Reduksi Data Hasil Wawancara
68
bilang gitu… Tapi ada juga, apa, penolakan dari keluarga itu memang ada ya… Tapi lama-lama ya sudah, nggak bisa ini,
nggak bisa, karena anaknya juga seperti itu ya udah anu… nggak bisa disalahkan gitu.” Wawancara dengan subyek S, 17
Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa S merasa jika perasaan dan perilaku layaknya permpuan yang dimilikinya
sejak kecil merupakan suatu hal yang wajar. Alasannya adalah karena ayahnya merupakan seorang penari yang ketika berada di
atas panggung menari sebagai perempuan. Sehingga ia merasa bahwa tetangga dan keluarganya dapat memaklumi statusnya
sebagai waria dengan alasan tersebut. Subyek I juga memiliki persepsi tersendiri mengenai
pilihannya menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya kemungkinan kalau aku itu sudah dari kecil lah, dari sejak lahir kemungkinan. Karena aku memang tiga bersaudara laki
semua ya… Iya, aku terakhir. Lalu kemungkinan… kemungkinan aku sama ibuku itu lebih dekat, dalam arti satu tali
batin. Di situlah kemungkinan… bukan ini ya… jiwa perempuannya kemungkinan ibuku menginginkan anak
perempuan. Pernah dulu… Lalu akhirnya setiap aku minta apa apa perempuan di ini… dibeliin waktu masih kecil jadi akupun
lebih deket sama ibu.” Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menggambarkan bahwa I mempercayai ia telah memiliki kecenderungan waria sejak ia lahir.
Ia juga mengungkapkan adanya faktor bahwa ia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara di mana kedua kakaknya juga laki-laki
69
membuat dirinya menjadi sangat dekat dengan ibunya. I juga mengungkapkan bahwa ibunya pernah mengatakan bahwa ingin
memiliki anak perempuan. Kedekatan dengan ibunya dan keinginan ibunya tersebut membuat I semakin merasakan adanya
keinginan menjadi layaknya perempuan. Didukung dengan ibunya yang selalu menuruti ketika ia meminta barang atau mainan yang
identik dengan perempuan ketika ia masih kecil. Pernyataan I bahwa ia sudah memiliki kecenderungan waria
dari kecil juga dibenarkan oleh SI, teman dekat I. Berikut merupakan kutipan wawancaranya:
“Kalau mbak I itu dia itu juga dari kecil dia tahu dia cenderung untuk mengekspresikan dirinya sebagai perempuan.”
Wawancara dengan informan SI, 2 September 2016.
Sementara itu subyek E juga memiliki persepsi tersendiri mengenai pilihannya menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut
kutipan wawancaranya: “Saya sebagai waria itu sebagai pribadi saya sendiri… pribadi
ya… dari kemauan saya sendiri. Dari kecil, karena kan karena kalau saya pribadi dari ketahuan dari… ketahuan dari kecil itu
karena ibu saya nggak bisa ngusil gitu. Maksudnya ibu itu nggak bisa… nggak bisa kamu gini… enggak… karena kan ibu udah
tahu gitu lho. Mungkin dari lahirlah… karena ada identik antara… ada yang terganggu katanya… kata dokter.”
Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa subyek E menganggap ia sudah terlahir sebagai waria. Ia juga menambahkan
bahwa sesungguhnya ibunya sudah tahu semenjak ia kecil.
70
Berikutnya E juga menerangkan bahwa salah saktu faktor yang menyebabkan ia terlahir sebagai waria adalah keterangan dari
dokter yang menyatakan bahwa ia mengalami kelainanan sel. Ia menjalaskan secara lebih lanjut hal tersebut dalam kutipan
wawancara berikut ini: “Waktu umur lima tahun, kok dok katanya, tingkah laku anak
saya berbeda dengan yang lainnya, katanya, kok gerakannya kok kok kok kan dia laki-laki tapi kok kayak perempuan dok katanya.
Katanya orang tua tu kenapa karena keluargaku gini gini gini, coba sini ibu katanya dia lihat, belum, oh bu belum bisa
sekarang, katanya. Katanya diperiksanya yang pasti belum bisa katanya, cobalah sebelas tahunanlah ke sini lagi, katanya.
