3. Doktrin Praduga Kelanjutan Keberadaan Negara
Presumption of State Continuity
Berdasarkan doktrin ini, negara tetap mempertahankan kenegaraannya meskipun terjadi perubahan besar pada wilayah, populasi, ataupun pemerintahnya,
sejauh persyaratan ini tetap terpenuhi.
270
Doktrin ini menunjukkan bahwa gagasan kepunahan Negara pada dasarnya ditentang oleh masyarakat internasional.
271
Anggapan keberlanjutan negara ini sudah berdiri kokoh dalam hukum internasional dan ini tercermin dengan tidak adanya ketentuan untuk menarik atau
menghilangkan status kedaulatan suatu Negara. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri mendukung doktrin ini melalui laporannya
dengan menyebutkan bahwa meskipun terdapat tantangan yang signifikan terhadap masalah migrasi dan adanya perpindahan sebagian besar penduduk suatu
Hal ini dikarenakan kehilangan statehood bukanlah suatu kejadian yang biasa- biasa
saja – ia menunjukkan jatuhnya status suatu negara secara sangat signifikan. Suatu negara akan kehilangan kepribadian hukumnya. Tak hanya itu, negara tersebut
juga akan kehilangan sejumlah besar hak yang dulunya ada padanya. Ia akan kehilangan hak – hak maritim di bawah Konvensi Laut, hak untuk bernegosiasi
sebagai negara berdaulat maupun hak menegakkan hukum internasional atas nama rakyatnya. Di atas segalanya, ia akan kehilangan kedaulatannya sehingga harus
berada di bawah kedaulatan serta jurisdiksi negara lain.
270
Jane McAdam, Climate Change, Forced Migration and International Law New York: Oxford University Press, 2012, hal. 128-129; Chiara Giorgetti, op.cit., hal. 67
271
Krystyna Marek, op.cit., hal.199; Rosalyn Higgins, Problems and Process, op.cit., hal. 734
Universitas Sumatera Utara
negara, praduga keberlanjutan kenegaraan ini sangatlah ditekankan.
272
Stoutenberg bahkan mengungkapkan bahwa penarikan pengakuan atas negara yang kehilangan statehood nya merupakan suatu pelanggaran terhadap norma
hukum internasional.
273
Adapun alasan yang mendasari praduga keberlanjutan kenegaraan ini adalah:
i. Pertama, prinsip ini
mencegah terganggunya stabilitas internasional.
274
ii. Kedua, tanpa kontinuitas kenegaraan akan ada kekosongan dalam
hubungan internasional dan negara akan merasa sulit atau tidak mungkin untuk melanjutkan banyak hubungan ekonomi, administratif
dan teknis yang saling menguntungkan dengan negara-negara lain. Ditariknya pengakuan terhadap suatu negara tertentu
sesudah ia kehilangan teritorinya dianggap oleh masyarakat internasional sebagai suatu tindakan yang ikut campur dalam masalah
domestik suatu negara.
275
272
United Nations Human Rights Council, Protecting People Crossing Borders in the Context of Climate Change Normative Gaps and Possible Approaches
, UN Doc. PPLA201201 2012, hal. 54
Kekuatan pemikiran ini menjelaskan mengapa hampir tidak pernah ada kasus kepunahan negara yang tidak didasarkan atas persetujuan
273
Stoutenburg, Jenny Grote, When Do States Disappear? Thresholds of Effective Statehood and the Continued Recognition of ‘Deterritorialised’ Island States
, in Threatened Island Nations – Legal Implications of Rising Seas and a Changing Climate, Gerrard, Michael B. and
Wannier, Gregory E. eds. , New York: Cambridge University Press, 2013, hal 72-73
274
Oscar Schachter, State Succession:The Once and Future Law, 33 VA. J. INTL L. 253 1993, hal. 259
275
Matthew C. R. Craven, The Problem of State Succession and the Identity of States under International Law
, 9 EUR. J. INTL L.142 1998, hal. 159
Universitas Sumatera Utara
negara yang bersangkutan sejak dibentuknya Piagam PBB pada tahun 1945.
276
Dalam perkembangan masyarakat internasional telah muncul banyak kasus dimana doktrin presumption of statehood ini dianut dalam praktik negara.
Misalnya, in Elsen v. Le Patrimoine Insurance Co., Principality of Andorra diakui sebagai sebuah negara, meskipun kurangnya elemen populasi dan otoritas
pemerintah dalam wilayahnya.
277
Selain itu, meskipun dalam tahun-tahun pertama kemerdekaannya tahun 1960 Kongo milik Belgia sekarang telah berganti nama
menjadi Zaire masih dalam keadaan anarki, tidak ada yang mempertanyakan kenegaraannya selama waktu itu, dan aplikasinya untuk keanggotaan PBB juga
diterima dengan suara bulat.
278
Demikian pula, ketika Liechtenstein mendelegasikan kepada Swiss kewenangan penuh untuk mengelola urusan luar
negerinya, Liechtenstein tetap diterima sebagai pihak dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu hak yang hanya tersedia untuk negara.
279
Dalam hal ini, Raič mengacu kepada kasus Croatia dan Bangladesh dan menekankan bahwa keduanya dianggap sebagai negara dan pengakuan
terhadapnya sah meskipun pada saat itu, mereka tidak memiliki pemerintahan yang efektif.
280
276
Jane McAdam, op.cit., hal 134
Adapun negara-negara lain yang tidak memiliki pemerintah yang efektif selama periode waktu tertentu adalah Afghanistan 1989-1996, Bosnia
277
August, Ray, Public International Law: Text, Cases and Readings, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1995, hal. 92.
278
United Nations General Assembly Resolution 1480 XV, Admission of the Republic of the Congo Leopoldville to Membership in the United Nations
, UN Doc. ARes1480 20 September 1960, para. 3
279
Pada saat Liechtenstein menyerahkan segala kapasitas untuk melakukan hubungan luar negeri pada negara lain, ia sedang terlibat dalam kasus di Mahkamah Internasional, yaitu kasus
Nottebohm, Liechtenstein v. Guatemala , I.C.J. Reports 1955, p. 4
280
David Raič, op.cit., hal. 363
Universitas Sumatera Utara
dan Herzegovina 1991-1994 dan Zaire Kongo 1997 - 2004 misalnya. Selain itu, wilayah Ethiopia 1935-1945, Polandia 1939-1945 dan Kuwait 1990-1991
juga pernah diduduki keseluruhannya. Namun semua negara – negara tersebut tidak pernah kehilangan kenegaraanya selama periode tersebut.
Kesimpulannya, banyak entitas memiliki kualifikasi sebagai negara karena mereka memenuhi empat kriteria kenegaraan. Namun, banyak juga dari entitas
tersebut yang telah kehilangan salah satu dari empat atribut kenegaraan tanpa kehilangan kualifikasi mereka sebagai sebuah negara yng utuh. Dengan kata lain,
fungsi kenegaraan adalah suatu perisai yang memberi perlindungan bagi entitas - entitas yang memenuhi syarat sebagai negara dari serangan terhadap kedaulatan
mereka. Adapun luka dan memar pada perisai kenegaraan tidak mempengaruhi status yang dilindungi tersebut; hanya dalam kasus yang jarang saja ketika seluruh
struktur runtuh dan negara mungkin hancur menjadi unit-unit yang lebih kecil atau menjadi diserap oleh negara lain yang lebih besar.
C. Solusi serta Kendala yang Timbul dalam Mempertahankan