Seperti yang terlihat dari pertimbangan-pertimbangan di atas, jelaslah sudah bahwa kriteria tradisional statehood didasarkan pada keberadaan penduduk
permanen, wilayah tertentu dan pemerintahan yang berdaulat. Mengingat fakta bahwa Konvensi Montevideo juga mengacu pada kesanggupan untuk
berhubungan dengan negara-negara lain, harus dicatat bahwa persyaratan terakhir ini tidak sama pentingnya dalam membuktikan dasar empiris kenegaraan,
seperti tiga kriteria pertama.
i. Penduduk Yang Permanen
A Permanent Population
Kriteria ini mengisyaratkan bahwa populasi permanen sebagai suatu negara merupakan sebuah organisasi dari individu – individu”.
86
Oleh karena itu, suatu pulau atau suatu wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu
negara.
87
Dalam bukunya yang berjudul International Law, Evans menyatakan bahwa jumlah penduduk tidak penting untuk menjadi sebuah negara, dimana
Konvensi Montevideo sendiri juga menyatakan bahwa tidak ada batas minimum wajib atas jumlah penduduk untuk dapat memperoleh statehood, tetapi disebutkan
pula bahwa harus ada populasi yang memiliki hubungan eksklusif kebangsaan dengan Negara kelahirannya.
88
Limited, The Bank of Tokyo Limited, The Governor and Company of the Bank of Scotland and Orion Royal Bank, Limited v. Republic of Palau
, [1991] 924 F.2d 1237 United States, hal. 1243
Hal ini didukung oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Legal Status of Eastern Greenland pada tahun 1933 dengan
86
David Raič, Statehood and the Law of Self-Determination, The Hague: Kluwer Law
International, 2002, hal. 58
87
Boer Mauna, Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Bandung: PT Alumni, 2005, hal. 17
88
Evans, M. D., International Law, 3rd ed., Oxford: Oxford University Press, 2010, hal. 222; Nottebohm Case Liechtenstein v. Guatemala, Judgment, I.C.J. Reports 1955, p. 4, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa negara yang berpenduduk jarang pun tetap memiliki kedaulatan teritorial.
89
Adapun penduduk yang dimaksudkan disini juga tidak harus dikaitkan dengan soal agama, ras etnik atau sub etnik, warna kulit dan lain-
lain yang secara faktor mengandung perbedaan-perbedaan. Jadi penduduk atau rakyat suatu negara bisa saja terdiri dari pelbagai kelompok penganut agama atau
kepercayaan, pelbagai ras, suku bangsa ataupun pelbagai warna kulit.
90
Diisyaratkan pula bahwa penduduk dimaksud haruslah menetap di dalam wilayah dari negara tersebut atau adanya unsur kediaman secara tetap.
Pertimbangan berikut ini relevan berkaitan dengan syarat wilayah permanen: 1.
Penduduk harus memiliki niat untuk menghuni wilayah itu secara permanen.
2. Wilayah yang diklaim harus layak huni.
91
Sehubungan dengan ini, suatu suku yang berkeliaran, meskipun memiliki Pemerintah dan terorganisir, tidak dapat dinyatakan sebagai Negara sampai suku
tersebut telah menetap di wilayahnya sendiri.
92
Dengan kata lain, penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana nomad tidak
dapat dinamakan sebagai unsur konstitutif pembentukan suatu negara.
93
Juga, tidak ada pembatasan tentang jumlah penduduk yang diperlukan untuk mendirikan suatu negara. Disamping terdapat negara-negara dengan jumlah
89
Case Concerning Legal Status of Eastern Greenland Denmark v Norway, Judgement, P.C.I.J. Rep Series AB No. 53 1933, hal 45 - 46
90
I Wayan Parthiana, op.cit., hal. 63
91
David Raič, op.cit, hal. 58
92
Boer Mauna, op.cit., hal. 17
93
Boer Mauna, op.cit., hal. 17
Universitas Sumatera Utara
penduduk sangat besar seperti China, India, Amerika Serikat, Indonesia, Brazil
94
dan lainnya, juga terdapat negara-negara dengan jumlah penduduk sangat kecil yang disebut dengan negara-negara mikro seperti Nauru, Palau, Tonga, Fiji,
Maldives
95
ii. Wilayah yang Jelas
A Defined Territory
dan sebagainya.