Karena kan saya dari KF bapak saya…Iya KF kan farmasi, KF di Pajajaran di Bandung, nah terus sebelas tahun periksa lagi, oh
bu ini ada sel yang… apa itu… jadi sel yang terganggu katanya… Iya… dari dalem katanya, jadi nggak bisa untuk
diobati katanya. Siapapun juga nggak bisa diobati bu, jadi cuma itu mah terserah ibu katanya, jangan sampai dipaksakan, katanya,
jangan sampai kekerasan, anak ini nanti kelemahannya banyak, katanya gitu. Jadi ibu ngerti… karena dari dokter, ibu pun
berjuang ke sana ke mari ke sana ke mari, nggak ada artinya… menghabiskan uang…” Wawancara dengan subyek E, 19
Agustus 2016.
Dari kutipan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa ibu subyek sudah menyadari tingkah laku subyek E yang lebih
cenderung seperti seorang perempuan. Oleh karena itu, ibu E membawanya ke dokter untuk diperiksa. Hasil yang diterima dari
dokter adalah bahwa subyek mengalami kelainan sel yang tidak bisa disembuhkan. Dengan alasan tersebut ibu E menerima
kondisinya meskipun masih berusaha membawanya ke sana ke mari untuk menyembuhkannya. Sementara itu, E menganggap
bahwa usaha ibunya tersebut hanyalah membuang-buang uang saja
71
karena ia merasa bahwa ia tidak akan bisa dirubah dan sudah terlahir sebagai waria. Subyek E juga menyampaikan bahwa
statusnya sebagai waria adalah sebuah takdir dalam kutipan wawancara berikut:
“Jauh aja kalau sekarang… Karena tidak… dalam arti mungkin bapak saya pribadi walaupun usia saya udah begini tidak
menerima juga gitu. Walaupun udah… udah tahu dari dokter itu, memang faktanya begini tapi tidak menerima. Harusnya sih
ya… tapi apa boleh buat kita. Nggak bisa melawan saya… nggak ada… melawan takdir gitu. Saya sendiri juga malu kok.
Ya begini… saya misalkan kan saya sempurna… iya kan? Nggak ada cacat cacatnya ibaratnya kan? Tapi bertingkah laku
kok kayak perempuan, iya kan? Mendingan cacat tubuh, kelihatan orang. Iya kan? Seperti begini… gimana… ya kan?
Jadi fisik lah yang berarti… yang terganggu. Nah itulah… Kalau keinginan sih pengennya normal seperti orang lain. Laki-laki
lah… semuanya… tapi nggak bisa kan? Jadi nggak bisa… naluri gitu lho…” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa meskipun sudah dibawa ke dokter tetapi ayah E tidak begitu saja menerima
kondisi subyek. Namun subyek merasa tidak dapat berbuat apa-apa karena yang dijalaninya saat ini sudah ia anggap sebagai takdir. Ia
juga menambahkan bahwa sesungguhnya ia juga malu. Bahkan E mengungkapkan jika ia lebih baik cacat fisik yang dapat dilihat
oleh orang daripada harus mengalami apa yang terjadi padanya. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk menjadi laki-laki yang ia
anggap normal. Tetapi E merasa bahwa ia tidak berdaya dan tidak bisa melakukan itu karena nalurinya sebagai seorang perempuan.
72
b. Perjuangan ke Arah Superioritas
Perasaaan dan perilaku yang cenderung identik dengan perempuan yang dimiliki oleh para subyek tersebut kemudian
mendorong mereka untuk mengekspresikan diri mereka. Masing- masing subyek memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan
kewariaan yang menurut mereka sudah ada pada diri mereka sejak kecil itu. Subyek NA mengungkapkan bahwa ia merasa sangat
ingin mengekspresikan dirinya layaknya perempuan ketika tengah mengalami masa puber. Berikut kutipan wawancaranya:
“Aku waktu itu, ya namanya juga perempuan ya.. namanya juga orang ya, kita..mungkin aku lebih mantep untuk…emm.. apa ya..
sebagai perempuan itu waktu aku merasakan..merasakan puber. Iya..puber itu aku lebih senang memandang laki-laki ganteng..
laki-laki tampan daripada perempuan cantik, dan aku ada perasaan aneh sewaktu aku dengan.. aku berdampingan, ataupun
duduk berdua dengan laki-laki yang tampan ataupun laki-laki yang ganteng daripada aku duduk dengan perempuan yang
cantik. Kalau dengan perempuan-perempuan itu aku merasa biasa saja..nggak ada perasaan apapun.” Wawancara dengan
subyek NA, 16 Agustus 2016.
