Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

4 Kaum waria di Indonesia sebagian besar masih memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk kabur dari rumah dan hidup di jalan agar dapat mengekspresikan secara bebas identitas gender yang dimilikinya. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka masih takut akan tanggapan keluarga dan masyarakat di sekitarnya tentang dirinya Hartoyo, dkk., 2014. Karena hal tersebut, mereka memiliki ketrampilan yang terbatas, ditambah dengan lapangan pekerjaan yang begitu sempit bagi kaum mereka, banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dengan menjadi pengamen, pekerja seks, dan juga pekerjaan-pekerjaan lain di bidang kecantikan. Fakta tersebut dikuatkan dengan data dari wawancara pra penelitian yang telah dilakukan terhadap subyek dalam penelitian ini, yaitu NA, S, I, dan E. Keempat subyek tersebut mengaku bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari masyarakat. Stigma dari masyarakat juga membuat mereka merasa terbatas dalam mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Subyek I dan E bahkan mengaku bahwa mereka memilih untuk meninggalkan rumah agar dapat lebih mengekspresikan diri meskipun tindakan tersebut tidak menjamin kesejahteraan hidupnya. Ini terbukti dengan pekerjaan yang digeluti oleh subyek E dan I saat ini yang harus dijalani karena tidak memiliki kesempatan ataupun ketrampilan yang cukup. Dalam sebuah literatur yang berjudul Sesuai Kata Hati, yang mengisahkan tentang perjuangan hidup kaum waria, seorang waria 5 menyatakan bahwa sesungguhnya ia berharap agar dapat memiliki kesempatan pekerjaan yang sama dengan masyarakat lainnya. Ia juga berharap agar dapat hidup membaur dengan masyarakat Hartoyo, dkk., 2014. Ungkapan tersebut didukung oleh pernyataan yang diberikan oleh SR, dikutip dari pernyataannya dalam sebuah diskusi ilmiah mengenai LGBT di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada 22 Maret 2016, bahwa kaum waria di Indonesia telah memperjuangkan identitas dan eksistensinya di tengah masyarakat bahkan sejak tahun 1969 melalui komunitas Persatuan Waria Jakarta. Namun tentu saja perjuangan tersebut masih berlangsung hingga sekarang karena pada kenyataannya, masih banyak waria yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik di masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang yang mengalami gender dysphoria atau dalam hal ini khususnya waria juga merupakan seorang individu yang memiliki hak-hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Di Indonesia, landasan hukum mengenai hak-hak waria diperjelas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum”. Dilanjutkan pada undang-undang yang sama ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. 6 Sesuai undang-undang yang disebutkan di atas, waria sebagai warga Indonesia memiliki hak yang sama untuk hidup dengan merdeka dan bebas dari diskriminasi. Oleh karena itu, banyak komunitas-komunitas waria di Indonesia yang saat ini masih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Adanya perjuangan dari kaum waria untuk memperjuangkan hak-haknya di tengah perlakuan yang mereka terima dari masyarakat semakin menguatkan pernyataan bahwa mereka memiliki keinginan untuk menjalani kehidupan selayaknya masyarakat lainnya. Di sisi lain, penyebab ataupun latar belakang seseorang menjadi waria tentunya memiliki cerita yang berbeda pada tiap-tiap individu. Gender dysphoria sendiri, seperti yang tercantum dalam DSM V, sudah dapat terlihat pada saat seseorang berada pada masa kanak-kanak. Gender dysphoria yang ditemukan pada anak-anak semakin memperjelas pernyataan bahwa penyebab gender dysphoria bukan semata-mata hanya karena lingkungan sosial saja, melainkan dapat juga dikarenakan oleh faktor genetik. Itulah alasan mengapa SR, menyatakan bahwa menjadi waria menurutnya bukanlah sebuah pilihan, namun semata-mata untuk mengekspresikan dirinya yang sebenarnya. Ia juga menambahkan bahwa ia merasa sudah lahir dengan kondisi demikian, dan bukannya menjadi waria karena faktor lingkungan. Begitu juga dengan subyek NA, S, I dan E, mereka merasa bahwa mereka sudah terlahir sebagai seorang waria dan tidak memiliki pilihan lain sehingga harus menjalan kehidupan sebagai waria. 