Korupsi, pasal 1 dan 2 Undang-Undang  Keuangan Negara serta  Undang-Undang Pembendaharaan Negara.
2.  Unsur-Unsur  Tindak  Pidana  Korupsi  Terkait  dengan  Kerugian Keuangan Negara
Pengertian  atau  definisi  kerugian  negara  ditegaskan  dalam  pasal  1  butir 22  undang-undang  nomor  1  tahun  2004  tentang  pembendaharaan  negara  adalah
kekurangan  uang,  surat  berharga,  dan  barang,  yang  nyata  dan  pasti  jumlahnya sebagai  akibat  perbuatan  melawan  hukum,  baik  sengaja  maupun  lalai.  Dalam
hukum pidana, pengertian tersebut termasuk delik materiil karena memberi syarat adanya  kerugian  negara  yang  benar-benar  nyatanya  dan  pasti  jumlahnya  yaitu
adanya kata “sebagai akibat perbuatan melawan hukum”.
100
Kerugian  negara  yang  dianut  dalam  undang-undang  nomor  31  tahun 1999  yang  diubah  dengan  undang-undang  nomor  20  tahun  2001  tentang
pemberatasan  tindak  pidana  korupsi  menganut  delik  formil,  yaitu  tindak  pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah
terpenuhi, tanpa  memperhitungkan timbulnya  suatu akibat.
101
Unsur-unsur tindak pidana  korupsi  tidak  akan  terlepas  dari  unsur-unsur  yang  terdapat  dalam  Pasal  2
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:
Pasal 2: “Setiap  orang  yang  secara  melawan  hukum  melakukan
perbuatan  memperkaya  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu korporasi  yang  dapat  merugikan  keuangan  Negara  atau
100
Marwan Mas, Op.Cit, Halaman 48
101
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup  atau  pidana  penjara  paling  singkat  4  empat  tahun
paling lama 20 dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau  orang  lain  atau  suatu  korporasi,  menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan  atau  kedudukan  yang  dapat  merugikan  keuangan Negara  atau  perekonomian  Negara,  dipidana  dengan  pidana
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan  paling  lama  20  dua  puluh  tahun  dan  atau  denda  paling
sedikit  lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  satu  milyar rupiah.”
Firman  Wijaya  menguraikan  unsur-unsur  delik  korupsi  yang  terdapt dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:
102
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Sementara  itu,  dalam  Pasal  3  UU  PTPK  tersebut  unsur-unsur  deliknya adalah sebagai berikut:
102
Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19.
Universitas Sumatera Utara
1. Dengan  tujuan  menguntungkan  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu
korporasi; 2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1 Penjelasan Pasal 2 UU PTPK
Penjelasan  pasal  2  UU  PTPK,  tidak  hanya  dijelaskan  dalam  undang-undang. Banyak  para  ahli  yang  menjelaskan  unsur-unsur  dalam  pasal  2  UU  PTPK,  yaitu
:
103
1 Setiap orang
Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi  ini  adalah  merupakan  orang  perseorangan  atau  termasuk  korporasi.
104
Berdasarkan  pengertian  tersebut,  maka  tindak  pidana  korupsi  dapat  disimpulkan menjadi  orang  perseorangan  selaku  manusia  pribadi  dan  korporasi.  Korporasi
yang  dimaksudkan  disini  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
105
2 Secara melawan hukum
Pengertian  secara  melawan hukum dalam pasal  ini  mencakup perbuatan melawan  hukum  dalam  arti  formil  maupun  dalam  arti  materil,  yakni  meskipun
perbuatan  tersebut  tidak  diatur  dalam  peraturan  perundang-undangan,  namun
103
Mahrus ali, opcit, halaman 95-100
104
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20  Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3
105
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20  Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1
Universitas Sumatera Utara
apabila  perbuatan  tersebut  dianggap  tercela  karena  tidak  sesuai  dengan  rasa keadilan  atau  norma-norma  kehidupan  sosial  dalam  masyarakat,  maka  perbuatan
tersebut dapat dipidana.