Kutipan wawancara NA tersebut menunjukkan bahwa NA merasa mulai mantap dengan keputusannya memilih menjalani
kehidupan sebagai waria pada saat masa puber. Hal tersebut dikarenakan NA merasa ia lebih memiliki ketertarikan dengan laki-
laki dibandingkan ketertarikan dengan perempuan. Ia menganggap bahwa ia memiliki perasaan aneh ketika duduk berdampingan
dengan laki-laki dan tidak merasakan apapun jika bersebelahan dengan teman perempuannya. Perasaan tersebut kemudian semakin
73
mendorong NA untuk mengekspresikan dirinya. Berikut kutipan wawancara di mana NA menjelaskan caranya untuk
mengekspresikan dirinya: “Nah itu setelah SMP itu keinginanku kuat sekali untuk
berpenampilan perempuan, berdandan perempuan, memanjangkan rambut, memanjangkan kuku, dan aku sering
melihat gambar-gambar perempuan cantik, akhirnya aku meniru gaya-gaya itu. Sampai aku nekat waktu SMP aku pakai seragam
adekku yang perempuan itu, aku pakai ke sekolah.”Wawancara dengan NA, 16 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menerangkan bahwa NA merasakan keinginan yang begitu kuat untuk mengekspresikan
dirinya ketika ia SMP. Ia mulai mengekspresikan keinginannya tersebut dengan memanjangkan rambut dan memanjangkan kuku
selayaknya yang dilakukan oleh perempuan. Kemudian ia juga nekat memakai seragam sekolah perempuan milik adiknya ketika
berangkat sekolah untuk menyalurkan keinginan kuatnya tersebut. Kenekatan NA tersebut bukan tidak menimbulkan permasalahan. Ia
mendapatkan pertentangan baik dari pihak sekolah maupun keluarganya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Akhirnya aku dipanggil ke BP waktu itu… lhoh kamu kok pakai seragam seperti ini kenapa? Ya aku jawab, aku perempuan
pak. Terus gurunya bilang, enggak kamu itu laki-laki. Terus pokoknya enggak, kalau aku nggak boleh pakai seragam seperti
ini aku nggak mau sekolah. Akhirnya orang tuaku dipanggil, ya itu… akhirnya aku disuruh memilih, kalau kamu mau
menyelesaikan sekolah ya kamu pakai seragam laki-laki, kalau kamu nggak melanjutkan… kalau kamu pakai penampilan
seperti itu ya kamu tidak boleh sekolah, katanya. Akhirnya aku memutuskan aku keluar dari sekolah.” Wawancara dengan
subyek NA, 16 Agustus 2016
74
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana pihak sekolah menentang keputusan NA untuk memakai seragam
perempuan ke sekolah. Meskipun demikian NA tetap kuat pada pendiriannya bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga sudah
sewajarnya jika ia memakai seragam perempuan. Permasalahan tersebut kemudian membuat orang tuanya harus datang ke sekolah
dan meminta NA untuk memilih berpenampilan laki-laki sehingga bisa ke sekolah atau berpenampilan perempuan namun tidak boleh
sekolah. Hingga akhirnya, NA lebih memilih untuk meninggalkan sekolah agar bisa berpenampilan layaknya perempuan. Hal tersebut
sesuai dengan yang diungkapkan oleh informan SI. Berikut kutipan wawancaranya:
“Bapaknya dulu nggak mau dia memakai rok gitu nggak mau. Karena dia mengotot mau pakai seragam perempuan ke sekolah
kan, kemudian dia memilih untuk keluar sekolah karena sekolah tidak mau memberi izin.” Wawancara dengan informan SI, 30
Agustus 2016.
