EKSPLORASI KEPRIBADIAN WARIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI INDIVIDUAL.

(1)

EKSPLORASI KEPRIBADIAN WARIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI INDIVIDUAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Devie Lya Saraswati NIM. 12104241065

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

EKSPLORASI KEPRIBADIAN WARIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI INDIVIDUAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Devie Lya Saraswati NIM. 12104241065

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

Motto

“No experience is a cause of success or failure. We do not suffer from the shock of our experiences, so-called trauma - but we make out of them just what suits our

purposes.” (Alfred Adler)

“There is no decision that we can make that doesn't come with some sort of balance or sacrifice.”


(7)

PERSEMBAHAAN

Karya tulis sederhana ini penulis persembahkan kepada :

Kedua orang tua tercinta,

yang selalu memberikan doa, semangat dan dukungan kepadaku.

Sahabat-sahabatku,

yang selalu memberikan dorongan serta bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Almamater Prodi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.


(8)

EKSPLORASI KEPRIBADIAN WARIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI INDIVIDUAL

Oleh

Devie Lya Saraswati NIM 12104241065

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepribadian waria melalui elemen-elemen yang terdapat dalam teori psikologi individual. Elemen-elemen dalam psikologi individual yang digunakan dalam penelitian ini mencakup persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat sosial, dan gaya hidup.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan fenomenologi dengan melalui empat tahapan desain penelitian yaitu tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, serta tahap evaluasi dan pelaporan. Subyek dalam penelitian ditentukan melalui teknik purposive yaitu empat orang waria dewasa yang telah menjalani kehidupan waria selama lebih dari dua tahun, menunjukkan penampilan dan perilaku yang cenderung berlainan dengan gender fisiologis, dan memiliki kesulitan atau ketidaknyamanan dalam bidang sosial, lapangan pekerjaan, dan area kehidupan lain sebagai seorang waria. Data penelitian didapatkan melalui teknik wawancara dan observasi kemudian dianalisis menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Waktu penelitian dilakukan selama 8 bulan berawal dari Maret sampai dengan Oktober 2016. Sementara itu uji keabsahan data dilakukan dengan metode triangulasi metode dan sumber.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kepribadian waria dipengaruhi oleh persepsi subyektif masing-masing waria terkait dengan status waria yang dimilikinya dengan pengaruh dari berbagai faktor seperti lingkungan. Seluruh subyek dalam penelitian meyakini bahwa status waria adalah takdir mereka yang tidak dapat dirubah. Meskipun demikian subyek I dan E memiliki pemahaman bahwa waria merupakan hal yang tidak sepenuhnya benar. Begitu juga subyek S yang meyakini waria adalah suatu kelainan. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana masing-masing subyek membentuk finalisme fiksional, berjuang ke arah superioritas, dan membentuk gaya hidupnya. Subyek NA begitu tegas meyakinkan orang lain bahwa ia adalah waria, sementara subyek S, I dan E lebih cenderung membebaskan orang lain menganggap dirinya sebagai waria ataupun bukan. Meskipun demikian seluruh subyek mampu mengembangkan minat sosial dengan baik.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Skripsi yang berjudul “Eksplorasi Kepribadian Waria dalam Perspektif Psikologi Individual” ini disusun sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dari penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi di Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan izin penelitian dan memefasilitasi kebutuhan akademik penulis selama menjalani masa studi.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan proses pengurusan izin penelitian ini.

4. Bapak Fathur Rahman, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, perhatian dan tenaga serta pikirannya untuk membimbing penyusunan skripsi ini.

5. Kedua orang tuaku yang memberikan setiap doa, semangat, dan kasih sayang selama penyusunan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabatku Dini, Vivi, Miftah, Intan, Fani, Haris, Erni, dan Fitri yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi dan mendengar segala keluh kesah selama penyusunan skripsi.

7. Mbak NA, S, I dan E yang bersedia membagikan ceritanya demi pengumpulan data-data yang dibutuhkan selama penyusunan skripsi ini.


(10)

8. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima saran, komentar ataupun kritik yang membangun. Semoga tugas akhir skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Yogyakarta, 27 Oktober 2016


(11)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Batasan Penelitian ... 11

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORI A. Gender Dysphoria ... 13

1. Definisi Gender Dysphoria ... 13

2. Kriteria Individu dengan Gender Dysphoria ... 15

3. Penyebab Gender Dysphoria ... 16

B. Tinjauan tentang Waria ... 19

1. Definisi Waria ... 19

2. Karakteristik Waria ... 20

3. Pembentukan Identitas Waria ... 21

C. Tinjauan tentang Psikologi Individual ... 24

1. Konsep Dasar ... 24 2. Elemen-Elemen Dasar Tingkah Laku dan Kepribadian


(12)

3. Aplikasi Psikologi Individual ... 34

D. Penelitian Terdahulu ... 39

E. Pertanyaan Penelitian ... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44

B. Desain Penelitian ... 44

C. Subyek Penelitian ... 46

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

E. Teknik Pengumpulan Data ... 48

F. Instrumen Penelitian ... 49

G. Teknik Analisis Data ... 51

H. Uji Keabsahan Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 55

1. Deskripsi Setting Penelitian ... 55

2. Deskripsi Subyek Penelitian ... 55

3. Deskripsi Informan Penelitian... 61

4. Reduksi Data Hasil Wawancara ... 65

5. Data Hasil Observasi ... 126

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 129

C. Keterbatasan Penelitian ... 162

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 164

B. Saran ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 167


(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Observasi ... 50

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 50

Tabel 3. Deskripsi Subyek Penelitian ... 60


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Dua Metode Dasar untuk Meraih Tujuan Akhir ... 33

Gambar 2. Dinamika Psikologis Subyek NA ... 140

Gambar 3. Dinamika Psikologis Subyek S ... 147

Gambar 4. Dinamika Psikologis Subyek I ... 154


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Subyek ... 170

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Informan ... 172

Lampiran 3. Pedoman Observasi ... 173

Lampiran 4. Hasil Wawancara Subyek NA Sesi 1 ... 174

Lampiran 5. Hasil Wawancara Subyek NA Sesi 2 ... 186

Lampiran 6. Hasil Wawancara Subyek S Sesi 1 ... 205

Lampiran 7. Hasil Wawancara Subyek S Sesi 2 ... 216

Lampiran 8. Hasil Wawancara Subyek I Sesi 1 ... 227

Lampiran 9. Hasil Wawancara Subyek I Sesi 2 ... 240

Lampiran 10. Hasil Wawancara Subyek E Sesi 1 ... 252

Lampiran 11. Hasil Wawancara Subyek E Sesi 2 ... 272

Lampiran 12. Hasil Wawancara Informan Subyek NA ... 290

Lampiran 13. Hasil Wawancara Informan Subyek S ... 302

Lampiran 14. Hasil Wawancara Informan Subyek I ... 308

Lampiran 15. Hasil Wawancara Informan Subyek E ... 315

Lampiran 16. Hasil Observasi Subyek NA ... 321

Lampiran 17. Hasil Observasi Subyek S ... 324

Lampiran 18. Hasil Observasi Subyek I ... 328

Lampiran 19. Hasil Observasi Subyek E ... 331


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan dalam dua jenis kelamin fisiologis, yaitu laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tipe alat kelamin yang dimiliki. Jenis kelamin yang dibawa sejak lahir ini, biasanya akan membantu manusia untuk mengidentifikasi tugas-tugas dan peran yang dimilikinya dalam kehidupan. Laki-laki seringkali diidentifikasikan sebagai sosok yang maskulin, sedangkan perempuan diidentifikasikan sebagai sosok yang feminim. Identifikasi tersebut kemudian diikuti dengan tugas-tugas apa saja yang biasanya dimiliki oleh manusia sesuai dengan jenis kelamin fisiologisnya. Semua proses pengidentifikasian tersebut kemudian akan membantu manusia untuk memahami identitas gender yang dimilikinya.

Identitas gender sendiri merupakan sebuah hasil pemahaman yang kompleks dari unsur-unsur genetik, hormonal, serta pengaruh lingkungan terkait dengan gender yang dimiliki oleh seseorang (Rowland dan Incrocci, 2008: 331). Dalam peryataan tersebut disebutkan bahwa tidak hanya karena adanya faktor lingkungan, namun juga terdapat faktor genetik dan hormonal. Ini berarti terdapat faktor yang tidak dapat diubah yang membantu manusia untuk mengidentifikasi gendernya.

Secara psikologis, seseorang akan dikatakan memiliki pemahaman identitas gender yang normal jika ketiga faktor tersebut memiliki keselarasan dengan jenis kelamin fisiologis yang dimilikinya. Namun jika


(17)

terdapat pertentangan di antara faktor-faktor tersebut, maka seseorang dapat dikatakan memiliki gangguan identitas gender yang kemudian dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi V dikategorikan dalam gangguan gender dysphoria.

Gender dysphoria dalam DSM V secara umum dideskripsikan sebagai ketidakpuasan seseorang baik secara afektif maupun kognitif terhadap gender yang diberikan padanya. Gender dysphoria merujuk pada orang-orang tertentu yang merasa dirinya seolah-olah terperangkap dalam tubuh yang salah. Mereka merasa bahwa mereka memiliki jiwa yang lebih tepat untuk jenis kelamin yang berkebalikan dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan mengalami gender dysphoria apabila ia merasakan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan dengan gender yang dimilikinya dalam jangka waktu selama paling tidak 6 bulan (American Psychiatric Association, 2013: 452).

Di Indonesia sendiri, indikasi tentang gender dysphoria dapat ditemukan dengan fenomena adanya kaum waria. Waria merupakan salah satu contoh kaum transeksual yaitu male-to-female transeksual (Suwarno, 2004 dalam Sri Yuliani, 2006) atau orang yang terlahir sebagai laki-laki namun merasa dirinya seorang perempuan sehingga berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan (Sri Yuliani, 2006). Para kaum waria menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap gender yang dimilikinya sebagai laki-laki dan merasa bahwa dirinya lebih sesuai dengan gender perempuan.


(18)

Keberadaan waria di Indonesia sendiri, berdasarkan pada data yang dimiliki oleh Kementrian Sosial menunjukkan angka 31.179 jiwa pada tahun 2010 yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan data lain dari Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,9 juta waria di tahun yang sama (http://www.suarakita.org/, diakses pada 23-3-2016 12.22). Kedua data tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan karena data dari FKWI dianggap lebih menyeluruh sedangkan data dari Kementrian Sosial hanya diikuti oleh waria yang terlibat dalam survei yang diselenggarakan untuk sosialisasi tentang HIV dan AIDS saja.