106
a Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum  secara formil adalah apabila perbuatan  tersebut  bertentangan  dengan  ketentuan  perundang-undangan  yang
berlaku hukum tertulis.  Maka,  suatu perbuatan bersifat  melawan  hukum  adalah apabila  telah  terpenuhi  unsur-unsur  yang  telah  disebutkan  dalam  rumusan  delik.
Dengan  demikian,  jika  semua  unsur-unsur  tersebut  telah  terpenuhi,  maka  tidak perlu  lagi  diselidiki  apakah  perbuatan  tersebut  dirsakan  sebagai  perbuatan  yang
tidak patut dilakukan. D.  Schaffmeister  mengemukakan  bahwa  ssifat  melawan  hukum  dalam
arti  formil  bermakna  bahwa  suatu  perbuatan  telah  memenuhi  semua  rumusan delik  dari  undang-undang.  Dengan  kata  lain  terdapatnya  melawan  hukum  secara
formil apabila  semua bagian yang tertulis  dari rumusan  suatu tindak pidana telah terpenuhi.
107
b Sifat melawan hukum materil
Pengertian  melawan  hukum  secaara  materil  adalah  bahwa  suatu perbuatan  disebut  sebagai  perbuatan  melawan  hukum  tidaklah  hanya  sekedar
bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil,  perbuatan  tersebut  haruslah  benar-benar  dirsakan  masyarakat  sebagai
106
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31  Tahun 1999  Tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1.
107
D.  Schaffmeister  et.al.  Hukum  Pidana,  Yogyakarta:  Liberti,  Cetakan  ke-3,  2004, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
perbuatan  yang  tidak  patut  dilakukan.  Dengan  demikian,  suatu  perbuatan dikatakan  sebagai  melawan  hukum  apabila  perbuatan  tersebut  telah  dipandang
tercela oleh masyarakat. Sifat  melawan  hukum  materil  berarti  suatu  tindak  pidana  itu  telah
melanggar  atau  membahayakan  kepentingan  umum  yang  hendak  dilindungi  oleh pembentuk  undang-undang  dalam  rumusan  tindak  pidana  tertentu.
108
Bersifat melawan  hukum  materil  bahwa  tidak  hanya  bertentangan  dengan  hukum  yang
tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
109
Loebby  Logman  menggariskan  arti  negatif  dari  perbuatan  melawan hukum  secara  materil,  dengan  menyatakan,
110
melawan  hukum  secara  materil haruslah  dipergunakan  secara  negatif,  ini  berarti  bahwa  apabila  terdapat  suatu
perbuatan  nyata-nyata  merupakan  hal  yang  melawan  hukum  secara  formil, sedangkan  di  dalam  masyarakat  perbuatan  tersebut  tidak  tercela,  jadi  secara
materil  tidak  melawan  hukum,  perbuatan  tersebut  seyogyanya  tidak  dijatuhi pidana.
Ajaran  melawan  hukum  secara  materil  hanya  mempunyai  arti  dalam mengecualikan  perbuatan-perbuatan  yang  meskipun  termasuk  dalam  rumusan
undang-undang  dan  karenanya  dianggap  sebagai  tindak  pidana.  Artinya,  suatu perbuatan  yang  dilarang  oleh  undang-undang  dapat  dikecualikan  oleh  aturan
hukum tidak tertulis  sehingga tidak menjadi  tindak pidana. Dengan kata lain,  hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.
108
D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41
109
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 7
110
Juniver  Girsang,  Abuse  Of  Power  Penyalahgunaan  Kekuasaan  Aparat  Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing, 2012, Halaman 14
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi
jika  masyarakat  memandang  sebagai  suatu  perbuatan  tercela  maka  perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan
untuk  dilakukan  mengingat  Pasal  1  Ayat  1  KUHP  yang  mengandung  asas legalitas didalamnya.