Kutipan wawancara dari SI tersebut membenarkan apa yang diungkapkan oleh NA, bahwa ia diminta untuk memilih antara
sekolah dan kebebasan mengekspresikan dirinya. Menurut SI, pihak yang menentang keputusan NA tersebut adalah ayahnya
sendiri. Namun pada akhirnya NA tetap memilih untuk meninggalkan sekolah agar dapat berpenampilan layaknya
perempuan. Seperti NA, subyek S juga tidak melanjutkan sekolah namun dengan alasan yang berbeda. Berikut kutipan wawancaranya:
75
“Saya SMP pun nggak sampai lulus saya sudah keluar karena ya nggak betah diolok-olok itu mbak.Iya… diolok-olok karena saya
kan genit gitu lho. Bencong bencong banci, wandu dulu kalau bilang itu. Iya… terus saya nggak betah malah saya terus keluar
itu.” Wawancara dengan subyek S, 17 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek S memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena ia tidak tahan
dengan olokan yang ia dapatkan dari teman-temannya. Menurut subyek S, ia diolo-olok karena perilakunya yang genit dan seperti
perempuan. Setelah memutuskan untuk keluar dari sekolah, subyek S kemudian juga mulai mengekspresikan keinginannya untuk
berdandan layaknya perempuan. Berikut kutipan wawancaranya: “Nah itu terus saya ikut ludruk mbak, ikut ludruk terus saya
dandan itu. Sudah tujuh bulan naik itu terus sudah mulai dandan saya. Terus saya kan sudah bisa, sudah ada bakat narinya, terus
saya diambil PT AM saya. Di sana suruh nari juga di sana, panggung terbuka itu lho mbak, jeplak seperti mobil itu buat
promosi merk AM sampai sepuluh tahun saya.” Wawancara dengan subyek S, 17 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek S menekuni pekerjaan sebagai pemain ludruk setelah ia keluar dari
sekolah. Setelah mulai menggeluti pekerjaan tersebut, subyek juga mulai mengekspresikan keinginannya dengan berdandan.
Kemudian karena subyek telah memiliki ketrampilan menari sedari kecil, subyek melanjutkan pekerjaan sebagai penari di salah satu
perusahaan sebagai media promosi. Pekerjaan subyek tersebut mengizinkan subyek untuk berpenampilan selayaknya perempuan.
Karena hal tersebut, subyek merasa keinginanan dan
76
ketrampilannya sama-sama tersalurkan sehingga ia semakin bebas mengekspresikan diri sebagai waria. Tidak jauh berbeda dengan
apa yang dialami oleh S, subyek I juga mengalami permasalahan di sekolah dikarenakan perilakunya yang mirip dengan sewajarnya
perilaku perempuan. Berikut kutipan wawancaranya: “Lingkungan sekolah tahu kalau ibaratnya aku di situ wandu,
bahasa kampungnya kalau banci kan wandu, gitu. Katanya, oh si Wnama asli I wandu nggak suka perempuan malah kayak
perempuan terus. Ah ya sudah yang penting aku di sekolah ibarat orang ngomong masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Ya seringlah. Tapi kan udah kebal jadinya udah hal yang biasa. Karena saking seringnya jadinya ah angin lalu.” Wawancara
dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana selama menjalani kehidupan di sekolah, I tidak pernah lepas dari
ejekan teman-temannya mengenai kecenderungan perilakunya yang identik dengan perempuan. Karena intensitas ejekan yang diberikan
kepadanya sangat sering, I kemudian tidak lagi menggubris perkataan teman-temannya tersebut. Namun demikian, I
mengungkapkan bagaimana perasaannya ketika ia menerima ejekan tersebut dalam kutipan wawancara berikut ini:
“Ya itu kadang aku langsung benci sama orangnya, ngapain sih kamu ngurusin aku.Verbal aku. Aku orangnya terbuka, nggak
punya rasa dendam, aku orangnya gitu.” Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek I menyimpan kebencian terhadap orang-orang yang mengejeknya.
Namun kebencian itu langsung ia ungkapkan secara verbal. Hal itu
77
dilakukan oleh subyek I karena ia menganggap bahwa dirinya adalah orang yang terbuka dan tidak ingin menyimpan
kebenciannya tersebut menjadi rasa dendam. Subyek I juga menjelaskan bagaimana awal mula ia mendeklarasikan dirinya dan
mengekspresikan dirinya sebagai waria dalam kutipan wawancara berikut:
“Karena kan waktu itu aku memang pernah kerja, kerja lalu diPHK. Aku kerjanya juga kakakku yang nyariin di sana PHK
tahun dua ribu… waktu gonjang ganjing itu lho, Suharto di itu langsung aku udah terpaut umur, aku udah di ini. Akhirnya aku
kenalan sama seorang waria, waktu itu aku
ditanya, kamu waria ya? Aku waktu itu diem aja…Terus dia bilang ikut aja daripada
kamu kelaparan di jalan. Akhirnya aku ngamen di kereta. Aku gimana, terus aku yang penting walaupun aku waria aku punya
pikiran positif, aku kerja cari makan yang penting halal. Apapun itu resiko walaupun itu tantangannya Satpol PP, ini, penting
melalui jalur nggak ini.