7 Meskipun gender dysphoria dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan sosial dan budaya tempat individu tinggal juga mengambil bagian dalam penyebab seseorang mengalami gender dysphoria. Orang tua yang menginginkan anak dari jenis kelamin yang berbeda, ataupun lingkungan yang membuat individu mengidentifikasi diri sebagai lawan jenisnya merupakan beberapa contohnya Yustinus Semiun OFM, 2006: 83. Dalam teori psikologi individual yang dikembangkan oleh Alfred Adler, seorang individu dipandang sebagai pribadi yang unik dan kreatif serta berkembang tergantung pada interpretasi-interpretasi yang ia berikan pada kehidupan Yustinus Semiun OFM, 2013: 209. Secara lebih lanjut, Adler menyusun elemen-elemen yang mempengaruhi kehidupan seseorang, di antaranya persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup. Kelima elemen tersebut saling berkaitan dan merupakan hasil dari tujuan hidup yang kemudian menjadi dasar kepribadian seseorang. Berdasarkan wawancara pra penelitian yang telah dilakukan, dapat disebutkan bahwa waria memiliki ketidakpuasan dengan gender yang dimilikinya dan memiliki tujuan untuk menjadi gender yang berkebalikan. Tujuan tersebut kemudian dalam psikologi individual diartikan sebagai landasan dari kepribadian waria yang dijelaskan melalui kelima elemen yang telah disebutkan sebelumnya. Bagaimana persepsi-persepsi subyektif yang dimiliki seorang waria, perjuangan ke arah superioritas, finalisme 8 fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidupnya merupakan suatu penjelasan tersendiri dari pilihan tingkah lakunya. Psikologi individual memandang seorang individu sebagai sosok yang utuh dan sebagai bagian dari suatu sistem sosial Corey, 2009: 100. Oleh karena itu, meskipun individu memiliki kebebasan dalam menentukan siapa dirinya, kebebasan tersebut dibatasi oleh adanya nilai- nilai sosial. Adler bahkan mengungkapkan salah satu dari kelima elemen yang disusunnya, yaitu minat sosial, merupakan indikator pokok dari kesehatan mental seseorang Corey, 2009: 102. Seorang individu memiliki kebutuhan yang besar akan penerimaan dan pengakuan dari lingkungan sosialnya untuk membantu mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya yang diwujudkan dari persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, dan gaya hidup. Penerimaan dan pengakuan dari masyarakat, merupakan masalah tersendiri bagi kaum waria. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sebagian besar masalah interpersonal yang mereka miliki berakar dari hal tersebut. Bukan hanya masalah interpersonal, diskriminasi dari masyarakat dalam psikologi individual juga disebutkan dapat memicu semakin meningkatnya perasaan inferioritas seseorang Yustinus Semiun OFM, 2013: 88. Perasaan tersebut kemudian membuat mereka lebih banyak bersosialisasi dengan sesamanya atau dalam komunitas saja. Sehingga kesempatan kaum waria untuk mengubah stigma masyarakat menjadi 9 semakin kecil karena kebanyakan dari mereka memilih untuk membatasi diri dan berada di zona nyaman. Secara garis besar, tujuan hidup yang dimiliki seorang waria bergesekan dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, dengan demikian segala elemen dalam kehidupannya pun juga terpengaruh oleh hal tersebut. Hal itu sesuai dengan pandangan bahwa semua elemen dalam diri seseorang saling terhubung dan disatukan oleh tujuan hidupnya Corey, 2009: 100. Berdasarkan paparan di atas, memahami kelima elemen dalam psikologi individual yang dimiliki oleh waria menjadi suatu hal yang penting untuk dapat lebih memahami kompleksitas dalam diri waria itu sendiri maupun hubungannya dengan dunia sosial. Begitupun dengan gender dysphoria, aplikasi teori psikologi individual mengenai ingatan- ingatan awal, susunan keluarga, mimpi-mimpi, dan perilaku akan memperdalam pemahaman akan penyebab gender dysphoria dari sisi lingkungan dan juga budaya serta pengaruh dari tujuan hidup dalam kepribadiannya. Eksplorasi yang mendalam mengenai kepribadian waria akan sangat berguna untuk menentukan layanan bimbingan dan konseling yang tepat bagi konseli dengan kecenderungan gender dysphoria. Dari uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa konflik yang dimiliki oleh kaum waria adalah konflik yang begitu kompleks. Tidak hanya konflik dengan dirinya sendiri terkait dengan gender yang dimilikinya, namun juga konflik 10 dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memahami secara lebih dalam mengenai dinamika kelima elemen dalam psikologi individual yang telah disebutkan sebelumnya dalam diri seorang waria, dengan harapan pemahaman tersebut akan berguna bagi penanganan konflik-konflik yang dialami oleh kaum waria dalam proses layanan bimbingan dan konseling.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Waria di Indonesia masih memiliki kesulitan untuk mengekspresikan identitas gendernya dengan bebas karena adanya stigma negatif dari masyarakat tentang kaum mereka. 2. Terdapat gesekan antara keinginan waria untuk mengekspresikan diri dengan ekspektasi masyarakat tentang peran gender seseorang. 3. Kepuasan sosial dalam psikologi individual berupa pengakuan dan penerimaan dari masyarakat yang merupakan salah satu tolok ukur kebahagiaan seseorang masih sulit dicapai oleh waria. 4. Waria mengalami kesulitan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap kaumnya karena kebanyakan dari mereka hanya bersosialisasi dengan sesama waria akibat dari rasa inferior yang dimilikinya. 11

