2 UU PTPK, yaitu : 103 1 Setiap orang Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi. 104 Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 105 2 Secara melawan hukum Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun 103 Mahrus ali, opcit, halaman 95-100 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3 105 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1 Universitas Sumatera Utara apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 106 a Sifat melawan hukum formil Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku hukum tertulis. Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana telah terpenuhi. 107 b Sifat melawan hukum materil Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat sebagai 106 Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1. 107 D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39 Universitas Sumatera Utara perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah dipandang tercela oleh masyarakat. Sifat melawan hukum materil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu. 108 Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. 109 Loebby Logman menggariskan arti negatif dari perbuatan melawan hukum secara materil, dengan menyatakan, 110 melawan hukum secara materil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materil tidak melawan hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana. Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil. 108 D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41 109 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 7 110 Juniver Girsang, Abuse Of Power Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing, 2012, Halaman 14 Universitas Sumatera Utara Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang mengandung asas legalitas didalamnya. Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003PUU-IV2006 sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 111 3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi 111 Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil materiels wederechtlijk, yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Universitas Sumatera Utara Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta uang dan sebagainya,” demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. 112 Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat 1 sub a adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2 yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 37 ayat 4 UU PTPK Tahun 1999 Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata- kata “….kekayaan yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 113 a Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya 112 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177 113 Ibid, halaman 178 Universitas Sumatera Utara memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara. b Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret. c Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa. 4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara Kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan atau perekonomian negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun Universitas Sumatera Utara 1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Adami Chazawi dalam Mahrus Ali mengatakan, 114 bahwa kerugian keuangan bagi negara atau perekonomian negara bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tindak pidana korupsi pasal 2 ayat 1 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan melawan hukum tersebut. 115 Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 116 a Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah; b Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. 114 Ibid. Halaman 107 115 Ibid. 116 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Universitas Sumatera Utara 2 Penjelasan Pasal 3 UU PTPK 1. menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini berarti seseorang tidak harus mendapatkan banyak uang, namun cukup apabila dengan mendapatkan sejumlah uang yang dari uang tersebut seseorang akan memperoleh keuntungan dari padanya walaupun sedikit.memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. 117 Nur Basuki Minarno dalam mahrus ali mengatakan, 118 bahwa perumusan “memperkaya diri sendiri....” pada pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi dengan “tujuan menguntungkan....” pada pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi mempunyai pengertian yang sama identik yakni kedua unsur delik tersebut dirumuskan secara materil. 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Sebagaimana “melawan hukum” dalam pasal 2 ayat 1 sebagai bestanddeel delict, penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 juga sebagai bestanddeel delict . Konsekuensinya, jika unsur “penyalahgunaan wewenang” ini tidak terbukti, maka terhadap penyelenggara negara pegawai negeri yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai menyalahgunakan wewenang. 119 Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, itulah yang disebut menyalahgunakan kewenagan. Artinya, 117 Mahrus Ali, Op.Cit, Halaman 112 118 Ibid. 119 Ibid. Halaman 113 Universitas Sumatera Utara menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara salah pada ketentuan-ketentuan tersebut. 120 Orang yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatan- perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan bertentangan dengan tugas pekerjaannya, maka disini telah terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan. Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan 120 R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39 Universitas Sumatera Utara yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya” tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan dengan jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya. Dengan demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya. 4. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Secara teoritis kata dapat berarti kerugian negara dapat terjadi secara nyata dan rial dan dapat pula tidak atau hanya berbentuk potensial lose. Potensi terjadinya kerugian keuangan negara akibat tindakan orang perorangan, korporasi, pegawai negeri, atau pejabat sudah dapat dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, karna kata “dapat” fakultatif sifatnya, bukan imperatif. 121 121 Ibid. Halaman 119 Universitas Sumatera Utara Kerugian negara bisa dalam bentuk potensial lose, maka unsur “dapat merugikan kerugian negara atau perekonomian negara” bertentangan atau tidak konsisten dengan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri,orang lain atau suatu korporasi”. Sebab unsur ini mensyaratkan bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materil kekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, orang lain, atau suatu korporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang. 122

3. Pengadaan Barang yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29