jelaslah bahwa yurisdiksi eksklusif diperlukan untuk membangun kedaulatan atas suatu wilayah.
304
Dengan demikian, entitas yang mengklaim kenegaraan harus memiliki kekuasaan tertinggi atas wilayah dan penduduk di dalamnya.
305
Kesimpulannya, penyewaan bukanlah suatu cara mengakuisisi wilayah melainkan hanyalah pemindahtanganan sementara hak – hak yang minor terhadap suatu
wilayah kepada negara lain.
306
3. Pembentukan Pulau Buatan
Maladewa telah muncul sebagai pemimpin dalam proyek-proyek teknik yang rumit melawan kenaikan permukaan air laut. Salah satu proyek Maladewa
yang paling besar dan signifikan adalah pembangunan sebuah pulau buatan yang disebut Hulhumalé di perairannya.
307
i. Pulau Buatan Tidak Dapat Dianggap sebagai ‘Teritori yang
Jelas’
Namun demikian, hal ini bukanlah tanpa masalah bila ditinjau dari perspektif hukum laut internasional.
Konvensi PBB mengenai Laut tahun 1982 telah memberikan definisi atas pulau, sebagai berikut:
“An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”
yang artinya “pulau adalah daerah daratan
304
Ian Brownlie, op.cit., hal. 287
305
Knox v. Palestine Liberation Organization, op.cit., hal. 434
306
Peter Malanczuk, op.cit., hal. 158; Malcolm N. Shaw, op.cit., hal. 490; James L. Brierly, op.cit., hal. 162
307
Koji Fujima et al., Preliminary Report on the Survey Results of 26122004 Indian Ocean Tsunami in the Maldives
2005, hal. 69, dapat diakses pada:
www.nda.ac.jp~fujimamaldives-pdf [diakses tanggal 10 Maret 2014]
Universitas Sumatera Utara
yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air saat air pasang.”
308
Syarat ‘terbentuk secara alamiah’ yang ada dalam definisi pulau Konvensi Laut PBB tersebut merupakan tambahan yang relatif baru dalam hukum
internasional.
309
Komisi Hukum Internasional International Law Commission meninjau kembali masalah ini pada tahun 1956 dan menghapus syarat ‘terbentuk
secara alamiah dalam Pasal 10 dari draft artikel tentang hukum laut.
310
Pada akhirnya, pengecualian pulau buatan dari kemampuan untuk menghasilkan zona
maritim berasal dari usulan Amerika Serikat dalam Konferensi Pertama Hukum Laut tahun 1958 untuk menambahkan syarat ‘terbentuk secara alamiah dalam
definisi pulau, yang akhirnya menghapus keragu-raguan yang selama ini timbul dalam draft artikel tersebut.
311
Lalu, dalam pasal 10 1 Konvensi Laut Teritorial dan Zona Bersebelahan Convention on the Territorial Sea and the Contiguous
Zone tahun 1958 yang dihasilkan mensyaratkan bahwa pulau haruslah ‘terbentuk
secara alamiah.
312
Di samping itu, yang dimaksud dengan wilayah yang jelas dalam konteks pembangunan pulau buatan telah diputuskan dalam kasus di pengadilan Jerman
tahun 1978, Re Duchy of Sealand. Menanggapi upaya untuk menyatakan Definisi ini kemudian tercermin dalam pasal 121 1
Konvensi Laut PBB tahun 1982.
308
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, pasal 1211
309
Hiran W. Jayewardene, The Regime of Islands in International Law, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1990, hal. 8
310
Report of the International Law Commission on the Work of its Eighth Session, Official Records of the General Assembly, Eleventh Session, Supplement No. 9 A3159, U.N.
Doc ACN.4104 4 July 1956, hal. 270
311
Myron H. Nordquist, et al., United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, A Commentary
, Vol. III, The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1993, hal. 327
312
Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958, pasal 101
Universitas Sumatera Utara
munculnya negara baru yang disebut Sealand yang terdiri dari platform anti - pesawat Inggris dalam Perang Dunia II yang terletak di lepas pantai Inggris,
Pengadilan Administrasi Cologne akhirnya menyatakan bahwa Sealand tidak memenuhi persyaratan wilayah dan penduduk untuk mencapai kenegaraan. Hanya
bagian-bagian di permukaan bumi yang terbentuk dengan cara alami yang dapat diakui sebagai wilayah Negara.
313
ii. Pulau Buatan Tidak Memberikan Hak – Hak Maritim
Hasil lain dari Konferensi Pertama Hukum Laut yaitu berdasarkan Pasal 5 Konvensi Landas Kontinen Convention on the Continental Shelf, instalasi dan
perangkat buatan lain yang dibangun di landas kontinen bukanlah pulau dan tidak memiliki laut teritorial mereka sendiri maupun mempengaruhi batas maritim.
314
“Artificial islands, installations and structures do not possess the status of islands have no territorial sea of their own, and their presence does not affect the
delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the continental shelf”
yang artinya ”pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak
mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.”
Sebuah ketentuan yang serupa ada di Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yaitu:
315
Hal ini dikarenakan adanya adanya potensi penyalahgunaan oleh negara- negara dalam menggunakan aturan tersebut untuk memanipulasi batas maritim
mereka. Pada tahun 1950-an, selama pembahasan ILC atas apakah akan
313
Re Duchy of Sealand, 1978 80 I.L.R. 685 Germany, hal. 685
314
Convention on the Continental Shelf 1958, pasal 54
315
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, pasal 608
Universitas Sumatera Utara
memasukkan persyaratan ‘terbentuk secara alamiah’ dalam definisi pulau, kekhawatiran tentang memanipulasi pembangunan pulau buatan untuk
memperluas zona maritim pun muncul.
316
Jika pulau-pulau buatan yang dibangun dalam laut teritorial memiliki laut teritorial sendiri, maka Negara dapat
membangun serangkaian pulau-pulau buatan kecil dalam wilayah lautnya dengan terpisah beberapa mil saja yang kemudian akan melipatgandakan jauh laut
teritorialnya. Demi membatasi hal – hal demikian, pulau buatan hanya diperbolehkan untuk memiliki satu zona terbatas di bawah Konvensi Laut, yang
disebut zona aman.
317
Oleh karena itu, faktor yang paling membatasi pulau buatan adalah bahwa mereka tidak berpengaruh pada timbulnya zona maritim.
318
D. Perlindungan atas Situasi