Pengertian wilayah negara menurut Oppenheim-Lauterpacht adalah, “State territory is that defined portion of the surface of the globe which is
subjected to the sovereignty of the State .”
96
Jadi suatu negara harus mempunyai wilayah atau daerah tertentu dimana rakyatnya menetap dan tunduk pada hukumnya. Dalam kasus Klinghoffer pada
tahun 1991, Pengadilan Negeri AS menyebutkan bahwa Palestina tidak memiliki teritori yang jelas, yang berarti tidak adanya tempat dimana penduduknya dapat
tinggal sehingga Palestina tidak dapat memiliki penduduk yang permanen.
97
Tanpa adanya wilayah, suatu kepribadian hukum tidak dapat mencapai statehood dan menjadi negara.
98
94
China berpenduduk 1,363,280,000 jiwa 13 Maret 2014; India berpenduduk 1,241,440,000 jiwa 13 Maret 2014; Amerika Serikat berpenduduk 317,683,000 jiwa 13 Maret
2014; Indonesia berpenduduk 249,866,000 jiwa; Brazil berpenduduk 201,032,714 jiwa 1 Juli 2013;
Hal ini sejalan dengan pernyataan tegas Philip C. Jessup dalam rapat Dewan Keamaan Perserikatan Bangsa – Bangsa tahun 1948 yang
berbunyi:
http:en.wikipedia.orgwikiList_of_countries_by_population , terakhir diunduh pada
tanggal 13 Maret 2014
95
Ibid. Nauru berpenduduk 9,945 jiwa October 30, 2011; Palau berpenduduk 20,901 jiwa 1 Juli 2013; Tonga 103,036 jiwa November 30, 2011; Maldives berpenduduk 317,280
jiwa 1 Juli 2010; Fiji berpenduduk 858,038 jiwa 1 Juli 2012
96
L. Oppenheim dan H. Lauterpacht, op.cit., hal. 451
97
Klinghoffer v. SNC Achille Lauro Ed Altri-Gestione Motonave Achille Lauro in Amministrazione Straordinaria
, 1991 937 F.2d 44 United States, hal. 48
98
Robert Jennings dan Arthur Watts, Oppenheim’s International Law, 9th ed., London: Longmans, 1992, hal. 563
Universitas Sumatera Utara
“one cannot contemplate a state as a kind of disembodied spirit … there must be some portion of the earth’s surface which its people inhabit and over
which its government exercises authority ” yang artinya “tidaklah dapat
dibayangkan negara sebagai semacam roh tanpa tubuh ... harus ada beberapa bagian dari permukaan bumi yang dihuni rakyatnya dan di mana pemerintahnya
memiliki kewenangan.”
99
Gagasan wilayah yang jelas ini memperoleh signifikansinya sehubungan dengan konsep kedaulatan negara, karena definisi kedaulatan negara pada
dasarnya mengacu pada prinsip teritorial.
100
Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya, sehingga sebuah negara tidak mungkin ada tanpa
adanya wilayah, meskipun wilayah itu kecil saja. Hal ini berarti didalam wilayah tersebut tidak boleh ada kekuasaan lain selain kekusaan negara yang
bersangkutan.
101
Secara singkat, teritori wilayah suatu negara memiliki fungsi sebagai berikut:
i. Pertama, teritori adalah sumber keamanan.
102
99
United Nations Security Council, Official Records, 3rd year, 383rd Meeting 2 December 1948, hal. 41
Fungsi keamanan teritori tampak dari adanya pembedaan dari ‘orang dalam’ dan ‘orang
luar’ serta adanya kemampuan memfasilitasi organisasi internal melawan ancaman asing. Inilah aspek dari kekuatan koersif suatu
100
Alfred Van Staden dan H. Vollaard, The Erosion of State Sovereignty: Towards a Post-Territorial World? in: G. Kreijen et al. eds., State Sovereignty, and International
Governance, Gerald Kreijen et al. eds ., Oxford: Oxford University Press, 2002, hal. 166
101
Max Boli Sabon, Ilmu Negara, Jakarta: Gramedia, 1994, hal.16
102
Newman, David, The Resilience of Territorial Conflict in an Era of Globalization, in: Territoriality and Conflict in an Era of Globalization, Miles Kahler and Barbara F. Walter eds
., Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hal. 102-103
Universitas Sumatera Utara
negara untuk mencegah elemen – elemen asing menyusup ke dalam wilayahnya.
ii. Kedua, teritori merupakan sumber ekonomi.