C. Batasan Penelitian

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diidentifikasikan, maka diperlukan adanya batasan penelitian agar penelitan yang dijalankan tetap fokus pada topik yang dikaji. Batasan penelitian ini adalah pada kajian dinamika elemen-elemen dalam teori psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada seorang waria dalam proses pembentukan kepribadiannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana dinamika elemen-elemen dalam psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada diri waria dalam membentuk kepribadiannya?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: mengetahui dinamika elemen-elemen dalam psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada diri waria dalam membentuk kepribadiannya. 12

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi disiplin ilmu bimbingan dan konseling. Khususnya dalam bimbingan dan konseling pribadi dan sosial. 2. Manfaat praktis a. Bagi konselor, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai fenomena gender dysphoria pada waria dari sudut pandang psikologi individual sehingga menjadi dasar bagi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dengan metode yang tepat untuk menangani permasalahan yang relevan. b. Bagi individu yang mengalami gender dysphoria, khususnya waria, hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi dalam proses pemahaman diri dan pemecahan konflik-konflik yang dimiliki. c. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi sarana pembelajaran dan peningkatan kesadaran akan adanya perbedaan- perbedaan individu serta dinamika masalah dalam diri individu tersebut maupun dalam lingkup sosial. 13

BAB II KAJIAN TEORI

A. Gender Dysphoria

1. Definisi Gender Dysphoria Gender dysphoria jika ditinjau dari susunan kata yang digunakan terdiri dari kata gender dan dysphoria. Gender diartikan sebagai peran seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan dysphoria dimaknai sebagai suatu rasa ketidaknyamanan. Dari pernyataan tersebut, secara harafiah gender dysphoria dapat didefinisikan sebagai rasa ketidaknyamanan seseorang terhadap gender yang dimilikinya. Steiner, dkk. 1985: 5 merujuk gender dysphoria sebagai suatu rasa canggung ataupun ketidaknyamanan seseorang dengan peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin biologisnya dan adanya sebuah keinginan untuk memiliki tubuh dari jenis kelamin lawan yang diikuti dengan rasa cemas dan depresi reaktif akibat dari pemikiran- pemikiran tersebut. Dalam pernyataan tersebut, Steiner, dkk. secara lebih spesifik menjelaskan bahwa gender dysphoria terjadi karena adanya ketidaknyamanan seseorang dengan gender yang disematkan padanya berdasarkan jenis kelamin biologis yang dimiliki. Sementara itu dalam DSM edisi V, yaitu acuan yang berisi kualifikasi gangguang-gangguan mental dari American Psychiatric Association, gender dysphoria secara umum didefinisikan sebagai sebuah ungkapan yang merujuk pada ketidakpuasan seseorang baik