Mahkamah  Konstitusi  RI  dalam  Putusan  Nomor  003PUU-IV2006 sehubungan  dengan  sifat  melawan  hukum  materil  ini  menyatakan  bahwa
pengertian  melawan  hukum  materil  sebagaimana  yang  dirumuskan  dalam Penjelasan  Pasal  2  ayat  1  UU  PTPK  sepanjang  frasa  yang  berbunyi:
“yang dimaksud
dengan  “secara  melawan  hukum”  dalam  Pasal  ini  mencakup perbuatan  melawan  hukum  dala  arti  formil  maupun  dalam  arti  materiil,  yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila  perbuatan  tersebut  dianggap  tercela  karena  tidak  sesuai  dengan
rasa  keadilan  atau  norma-norma  kehidupan  sosial  dalam  masyarakat,  maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan  denga  Undang-Undang
Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  dan  oleh  karenanya  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
111
3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
111
Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep  melawan  hukum  materiil  materiels  wederechtlijk,  yang  merujuk  pada  hukum  tidak
tertulis  dalam  ukuran  kepatutan,  kehati-hatian  dan  kecermatan  yang  hidup  dalam  masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah  merupakan ukuran  yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari
satu  lingkungan  masyarakat  tertentu  ke  lingkungan  masyarakat  lainnya,  sehingga  apa  yang melawan hukum di satu tempat  mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang
sah  dan  tidak  melawan  hukum,  menurut  ukuran  yang  dikenal  dalam  kehidupan  masyarakat setempat.  Oleh  karenanya  penjelasan  Pasal  2  ayat  1  UU  PTPK  kalimat  pertama  tersebut,
merupakan  hal  yang  tidak  sesuai  dengan  perlindungan  dan  jaminan  kepastian  hukum  yang  adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
Secara  harfiah,  “memperkaya”  artinya  menjadikan  bertambah  kaya. Sedangkan  “kaya”  artinya  “mempunyai  banyak  harta  uang  dan  sebagainya,”
demikian  juga  dalam  Kamus  Umum  Bahasa  Indonesia  buah  tangan Poerwadarminta.  Dapat  disimpulkan  bahwa  memperkaya  berarti  menjadikan
orang  yang  belum  kaya  menjadi  kaya,  atau  orang  yang  sudah  kaya  menjadi bertambah kaya.
112
Berdasarkan  UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971,  yang  dimaksud  dengan  unsur  memperkaya  dalam  Pasal  1  ayat  1  sub  a
adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2 yang memberi kewajiban kepada
terdakwa  untuk  memberikan  keterangan  tentang  sumber  kekayaan  sedemikian rupa  sehingga  kekayaan  yang  tidak  seimbang  dengan  penghasilannya  atau
penambahan  kekayaan  tersebut  dapat  digunakan  untuk  memperkuat  keterangan saksi  lain  bahwa  telah  melakukan  tindak  pidana  korupsi.  Pasal  37  ayat  4  UU
PTPK Tahun 1999 Penjelasan  undang-undang  tersebut  terutama  kata-
kata  “….kekayaan yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak
pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
113
a Ketidak  mampuan  untuk  membuktikan  keseimbangan  antara  kekayaan  dan
pengahasilannya  tidak  otomatis  membuktikan  terdakwa  telah  melakukan perbuatan  korupsi,  yaitu  memperkaya  diri  sendiri,  tetapi  itu  hanya
112
Andi  Hamzah,  Pemberantasan  Korupsi  Melalui  Hukum  Pidana  Nasional  dan Internasional,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177
113
Ibid, halaman 178
Universitas Sumatera Utara
memperkuat keterangan  saksi  lain. Jadi  penuntut umum  harus  mencari bukti lain,  misalnya  keterangan  terdakwa  yang  mengatakan  bahwa  kekayaannya
yang  ada  yang  tidak  seimbang  dengan  penghasilannya  itu  diperoleh  sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki
keterangan  tersebut.  Apabila  diperoleh  keterangan  melalui  saksi-saksi  atau alat  bukti  lain  yang  menyatakan  keterangan  tertuduh  tidak  benar,  itu
merupakan  ketidakmampuan  terdakwa  untuk  membuktikan  sumber kekayaannya.  Ini  tidak  memadai  untuk  memidana  terdakwa.  Keterangan
tersebut  hanya  memperkuat  keterangan  saksi  lain,  misalnya  ada  keterangan yang  menyatakan  bahwa  terdakwa  pernah  menerima  komisi  atas  pesanan
barang yang diperuntukkan bagi negara. b
Menjadi keharusan
penuntut umum
untuk mengetahui
kemudian membuktikan  berapa  besar  penghasilan  terdakwa  yang  sesungguhnya  dan
berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret. c
Uraian  diatas  hanya  berlaku  jika  penuntut  umum  tidak  hanya  dapat membuktikan  suatu jumlah uang dan harta benda  secara pasti yang langsung
diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat  membuktikan  sejumlah  uang  dan  harta  benda  tertentu  yang  diperoleh
secara  langsung  dari  perbuatan  melawan  hukum  sebagai  suatu  hal  yang memperkaya terdakwa.