103
iii. Ketiga, teritori memfasilitasi pelaksanaan yang efektif atas
yurisdiksi. Fungsi ini fokus pada
utilitas ekonomi suatu wilayah dan kemampuannya untuk menyediakan sumber daya dan sarana untuk kelangsungan individu
dan masyarakat yang adalah perwujudan dari yurisdiksi dalam batas- batas negara dimana negaralah yang mengontrol eksploitasi sumber
daya.
104
iv. Keempat, wilayah merupakan sumber sejarah dan budaya.
Batas teritorial memungkinkan negara untuk mengetahui sejauh mana yurisdiksi mereka demi menghindari konflik dengan
negara-negara lain. Terkait dengan ini adalah fungsi teritori untuk memungkinkan negara memiliki wilayahnya yang sendiri, yang
berbeda, dimana negara bebas untuk memiliki kekuatan sebagai penguasa, dan dijamin kesetaraannya dengan negara lain atas dasar
kedaulatan.
105
103
Jean Gottman, The Significance of Territory, Charlottesville: University Press of Virginia, 1973, hal. 54-57
Teritori mengeksploitasi serta mengembangkan identitas budaya yang sudah
ada namun juga memfasilitasi pertumbuhan identitas baru berdasarkan
104
Simmons, Beth A., Trade and Territorial Conflict in Latin America: International Borders as Institutions
, in: Territoriality and Conflict in an Era of Globalization, Miles Kahler and Barbara F. Walter eds
., Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hal. 155-156
105
Hein Goemans, Bounded Communities: Territoriality, Territorial Attachment, and Conflict
, in: Territoriality and Conflict in an Era of Globalization, Miles Kahler and Barbara F. Walter eds
., Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hal. 26-27
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara wilayah tersebut dengan atribut - atribut fisik. Hal ini menunjukkan bahwa identitas negara berasal dari ikatan budaya-
teritorial yang mengikat masyarakat bersama-sama, dan bahwa negara tidak memiliki mandat budaya untuk menjalankan otoritasnya
terhadap orang-orang di luar batas-batas teritorial. Di samping itu, dalam kasus Territorial Dispute antara Libyan Arab
Jamahiriya dan Chad tahun 1994 Mahkamah Internasional telah menyatakan
bahwa meski tidak diwajibkan bahwa seluruh perbatasan wilayah negara diatur secara tetap dan pasti, suatu negara setidaknya harus memiliki teritori darat.
106
Dengan kata lain, suatu negara sudah dapat diakui sebagai suatu kepribadian hukum meskipun terlibat dalam perselisihan dengan negara – negara tetangganya
mengenai pembagian batas wilayah yang pasti, asalkan memiliki suatu wilayah konsisten yang secara tak dapat disangkal dikendalikan oleh pemerintah negara
tersebut.
107
Oleh karena alasan inilah, setidaknya, Negara Palestina yang dideklarasikan pada bulan November 1988 di sebuah konferensi di Algiers tidak
dapat dianggap sebagai negara yang sah. Organisasi Pembebasan Palestina tidak mengontrol bagian apapun dari wilayah yang mereka klaim.
108
Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan hukum internasional publik yang mendeskripsikan luas minimum dari suatu wilayah.
109
106
Case Concerning the Territorial Dispute Libyan Arab Jamahiriya v.Chad, Judgement, I.C.J. Reports 1994, p. 6, hal. 26
Asalkan memiliki
107
Malcolm N. Shaw, International Law, 5th ed., United Kingdom: Cambridge University Press, 2003, hal. 199
108
Crawford, James, Israel 1948–1949 and Palestine 1998–1999: Two Studies in the Creation of States in The Reality of International Law: Essays in Honour of Ian Brownlie, G.