Meskipun berdasarkan data paparan jumlah kaum waria di Indonesia menunjukkan angka yang tidak sedikit, eksistensi waria di Indonesia seringkali masih dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan tabu oleh masyarakat. Kebanyakan masyarakat masih beranggapan bahwa waria adalah sosok yang berbahaya dan tidak aman. Masyarakat memiliki stigma bahwa dunia waria erat kaitannya dengan prostitusi serta penyebab dan penyebar HIV/AIDS (Ekawati Sri Wahyu Ningsih & Muhammad Syafiq, 2014). Opini masyarakat tersebut, tak jarang menghasilkan perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap waria. Diskriminasi terhadap waria di masyarakat Indonesia di berbagai bidang kehidupan membuat kaum waria merasa kesulitan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.


(19)

Kaum waria di Indonesia sebagian besar masih memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk kabur dari rumah dan hidup di jalan agar dapat mengekspresikan secara bebas identitas gender yang dimilikinya. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka masih takut akan tanggapan keluarga dan masyarakat di sekitarnya tentang dirinya (Hartoyo, dkk., 2014). Karena hal tersebut, mereka memiliki ketrampilan yang terbatas, ditambah dengan lapangan pekerjaan yang begitu sempit bagi kaum mereka, banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dengan menjadi pengamen, pekerja seks, dan juga pekerjaan-pekerjaan lain di bidang kecantikan.

Fakta tersebut dikuatkan dengan data dari wawancara pra penelitian yang telah dilakukan terhadap subyek dalam penelitian ini, yaitu NA, S, I, dan E. Keempat subyek tersebut mengaku bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari masyarakat. Stigma dari masyarakat juga membuat mereka merasa terbatas dalam mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Subyek I dan E bahkan mengaku bahwa mereka memilih untuk meninggalkan rumah agar dapat lebih mengekspresikan diri meskipun tindakan tersebut tidak menjamin kesejahteraan hidupnya. Ini terbukti dengan pekerjaan yang digeluti oleh subyek E dan I saat ini yang harus dijalani karena tidak memiliki kesempatan ataupun ketrampilan yang cukup.

Dalam sebuah literatur yang berjudul Sesuai Kata Hati, yang mengisahkan tentang perjuangan hidup kaum waria, seorang waria


(20)

menyatakan bahwa sesungguhnya ia berharap agar dapat memiliki kesempatan pekerjaan yang sama dengan masyarakat lainnya. Ia juga berharap agar dapat hidup membaur dengan masyarakat (Hartoyo, dkk., 2014). Ungkapan tersebut didukung oleh pernyataan yang diberikan oleh SR, dikutip dari pernyataannya dalam sebuah diskusi ilmiah mengenai LGBT di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada 22 Maret 2016, bahwa kaum waria di Indonesia telah memperjuangkan identitas dan eksistensinya di tengah masyarakat bahkan sejak tahun 1969 melalui komunitas Persatuan Waria Jakarta. Namun tentu saja perjuangan tersebut masih berlangsung hingga sekarang karena pada kenyataannya, masih banyak waria yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik di masyarakat.

Pada dasarnya, orang-orang yang mengalami gender dysphoria atau dalam hal ini khususnya waria juga merupakan seorang individu yang memiliki hak-hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Di Indonesia, landasan hukum mengenai hak-hak waria diperjelas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum”. Dilanjutkan pada undang-undang yang sama ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.


(21)

Sesuai undang-undang yang disebutkan di atas, waria sebagai warga Indonesia memiliki hak yang sama untuk hidup dengan merdeka dan bebas dari diskriminasi. Oleh karena itu, banyak komunitas-komunitas waria di Indonesia yang saat ini masih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Adanya perjuangan dari kaum waria untuk memperjuangkan hak-haknya di tengah perlakuan yang mereka terima dari masyarakat semakin menguatkan pernyataan bahwa mereka memiliki keinginan untuk menjalani kehidupan selayaknya masyarakat lainnya.

Di sisi lain, penyebab ataupun latar belakang seseorang menjadi waria tentunya memiliki cerita yang berbeda pada tiap-tiap individu. Gender dysphoria sendiri, seperti yang tercantum dalam DSM V, sudah dapat terlihat pada saat seseorang berada pada masa kanak-kanak. Gender dysphoria yang ditemukan pada anak-anak semakin memperjelas pernyataan bahwa penyebab gender dysphoria bukan semata-mata hanya karena lingkungan sosial saja, melainkan dapat juga dikarenakan oleh faktor genetik. Itulah alasan mengapa SR, menyatakan bahwa menjadi waria menurutnya bukanlah sebuah pilihan, namun semata-mata untuk mengekspresikan dirinya yang sebenarnya. Ia juga menambahkan bahwa ia merasa sudah lahir dengan kondisi demikian, dan bukannya menjadi waria karena faktor lingkungan. Begitu juga dengan subyek NA, S, I dan E, mereka merasa bahwa mereka sudah terlahir sebagai seorang waria dan tidak memiliki pilihan lain sehingga harus menjalan kehidupan sebagai waria.


(22)

Meskipun gender dysphoria dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan sosial dan budaya tempat individu tinggal juga mengambil bagian dalam penyebab seseorang mengalami gender dysphoria. Orang tua yang menginginkan anak dari jenis kelamin yang berbeda, ataupun lingkungan yang membuat individu mengidentifikasi diri sebagai lawan jenisnya merupakan beberapa contohnya (Yustinus Semiun OFM, 2006: 83).

Dalam teori psikologi individual yang dikembangkan oleh Alfred Adler, seorang individu dipandang sebagai pribadi yang unik dan kreatif serta berkembang tergantung pada interpretasi-interpretasi yang ia berikan pada kehidupan (Yustinus Semiun OFM, 2013: 209). Secara lebih lanjut, Adler menyusun elemen-elemen yang mempengaruhi kehidupan seseorang, di antaranya persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup. Kelima elemen tersebut saling berkaitan dan merupakan hasil dari tujuan hidup yang kemudian menjadi dasar kepribadian seseorang.

Berdasarkan wawancara pra penelitian yang telah dilakukan, dapat disebutkan bahwa waria memiliki ketidakpuasan dengan gender yang dimilikinya dan memiliki tujuan untuk menjadi gender yang berkebalikan. Tujuan tersebut kemudian dalam psikologi individual diartikan sebagai landasan dari kepribadian waria yang dijelaskan melalui kelima elemen yang telah disebutkan sebelumnya. Bagaimana persepsi-persepsi subyektif yang dimiliki seorang waria, perjuangan ke arah superioritas, finalisme


(23)

fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidupnya merupakan suatu penjelasan tersendiri dari pilihan tingkah lakunya.

Psikologi individual memandang seorang individu sebagai sosok yang utuh dan sebagai bagian dari suatu sistem sosial (Corey, 2009: 100). Oleh karena itu, meskipun individu memiliki kebebasan dalam menentukan siapa dirinya, kebebasan tersebut dibatasi oleh adanya nilai-nilai sosial. Adler bahkan mengungkapkan salah satu dari kelima elemen yang disusunnya, yaitu minat sosial, merupakan indikator pokok dari kesehatan mental seseorang (Corey, 2009: 102). Seorang individu memiliki kebutuhan yang besar akan penerimaan dan pengakuan dari lingkungan sosialnya untuk membantu mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya yang diwujudkan dari persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, dan gaya hidup.

Penerimaan dan pengakuan dari masyarakat, merupakan masalah tersendiri bagi kaum waria. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sebagian besar masalah interpersonal yang mereka miliki berakar dari hal tersebut. Bukan hanya masalah interpersonal, diskriminasi dari masyarakat dalam psikologi individual juga disebutkan dapat memicu semakin meningkatnya perasaan inferioritas seseorang (Yustinus Semiun OFM, 2013: 88). Perasaan tersebut kemudian membuat mereka lebih banyak bersosialisasi dengan sesamanya atau dalam komunitas saja. Sehingga kesempatan kaum waria untuk mengubah stigma masyarakat menjadi


(24)

semakin kecil karena kebanyakan dari mereka memilih untuk membatasi diri dan berada di zona nyaman.

Secara garis besar, tujuan hidup yang dimiliki seorang waria bergesekan dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, dengan demikian segala elemen dalam kehidupannya pun juga terpengaruh oleh hal tersebut. Hal itu sesuai dengan pandangan bahwa semua elemen dalam diri seseorang saling terhubung dan disatukan oleh tujuan hidupnya (Corey, 2009: 100).

Berdasarkan paparan di atas, memahami kelima elemen dalam psikologi individual yang dimiliki oleh waria menjadi suatu hal yang penting untuk dapat lebih memahami kompleksitas dalam diri waria itu sendiri maupun hubungannya dengan dunia sosial. Begitupun dengan gender dysphoria, aplikasi teori psikologi individual mengenai ingatan-ingatan awal, susunan keluarga, mimpi-mimpi, dan perilaku akan memperdalam pemahaman akan penyebab gender dysphoria dari sisi lingkungan dan juga budaya serta pengaruh dari tujuan hidup dalam kepribadiannya.

Eksplorasi yang mendalam mengenai kepribadian waria akan sangat berguna untuk menentukan layanan bimbingan dan konseling yang tepat bagi konseli dengan kecenderungan gender dysphoria. Dari uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa konflik yang dimiliki oleh kaum waria adalah konflik yang begitu kompleks. Tidak hanya konflik dengan dirinya sendiri terkait dengan gender yang dimilikinya, namun juga konflik


(25)

dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memahami secara lebih dalam mengenai dinamika kelima elemen dalam psikologi individual yang telah disebutkan sebelumnya dalam diri seorang waria, dengan harapan pemahaman tersebut akan berguna bagi penanganan konflik-konflik yang dialami oleh kaum waria dalam proses layanan bimbingan dan konseling.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Waria di Indonesia masih memiliki kesulitan untuk mengekspresikan identitas gendernya dengan bebas karena adanya stigma negatif dari masyarakat tentang kaum mereka.

2. Terdapat gesekan antara keinginan waria untuk mengekspresikan diri dengan ekspektasi masyarakat tentang peran gender seseorang.

3. Kepuasan sosial dalam psikologi individual berupa pengakuan dan penerimaan dari masyarakat yang merupakan salah satu tolok ukur kebahagiaan seseorang masih sulit dicapai oleh waria.

4. Waria mengalami kesulitan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap kaumnya karena kebanyakan dari mereka hanya bersosialisasi dengan sesama waria akibat dari rasa inferior yang dimilikinya.


(26)

C. Batasan Penelitian

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diidentifikasikan, maka diperlukan adanya batasan penelitian agar penelitan yang dijalankan tetap fokus pada topik yang dikaji. Batasan penelitian ini adalah pada kajian dinamika elemen-elemen dalam teori psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada seorang waria dalam proses pembentukan kepribadiannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana dinamika elemen-elemen dalam psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada diri waria dalam membentuk kepribadiannya?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: mengetahui dinamika elemen-elemen dalam psikologi individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup pada diri waria dalam membentuk kepribadiannya.


(27)

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi disiplin ilmu bimbingan dan konseling. Khususnya dalam bimbingan dan konseling pribadi dan sosial.

2. Manfaat praktis

a. Bagi konselor, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai fenomena gender dysphoria pada waria dari sudut pandang psikologi individual sehingga menjadi dasar bagi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling dengan metode yang tepat untuk menangani permasalahan yang relevan.

b. Bagi individu yang mengalami gender dysphoria, khususnya waria, hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi dalam proses pemahaman diri dan pemecahan konflik-konflik yang dimiliki. c. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi sarana

pembelajaran dan peningkatan kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan individu serta dinamika masalah dalam diri individu tersebut maupun dalam lingkup sosial.


(28)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Gender Dysphoria

1. Definisi Gender Dysphoria

Gender dysphoria jika ditinjau dari susunan kata yang digunakan terdiri dari kata gender dan dysphoria. Gender diartikan sebagai peran seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan dysphoria dimaknai sebagai suatu rasa ketidaknyamanan. Dari pernyataan tersebut, secara harafiah gender dysphoria dapat didefinisikan sebagai rasa ketidaknyamanan seseorang terhadap gender yang dimilikinya.

Steiner, dkk. (1985: 5) merujuk gender dysphoria sebagai suatu rasa canggung ataupun ketidaknyamanan seseorang dengan peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin biologisnya dan adanya sebuah keinginan untuk memiliki tubuh dari jenis kelamin lawan yang diikuti dengan rasa cemas dan depresi reaktif akibat dari pemikiran-pemikiran tersebut. Dalam pernyataan tersebut, Steiner, dkk. secara lebih spesifik menjelaskan bahwa gender dysphoria terjadi karena adanya ketidaknyamanan seseorang dengan gender yang disematkan padanya berdasarkan jenis kelamin biologis yang dimiliki.

Sementara itu dalam DSM edisi V, yaitu acuan yang berisi kualifikasi gangguang-gangguan mental dari American Psychiatric Association, gender dysphoria secara umum didefinisikan sebagai sebuah ungkapan yang merujuk pada ketidakpuasan seseorang baik


(29)

secara afektif maupun kognitif terhadap gender yang diberikan kepadanya. Secara lebih lanjut dijelaskan bahwa gender dysphoria merujuk pada ketidaknyamanan yang disebabkan oleh ketideksesuaian antara gender yang dimiliki atau ingin diekspresikan dengan gender yang diberikan pada seseorang (American Psychiatric Association, 2013: 451).

Kedua definisi gender dysphoria yang diuraian oleh Steiner, dkk. dan DSM V memiliki kesamaan bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan oleh seseorang dengan gender dysphoria memiliki keterkaitan erat dengan peran gender yang diberikan padanya. Ini menjelaskan tentang adanya perbedaan antara gender yang ingin diekspresikan dan gender yang disematkan pada seseorang berdasarkan jenis kelamin biologisnya.

Sejalan dengan kedua definisi sebelumnya, Standards of Care (SOC) dari World Professional Association for Transgender Helath (WPATH) menguraikan gender dysphoria sebagai kesulitan yang disebabkan oleh perbedaaan antara identitas gender seseorang dengan jenis kelamin biologis yang dimilikinya sejak lahir (beserta dengan peran gender yang disesuaikan dengan karakteristik jenis kelamin pimer dan sekunder) (SOC 7, 2011 dalam Trombretta, dkk, 2015: 19).

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat ditarik garis besar bahwa pada dasarnya gender yang dimiliki seseorang biasanya disesuaikan dengan jenis kelamin biologis yang dimiliki sejak lahir.


(30)

Namun gender yang diberikan padanya tersebut belum tentu sesuai dengan identitas gender yang ingin diekspresikan. Ketidaksesuaian antara gender yang diberikan pada seseorang berdasarkan jenis kelamin biologis dan gender yang ingin diekspresikan tersebut menghasilkan rasa ketidaknyamanan. Situasi demikianlah yang kemudian disebut sebagai gender dysphoria.

2. Kriteria Individu dengan Gender Dysphoria

American Psychiatric Association melalui DSM V (2013: 452) memaparkan kriteria seseorang yang mengalami gender dysphoria ke dalam dua kategori yaitu kriteria gender dysphoria untuk anak-anak dan kriteria gender dysphoria untuk remaja dan orang dewasa.

Berikut merupakan kriteria individu dengan gender dysphoria dalam kategori remaja dan orang dewasa:

a. Adanya ketidaksesuaian antara gender yang dimiliki/diekspresikan seseorang dengan gender yang diberikan padanya, berlangsung paling tidak selama 6 bulan, yang ditandai dengan terpenuhinya paling tidak dua dari kriteria-kriteria berikut ini:

1) Adanya ketidaksesuaian antara gender yang dimiliki/diekspresikan dengan karakteristik jenis kelamin primer dan/atau sekunder (atau pada remaja awal, karakteristik jenis kelamin sekunder yang diantisipasikan)

2) Adanya keinginan yang kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin primer dan/atau sekunder karena


(31)

ketidaksesuaian dengan gender yang dimiliki/diekspresikan (atau pada remaja awal, adanya keinginan untuk mencegah tumbunya karakteristik jenis kelamin primer dan/atau sekunder yang diantisipasikan)

3) Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik jenis kelamin primer dan/atau sekunder dari gender yang berlawanan dengan dirinya

4) Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang berlawanan (atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan padanya)

5) Adanya keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai gender yang berlawanan (atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan padanya)

6) Adanya keyakinan yang kuat bahwa individu memiliki perasaan dan reaksi yang khas dari gender berlawanan (atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan padanya).

b. Keadaan tersebut dihubungkan dengan kesulitan yang signifikan atau ketidaknyamanan dalam bidang sosial, lapangan pekerjaan dan fungsi lain dari area-area yang penting.

3. Panyebab Gender Dysphoria

Pembahasan mengenai gender dysphoria erat kaitannya dengan identitas gender. Pada DSM edisi IV, pembahasan mengenani gender


(32)

dysphoria juga masih berada di bawah nama gangguan identitas gender. Oleh karena itu pembahasan mengenai penyebab gender dysphoria tentu tidak dapat dipisahkan dengan penyebab gangguan identitas gender.

Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui bagaimana gangguan identitas gender bisa terjadi (Money, 1994 dalam Nevid, dkk., 2003: 75). Sedangkan Kreukels, dkk. (2014: 26) menyebutkan bahwa perkembangan identitas gender merupakan sebuah proses perkembangan yang kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis (seperti faktor hormonal dan genetis) serta faktor-faktor psikososial yang berhubungan satu sama lain.

Klink dan Heijer (2014 dalam Kreukels, dkk., 2014: 43) menguraikan beberapa penelitian yang berfokus pada peran dari faktor genetis atau keturunan pada individu dengan gender dysphoria. Dari penelitian-penelitian tersebut ditarik kesimpulan bahwa meskipun pengaruhnya tidak begitu dominan, faktor genetis mempunyai andil dalam perkembangan gender dysphoria dalam diri seseorang.

Sementara itu dari segi psikologis ditemukan bahwa rasa kecemasan pada anak-anak yang berkaitan dengan faktor-faktor pola asuh tertentu dan kecenderungan anak terhadap perilaku cross-gender juga dapat mengarah pada perkembangan gender dysphoria dalam diri seseorang (Zucker & Bradley, 1995 dalam Kreukels, dkk., 2014: 67). Gender dysphoria yang berkembang dalam diri anak-anak tersebut


(33)

kemudian dijelaskan secara lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukan oleh Steensma, dkk. pada tahun 2011 terhadap remaja usia 10 dan 13 tahun. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi apakah gender dysphoria pada anak-anak akan berlanjut pada saat anak-anak tersebut tumbuh menjadi remaja atau tidak. Tiga faktor yang mempengaruhi antara lain adalah perubahan lingkungan sosial (meningkatnya tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan stereotip gender), perubahan fisik yang diantispasikan atau dialami selama masa pubertas, dan pengalaman pertama saat jatuh cinta dan ketertarikan seksual (Kreukels, dkk., 2014: 67).

Dari segi sosial dijelaskan pula bahwa faktor-faktor sosial seperti keinginan orang tua untuk memiliki anak perempuan, tidak adanya sosok salah satu figur orang tua, pola asuh yang menguatkan, atau hubungan lekat antara ibu dan anak laki-lakinya termasuk dalam hal-hal yang berpengaruh dalam berkembangnya gender dysphoria (Green, 1974; Stoller, 1968 dalam Kreukels, dkk., 2014: 68). Namun dalam penemuan yang lebih baru oleh Zucker & Bradley (1995) pola asuh orang tua dianggap memang memiliki peran dalam pengembangan variasi gender seseorang meskipun tidak secara signifikan melainkan hanya dalam kadar minimal saja (Kreukels, dkk., 2014: 68).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penyebab dari gender dysphoria merupakan sebuah proses yang


(34)

kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor di antaranya adalah faktor genetis dan keturunan, faktor psikologis, serta faktor sosial. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan berperan dalam pembentukan identitas gender dan perkembangan gender dysphoria dalam diri seseorang.

B. Tinjauan tentang Waria

1. Definisi Waria

Definisi waria menurut Khabiballah dalam Winie Wahyu Sumartini M., dkk. (2014) merupakan seorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai pemikiran seperti perempuan. Sedangkan Graham (2004) mengartikan waria sebagai laki-laki yang menunjukkan karakteristik penampilan dan tingkah laku dari jenis kelamin yang berbeda (Stevanus Colonne & Rika Eliana, 2005). Kedua definisi yang dipaparkan tersebut memiliki suatu kesamaan yang menyatakan bahwa waria merupakan seseorang yang memiliki jenis kelamin fisiologis sebagai laki-laki namun memiliki kecenderungan untuk berpikir dan berpenampilan layaknya perempuan.

Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq (2014) secara gamblang merujuk waria sebagai seorang pria transgender. Definisi dari transgender sendiri merupakan suatu kondisi atau keadaan di mana terjadi kesenjangan secara fisik dan psikis seseorang, ketika seseorang merasa bahwa kondisi fisiknya tidak sesuai dengan apa yang dirasakan


(35)

terutama terkait dengan identitas seks (Bockting, dkk dalam Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq, 2014).

Waria sendiri sesungguhnya adalah sebuah istilah yang merupakan kependekan dari wanita pria. Istilah tersebut lazim digunakan di Indonesia untuk menggambarkan seseorang yang memiliki jenis kelamin laki-laki namun berpenampilan seperti perempuan. Sebelum memakai istilah waria, sebelumnya seseorang berjenis kelamin laki-laki namun berpeanampilan perempuan biasa disebut dengan banci atau bencong, bahkan pada tahun 1968 sempat dipakai istilah wadam, yaitu kependekan dari wanita adam (Titik Widayanti, 2009: 40).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa waria merupakan sebutan bagi seorang pria transgender di Indonesia, yaitu seseorang yang memiliki jenis kelamin fisiologis laki-laki namun memiliki pemikiran dan penampilan seperti layaknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan.

2. Karakteristik Waria

Nadia (2005) dalam Winie Wahyu Sumartini M., dkk. (2014) menguraikan ciri-ciri yang dimiliki oleh waria sebagai berikut:

a. Identifikasi transeksual harus sudah menetap minimal dua tahun dan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain dan berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom


(36)

b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai perempuan, disertai dengan perasaan risih dan ketidakserasian dengan tubuh yang dimilikinya

c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan perempuan.

3. Pembentukan Identitas Waria

Pada dasarnya pembentukan identitas waria merupakan hasil dari proses yang panjang. Titik Widayanti (2009: 56) menjelaskan proses pembentukan identitas tersebut sebagai berikut:

a. Proses pembentukan identitas waria diawali dengan adanya kesadaran individu bahwa ia memiliki sifat feminim pada dirinya yang secara fisik merupakan laki-laki.

Adanya kesadaran tersebut biasanya dimulai ketika individu masih anak-anak. Waria biasanya menyadari bahwa mereka merasakan adanya perbedaan baik dalam bakat, sikap, maupun pembawaan dengan teman-temannya yang secara fisik sama-sama laki-laki. Kesadaran tersebut kemudian memunculkan pertanyaan retoris dalam diri individu atas keadaan dirinya.

b. Tahapan selanjutnya dalam pembentukan identitas waria adalah adanya pengakuan dan penerimaan diri sendiri.

Proses ini merupakan sesuatu yang sangat penting karena pada tahap ini, individu akan mempersiapkan diri untuk


(37)

menghadapi segala konsukuensi dari pengakuan dan penerimaan dirinya sebagai waria. Hal tersebut terjadi karena kaum waria pada kenyataannya telah mendapatkan stigma dari masyarakat tentang identitas seksualnya yang dianggap tidak normal.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Stevanus Colonne dan Rika Eliana (2005) mengenai tipe-tipe konflik intrapersonal waria, ditemukan bahwa responden dalam penelitian tersebut mengalami konflik dalam diri akibat keinginannya untuk menjadi seorang waria. Selain itu responden juga merasakan ketidaknyamanan di berbagai bidang seperti cara beribadah akibat statusnya yang merupakan seorang waria. Konsekuensi-konsekuensi seperti itulah yang membuat proses pengakuan dan penerimaan diri sebagai waria menjadi sangat penting.

c. Proses berikutnya merupakan proses meyakini identitasnya sebagai waria untuk bisa menegaskannya dalam kehidupan sosial.

Proses ini melibatkan keberanian diri seorang waria untuk menghadapi lingkungan sosial yang merupakan masyarakat luas dan juga keluarganya. Tahapan ini tidak dapat diabaikan karena pada akhirnya, waria merupakan makhuk sosial yang juga akan hidup dalam lingkungan sosial.

Selain proses-proses tersebut, terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas waria. Faktor-faktor tersebut yaitu (Titik Widayanti, 2009: 53):


(38)

a. Ikatan pertemanan

Ikatan pertemanan yang dimaksud adalah bertemunya seseorang yang berkeinginan menjadi waria dengan orang-orang yang telah menegaskan diri sebagai waria. Pertemanan tersebut memungkinkan adanya transfer nilai yang dapat menjadi referensi bagi seseorang untuk menentukan identitasnya.

b. Kondisi lingkungan sosial

Lingkungan sosial yang dimaksud secara lebih spesifik mengacu pada kondisi keluarga waria. Faktor ini erat kaitannya dengan cara asuh yang diterapkan dalam sebuah keluarga serta respon keluarga saat mengetahui bahwa ada anggotanya yang memiliki kecenderungan memiliki identitas sebagai waria.

c. Pengalaman seksual

Faktor pengalaman seksual lebih cenderung terjadi pada proses perkembangan identitas diri. Kenal atau tidaknya individu terhadap perilaku seksual seorang waria membantunya untuk mengidentifikasi perilaku seksualnya sendiri serta memutuskan identitas dirinya.

Terjadinya proses-proses yang dipengaruhi oleh beberapa faktor pembentukan identitas waria tersebut berbeda-beda terhadap satu individu dengan individu yang lainnya. Begitu pula dengan jangka


(39)

waktu yang dibutuhkan seseorang hingga pada akhirnya memiliki dan menegaskan dirinya sebagai seorang waria.

C. Tinjauan tentang Psikologi Individual

1. Konsep Dasar

Psikologi Individual merupakan sebuah konsep teori tentang tingkah laku dan kepribadian manusia yang diusung oleh Alfred Adler. Adler mempercayai bahwa kepribadian manusia mulai terbentuk pada 6 tahun pertama kehidupan (Corey, 2009: 98).

Dalam psikologi individual, manusia dipandang sebagai seorang individu yang mampu mengevaluasi dan memilih cara bagaimana ia akan bereaksi terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya (Sweeney, 2009: 7). Secara lebih lanjut, psikologi individual menjelaskan bahwa tingkah laku seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh keturunan ataupun lingkungan. Melainkan, manusia memiliki kemampuan untuk mengintrepretasi, mempengaruhi, dan menciptakan kejadian-kejadian itu sendiri (Corey, 2009: 99).

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa manusia bukanlah makhluk yang tidak berdaya akibat adanya faktor keturunan dan lingkungan. Manusia memiliki kebebasan untuk mempersepsikan kejadian-kejadian dalam hidupnya yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Persepsi yang diciptakan manusia itulah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya.


(40)

Psikologi individual memandang bahwa manusia lahir dengan tubuh yang lemah dan inferior, karena hal tersebut manusia memiliki sifat dasar untuk menyatu dengan orang lain yang disebut dengan minat sosial yang merupakan standar akhir dari kesehatan psikologis seseorang (Feist & Feist, 2010: 81). Adler sangat menekankan minat sosial dalam psikologi individual karena ia percaya bahwa kebahagiaan dan kesuksesan manusia sebagian besar didasarkan pada kepuasan kehidupan sosial yang dimilikinya (Corey, 2009: 102).

Adler (1964) dalam Feist & Feist (2010: 81), menguraikan secara lebih khusus pendirian-pendirian utama teorinya, di antara lain yaitu:

a. Kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas (striving for success or superiority)

b. Persepsi subjektif (subjective perception) manusia membentuk perilaku dan kepribadiannya

c. Kepribadian itu menyatu (unified) dan konsistensi diri (self -consistent)

d. Nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial (social interest)

e. Struktur kepribadian yang self-consistent berkembang menjadi gaya hidup (style of life) seseorang


(41)

2. Elemen-Elemen Dasar Tingkah Laku dan Kepribadian dalam Psikologi Individual

a. Persepsi-Persepsi Subyektif

Psikologi individual mempercayai bahwa persepsi subyektif seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka (Feist & Feist, 2010: 85). Persepsi-persepsi subyektif merupakan hal yang menentukan cara manusia berjuang menuju superioritas (Yustinus Semiun OFM, 2013: 224).

Manusia memiliki cara untuk memandang kenyataan di dalam hidupnya dan membentuknya menjadi persepsi-persepsi yang subyektif. Kenyataan tersebut dapat berupa inferioritas, pengalaman-pengalaman awal dalam kehidupan, dan juga dorongan-dorongan dasar dalam diri manusia. Pengeinterpretasian individu tentang pengalaman-pengalaman awalnya dapat memunculkan beragam pandangan hidup (Olson & Henrgenhahn, 2011: 201).

Adler (1956) berpendapat bahwa manusia memiliki tujuan final fiktif tentang masa depan yang konsisten dengan tingkah lakunya. Tujuan tersebut tidak ada dalam masa depan tetapi dalam persepsi individu sekarang tentang masa depan (Yustinus Semiun OFM, 2013: 225). Meskipun tujuan tersebut fiktif dan belum tentu benar ataupun salah, tujuan tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkah laku dan kepribadian individu saat ini. Lebih


(42)

lanjut, motivasi terbesar pada diri seseorang bukan tentang apa yang benar, melainkan lebih banyak ditentukan oleh persepsi-persepsi subyektif mereka tentang apa yang benar.

b. Perjuangan ke Arah Superioritas

Setiap individu memulai kehidupan dengan kekurangan fisik yang menggerakkan perasaan-perasaan inferioritas, yaitu perasaan-perasaan yang menggerakkan seseorang untuk berjuang ke arah keberhasilan atau superioritas (Yustinus Semiun OFM, 2013: 238). Kekurangan fisik yang dimaksudkan dalam pernyataan tersebut adalah suatu rasa lemah dan tidak berdaya yang dirasakan oleh manusia pada awal-awal kehidupannya. Karena hal tersebut, manusia secara natural bergantung pada orang dewasa untuk bertahan hidup dan akhirnya memiliki perasaan inferior (Olson & Hergenhahn, 2011: 175).

Perasaan-perasaan inferior yang dimiliki manusia tersebut memiliki hubungan yang saling mempengaruhi dengan perjuangan menuju superioritas. Superioritas yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah rasa superioritas terhadap orang lain, melainkan perubahan dari posisi yang rendah menuju posisi yang lebih tinggi (Corey, 2009: 101). Tanpa adanya perjuangan menuju kesempurnaan yang merupakan bawaan alami manusia, maka seseorang tidak akan pernah merasa inferior. Lebih lanjut, tanpa adanya perasaan inferior, manusia tidak akan pernah menetapkan


(43)

tujuan untuk meraih superioritas atau keberhasilan (Feist & Feist, 2010: 83).

Perasaan inferior membantu manusia untuk menetapkan tujuan dalam memenuhi kebutuhan alaminya untuk mencapai superioritas. Oleh karena itu manusia memiliki suatu hal yang disebut tujuan akhir dalam hidupnya yang dianggap dapat mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku manusia dapat dipahami. Tujuan tersebut berupa tujuan fiksional yang dibuat dari bahan-bahan mentah yang disediakan oleh faktor keturunan dan lingkungan (Feist & Feist, 2010: 82). Individu-individu yang tidak sehat secara psikologis berjuang ke arah superioritas individu atau pribadi, sedangkan individu-individu yang sehat secara psikologis termotivasi untuk berjuang ke arah keberhasilan semua manusia (Yustinus Semiun OFM, 2013: 238). c. Gaya Hidup

Gaya hidup dalam psikologi individual merupakan prinsip sistem dengan mana kepribadian individual berfungsi; keseluruhanlah yang memerintah bagian-bagiannya (Yustinus Semiun OFM, 2013: 257). Gaya hidup dapat disebut juga sebagai kepercayaan dan asumsi utama individu yang membimbingnya untuk melakukan pergerakan dalam hidup dan mengatur kenyataan yang dimilikinya untuk memberikan makna pada setiap kejadian dalam hidup (Corey, 2009: 101). Gaya hidup merupakan sebuah


(44)

kesatuan dari unsur-unsur yang membentuk tingkah laku dan kepribadian individu.

Gaya hidup mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia (Feist & Feist, 2010: 91). Menurut Adler, gaya hidup seseorang terbentuk ketika ia berusia 4 atau 5 tahun (Yustinus Semiun OFM, 2013: 259). Sejak saat itu semua pengalaman yang dialami oleh individu diinterpretasikan dan digunakan sesuai dengan gaya hidupnya.

Setiap orang memiliki gaya hidup yang unik yang tidak mungkin sama dengan gaya hidup yang dimiliki oleh orang lain. Hal tersebut terjadi karena gaya hidup merupakan hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki seseorang (Feist & Feist, 2010: 92). Daya kreatif sendiri diibaratkan sebagai sendi utama yang mengontrol kehidupan seseorang, bertanggung jawab terhadap tujuan finalnya, menentukan cara-caranya berjuang ke arah tujuan, dan memberikan sumbangan bagi perkembangan minat kemasyarakatan (Yustinus Semiun OFM, 2013: 261). Secara singkat, daya kreatif merupakan sesuatu yang dimiliki manusia untuk membentuk gaya hidup dan menjadikannya sebagai individu yang mampu membentuk kepribadiannya sendiri.

Meskipun telah ditentukan pada saat kanak-kanak, bukan berarti gaya hidup merupakan hal yang kaku. Individu yang normal


(45)

memiliki tingkah laku dalam bermacam-macam cara dan fleksibel dengan gaya hidup yang kompleks, kaya, dan pada taraf tertentu dapat berubah (Yustinus Semiun OFM, 2013: 260). Maksud dari kata fleksibel adalah, individu dapat menyesuaikan gaya hidupnya dengan kehidupan sosial dan kenyataan untuk mencapai tujuan yang berorientasi pada keberhasilan masyarakat. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk dapat memenuhi tiga tugas pokok kehidupan yang telah disebutkan sebelumnya.

d. Minat Sosial

Minat sosial merujuk pada kesadaran seseorang bahwa dirinya merupakan bagian dari komunitas manusia serta perilaku seseorang dalam menghadapi dunia sosial (Corey, 2009: 102). Menurut Adler, minat sosial merupakan sebuah wujud dari sebuah kebutuhan bawaan semua manusia untuk hidup dalam kondisi yang harmonis dan penuh persahabatan dengan orang lain yang teraspirasikan menuju pengembangan suatu masyarakat yang sempurna (Olson & Hergenhahn, 2011: 183).

Minat sosial dapat dikatakan merupakan tolok ukur dari normalitas individu (Olson & Hergenhahn, 2011: 184). Dikatakan demikian karena segala hal yang dilakukan seseorang untuk mencapai superioritas dan tujuan fiksinya akan dikatakan sehat jika berorientasi pada kehidupan sosial yang lebih baik dan bukannya pada superioritas pribadi.


(46)

Pada dasarnya minat sosial berakar pada setiap manusia sebagai potensialitas yang harus dikembangkan (Yustinus Semiun OFM, 2013: 247). Pengembangan minat sosial tersebut paling banyak dipengaruhi oleh hubungan seorang ibu dan anak pada bulan-bulan pertama masa kanak-kanak (Feist & Feist, 2010: 89). Hal tersebut dikarenakan hubungan ibu dan anak merupakan suatu model bagi hubungan sosial berikutnya (Olson & Hetgenhanhn, 2011: 184). Selain ibu, ayah merupakan orang kedua yang penting dalam lingkungan sosial seorang anak (Feist & Feist, 2010: 90). Ini berarti pertumbuhan minat sosial seseorang bergantung pada hubungannya dengan kedua orang tuanya pada masa kanak-kanak.

Psikologi individual percaya bahwa kebahagiaan dan kesuksesan seseorang berhubungan dengan kepuasan sosial yang dimilikinya (Corey, 2009: 102). Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa manusia dimotivasi oleh keinginan untuk dimiliki, yaitu rasa untuk ikut terlibat dan diterima secara sosial. Oleh karena itu, jika kebutuhan akan rasa aman, diterima, dan perasaan bahwa dirinya berharga tidak didapatkannya dari dunia sosial, maka individu tersebut akan merasakan kecemasan.

Minat sosial merupakan sebuah tolok ukur untuk membedakan individu yang neurotik dan individu yang normal dalam mencapai superioritas (Yustinus Semiun OFM, 2013: 250). Maka dari itu Adler menyusun tiga tugas kehidupan yang


(47)

dipercaya dapat mengindikasikan sebuah minat sosial yang berembang dengan baik. Tugas-tugas kehidupan tersebut antara lain: (1) tugas-tugas pekerjaan, melalui kerja konstruktif di mana individu menghidupi diri dan keluarga serta membantu mengembangkan masyarakat; (2) tugas-tugas kemasyarakatan yang mensyaratkan kerja sama dengan sesama manusia; dan (3) tugas cinta dan pernikahan, yaitu tugas yang melibatkan pemenuhan peran berbasis jenis kelamin yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat (Olson & Hergenhahn, 2011)

Lebih lanjut pentingnya minat sosial dalam menentukan individu yang neurotik dan normal dapat dilihat pada bagan yang menunjukkan cara manusia mencapai superioritas berikut ini (Feist & Feist, 2010: 91).


(48)

]

                 

Gambar 1. Dua Metode Dasar Untuk Meraih Tujuan Akhir Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa minat sosial menjadi salah satu penentu dalam cara individu berjuang meraih superioritas. Individu dengan minat sosial akan berjuang menuju keberhasilan sedangkan individu yang tidak memiliki minat sosial berjuang ke arah superioritas pribadi.

e. Finalisme Fiksional

Finalisme fiksional merujuk pada tujuan fiktif utama yang dibayangkan individu yang membimbing tingkah lakunya (Corey, 2009: 100). Selanjutnya secara lebih khusus tujuan fiktif terpenting yang dimiliki manusia merupakan tujuan untuk meraih superioritas

Tujuan akhir disamarkan Tujuan akhir tampak jelas

Superioritas pribadi Keberhasilan

Keuntungan pribadi Minat Sosial

Perasaan yang berlebihan Perasaan tidak lengkap yang wajar

Perasaan inferior

Keterbatasan fisik


(49)

atau keberhasilan yang diciptakan di awal kehidupan dan mungkin tidak dipahami dengan jelas (Feist & Feist, 2010: 85).

Finalisme fiksional ini erat kaitannya dengan pandangan Adler tentang pendekatan teologis, yaitu penjelasan bahwa perilaku manusia berorientasi pada masa depan tanpa mengabaikan masa lalu (Olson & Hergenhahn, 2011: 181). Adler (1954) percaya bahwa manusia tidak dapat berpikir, merasa, berkeinginan atau bertingkah laku tanpa adanya persepsi dari suatu tujuan-tujuan (Sweeney, 2009: 11).

Individu yang sehat atau normal sangat fleksibel menggunakan alat-alat fiksi tersebut dan tidak kehilangan penglihatan mereka akan realitas, sedangkan bagi individu yang neurotik atau abnormal, rencana hidup fiksi itulah yang dianggap sebagai realitas (Olson & Hergenhahn, 2011: 182). Dengan kata lain, individu yang normal akan mendasarkan tujuan fiksinya untuk kehidupan masyarakat sedangkan individu yang abnormal mendasarkan tujuan fiksinya pada superioritas pribadi.

3. Aplikasi Psikologi Individual

Aplikasi psikologi individual digunakan untuk menggali dan menganalisa tingkah laku dan kepribadian individu berdasarkan elemen-elemen yang terdapat dalam teori psikologi individual. Aplikasi-aplikasi psikologi individual tersebut antara lain:


(50)

a. Konstelasi Keluarga

Persepsi seseorang tentang situasi di mana ia dilahirkan merupakan suatu hal yang penting (Yustinus Semiun OFM, 2013: 278). Meskipun demikian, Adler percaya bahwa setiap anak diperlakukan berbeda di dalam keluarganya bergantung dengan urutan kelahirannya, cara asuh yang berbeda tersebut mempengaruhi pandangan dunia si anak (Olson & Hergenhahn, 2011: 198).

Karakteristik individu bergantung pada urutan kelahiran tersebut dibagi menjadi 4 jenis dalam psikologi individual, yaitu anak sulung, anak kedua, anak bungsu, dan anak tunggal. Berikut merupakan penjelasannya secara lebih lanjut:

1) Anak sulung

Anak sulung kemungkinan besar memiliki perasaan berkuasa dan superioritas yang kuat, kecemasan tinggi, serta kecenderungan untuk overprotektif (Ader, 1931; Feist & Feist, 2010: 100). Hal tersebut disebabkan karena anak sulung menjadi fokus perhatian dan sayang orang tua sampai anak kedua lahir yang membuatnya seolah ‘dilengserkan’ dari takhta (Olson & Hergenhahn, 2011: 198). Usia seorang anak sulung ketika adiknya lahir juga merupakan faktor yang penting (Feist & Feist, 2010: 101). Jika ketika anak kedua lahir si anak sulung sudah mengembangkan gaya hidupnya, maka tingkah lakunya


(51)

terhadap situasi dan adiknya juga akan disesuaikan dengan gaya hidupnya.

2) Anak kedua

Anak kedua memulai kehidupan dalam situasi yang lebih baik untuk mengembangkan kerja sama dan minat kemasyarakatan (Yustinus Semiun OFM, 2013: 279). Meskipun demikian anak kedua merasa dibayang-bayangi oleh sosok kakaknya. Oleh karen itu ia memiliki ambisi karena terus tertantang untuk berusaha menyamai bahkan melampaui kakaknya (Olson & Hergenhahn, 2011: 199). Ia menjadi pribadi yang memiliki rasa kompetitif yang kemudian disesuaikan dengan gaya hidupnya. 3) Anak bungsu

Anak bungsu menurut Adler kemungkinan memiliki rasa inferioritas yang kuat dan tidak memiliki independensi (Yustinus Semiun OFM, 2013: 280). Ini diakibatkan karena anak bungsu seringkali dimanjakan oleh orang tuanya dan bahkan juga oleh kakak-kakaknya. Pemanjaan tersebut seringkali membuat si anak bungsu memiliki ambisi yang tinggi untuk mengungguli saudara-saudaranya. Ia juga merupakan anak yang memiliki kegigihan paling tinggi untuk mencari identitas unik di dalam keluarganya seperti menjadi pemusik, pelukis, ilmuwan dan lain lain (Olson & Hergehahn, 2011: 200).


(52)

4) Anak tunggal

Anak tunggal memiliki kecenderungan untuk mengembangkan rasa inferioritas yang berlebihan, konsep diri yang melambung, dan dunia adalah tempat yang berbahaya (Yustinus Semiun OFM, 2013: 280). Ini disebabkan karena anak tunggal memiliki posisi sama seperti anak sulung yang tidak pernah ‘dilengserkan’. Selain itu anak tunggal juga berpotensi mengembangkan minat sosial yang minim, seringkali menampilkan sikap parasistik, dan berharap orang lain terus menawarkan pemanjaan dan perlindungan untuknya (Olson & Hergenhahn, 2011: 200).

Karakteristik urutan kelahiran tersebut merupakan pendeskripsian secara umum (Olson & Hergenhahn, 2011: 200). Dikatakan demikian karena selain urutan kelahiran, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi seperti jenis kelamin, selang antar kelahiran, dan juga cara pandang individu terhadap situasi kelahirannya.

b. Ingatan-Ingatan Awal

Rekoleksi-rekoleksi awal seseorang tentang masa kecilnya merupakan cara terbaik untuk mengidentifikasi gaya hidup seseorang (Olson & Hergenhahn, 2011: 201). Namun demikian ingatan masa kecil tersebut belum tentu memiliki efek kasualitas terhadap gaya hidup seseorang saat ini. Adler percaya bahwa


(53)

bukan pengalaman masa kecil yang menentukan gaya hidup seseorang, melainkan sebaliknya, ingatan akan pengalaman masa kecil sesungguhnya dibentuk oleh gaya hidup seseorang (Feist & Feist, 2010: 104).

Ingatan akan pengalaman apa yang diungkapkan individu bukanlah faktor yang paling penting. Tetapi memori apa yang dipilih oleh individu untuk diungkapkan adalah hal yang lebih penting karena menunjukkan titik awal subyektif dirinya dalam hidup. Ingatan-ingatan tersebut mencerminkan interpretasi individu terhadap pengalaman-pengalaman awalnya, dan interpretasi tersebut membentuk pandangan hidup, tujuan hidup, dan gaya hidupnya sebagai anak.

c. Mimpi-Mimpi

Adler mempercayai bahwa mimpi merupakan suatu perwujudan dari penipuan diri. Oleh karena itu pribadi yang sehat akan jarang atau bahkan tidak pernah bermimpi (Olson & Hergenhahn, 2011: 203).

Mimpi dalam psikologi individual bukanlah alat yang digunakan untuk meramalkan masa depan. Meskipun demikian, mimpi merupakan suatu perwujudan dari usaha individu untuk memecahkan permasalahan. Interpretasi terhadap mimpi seharusnya bersifat sementara dan terbuka untuk diinterpreasikan ulang. Adler (1956) dalam Feist & Feist (2010: 104) menyatakan


(54)

peraturan emas tentang psikologi individual dalam mempelajari mimpi, yaitu bahwa segalanya bisa berbeda. Jika sebuah interpretasi tidak terasa tepat, maka dapat dicoba interpretasi lainnya.

d. Perilaku

Cara-cara khas individu bersikap seperti cara berjalan, berbicara, cara duduk, dan lain sebagainya juga membantu dalam memahami gaya hidupnya. Pengamatan tentang perilaku seseorang akan memberikan pandangan tentang bagaimana individu tersebut memandang dunia dan dirinya (Olson & Hergenhahn, 2011: 204).

D. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada beberapa sumber referensi, tidak ditemukan penelitian yang sama persis dengan penelitian berjudul “Eksplorasi Kepribadian Waria dalam Perspektif Psikologi Individual”. Meskipun demikian, peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki pembahasan yang masih berhubungan dengan penelitian ini beserta dengan persamaan dan perbedaannya. Berikut beberapa penelitian terdahulu tersebut antara lain:

1. Penelitian oleh Stevanus Colonne dan Rika Eliana (2005) yang berjudul “Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau dari Identitas Gender”. Penelitian tersebut mengaji tentang gambaran tipe-tipe konflik intrapersonal pada waria ditinjau dari identitas gender


(55)

dan berdasarkan dari teori Lapangan Kurt Lewin. Jenis dari penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut adalah dari ketiga responden dalam penelitian, dua responden mengalami konflik intrapersonal dan satu responden mengalami konflik interpersonal. Konflik tersebut berupa rasa tidak nyaman akibat gangguan identitas gender yang dimiliki. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami responden terjadi daam wilayah fisiologis, wilayah rasa aman, wilayah cinta dan rasa memiliki serta wilayah aktualisasi diri. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian tersebut lebih berfokus pada konflik intrapersonal yang dimiliki oleh waria. Sedangkan peneliti akan lebih berfokus pada eksplorasi keseluruhan perilaku dan kepribadian waria yang juga mencakup kemungkinan munculnya konflik. Meskipun demikian penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, yaitu sama-sama melihat dari sudut pandang gangguan identitas gender pada waria.

2. Penelitian oleh Winie Wahyu Sumartini M., dkk. (2014) dengan judul “Pola Komunikasi Antarpribadi Waria di Taman Kesatuan Bangsa Kecamatan Wenang”. Penelitian tersebut membahas tentang cara para waria yang bekerja di sekitar Taman Kesatuan Bangsa Kecamatan Wenang berkomunikasi, baik dengan sesama waria maupun dengan masyarakat lainnya. Metode penelitian yang digunakan selama penelitian adalah metode kualitatif. Hasil yang diperoleh dari


(56)

penelitian adalah waria di Taman Kesatuan Bangsa Kecamatan Wenang memiliki dua bentuk komunikasi, yaitu terbuka dan tertutup dengan menggunakan media verbal dan non verbal. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat, subyek dalam penelitian biasanya akan mengamati terlebih dahulu intensi dari orang yang berkomunikasi dengan mereka. Jika komunikasi yang dilakukan masyarakat non-waria bermaksud untuk menghina maka mereka akan menerapkan komunikasi linear atau satu arah dengan tidak menanggapi. Sementara itu, waria memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan sesamanya melalui bahasa-bahasa yang khas yang belum tentu dipahami oleh masyarakat luas. Hal tersebut menghambat mereka untuk menjadi komunikator pesan yang baik dan menyebabkan adanya prasangka terhadap kaum mereka. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian tersebut membahas tentang pola komunikasi antarpribadi waria dengan ulasan aspek psikologis yang tidak begitu mendalam. Sementara itu penelitian yang akan dilakukan peneliti mencakup komunikasi waria dengan masyarakat sebagai bagian dari aspek minat sosial dan secara lebih dalam menggali faktor psikologis di dalamnya.

3. Penelitian berjudul “Pengalaman Menjadi Pria Transgender (Waria): Sebuah Studi Fenomenologi” oleh Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq (2014). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengalaman seorang waria dalam menjalani kehidupan


(57)

sehari-harinya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode fenomenologi kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah sebagian besar partisipan dalam penelitian mempersepsikan bahwa identitas gendernya merupakan pembawaan sejak lahir. Selain itu partisipan berani melakukan coming out setelah bergabung dengan komunitas waria karena merasa dirinya lebih diterima. Meskipun demikian setelah melakukan coming out, terdapat konflik baik pribadi maupun sosial yang dialami oleh partisipan. Oleh karena itu partisipan melakukan strategit coping. Terdapat dua strategi coping yang dilakukan oleh partisipan, yaitu pencarian bantuan atau pengabaian. Penelitian ini lebih banyak mengaji tentang proses seseorang menjadi seorang waria yang meliputi empat aspek, yaitu faktor penyebab seseorang menjadi waria, coming out, dampak menjadi waria, dan strategi coping waria. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yang lebih berfokus mengaji dinamika-dinamika dalam teori psikologi individual berupa persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya hidup yang akan menjadi dasar perilaku dan kepribadian waria.


(58)

E. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana persepsi subyektif subyek mempengaruhi kepribadiannya

dalam menegaskan identitas waria?

2. Seberapa besar pengaruh identitas diri sebagai waria terhadap finalisme fiksional yang dimiliki subyek?

3. Seberapa besar pengaruh identitas diri sebagai waria terhadap minat sosial yang dimiliki subyek?

4. Seberapa besar pengaruh identitas diri sebagai waria terhadap gaya hidup yang dimiliki subyek?

5. Seperti apa pertentangan-pertentangan yang dialami subyek dalam melakukan perjuangan ke arah superioritas?


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi fenomenologi. What dan Berg (1995: 417 dalam O. Hasbiansyah, 2008: 170) menyebutkan bahwa studi fenomenologi tidak terfokus pada aspek-aspek kasualitas dalam suatu peristiwa, melainkan berupaya menggeledah tentang bagaimana orang melakukan sesuatu pengalaman beserta makna pengalaman itu bagi dirinya.