Kemungkinan dandan bebas itu ya itu habis PHK kan aku langsung ngamen, kan harus dandan.”
Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016. Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa subyek I
mulai bebas berdandan setelah ia menjalani profesi sebagai pengamen. Ia juga menyatakan bahwa berdandan adalah salah satu
keharusan ketika ia sedang melakukan pekerjaannya. I juga menerangkan bahwa awal mula ia bekerja sebagai waria pengamen
adalah karena ajakan dari seorang waria yang tidak sengaja ia temui. Ia sempat memiliki keraguan dengan pekerjaannya, namun
pikiran ragu tersebut ia tepis dengan pikiran yang lebih positif yaitu bahwa ia bekerja yang penting adalah halal walaupun ia adalah
seorang waria. Lebih lanjut I menerangkan bahwa ia hanya
78
berdandan ketika saat-saat tertentu dan bekerja saja, ketika di kos ia hanya memakai pakaian yang sewajarnya. Berikut kutipan
wawancaranya: “Aku kan kadang penyesuaian kalau di kos masa kita mau
dandan pakai ini kalau nggak ada temannya mau ngapain, hayo. Saya itu kan kadang ngundang nafsu takutnya, kan kita yang
penting pembawaan kita, gitu. Ya sebenarnya kalau di kos aku juga sering tapi, bapak kos kadang juga, kamu mbok dandan, ya
saya enggak ah, dandan buat siapa. Katanya dandan nggak apa- apa, nggak usah dilepas. Tapi aku, ih enggak ah buat siapa orang
mau tidur kok nggak dilepas, gitu.” Wawancara dengan subyek I, 18 September 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa ketika sehari-hari berada di kos, subyek I lebih memilih untuk
berpenampilan sewajarnya karena menurutnya tidak ada gunanya jika ia berdandan dan berpenampilan perempuan tanpa memiliki
tujuan. Meskipun bapak kos di tempatnya tinggal memberi izin dan memaklumi, namun I tetap berpenampilan wajar. Hal tersebut ia
lakukan untuk menjaga dirinya dan pembawaannya agar tetap terlihat sewajarnya. Pernyataan tersebut juga dikuatkan oleh
informan SI. Berikut kutipan wawancaranya: “Artinya dia tidak dandan, tidak ini juga, toh dia juga apa ya,
dandan hanya ketika dia mau pesta, mau ngamen. Kalau di rumah juga dia nggak pernah dandan, kalau di rumah begini.
Dia nggak pernah dandan, seperti kalau dia di rumahnya kalau di Wates itu, iya. Dia dandan make up pakai rok pakai ini hanya
ketika dia mau ke pesta, ada rapat, kemudian mau ngamen, udah mau kerja, itu. Jadi pada dasarnya dia juga nyaman ketika tidak
dandan juga nyaman,gitu.” Wawancara dengan infoman SI, 2 September 2016.