Goodwin-Gill and S. Talmon eds., Oxford: Clarendon Press, 1999, hal. 95
109
James Crawford, op.cit., hal. 46
Universitas Sumatera Utara
wilayah, suatu Negara sah adanya meskipun wilayahnya sangat kecil, seperti dalam kasus Tahta Suci Vatikan, Monaco, San Marino, ataupun Liechtenstein.
110
Disamping itu, wilayah suatu negara tidak selalu harus merupakan satu kesatuan dan dapat terdiri dari bagian-bagian yang berada di kawasan yang berbeda.
Keadaan ini sering terjadi pada negara-negara yang mempunyai wilayah-wilayah seberang lautan, seperti Perancis dengan daerah-daerah seberang lautannya di
Pasifik yaitu Kaledonia, Wallis dan Fortuna serta Polinesia Perancis.
111
Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
112
iii. Pemerintah yang Berdaulat
Government
Keberadaan pemerintah dapat dilihat dari adanya kontrol yang efektif oleh pemerintah tersebut dalam Negaranya.
113
Rakyat atau penduduk yang menempati suatu wilayah hidup dengan mengorganisasikan diri mereka sendiri. Dalam hidup
berorganisasi, sudah tentu ada yang di pimpin dan ada yang memimpin. Kelompok yang memimpin ini mempunyai kewenangan untuk mengatur,
mengelola dan bertindak baik ke dalam maupun ke luar. Dalam suatu organisasi yang disebut negara, kelompok yang memimpin inilah yang disebut sebagai
Pemerintah.
114
110
L.Oppenheim dan H. lauterpacht, op.cit., hal. 451
Dengan demikian, agar dapat berfungsi sebagai anggota dari masyarakat internasional, suatu negara harus memiliki identitas praktis dalam
111
Boer Mauna, op. cit., hal. 21
112
Huala Adolf, op.cit., hal. 3
113
North Sea Continental Shelf Cases Federal Republic of Germany v. Denmark and Federal Republic of Germany v. Netherlands,
Judgement, I.C.J. Reports 1969, p. 3, hal. 32; Ian Brownlie, op.cit., hal.71
114
I Wayan Parthiana, op.cit., hal. 65
Universitas Sumatera Utara
bentuk pemerintah yang bertanggung jawab atas hak-hak dan kewajiban internasional dari negara tersebut.
115
Dalam dua kasus yang berkenaan dengan Organisasi Pembebasan Palestina yaitu Knox v. Palestine Liberation Organization
116
dan Ungar v. Palestine Liberation Organization,
117
Kesimpulan mengenai akibat hukum dari persyaratan berikut ditarik oleh Crawford yang menyebutkan bahwa “positively, the existence of a system of
government in and of a specific territory indicates a certain legal status, and is in general a precondition for statehood while negatively, the lack of a coherent form
of government in a given territory militates against that territory being a State, in the absence of other factors such as the grant of independence to that territory by
a former sovereign ” yang artinya secara positif, sistem pemerintahan dalam dan
dari suatu wilayah tertentu menunjukkan adanya status hukum tertentu, dan pada umumnya merupakan prasyarat untuk status kenegaraan sedangkan secara negatif,
kurangnya bentuk koheren dari pemerintahan di suatu wilayah tertentu menghalangi wilayah tersebut menjadi suatu Negara, karena tidak adanya faktor –
faktor pendukung lain seperti pemberian kemerdekaan terhadap wilayah tersebut oleh negara berdaulat sebelumnya.”
telah dinyatakan bahwa pemerintah yang efektif merupakan pemerintah yang mampu mengatur penduduknya dalam suatu
teritori yang jelas.
118
115
Martin Dixon, op.cit., hal. 115
116
Knox v. Palestine Liberation Organization, 2004 306 F.2d 424 United States, hal. 434
117
Ungar v. Palestine Liberation Organization, 2005 402 F.3d 274 United States, hal. 288
118
James Crawford, op.cit., hal. 56
Universitas Sumatera Utara
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1929 dalam kasus Deutsche Continental Gas-Gesellschaft v. Polish State,
Germano-Polish Mixed Arbitral Tribunal mengakui pentingnya persyaratan kenegaraan yang kemudian muncul dalam teks
Konvensi Montevideo.