Penelitian ‘Eksplorasi Kepribadian Waria dalam Perspektif Psikologi Individual’merupakan penelitian yang berfokus pada eksplorasi bagaimana subyek memaknai identitas diri sebagai waria dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya sebagai waria. Pemaknaan yang dimiliki subyek tersebut kemudian dilihat dari koridor teori psikologi individual. Oleh karena itu jenis penelitian studi kasus dianggap sesuai untuk penelitian ini.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini dilaksanan berdasarkan 4 tahapan pelaksanaan penelitian yang dipaparkan oleh Moleong (2007: 127). Tahapan-tahapan tersebut antara lain adalah:


(60)

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap pralapangan hal yang harus dilaksanakan oleh peneliti adalah berusaha lebih mengenal dan membangun keakraban dengan subyek. Keakraban dan kepercayaan dari subyek merupakan dasar yang penting karena berkaitan langsung dengan data-data penelitian yang nantinya diperlukan. Jika subyek dan peneliti memiliki kedekatan yang baik, data penelitian yang berupa pengalaman pribadi subyek akan menjadi lebih baik pula dalam artian apa adanya karena subyek dapat menyampaikan data tersebut dengan lebih nyaman.

Selain itu peneliti juga harus mulai mencari literatur buku dan referensi penelitian yang sesuai dengan fokus penelitian yaitu tentang gender dysphoria, waria, dan psikologi individual. Tujuannya adalah untuk memperkaya pemahaman teoritis peneliti sebelum terjun ke lapangan untuk melaksanakan penelitian.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap ini peneliti mulai terjun ke lapangan dan mengumpulkan data. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi subyek dan wawancara subyek serta informan kunci. Observasi dan wawancara dilakukan dengan mengeksplor seputar perilaku dan kepribadian subyek terkait dengan gender yang dimilikinya. Selain itu juga topik yang berkenaan dengan elemen-elemen dalam psikologi individual yang menjadi fokus penelitian.


(61)

3. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data dimulai ketika peneliti sudah mendapatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Meskipun wawancara belum secara penuh dilakukan karena sesi wawancara tidak hanya dilakukan dalam satu kali pertemuan, analisis data sudah dapat dimulai dengan melakukan penyaringan pada data yang telah didapat. Peneliti memilah data-data yang dapat mendukung untuk menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian dan data-data yang tidak berhubungan dengan penelitian. Tahapan ini dilakukan secara terus menerus hingga proses pengambilan data selesai dan didapatkan data yang mengarah pada kesimpulan penelitian.

4. Tahap Evaluasi dan Pelaporan

Pada tahap ini penulis menyusun laporan penelitian sesuai dengan data yang telah didapatkan. Penulisan laporan disusun dengan dampingan dari dosen pembimbing yang membantu mengevaluasi laporan yang ditulis. Penulisan laporan dan proses bimbingan dilakukan secara terus menerus hingga laporan penelitian dianggap sudah baik.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti (Suharsimi Arikunto, 2013: 188). Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah waria


(62)

yang berjumlah 4 orang. Subyek ditentukan melalui teknik purposive. Teknik purposive merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010: 54). Pertimbangan dalam penentuan subyek dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Merupakan seorang waria

2. Telah menjalani kehidupan sebaga waria selama lebih dari 2 tahun 3. Menunjukkan penampilan dan perilaku yang cenderung berlawanan

dengan gender fisiologis.

4. Memiliki kesulitan atau ketidaknyamanan dalam bidang sosial, lapangan pekerjaan, dan area kehidupan yang lain sebagai seorang waria.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Yogyakarta, dimulai di Jagalan, Banguntapan, Bantul di mana terdapat komunitas waria. Kemudian tempat pengambilan data dapat berpindah sesuai dengan kesepakatan peneliti. Meskipun tempat penelitian dapat berubah sesuai dengan kesepakatan, tempat penelitian tersebut masih tetap berada di wilayah Yogyakarta. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 8 bulan yaitu antara bulan Maret-Oktober tahun 2016.


(63)

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Wawancara

Wawancara atau kuesioner lisan merupakan sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewee) (Suharsimi Arikunto, 2013: 198). Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam atau in depth interview dalam proses pengumpulan data. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggali informasi dari subyek untuk mengeksplorasi perilaku dan kepribadian subyek dalam sudut pandang psikologi individual secara mendalam hingga sampai pada titik jenuh dan tidak ada lagi informasi yang dapat digali.

Metode wawancara ini merupakan metode utama yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan saat wawancara adalah seputar tingkah laku dan kepribadian subyek yang berkaitan dengan elemen-elemen dalam psikologi individual berupa perjuangan ke arah superioritas, persepsi-persepsi subyektif, finalisme fiksional, minat sosial, dan juga gaya hidup.

Selain dilakukan dengan subyek, wawancara juga dilakukan dengan informan kunci yang merupakan orang yang dekat dengan


(64)

subyek. Hal ini ditujukan untuk memberikan data yang lebih menyeluruh serta menunjang data yang didapatkan dari subyek.

2. Observasi

Marshall (1995 dalam Sugiyono, 2010: 64) menyatakan bahwa observasi merupakan sebuah metode di mana peneliti belajar tentang suatu perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Penelitian ini menggunakan metode observasi untuk mengumpulkan data dengan mengamati perilaku waria. Hal-hal yang diamati dalam observasi antara lain adalah penampilan, gaya bicara, gestur, lingkungan sekitar subyek, dan hubungan subyek dengan lingkungan sekitarnya.

Jenis observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi tersamar di mana subyek mengetahui bahwa peneliti sedang melakukan penelitian terhadapnya, namun subyek tidak mengetahui bahwa peneliti sedang mengobservasi dirinya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang paling utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri (Moelong, 1998 dalam Suharsimi Arikunto, 2013: 24). Oleh karena itu keterlibatan peneliti merupakan hal yang sangat penting. Namun dalam pengumpulan data, peneliti dibantu dengan adanya instrumen lain yang dalam penelitian ini meliputi pedoman wawancara dan


(65)

pedoman observasi. Berikut ini merupakan kisi-kisi dari pedoman wawancara:

Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara

No. Aspek Deskriptor

1. Identitas Subyek Nama, Usia, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan

2. Perilaku dan

Kepribadian Waria dalam Perspektif Psikologi Individual

Perjuangan ke Arah Superioritas: cara-cara menjalani kehidupan dan mengatasi berbagai masalah sebagai seorang waria Persepsi-Persepsi Subyektif: reaksi dan tanggapan mengenai berbagai kejadian dalam hidup terkait dengan status sebagai waria

Finalisme Fiksional: keinginan dan harapan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang waria

Minat Sosial: keterlibatan dalam membangun dan menjalani kehidupan sosial

Gaya Hidup: keyakinan dalam memandang kebenaran sebagai patokan menjalani kehidupan sebagai waria

Selain pedoman wawancara terdapat pula pedoman observasi untuk membantu proses pengumpulan data penelitian. Berikut merupakan kisi-kisi pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini:

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi

No. Komponen Aspek

1. Ketidaksesuaian antara gender yang dimiliki/diekspresikan dengan gender yang diberikan

1. Penampilan 2. Gesture tubuh 3. Gaya bicara 4. Tingkah laku


(66)

sosial, lapangan pekerjaan, dan fungsi lain dari area kehidupan yang penting

tinggal

3. Hubungan waria dengan sekitarnya

4. Pekerjaan waria 5. Aktivitas sehari-hari

waria

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Interpretative Phenomenological Analysis. Teknik analisis data ini merupakan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif studi fenomenologi. Aktivitas yang dilakukan dalam teknik ini mencakup reading and re-reading, initial noting, developing emergent themes, moving the next cases, dan looking for patterns across cases (Smith, 2009 dalam Mami Hajaroh, 2010).

Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing tahapan dalam analisis Interpretative Phenomenological Analysis:

1. Reading and Re-reading

Tahapan ini dilakukan dengan menuliskan transkrip yang berupa data audio menjadi transkrip dalam bentuk tulisan. Data tersebut kemudian dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti sehingga selanjutnya dapat dikembangkan dan diperoleh pemahaman peneliti mengenai narasi-narasi subyek yang kemudian dapat dibagi dalam beberapa bagian.


(67)

2. Initial Noting

Pada tahap ini dilakukan uji isi atau konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan subyek dalam level eksplanatori. Analisis ini dilakukan untuk menjaga pemikiran yang terbuka dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip. Pada tahap ini dilakukan juga identifikasi secara spesifik cara-cara subyek mengatakan tentang sesuatu, memahami dan memikirkan mengenai isu-isu.

3. Developing Emergent Themes

Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap catatan eksplanatori yang telah dibuat pada tahapan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi munculnya tema-tema termasuk untuk memfokuskan sehingga sebagian besar transkrip menjadi jelas. Tahap ini memungkinkan peneliti untuk mereorganisasi data pengalaman subyek dengan menyusun kembali alur narasi dari wawancara jika pada narasi awal dianggap tidak sesuai.

4. Searching for Connection Across Emergent Themes

Pada tahap ini peneliti mencari hubungan antara tema-tema yang muncul. Hubungan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk grafik atau pemetaan dan memikirkan tema-tema yang bersesuaian satu sama lain. Peneliti didorong untuk mengeksplor dan mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil penelitiannya dalam hal pengorganisasian analisis. Analisis yang dilakukan tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.


(68)

5. Moving The Next Cases

Setelah selesai melakukan tahap 1-4 pada satu subyek, maka dilakukan tahap ini dengan mengulang tahapan 1-4 pada subyek yang lainnya hingga selesai dilakukan pada semua subyek dalam penelitian. 6. Looking for Patterns Across Cases

Tahapan ini dilakukan dengan menganalisa dan mencari pola-pola yang muncul pada setiap subyek atau kasus.

H. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data diperlukan dalam sebuah penelitian guna memastikan bahwa data yang didapatkan valid dan reliabel. Dalam penelitian kualitatif, suatu data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2010: 119). Oleh karena itu diperlukan data yang benar-benar apa adanya agar suatu temuan dapat dikatakan valid.

Penelitian ini menggunakan triangulasi untuk menguji data dan temuan yang didapatkan. Triangulasi merupakan suatu cara pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Sugiyono, 2010: 125). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan membandingkan data hasil wawancara dari berbagai sumber di mana dalam penelitian ini adalah wawancara subyek dan informan.


(69)

Sedangkan triangulasi metode dilakukan dengan membandingkan data yang didapat dari berbagai metode di mana dalam penelitian ini adalah metode wawancar dan observasi. Penggunaan teknik tersebut diharapkan menghasilkan data yang lebih obyektif dan apa adanya.


(70)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Setting Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Bantul, Yogyakarta tepatnya di Pondok Pesantren Waria yang terdapat di wilayah tersebut. Wawancara dilakukan di Pondok Pesantren Waria sedangkan observasi dilakukan pada saat wawancara dan di tlingkungan tempat tinggal subyek serta pada pekerjaan yang ditekuni subyek. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2016.

2. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini merupakan 4 (empat) orang waria yang berdomisili di Yogyakarta. Kriteria umum subyek dalam penelitian ini adalah seorang waria yang telah menjalani kehidupan sebagai waria selama 2 tahun sesuai dengan karakteristik waria yang dipaparkan oleh Nadia (2005) dalam Winie Wahyu Sumartini M., dkk. (2014). Selain itu subyek juga menunjukkan penampilan dan perilaku yang cenderung berlawanan dengan gender fisiologis serta mengalami kesulitan di berbagai bidang kehidupan sebagai waria. Subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Subyek NA (inisial)

Nama Subyek : NA (disamarkan)


(71)

Tingkat Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Pengamen dan Usaha Catering

Subyek NA adalah seorang waria yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen dan memiliki usaha catering. NA mulai mendeklarasikan dirinya sebagai waria pada saat ia berada pada kelas 2 SMP. Meskipun demikian, ia mengaku bahwa ia sudah memiliki naluri selayaknya perempuan sejak ia masih kecil.

NA menganggap bahwa statusnya sebagai waria adalah sebuah takdir. Oleh karena itu ia lebih baik menjalani kehidupan sebagai waria daripada ia tidak menjadi dirinya sendiri. Meskipun saat ini NA sudah berpenampilan layaknya perempuan selama 24 jam dengan memakai pakaian perempuan dan berdandan, sebelumnya ia menjalani perjuangan yang cukup berat untuk meyakinkan keluarganya.

NA juga tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan baik dari orang terdekatnya maupun masyarakat. Namun demikian tidak menjadikan alasan bagi NA untuk menutup diri dari kehidupan sosial karena ia merasa ingin berkehidupan layaknya orang lainnya. NA memahami bahwa tidak semua orang berlaku tidak baik padanya. Oleh karena itu ia berperilaku kepada orang lain sesuai dengan bagaimana orang lain memperlakukan dirinya.


(72)

b. Subyek S (inisial)

Nama Subyek : S (disamarkan)

Usia : 57 tahun

Tingkat Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Penari dan Penjaga Warung

Subyek S adalah seorang waria yang bekerja sebagai penari dan penjaga warung. S mengaku ia sudah merasa memiliki naluri layaknya perempuan sejak ia masih kecil. Namun demikian ia baru berani berpenampilan layaknya perempuan dengan memakai rok dan berdandan pada saat ia sudah mulai bekerja sebagai seorang penari ketika remaja.

S menganggap ia sudah dilahirkan sebagai waria dan hal tersebut sudah tidak dapat lagi dirubah. Oleh karena itu meskipun sempat mendapat pertentangan dari keluarga dan olokan dari masyarakat, S tetap memilih menjalani kehidupan sebagai waria. S merupakan sosok yang tertutup sehingga ia tidak mudah mengekspresikan dirinya. Ia lebih banyak diam bahkan ketika ia diperlakukan tidak baik karena jika menjawab ia takut sakit hati.

Saat ini S hidup dengan pasangannya di rumah orang tuanya dan menjalani kehidupan masyarakat dengan sewajarnya. Meskipun masyarakat sekitarnya mengetahui statusnya sebagai waria namun menurut S, ia akan lebih diterima jika orang tidak tahu jika dia adalah seorang waria. Oleh karena itu ia


(73)

berpenampilan layaknya perempuan dan berdandan selama 24 jam dengan alasan tersebut sekaligus mengekspresikan dirinya.

c. Subyek I (inisial)

Nama Subyek : I (disamarkan)

Usia : 42 tahun

Tingkat Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pengamen

Subyek I adalah seorang waria yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen. Dalam menjalani aktivitas sehari-hari I berpenampilan wajar dengan mengenakan kaos dan celana. Namun ketika bekerja ia berdandan dan memakai pakaian perempuan. I menyebut penampilan sehari-harinya tersebut dengan istilah perempuan yang tomboy.

I mempercayai bahwa statusnya sebagai waria sudah ia alami sejak ia lahir. Ia juga mempercayai bahwa kedekatan emosional dan cara ibunya memperlakukannya semakin membuat dirinya ingin mengekspresikan dirinya sebagai waria. Sampai saat ini keluarganya tidak mengetahui bahwa dirinya suka berdandan dan berpenampilan layaknya perempuan. Oleh karena itu ia tinggal di sebuah kos-kosan di Jogja dengan alasan bekerja dan agar lebih bisa mengekspresikan dirinya. Meskipun demikian I masih menjalin hubungan yang baik dengan keluarganya.


(1)

329 

keluarganya, meskipun subyek terlihat lebih santai tetapi suara yang ia gunakan lebih lirih daripada ketika membicarakan tentag topik lainnya. Subyek terlihat sangat antusias ketika ia membicarakan tentang lingkungan kosnya yang

tidak pernah mempermasalahkan kondisi

dirinya. Ia juga bersemangat

ketika membicarakan tentang kegiatannya bersama teman-teman waria

yang dimilikinya. Meskipun demikian, subyek berulang kali mengucapkan bahwa hal yang paling penting baginya adalah keluarganya. Kesulitan yang

signifikan atau ketidaknyamanan dalam

bidang sosial, lapangan pekerjaan, dan fungsi lain dari area kehidupan yang penting

1. Lingkungan pergaulan 2. Lingkungan

tempat tinggal 3. Hubungan waria

dengan sekitarnya 4. Pekerjaan waria 5. Aktivitas

sehari-hari waria

Sehari-hari subyek tinggal di lingkungan kos di mana penghuninya berperilaku individual. Namun demikian subyek tetap mengenal lingkungan sekitarnya dengan baik. Ia juga berinteraksi dengan baik dengan tetangga sekitar dan juga pemilik kos yang dihuninya. Ketika subyek lewat di jalan sekitar kosnya, cukup banyak orang yang menyapa dan bersikap positif pada subyek. Mereka juga tidak memandang aneh ketika subyek keluar rumah dengan berdandan ketika


(2)

330 

akan bekerja.

Sementara itu ketika bekerja sekalipun subyek juga membangun hubungan yang baik dengan orang-orang di wilayahnya bekerja. Mereka yang sudah mengenal subyek juga menyapa subyek ketika ia tengah mengamen di toko atau warung tertentu. Bahkan ada beberapa warung yang memberikan subyek makanan ataupun uang yang

lebih.

Ketika tengah berkumpul dengan teman-teman warianya, subyek juga selalu

terlibat dalam percakapan. Namun yang ia bahas hanyalah topik yang umum saja. Ia sama sekali tidak

ikut membicarakan kehidupan pribadinya bahkan ketika

teman-temannya tengah membahas topik tersebut.

Subyek cukup aktif mengikuti kegiatan dalam komunitas waria. Namun sehari-hari ia lebih fokus dengan pekerjaannya.


(3)

331  LAMPIRAN 19

HASIL OBSERVASI SUBYEK E Nama Subyek : E

Tanggal : Jum’at, 26 Agustus 2016

Komponen Aspek Deskripsi

Ketidaksesuaian antara

gender yang dimiliki/diekspresikan

dengan gender yang diberikan

1. Penampilan 2. Gesture tubuh 3. Gaya bicara 4. Tingkah laku

Secara penampilan subyek berpenampilan sewajarnya dalam aktivitas sehari-hari, seperti menggunakan kaos dan celana. Namun demikian subyek memanjangkan rambutnya

dan melakukan prosedur kecantikan di wajahnya sehingga semakin mirip layaknya perempuan.

Ketika berbicara subyek banyak menggerakkan tangannya ketika menjelaskan sesuatu. Subyek juga sering sekali menjelaskan prinsip-prinsip hidup yang ia pegang. Ia juga sangat antusias ketika membicarakan tentang ibunya. Subyek juga berulang kali menjelaskan apa saja hal yang diajarkan ibunya ke padanya sebagai bekal menjalani hidup. Kontras dengan hal tersebut, subyek tidak begitu banyak membicarakan tentang ayahnya. Ia juga mengekspresikan rasa malas


(4)

332 

tentang ayahnya.

Subyek juga terlihat merasa tidak nyaman jika menyebutkan pekerjaannya. Ia lebih sering menggunakan kata bekerja daripada menyebutkan profesinya.

Subyek berbicara menggunakan nada yang

biasa saja. Namun ia akan menekankan pada hal-hal yang menarik untuknya,

termasuk saat membicarakan tentang

lingkungan tempat tinggalnya di Jogja.

Sikap duduk dan cara berjalan subyek adalah perilaku yang selayaknya dilakukan oleh perempuan. Kesulitan yang

signifikan atau ketidaknyamanan dalam

bidang sosial, lapangan pekerjaan, dan fungsi lain dari area kehidupan yang penting

1. Lingkungan pergaulan 2. Lingkungan

tempat tinggal 3. Hubungan waria

dengan sekitarnya 4. Pekerjaan waria 5. Aktivitas

sehari-hari waria

Subyek tinggal di sebuah

kontrakan dalam perkampungan yang dapat

dibilang ramah untuk waria. Karena itu tetangga di sekitar rumah subyek juga bersikap wajar dan ramah terhadap subyek maupun tamunya. Subyek juga terlibat dalam beberapa kegiatan bermasyarakat di

lingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat di

sekitar tempat tinggal subyek juga tidak mempermasalahkan ketika subyek keluar dengan


(5)

333 

berdandan saat akan bekerja. Subyek juga menjalin hubungan baik dengan rekan-rekannya sesama waria. Meskipun demikian ia tidak begitu aktif terlibat dalam kegiatan komunitas waria. Ketika ada suatu kegiatan yang berbenturan dengan pekerjaannya, ia lebih memilih untuk bekerja daripada mengikuti kegiatan tersebut.

Ketika bertemu dengan orang baru, subyek cenderung diam dan terkesan membatasi dirinya. Namun jika yang dibicarakan adalah hal yang menarik untuknya, ia tidak

segan-segan untuk bergabung di dalam pembicaraan.

Tak jarang subyek terkesan cuek dengan lingkungan di sekitarnya, baik itu yang melibatkan masyarakat di

lingkungan tempat tinggalnya maupun


(6)