79
Kutipan dari informan SI tersebut menjelaskan bahwa subyek I sesungguhnya merasa nyaman baik ketika dia sedang
berdandan dan berpenampilan perempuan maupun ketika tidak. SI juga menerangkan kebiasaan I, bahwa I hanya berdandan dan
memakai pakaian perempuan ketika sedang mengamen atau menghadiri acara-acara tertentu saja. Sedangkan ketika sedang di
kos ataupun di rumah, subyek I berpenampilan biasa saja. Berbedan dengan subyek I, subyek E memiliki cara tersendiri untuk
mengekspresikan keinginannya berpenampilan layaknya perempuan. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya karena keluarga kan agama yang diutamakan gitu… Diutamakan kan… kalau bekerja nggak jadi masalah, itu kerja,
tapi kalau untuk keluar malam tidak diperbolehkan. Jadi jangan sampai ngasih yang nggak baik ke keluarga gitu… Lagi pula
kalau di Bandung itu kalau keluar malam perginya baru jam 12 malam. Tidak boleh jam 9, karena jam 9 kan anak-anak masih
bangun. Keluarga itu… Jangan kelihatan orang kalau berdandan atau apa gitu… Kalau di luar begini aja, cuek-cuek aja, kalau
nanti malam baru boleh gitu. Kalau siang biasa aja aku begini. Kalau malem iya dandan… baru bisa berekspresi jadi diri
sendiri gitu sampai sekarang.” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa di dalam keluarganya, E memiliki aturan-aturan tersendiri yang harus
dipatuhi. Aturan tersebut adalah bagaimana subyek E harus membedakan bagaimana ia berperilaku dan berpenampilan di siang
hari dan di malam hari. Subyek E diizinkan untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya apabila ia sedang tidak berada di
lingkungan rumah dan keluarga. Sedangkan, E harus berperilaku
80
selayaknya laki-laki ketika berada di lingkungan rumah dan keluarga. Oleh karena itu, subyek E baru bisa mengekspresikan
keinginannya berpenampilan sebagai waria di malam hari ketika tidak sedang berada di lingkungan rumah dan keluarga. Ketika
siang hari, subyek E berperilaku sewajarnya seperti seorang laki- laki. Hal tersebut juga dilakukan oleh subyek E sampai sekarang
meskipun ia tidak lagi tinggal bersama dengan keluarganya. Alasannya adalah sebagai berikut:
“Ya karena pesan ibu tadi. Jadi gini… kita saling menghargai lah. Sama orang lain… beradaptasilah dengan warga, ada yang
senang ada yang tidak… nah iya kan? Kita… yang tidak senanglah yang kita jaga, ya kan? Yang senang cuma ngetawain
doing, yang ini yang kita jaga yang tidak senangnya. Yang saya… yang selalu saya jaga itu yang tidak senangnya, yang
kontranya.” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek E tetap berpenampilan dengan wajar di siang hari karena ia selalu
ingat dengan apa yang dipesankan ibunya. Subyek E menyadari bahwa ada yang suka dan ada juga yang tidak suka dengan
statusnya sebagai waria. Oleh karena itu ia lebih memilih menjaga perilakunya agar tidak menimbulkan masalah dengan orang-orang
yang tidak suka dengan status warianya. c.
Gaya Hidup Semua subyek baik NA, S, I, dan E telah memiliki cara
tersendiri untuk mengekspresikan identitas dirinya sebagai waria. Namun hal tersebut tidak terlepas dari pro dan kontra. Masing-
81
masing subyek memiliki pengalaman tersendiri yang menurutnya sangat berkesan perihal apa saja yang dialuinya selama menjalani
pilihan kehidupan sebagai waria. Subyek NA mengaku bahkan pernah mencoba bunuh diri karena pilihannya menjalani kehidupan
sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya: “Kan bapakku pernah bilang sama aku, aku boleh berdandan
seperti itu, boleh seperti itu, tapi kamu nggak boleh keluar malam. Tapi karena aku juga, karena namanya juga waria ya,
tetap nalurinya untuk keluar malam, ketemu dengan komunitas, dengan teman-teman, apalagi aku denger dari tetangga, dari
berondong-berondong sekitar waktu itu kan katanya seperti kamu itu sukanya nongkrong di sana, banyak cowok-cowok.
