Korupsi, pasal 1 dan 2 Undang-Undang Keuangan Negara serta Undang-Undang Pembendaharaan Negara.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara
Pengertian atau definisi kerugian negara ditegaskan dalam pasal 1 butir 22 undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan negara adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Dalam
hukum pidana, pengertian tersebut termasuk delik materiil karena memberi syarat adanya kerugian negara yang benar-benar nyatanya dan pasti jumlahnya yaitu
adanya kata “sebagai akibat perbuatan melawan hukum”.
100
Kerugian negara yang dianut dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberatasan tindak pidana korupsi menganut delik formil, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah
terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat.
101
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:
Pasal 2: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
100
Marwan Mas, Op.Cit, Halaman 48
101
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun
paling lama 20 dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling
sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:
102
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut:
102
Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19.
Universitas Sumatera Utara
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi; 2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1 Penjelasan Pasal 2 UU PTPK
Penjelasan pasal 2 UU PTPK, tidak hanya dijelaskan dalam undang-undang. Banyak para ahli yang menjelaskan unsur-unsur dalam pasal 2 UU PTPK, yaitu
:
103
1 Setiap orang
Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.
104
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi
yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
105
2 Secara melawan hukum
Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
103
Mahrus ali, opcit, halaman 95-100
104
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3
105
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1
Universitas Sumatera Utara
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
106
a Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku hukum tertulis. Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam rumusan delik.
Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan sebagai perbuatan yang
tidak patut dilakukan. D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam
arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara
formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana telah terpenuhi.
107
b Sifat melawan hukum materil
Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar
bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat sebagai
106
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1.
107
D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah dipandang
tercela oleh masyarakat. Sifat melawan hukum materil berarti suatu tindak pidana itu telah
melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.
108
Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang
tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
109
Loebby Logman menggariskan arti negatif dari perbuatan melawan hukum secara materil, dengan menyatakan,
110
melawan hukum secara materil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu
perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara
materil tidak melawan hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.
Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan
undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan
hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.
108
D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41
109
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 7
110
Juniver Girsang, Abuse Of Power Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing, 2012, Halaman 14
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi
jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan
untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang mengandung asas legalitas didalamnya.
Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003PUU-IV2006 sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa
pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi:
“yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan denga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
111
3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
111
Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil materiels wederechtlijk, yang merujuk pada hukum tidak
tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari
satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang
sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK kalimat pertama tersebut,
merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta uang dan sebagainya,”
demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan
orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.
112
Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat 1 sub a
adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2 yang memberi kewajiban kepada
terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 37 ayat 4 UU
PTPK Tahun 1999 Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-
kata “….kekayaan yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak
pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
113
a Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan
pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya
112
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177
113
Ibid, halaman 178
Universitas Sumatera Utara
memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya
yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki
keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu
merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan
tersebut hanya memperkuat keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan
barang yang diperuntukkan bagi negara. b
Menjadi keharusan
penuntut umum
untuk mengetahui
kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan
berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret. c
Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung
diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh
secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa.
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara
Kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan atau perekonomian negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun
Universitas Sumatera Utara
1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat. Adami Chazawi dalam Mahrus Ali mengatakan,
114
bahwa kerugian keuangan bagi negara atau perekonomian negara bukanlah menjadi syarat untuk
terjadinya tindak pidana korupsi pasal 2 ayat 1 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan
melawan hukum tersebut.
115
Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
116
a Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat
Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah; b
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan
modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
114
Ibid. Halaman 107
115
Ibid.
116
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
2 Penjelasan Pasal 3 UU PTPK
1. menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi.
Unsur ini berarti seseorang tidak harus mendapatkan banyak uang, namun cukup apabila dengan mendapatkan sejumlah uang yang dari uang tersebut
seseorang akan
memperoleh keuntungan
dari padanya
walaupun sedikit.memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh
atau menambah kekayaan dari yang sudah ada.
117
Nur Basuki Minarno dalam mahrus ali mengatakan,
118
bahwa perumusan “memperkaya diri sendiri....” pada pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi
dengan “tujuan menguntungkan....” pada pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi mempunyai pengertian yang sama identik yakni kedua unsur delik
tersebut dirumuskan secara materil. 2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Sebagaimana “melawan hukum” dalam pasal 2 ayat 1 sebagai bestanddeel delict, penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 juga sebagai
bestanddeel delict . Konsekuensinya, jika unsur “penyalahgunaan wewenang” ini
tidak terbukti, maka terhadap penyelenggara negara pegawai negeri yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai
menyalahgunakan wewenang.
119
Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu,
itulah yang
disebut menyalahgunakan
kewenagan. Artinya,
117
Mahrus Ali, Op.Cit, Halaman 112
118
Ibid.
119
Ibid. Halaman 113
Universitas Sumatera Utara
menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi
dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan.
Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang
berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan
dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara salah pada ketentuan-ketentuan tersebut.
120
Orang yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan
bertentangan dengan tugas pekerjaannya, maka disini telah terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki
sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar
tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan
120
R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya
Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya” tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena
jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan
dengan jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan atau
kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya. Dengan
demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya.
4. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Secara teoritis kata dapat berarti kerugian negara dapat terjadi secara nyata dan rial dan dapat pula tidak atau hanya berbentuk potensial lose. Potensi
terjadinya kerugian keuangan negara akibat tindakan orang perorangan, korporasi, pegawai negeri, atau pejabat sudah dapat dikategorikan sebagai merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, karna kata “dapat” fakultatif sifatnya, bukan imperatif.
121
121
Ibid. Halaman 119
Universitas Sumatera Utara
Kerugian negara bisa dalam bentuk potensial lose, maka unsur “dapat
merugikan kerugian negara atau perekonomian negara” bertentangan atau tidak konsisten dengan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri,orang lain
atau suatu korporasi”. Sebab unsur ini mensyaratkan bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materil kekayaan dari pejabat
atau pegawai negeri, orang lain, atau suatu korporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang.
122
3. Pengadaan Barang yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara