4. Teori yang Dianut Negara dalam
State Recognition
Pengakuan tetap menjadi salah satu konsep yang paling bermasalah hukum internasional, terutama dalam konteks kriteria kenegaraan. Grossman dalam
bukunya Nationality and the Unrecognized State mengamati bahwa kriteria untuk mengakui kenegaraan mencerminkan konflik dari kebijakan dan menimbulkan
konflik hukum.
159
i. Teori Konstitutif
Keadaan ini berfungsi sebagai sumber konflik pandangan mengenai sifat pengakuan dalam ranah hukum internasional publik. Konflik
tersebut tampak dari adanya dua teori yang berlawanan, yakni teori deklaratif dan teori konstitutif.
Berdasarkan teori ini suatu negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan. Jadi hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu
dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan karenanya memperoleh statusnya sebagai subjek hukum internasional. Jadi walaupun unsur-
unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat politik, namun tidaklah secara otomatis dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah
masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan negara-negara lainnya, bahwa masyarakat politik tersebut telah memenuhi semua syarat sebagai
negara. Dan baru apabila telah ada pernyataan sedemikian dari negara-negara lainnya, masyarakat politik tersebut mulai diterima sebagai anggota baru dengan
159
A. Grossman, Nationality and the Unrecognised State, 50 Intl Comp. L.Q. 849 2001, hal. 855
Universitas Sumatera Utara
kedudukan sebagai sebuah negara di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Dan barulah ia dapat menikmati haknya sebagai negara baru.
160
Ada dua alasan yang melatarbelakangi teori ini. Pertama, jika kata sepakatlah yang merupakan dasar berlakunya hukum internasional, maka tidak
akan ada negara yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional tanpa kesepakatan dari negara yang ada terlebih dahulu. Alasan kedua, yaitu bahwa
suatu negara yang tidak diakui tidak mempunyai status hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara – negara yang tidak mengakui.
161
Lauterpacht berpendapat bahwa pengakuan adalah konstitutif. “In the absence of a central authority for determining whether or not a certain entity is a
State, this duty needs to be performed by existing States ” yang artinya “dengan
tidak adanya pemerintah pusat untuk menentukan apakah suatu entitas tertentu adalah Negara , tugas ini harus dilakukan oleh negara – negara yang sudah ada.”
162
Ketika kriteria kenegaraan sudah terpenuhi, negara-negara lain secara objektif mengkonfirmasi fakta ini dengan memberikan pengakuan. Dengan kata lain,
kenegaraan tampaknya tergantung pada fakta serta pengakuan fakta dari luar.
163
Teori konstitutif kadang-kadang diterapkan dalam praktek pula .
164
160
S. Tasrif, op.cit., hal. 34
Ini terlihat dari Komisi Arbitrase Yugoslavia dalam Opinion No. 8 bahwa pengakuan
bersama dengan keanggotaan dalam organisasi internasional , berarti adanya keyakinan bahwa entitas politik yang diakui tersebut adalah suatu realita dan
161
Hingorani, R. C., Modern International Law, 2nd ed., India: Oceana Publications, Inc., 1984, hal. 96
162
H. Lauterpacht, op.cit., hal 55-58
163
M. Koskenniemi, op.cit., hal 280
164
Prosecutor v. Delalić, Intl Crim. Trib. for the Former Yugoslavia, Case No. IT-96-21- T 1998, para. 105
Universitas Sumatera Utara
dengan demikian telah dianugrahkan padanya hak-hak dan kewajiban tertentu di bawah hukum internasional.
165
Sebaliknya, fakta adanya non - pengakuan negara baru oleh sebagian besar negara-negara yang ada merupakan bukti nyata atas
pandangan bahwa entitas tersebut belum menetapkan dirinya sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan status kenegaraan.
166
Dixon menguraikan beberapa masalah teoritis dan praktis timbul dari teori konstitutif yaitu:
i. Pertama, tidak dapat diragukan lagi bahwa pengakuan adalah tindakan
politik, diatur hanya sebagian oleh prinsip hukum. ii.
Kedua, kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah itu konsisten dengan pengoperasian sistem hukum manapun bahwa suatu
kepribadian hukum harus bergantung pada penilaian subjektif dari pihak ketiga.
iii. Ketiga, dengan asumsi kita menerima teori konstitutif, dalam hal
praktis apa derajat pengakuan yang diperlukan untuk membentuk negara? Haruskah ada kebulatan suara di kalangan masyarakat
internasional, atau apakah cukup bahwa ada mayoritas, minoritas berjumlah besar atau hanya satu Negara yang mengakui? Sekali lagi,
apakah keanggotaan organisasi internasional sama dengan pengakuan kolektif dan, jika demikian, organisasi manakah itu? Apakah beberapa
165
Opinions on Questions arising from the Dissolution of Yugoslavia, Conference on Yugoslavia Arbitration Commission, 31 ILM 1488 1922, hal. 199 dan 201
166
Democratic Republic of East Timor, Fretilin and Others v. State of the Netherlands, 1992 87 ILR 73 Netherlands, hal. 73 - 74.
Universitas Sumatera Utara
negara atau kelompok negara misalnya Amerika Serikat, Uni Eropa lebih penting dalam hal memberi pengakuan?
167
Terlebih lagi, Konvensi Montevideo sendiri telah menentang teori konstitutif ini melalui Pasal 3 yang menyatakan bahwa: “The political existence of
the state is independent of recognition by the other states ” yang artinya
“Keberadaan politik suatu negara bebas dari pengakuan dari negara lain.”
168
ii. Teori Deklaratif
Demikianlah, meskipun pendukung teori kenegaraan ini termasuk pengacara – pengacara internasional terkemuka seperti Georg Jellinek, Hans Kelsen dan Sir
Hersch Lauterpacht, mereka masih tetap terbatas pada lingkaran yang relatif kecil.
Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut teori ini pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-negara
lainnya. Tindakan pengakuan tidak memiliki efek hukum pada kepribadian internasional suatu entitas: tidak memberikan hak, atau memaksakan kewajiban
kpadanya.
169
Suatu negara mendapatkan kemampuannya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dari negara-negara yang telah ada
terlebih dahulu, namun berdasarkan suatu situasi-situasi negara tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha-usahanya serta
keadaan-keadaan yang nyata yang tidak perlu diakui oleh negara lain.
170
167
Martin Dixon, op.cit., p. 129
Menurut Hakim Friedman dalam kasus State v. Banda, “declaratory theory is the one that
accords with the principles and norms of customary international law” yang
168
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933, pasal 3
169
Antonio Cassese, op.cit., hal. 73
170
Huala Adolf, op.cit., hal. 67
Universitas Sumatera Utara
artinya teori deklaratoir adalah teori yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum kebiasaan internasional.
171
Menurut pandangan James Crawford, “an entity is not a State because it is recognized; it is recognized because it is a State
.”
172
Maksudnya, suatu entitas tidak menjadi Negara karena diakui; ia diakui karena merupakan Negara. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa pengakuan suatu entitas dipengaruhi oleh pemikiran politik atau hukum yang memiliki konsekuensi hukum.
173
Pandangan yang berlaku adalah bahwa pengakuan negara baru oleh negara-negara lain tidak memunculkan secara hukum negara yang tidak ada
sebelumnya, melainkan kenegaraan hanya dapat tercapai melalui dipenuhinya kriteria objektif.
174
Pengadilan dalam kasus Deutsche Continental Gas- Gesellschaft
v. Polish State menunjukkan bahwa pengakuan dari Polandia dalam Perjanjian Versailles hanya bersifat deklaratoir terhadap negara yang ada dengan
sendirinya.
175
Selain itu, Komisi Arbitrase yang dibentuk oleh Konferensi Internasional atas Yugoslavia pada tahun 1991 menyatakan dalam Opinion No. 1
bahwa “the existence or disappearance of the state is a question of fact and that the effects of recognition by other states are purely declaratory
” yang artinya “keberadaan atau hilangnya negara adalah persoalan fakta dan efek dari
pengakuan oleh negara-negara lain adalah murni deklaratoir”.
176
171
State v. Banda and Others, 1989 4 S.A. 519 B South Africa, hal. 537-539
172
Jmaes Crawford, op.cit., hal. 37
173
Peter Malanczuk, op.cit., hal. 82
174
Brierly, James L., The Law of Nations: An Introduction to the International Law of Peace, 6th ed.
Oxford: Clarendon Press, 1963, hal. 139
175
Deutsche Continental Gas-Gesellschaft v. Polish State, op.cit., para. 5
176
Opinions on Questions arising from the Dissolution of Yugoslavia, op.cit., hal. 165
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dikarenakan pengakuan negara didasari oleh pertimbangan politis daripada pertimbangan hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Tinoco Claims
Arbitration antara Great Britain dan Costa Rica.