Aku kan tertarik juga waktu itu karena ngerasa ada yang sama seperti aku, akhirnya aku pengen keluar gitu. Akhirnya ya aku
nekat keluar kan, tiap malem aku keluar, akhirnya lama-lama ketahuan. Aku dihajar sama bapakku, katanya kamu memalukan,
kamu sudah ini ini ini. Terus aku sampai ditendangin, diitu, kamu itu kalau mau jadi seperti itu nggak usah keluar malem
kenapa? Kalau kamu punya… punya apa… pengen punya pasangan ya sudah kamu satu saja nggak usah gonta-ganti, itu
kamu rawan penyakit, kamu bisa kena penyakit. Waktu itu raja singa ya… Kamu bisa kena raja singa, gitu. Terus bapakku
kayanya kalap itu, kalap kan aku sampai sakit. Terus aku bilang, sudah, berhenti, aku kesakitan, ini sakit. Masih aja katanya, ya
kamu dibilangin nggak mau. Terus aku jawab, kalau nggak berhenti aku nyebur sumur lho. Akhirnya bapakku bilang,
nyebur sana, kalau mau nyebur sumur nyebur aja kalau berani. Akhirnya aku nyebur sumur beneran, waktu itu kedalaman dua
belas meter. Tapi Alhamdulillah nggak kenapa-kenapa.” Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus 2016.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa subyek NA, pernah menyeburkan dirinya ke sumur karena tidak tahan ketika ia
dipukuli oleh ayahnya. NA mengetahui betul bahwa keluarganya memperbolehkannya berpenampilan layaknya perempuan, namun
melarangnya untuk keluar malam. Meskipun demikian, NA
82
melanggar aturan dari ayahnya dan memutuskan untuk keluar malam dengan dorongan dari rasa penasaran. Ia ingin bertemu
dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya dalam artian adalah seorang waria. Ketika sudah bertemu dengan
teman waria lainnya, NA merasa ia bisa lebih mengekspresikan dirinya ketika bersama dengan mereka. Karena itu ia terus-terusan
keluar malam hingga akhirnya ketahuan. Alasan ayahnya melarangnya keluar malam sesungguhnya adalah karena ayahnya
takut NA tertular oleh penyakit. Hingga pada akhirnya, NA ketahuan telah melanggar aturan ayahnya dan hal tersebut membuat
ayahnya memukulinya bertubi-tubi. NA mengeluarkan ancaman untuk menceburkan dirinya ke dalam sumur yang kemudian benar-
benar dilakukannya. Pernyataan NA tersebut dibenarkan oleh informan SI,
berikut kutipan wawancaranya: “Kejadian masuk sumur itu… Temenku juga memang…
namanya juga, NA itu juga bingung. Karena kalau waria itu kalau keluar nanti keluarganya marah, kamu pergi terus kayak
nggak tahu rumah gini gini gini. Tapi kalau di rumah, dia mencoba di rumah terus, kayak kerbau di rumah terus. Nah dia
kan bingung, iya dia bingung, nah konflik itulah, konflik itulah akhirnya dia… apa namanya, mencoba bunuh diri masuk sumur.
Ya itu, konflik-konflik seperti itu, jadi apa ya… orang tua kemudian setelah tahu bahwa anaknya ini punya gejala waria,
itu sebetulnya sudah protektif, sebetulnya sudah mencoba untuk menghalangi. Iya, menghalangi untuk tidak ke sana, untuk tidak
semakin menjadi perempuan. Iya, itu bapaknya itu berusaha menghalangi mbak NA itu bagaimanapun caranya, sampai dia
diusir.” Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
83
Kutipan tersebut menerangkan bahwa menurut SI, NA mengalami kebingungan di keluarganya. Kebingungan itu terjadi
karena posisi NA yang serba salah ketika berada di rumah ataupun keluar rumah. Hal tersebut kemudian mendorong NA untuk bunuh
diri dengan menceburkan diri ke dalam sumur. Tidak hanya sampai di situ, menurut SI konflik yang terjadi di dalam keluarga NA
akibat dari status warianya sempat membuat NA diusir dari rumah. Diusirnya NA dari rumah tersebut menurut SI adalah wujud dari
salah satu usaha ayah NA untuk mencegah NA menjadi lebih seperti seorang perempuan. Meskipun diusir dari rumah, SI juga
menambahkan bahwa NA tidak serta merta memutuskan hubungan dengan keluarganya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Pernah, pernah diusir juga. Sampai…apa ya, dia itu tidur saking dia nggak punya tempat tidur di kuburan. Dia waktu di
kuburan itu dia masih jadi tukang masaknya adiknya. Jadi dia tidak putus hubungan dengan keluarga, jadi hanya dia nggak
mau menjadi satu di rumah, gitu, dengan ibunya, gitu. Karena dengan bapaknya, karena dia merasa bapaknya itu membeda-
bedakan. Karena saya waria saya dibedakan, maka dia memilih tidak campur. Tetapi tidak kemudain dia putus hubungan dengan