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara  dan perekonomian Negara
Kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan atau perekonomian negara”  yang  terdapat  dalam  penjelasan  Pasal  2  ayat  1  UU  Nomor  31  Tahun
Universitas Sumatera Utara
1999  yang  sebagaimana  diperbaharui  UU  No.  20  Tahun  2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan  delik  formil.  Dengan  demikian  adanya  tindak  pidana  korupsi  cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat. Adami  Chazawi  dalam  Mahrus  Ali  mengatakan,
114
bahwa  kerugian keuangan  bagi  negara  atau  perekonomian  negara  bukanlah  menjadi  syarat  untuk
terjadinya  tindak  pidana  korupsi  pasal  2  ayat  1  secara  sempurna,  melainkan akibat  kerugian  negara  dapat  timbul  dari  perbuatan  memperkaya  diri  dengan
melawan hukum tersebut.
115
Pengertian  keuangan  negara  sebagaimana  dalam  rumusan  delik  Tindak Pidana  Korupsi  di  atas,  adalah  seluruh  kekayaan  negara  dalam  bentuk  apapun
yang  dipisahkan  atau  tidak  dipisahkan,  termasuk  di  dalamnya  segala  bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
116
a Berada  dalam  penguasaan,  pengurusan  dan  pertanggung  jawaban  pejabat
Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah; b
Berada  dalam  penguasaan,  pengurusan  dan  pertanggungjawaban BUMNBUMD,  yayasan,  badan  hukum,  dan  perusahan  yang  menyertakan
modal  negara  atau  perusahaan  yang  menyertakan  modal  pihak  ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
114
Ibid. Halaman 107
115
Ibid.
116
Penjelasan  atas  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999    tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
2 Penjelasan Pasal 3 UU PTPK
1. menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi.
Unsur  ini  berarti  seseorang  tidak  harus  mendapatkan  banyak  uang, namun cukup apabila dengan mendapatkan sejumlah uang yang dari uang tersebut
seseorang akan
memperoleh keuntungan
dari padanya
walaupun sedikit.memperoleh  suatu  keuntungan  atau  menguntungkan  artinya  memperoleh
atau menambah kekayaan dari yang sudah ada.
117
Nur Basuki Minarno dalam mahrus ali mengatakan,
118
bahwa perumusan “memperkaya diri sendiri....” pada pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi
dengan  “tujuan  menguntungkan....”  pada  pasal  3  undang-undang  tindak  pidana korupsi  mempunyai  pengertian  yang  sama  identik  yakni  kedua  unsur  delik
tersebut dirumuskan secara materil. 2.
Menyalahgunakan  kewenangan,  kesempatan  atau  sarana  yang  ada  padanya karena jabatan atau kedudukan.
Sebagaimana  “melawan  hukum”  dalam  pasal  2  ayat  1  sebagai bestanddeel  delict,  penyalahgunaan  wewenang  dalam  pasal  3  juga  sebagai
bestanddeel  delict . Konsekuensinya,  jika unsur “penyalahgunaan  wewenang” ini
tidak  terbukti,  maka  terhadap  penyelenggara  negara  pegawai  negeri  yang  diduga melakukan  tindak  pidana  korupsi  tidak  dapat  lagi  dikategorikan  sebagai
menyalahgunakan wewenang.
119
Kewenangan  yang  digunakan  secara  salah  untuk  melakukan  perbuatan tertentu,
itulah yang
disebut menyalahgunakan
kewenagan. Artinya,
117
Mahrus Ali, Op.Cit, Halaman 112
118
Ibid.