177
“Srpska diduga menguasai wilayah yang jelas, menguasai populasi, dan telah mengadakan perjanjian dengan pemerintah lain. Ia memiliki seorang presiden,
perundang - undangan, dan mata uang sendiri. Keadaan ini memiliki arti bahwa kriteria bagi sebuah negara dalam segala aspek hukum internasional sudah
terpenuhi.” Hubungan ketegangan antara
pendekatan masing-masing membawa kita ke masalah problematik dari interaksi hukum - fakta , yaitu status kenegaraan sebagai masalah hukum atau sebagai
persoalan fakta. Pernyataan berikut diungkapkan oleh Pengadilan Banding AS sehubungan dengan Republika Srpska dan syarat tindakan negara untuk tidak
melakukan pelanggaran hukum internasional:
178
Adapun Evans mengutarakan dua kesulitan yang timbul sehubungan dengan teori ini:
Kesulitannya adalah bahwa hal itu sering tidak mungkin untuk sepenuhnya memisahkan fakta dari pengakuan dari ide persetujuan politik. Hal ini
berkaitan dengan kesulitan kedua dengan praktek pengakuan yaitu bahwa bahkan dalam kasus di mana negara telah mengambil posisi tegas dalam berusaha
menghindari pengakuan suatu Negara.
179
177
Tinoco Claims Arbitration Great Britain v. Costa Rica, United Nations, Reports of International Arbitral Awards, Vol. I, p. 375 1923, hal. 381
178
Kadic v. Karadžić, 1995 34 ILM 1592 United States, hal. 1607
179
M. D. Evans, op.cit., hal. 243-244.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dilakukan perhitungan jumlah, akan tampak bahwa mayoritas ahli hukum internasional mendukung teori deklaratoir. Tentu saja di Amerika Serikat,
hampir semua teks dan buku - buku terkemuka lebih memilih pendekatan teori deklaratoir kenegaraan,
180
dan beberapa instrumen hukum internasional secara tegas menyatakan bahwa keberadaan politik negara harus independen dari
pengakuan oleh negara-negara lain.
181
iii. Teori Jalan Tengah
Diantara kedua golongan ini terdapat beberapa sarjana yang menganut pendirian jalan tengah, tetapi pada hakekatnya, mengenai teori-teori pengakuan ini
pertentangan yang terbesar terdapat antara penganut-penganut teori deklaratoir dan teori konstitutif. Pokok pangkal dari pertentangan ini tidak lain adalah sistem
hukum internasional sendiri yang tidak mengenal suatu kekuasaan sentral central authority
yang menentukan secara normatif, ukuran-ukuran yang bagaimanakah yang harus dipergunakan dalam menerapkan lembaga pengakuan ini.
182
Dalam bukunya Recognition and the United Nations, Dugard menerima premis dasar teori konstitutif kenegaraan namun, ia menambahkan
konsekuensi menarik terhadap persepsi Lauterpacht dan ahli - ahli lainnya dengan gagasan pengakuan kenegaraan yang lebih pasti. Inti dari komitmennya adalah
bahwa sangat tidak masuk akal untuk berpendapat bahwa, saat tidak diakui sebagai negara, masyarakat teritorial sudah dapat mencapai kepribadian hukum
180
L. Henkin, et al, International Law: Cases and Materials, 2nd ed., St. Paul: West Publishing Co., 1987, hal. 231
181
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933, pasal 3; Charter of the Organization of American States 1948, pasal 9
182
S. Tasrif, op. cit., hal. 35
Universitas Sumatera Utara
internasional atau status kenegaraan.
183
Namun demikian, pengakuan negara- negara baru kadang-kadang memiliki efek konstitutif pula di samping efek
deklaratif.
184
Dengan melihat pada State v. Banda others,
185
ia mengakui bahwa Bophuthatswana dan negara TBVC lainnya memenuhi persyaratan
kenegaraan yang diuraikan dalam Konvensi Montevideo,
186
Dugard menyimpulkan, pada dasarnya, atas dasar analisis empiris sendiri terhadap sumber-sumber hukum kebiasaan internasional:
tetapi menyatakan bahwa kampung halaman tetap bukan merupakan “negara” dalam arti hukum
internasional .
i. kenegaraan tergantung pada pengakuan kolektif dari suatu komunitas
politik sebagai subjek dalam hukum internasional ; ii.
masyarakat internasional negara telah mendelegasikan kewenangan untuk mengakui entitas politik sebagai negara untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa ; iii.
pengakuan sebagai prasyarat kenegaraan dilaksanakan oleh masyarakat internasional negara melalui penerimaan entitas politik
yang bersangkutan untuk keanggotaan PBB.
187
183
John Dugard, Recognition and the United Nations, Cambridge: Grotius Publications, 1987, hal. 123
184
Jorri C. Duursma, Fragmentation and the International Relations of Micro-States: Self Determination and Statehood
, Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hal.142
185
S. v. Banda and Others, op.cit.
186
John Dugard, op.cit., hal. 123
187
Ibid, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
5. Negara – Negara yang Tetap Diakui Meskipun Tidak