119
Jelaslah bahwa gagasan tentang pemerintahan yang efektif adalah suatu conditio sine qua non dari status kenegaraan, yang tentu saja,
dibarengi persyaratan lainnya yakni penduduk yang permanen dan wilayah yang jelas. Hal yang serupa dikemukakan oleh Lauterpacht, yang menyebutkan bahwa
pemerintahan merupakan syarat utama untuk adanya suatu negara. Jika pemerintahan tersebut ternyata kemudian secara hukum atau secara faktanya
menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara.
120
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rebecca M.M.Wallace, yaitu status sebagai negara dibuktikan
dengan mantapnya suatu pemerintahan yang efektif, yaitu pemerintahan yang merdeka dari kekuasaan lain dan pemerintahan yang mempunyai wewenang
legislatif dan administratif.
121
iv. Kesanggupan Berhubungan dengan Negara Lain
Capacity to Enter into Relations with Other States
Kriteria ini terwujud dengan adanya hak dan kemampuan suatu negara untuk menjalankan otoritasnya sehubungan dengan negara-negara lain.
122
119
A. McNair dan H. Lauterpacht, Annual Digest of Public International Law Cases Being a Selection from the Decisions of International and National Courts and Tribunals given
during the Years 1929 and 1930 , London: Longmans, Green and Co., Ltd.: 1935, hal. 13
Kedaulatan adalah otoritas tertinggi, otoritas yang independen dari segala otoritas
120
Huala Adolf, op.cit., hal. 4-5
121
Rebecaa M.M Wallace, op.cit., hal. 65-66
122
James Crawford, op.cit., hal. 62
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Kedaulatan dalam arti yang paling sempit menyiratkan kemerdekaan yang utuh di dalam batas negara.
123
Pada dasarnya, suatu negara sepatutnya tidak tunduk pada kedaulatan lain dan tidak terpengaruh baik oleh ketergantungan
faktual terhadap negara-negara lain.
124
Suatu negara dianggap tidak merdeka apabila kepengurusan hubungan internasionalnya berada dalam otoritas negara
lain.
125
Kapasitas untuk berhubungan dengan negara-negara lain merupakan aspek penting dari keberadaan suatu entitas yang bersangkutan serta indikasi dari
pentingnya pengakuan dari negara-negara lain karena menunjukkan adanya otoritas berdaulat untuk memerintah negara tanpa campur tangan pihak luar.
126
Ini merupakan kapasitas yang tidak terbatas pada negara-negara berdaulat, karena organisasi internasional, negara-negara belum merdeka dan badan-badan
lainnya sudah dapat `berhubungan hukum dengan pihak lain sesuai dengan aturan hukum internasional. Selain itu, penting bagi suatu negara berdaulat untuk dapat
menciptakan hubungan hukum dengan pihak - pihak lain sebagaimana baik menurut negara tersebut.
127
Hal ini dapat dilakukan, antara lain, dengan membangun hubungan diplomatik.
128
123
L. Oppeinheim dan H. Lauterpacht, op.cit., hal. 118-119
124
Custom Regime between Germany and Austria, Advisory Opinion, P.C.I.J. Rep Series AB No. 41 1931, hal. 41
125
Peter Malanczuk, op.cit., hal. 79; The Island of Palmas case United States of America v. the Netherlands,
United Nations, Reports of International Arbitral Awards, Vol. II, p. 829 1982, hal. 839
126
William E. Hall, op.cit., hal. 18
127
Malcolm N. Shaw, op.cit., hal. 202
128
Encyclopedia of Public International Law: International Relations and Legal Cooperation in General. Diplomacy and Consular Relations, Rudolf Bernhardt ed.
, Netherlands: North-Holland Publishing, 1987, hal.115; UNGA Resolution 48265, Observer status for the
Sovereign Military Order of Malta in the General Assembly ,UN Doc. ARes48265 24 August
1994, Pembukaan para. 1
Universitas Sumatera Utara
Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan inilah yang paling penting dari segi hukum internasional. Ciri ini pulalah yang membedakan negara dengan
unit-unit yang lebih kecil seperti anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-
negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri.
129
B. Pengakuan Negara