119
Ibid. Halaman 113
Universitas Sumatera Utara
menyalahgunakan  kewenangan  dapat  didefinisikan  sebagai  perbuatan  yang dilakukan  oleh  orang  yang  sebenarnya  berhak  unutk  melakukannya,  tetapi
dilakukan  secara  salah  atau  diarahkan  pada  hal  yang  salah  dan  bertentangan dengan hukum atau kebiasaan.
Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dan tercantum  dalam ketentuan-ketentuan  tentang tata kerja yang
berkaitan  dengan  jabatan  atau  kedudukan  yang  dijabat  oleh  pelaku.  Pada umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan
dari  ketentuan-ketentuan  tentang  tata  kerja  atau  kesengajaan  menafsirkan  secara salah  pada  ketentuan-ketentuan  tersebut.
120
Orang  yang  karena  jabatan  atau kedudukannya  itu  mempunyai  peluang  atau  waktu  untuk  melakukan  perbuatan-
perbuatan  tertentu  berdasarkan  jabatan  atau  kedudukannya  itu  jika  digunakan untuk  melakukan  perbuatan  lain  yang  tidak  seharusnya  dia  lakukan  dan
bertentangan  dengan  tugas  pekerjaannya,  maka  disini  telah  terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam mencapai  tujuan.  Orang  yang  memiliki  jabatan  atau  kedudukan  juga  memiliki
sarana    atau  alat  yang  digunakan  untuk  mendukung  pelaksanaan  tugas  jabatan dengan  sebaik-baiknya.  Sarana  yang  ada  pada  dirinya  karena  jabatan  atau
kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi  tugas  dan  tanggungjawabnya,  tidak  digunakan  untuk  perbuatan  diluar
tujuan  yang  berhubungan  dengan  jabatan  atau  kedudukan.  Dikatakan  perbuatan
120
R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila seseorang  menggunakan  sarana  yang  ada  pada  dirinya  karena  jabatan  atau
kedudukan untuk tujuan-tujuan lain  diluar tujuan  yang  berhubungan  denga tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya
Apa  yang  dimaksud  dengan  “ada  padanya  karena  jabatan  atau kedudukannya”  tiada  lain  adalah  kewenangan,  kesempatan,  dan  sarana  karena
jabatan  atau  kedudukan  yang  dimiliki  seseorang.  Dengan  demikian,  antara keberadaan  kewenangan,  kesempatan,  atau  sarana  haruslah  memiliki  hubungan
dengan  jabatan  atau  kedudukan.  Jabatan  atau  kedudukan  menjadikan  seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan atau
kedudukan  tersebut.  Jika  jabatan  atau  kedudukan  tersebut  hilang,  maka  serta merta  juga  kewenangan,  kesempatan,  dan  sarana  juga  hilang  karenanya.  Dengan
demikian,  tidaklah  mungkin  ada  penyalahgunaan  kewenangan,  kesempatan,  atau sarana karena jabatan atau kedudukan  yang sudah tidak dimilikinya.
4. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Secara  teoritis  kata  dapat  berarti  kerugian  negara  dapat  terjadi  secara nyata  dan  rial  dan  dapat  pula  tidak  atau  hanya  berbentuk  potensial  lose.  Potensi
terjadinya kerugian keuangan negara akibat tindakan orang perorangan, korporasi, pegawai  negeri,  atau  pejabat  sudah  dapat  dikategorikan  sebagai  merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, karna kata “dapat” fakultatif sifatnya, bukan imperatif.
121
121
Ibid. Halaman 119
Universitas Sumatera Utara
Kerugian  negara  bisa  dalam  bentuk  potensial  lose,  maka unsur  “dapat
merugikan  kerugian  negara  atau  perekonomian  negara”  bertentangan  atau  tidak konsisten  dengan  unsur  “dengan  tujuan  menguntungkan  diri  sendiri,orang  lain
atau  suatu  korporasi”.  Sebab  unsur  ini  mensyaratkan  bertambahnya  keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materil kekayaan dari pejabat
atau  pegawai  negeri,  orang  lain,  atau  suatu  korporasi  itu  menjadi  bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang.
122
3.  Pengadaan Barang yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara