Bentuk - Bentuk Pengakuan Negara

maupun badan eksekutif dan legislatif yang akan dibentuk oleh pemerintah baru yang bersangkutan; iii. berhak akan imunitas dalam perkara mengenai milik dan bagi wakil diplomatiknya; dan berhak menuntut dan menerima harta milik yang berada dalam jurisdiksi negara yang mengakuinya, milik mana sebelumnya adalah kepunyaan pemerintah yang tumbang. 146 Dengan diakuinya suatu negara, menurut hukum internasional, maka negara itu juga memperoleh privilise penuh dalam keanggotaan masyarakat internasional. Negara atau pemerintahan tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan diplomatik dengan negara-negara lain dan membuat perjanjian-perjanjian dengan mereka. Negara lain dengan demikian, juga tunduk pada pelbagai kewajiban yang dibebankan hukum internasional dalam hubungan negara atau pemerintah yang diakuinya, sehingga pada gilirannya terjadi kewajiban timbal balik. Jadi sejak saat pengakuan itu, kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan hukum internasional dalam berhubungan satu sama lain.

3. Bentuk - Bentuk

State Recognition Masyarakat internasional mengenal beberapa macam pengakuan, sebagaimana dijabarkan berikut ini: i. Pengakuan Kolektif Pengakuan kolektif adalah pengakuan yang dilakukan dengan suatu perbuatan yang bersifat kolektif melalui medium atau institusi internasional. 146 Ibid Universitas Sumatera Utara Pengakuan dengan cara ini memberikan keuntungan-keuntungan, antara lain dapat menghapus kejanggalan-kejanggalan yang muncul dari tindak pengakuan unilateral. 147 Pengakuan jenis ini dapat berupa : 1. deklarasi bersama oleh sekelompok negara, misalnya pengakuan yang diberikan kepada Bulgaria, Montenegro, Serbia dan Rumania oleh Kongres Berlin dan terhadap Estonia dan Albania oleh Negara-negara Sekutu tahun 1921. 2. penerimaan suatu negara baru untuk menjadi pihakpeserta ke dalam suatu perjanjian multilateral, misalnya perjanjian perdamaian, diterimanya suatu negara baru dalam suatu organisasi internasional. Contoh pengakuan ini adalah diterimanya suatu negara sebagai anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa. Karena status kenegaraan merupakan kualifikasi utama diakui sebagai anggota PBB, jelaslah bahwa pengakuan sebagai anggota PBB merupakan juga pengakuan sebagai negara. Ini tampak jelas dari pasal 4 1 dari Piagam PBB menyatakan bahwa: “Membership in the United Nations is open to all peace-loving states which accept the obligations contained in the present Charter and, in the judgment of the Organization, are able and willing to carry out these obligations .” Keanggotaan di PBB terbuka untuk semua negara yang cinta damai yang menerima semua kewajiban yang terkandung dalam Piagam ini dan, menurut penilaian Organisasi, mampu dan mau melaksanakan kewajiban-kewajiban ini. 148 147 J.G. Starke, op. cit., hal. 123 148 United Nations Charter 1945, pasal 41 Universitas Sumatera Utara Demikianlah, menurut Pasal 4 1 dari Piagam PBB, anggota organisasi hanyalah negara. Sebagai perbandingan, Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa: “...by reason of the close connexion which it establishes between membership and the observance of the principles and obligations of the Charter, clearly constitutes a legal regulation of the question of the admission of new States .” Yang artinya ...karena adanya hubungan dekat yang ditetapkan antara keanggotaan dan ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan kewajiban Piagam, ini jelas merupakan peraturan hukum dari penerimaan Negara baru. 149 Harus ditekankan bahwa pasal tersebut memiliki implikasi yang besar dalam konteks isu masalah kenegaraan dan keanggotaan PBB. Pengakuan kolektif tergantung pada suara positif dari mayoritas negara-negara, dan tentu, anggota tetap Dewan Keamanan PBB, suara positif yang menunjukkan bahwa negara- negara masing-masing telah mengakui calon untuk keanggotaan sebagai negara menurut hukum internasional, atau mengekspresikan kesiapan untuk mengenali hal tersebut selama prosedur penerimaan. Namun, tidak berarti bahwa, jika suatu entitas bukan merupakan anggota PBB, itu pasti bukan negara. Swiss menjadi anggota PBB pada tahun 2002 tetapi ini tidak berarti bahwa sebelumnya ia bukan negara. Apabila kita menggabungkan keadaan ini dengan penentuan Mahkamah Internasional di atas maka, dapat ditekankan bahwa organisasi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penolakan atas dasar temuan bahwa negara 149 Conditions for Admission of a State to Membership in the United Nations, op.cit., hal. 63 Universitas Sumatera Utara yang bersangkutan tidak memiliki status negara. Sehubungan dengan ini, Hermann Mosler menyatakan bahwa ketika sebuah entitas teritorial yang mengaku sebagai Negara diterima di PBB, pertanyaan apakah ia memiliki persyaratan kenegaraan sudah tidak relevan lagi. 150 ii. Pengakuan Terpisah Pengakuan terpisah dapat juga diberikan kepada suatu negara baru. Kata “terpisah” ini digunakan apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu negara baru, namun tidak kepada pemerintahannya. Atau sebaliknya, pengakuan diberikan kepada suatu pemerintah yang berkuasa, namun pengakuan tidak diberikan kepada negaranya. 151 Meskipun memang sudah seharusnya bahwa pengakuan terhadap negara juga sekaligus pengakuan terhadap pemerintahnya, oleh karena pemerintahan merupakan unsur mutlak untuk adanya negara, tetapi ternyata kemudian secara juridis harus diadakan pemisahan yang tegas antara negara dan pemerintah. Dengan kata lain, untuk pengakuan terhadap negara berlaku syarat-syarat tertentu dan bagi pengakuan pemerintah berlaku syarat-syarat lainnya. iii. Pengakuan mutlak Yang dimaksud dengan pengakuan mutlak adalah bahwa suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak dapat ditarik kembali. Pengakuan yang tidak dapat ditarik kembali ini terutama apabila pengakuan itu 150 Mosler, Subjects of International Law, in Encyclopedia of Public International Law, Vol. VII, p. 442, Amsterdam: North Holland, 1984, hal 450 151 Huala Adolf, op. cit., hal. 70 Universitas Sumatera Utara adalah pengakuan de jure, 152 Pencabutan pengakuan de facto, karena sifatnya provisional sementara, dengan sendirinya akan lebih mudah jika dibandingkan dengan maksud pencabutan de jure. Pencabutan pengakuan de jure lazimnya pencabutan pengakuan terhadap suatu negara, jika terbukti negara itu telah kehilangan unsur- unsur kenegaraannya yang esensial, atau jika mengenai pemerintahannya terbukti telah hilang apa yang dinamakan governmental capacity kemampuan atau kewenangan memerintah. sedangkan pengakuan secara de facto berdasarkan keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik kembali. 153 Menurut Rebecca M.M. Wallace: Pengakuan suatu negara biasanya adalah “tindakan sekali jalan” one-off act yaitu sekali satu satuan telah diakui sebagai suatu negara, pengakuan tadi biasanya tidak akan dicabut kembali apabila syarat-syarat status sebagai negara terus dipenuhi. Apabila syarat-syarat ini tidak dipenuhi lagi, satuan itu akan berhenti sebagai negara, tetapi penarikan kembali tidak diperlukan...” 154 Menurut Oppenheim-Lauterpacht, suatu negara dapat kehilangan salah satu unsur kenegaraannya, sehingga apabila ini terjadi, pengakuannya sebagai negara harus ditarik kembali. 155 152 J.G.Starke, op. cit, hal. 124 Kenyataan dalam paraktek menunjukkan bahwa penarikan kembali pengakuan withdrawal of recognition jarang sekali terjadi, tetapi kemungkinan terjadinya masih tetap ada. Dalam prakteknya pula, 153 K, Syahmin A., SH, Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis, Jilid 2, Bandung: Binacipta, 1992, hal 315 154 Rebecca M. M. Wallace, op. cit., hal. 81 155 L. Oppenheim dan H. Lauterpacht, op. cit., hal. 130 Universitas Sumatera Utara pencabutan pengakuan de jure terjadi, jika negara atau pemerintah yang dicabut pengakuannya itu dipandang oleh negara-negara lain yang berkepentingan telah kehilangan identitas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi sebagai subjek hukum internasional, karena telah muncul negara atau pemerintah baru yang dalam kenyataannya mempunyai kewibawaan dan kemampuan bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah yang bersangkutan sebagai pembawa hak dan kewajiban hukum internasional, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional. 156 iv. Pengakuan bersyarat Seperti dikemukakan di atas, pada umumnya pengakuan itu sebagai suatu asas umum sifatnya adalah mutlak dan tidak dapat ditarik kembali absolute and irrevocable . Meskipun demikian dapat pula terjadi pengakuan diberikan dengan bersyarat conditional atau dengan pembatasan sub modo. Dalam bukunya yang berjudul International Law, D. W. Greig menyebutkan bahwa “the granting of recognition is made dependent upon the fulfillment by the recognized state or government of stipulations in addition to the normal requirements” yang artinya “pemberian pengakuan tergantung pada pemenuhan oleh negara yang diakui ketentuan – ketentuan lainnya di samping persyaratan normal.” 157 Apabila syarat-syarat ini kemudian tidak dipenuhi oleh negara yang bersangkutan, maka negara yang yang telah memberikan pengakuan itu dapat bertindak seolah-olah ia tidak pernah memberikan pengakuan. 158 156 Syahmin A.K, SH, op.cit. 157 D. W. Greig, International Law, 2nd ed., London: Butterworths, 1976, hal. 133 158 S. Tasrif. op. cit., hal. 55 Universitas Sumatera Utara

4. Teori yang Dianut Negara dalam