keluarga gitu.” Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa ketika diusir dari rumah, NA tetap menjalin hubungan dengan
keluarganya. NA tidak mau serumah dengan orang tuanya untuk menghindari konflik di mana ia merasa dibeda-bedakan oleh orang
tuanya karena statusnya sebagai waria. Sementara itu, NA memiliki
84
anggapan tersendiri mengenai respon keluarganya terhadap status warianya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Tapi kalau untuk masalah kewariaanku sih orang tuaku sih tidak mempermasalahkan, cuma mempermasalahkannya aku
keluar malam itu.” Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus 2016.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa menurut NA, orang tuanya tetap tidak mempermasalahkan kewariaannya. Hanya saja
orang tuanya menentang jika ia keluar malam. Pernyataan tersebut juga didukung dengan fakta bahwa ketika NA memutuskan untuk
keluar dari sekolah, ayahnyalah yang mengarahkannya untuk ikut kursus. Menurut NA itu adalah salah satu alasan mengapa
sesungguhnya orang tuanya tidak mempermasalahkan kewariaannya. Namun NA juga mengakui bahwa pada awalnya
orang tuanya memang berusaha untuk melarangnya menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya:
“Awalnya juga ada… ada kendala sedikit ya… karena ya aku dikasih tahu bahwa kamu itu laki-laki, kamu itu seperti ini
nggak boleh sebenarnya… menurut agama juga dosa katanya… tapi ya karena aku tetap seperti perempuan ya orang tua
akhirnya menyerah juga. Akhirnya orang tuaku ya kalau kamu tidak mau sekolah, kamu kan untuk kedepannya kamu harus
punya masa depan, paling nggak kamu punya ketrampilan. Akhirnya orang tuaku menyarankan aku untuk ikut kursus. Ya
kursus menjahit, salon, ataupun masak. Ya aku dengan senang hati karena apa, dengan kursus kan nanti kita pinter.”
Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus 2016.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa NA juga menyadari adanya konflik dalam keluarganya ketika ia mulai mendeklarasikan
85
diri sebagai waria. Penolakan dari orang tua NA tersebut disampaikan kepada NA melalui beberapa nasihat. Namun NA
tidak mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang tuanya tersebut dan tetap berperilaku dan berpenampilan seperti
perempuan. Keputusan NA tersebut akhirnya membuat orang tuanya menyerah dan membiarkan NA mengekspresikan dirinya.
Meskipun demikian, orang tua NA masih peduli dengan masa depan NA sehingga menyarankan NA untuk mengikuti kursus agar
memiliki ketrampilan. Saran tersebut kemudian disambut baik oleh NA yang bersedia mengikuti kursus. Sementara itu, NA
menjelaskan hubungannya dengan keluarganya saat ini sebagai berikut:
“Aku kadang seminggu sekali paling balik ke sana juga, lebaran juga ke sana, sebelum lebaran aku balik ke rumah. Mereka juga
enjoy-enjoy aja tidak mempermasalahkan. Bahkan dari trah-trah dari ibu aku, trah dari bapak aku, kadang setiap setahun sekali
mengadakan syawalan trah, ya mereka tetep, ya ada sih mereka yang kadang… mungkin… ini ya, tingkatannya itu, misalnya
anak dari bapak aku, kan biasanya kalau panggil sama yang lebih tua kan mas atau mbak, mereka kadang masih ada yang
suka panggil mas. Tapi aku kasih tahu, hey, kamu harus menghormati penampilan seseorang. Terus mereka oh iya ya ya,
lupa-lupa mas, eh kok mas lagi. Hahaha…” Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus 2016.
Menurut NA, hubungannya dengan keluarganya saat ini baik-baik saja. Seluruh keluarganya sudah mampu menerima
statusnya sebagai waria. Menurutnya hal tersebut didukung juga oleh penampilannya yang memang selayaknya perempuan sehingga
keluarganya dengan sendirinya memandang dirinya layaknya
86
seorang perempuan melalui sebutan-sebutan dalam keluarganya. NA juga menyampaikan bahwa jika ada keluarganya yang tidak
memanggilnya dengan sebutan perempuan, maka ia akan langsung menegur dan meminta mereka memanggilnya dengan sebutan
perempuan. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan informan SI sebagai berikut:
“Sekarang dengan saudara-saudaranya hubungannya sangat baik. Iya malah justru lebih baik. Biasanya mereka kan anak-anak
tumbuh bersama, jadi perhatiannya lebih besar, iya. Iya adek- adeknya sering ke sini, bahkan dia sama adeknya diminta untuk
membantu, apa ya… mencarikan membeli sepetak tanah kemudian atas namanya dia gitu. Jadi kepercayaan… dia kan
dulu momong adeknya, keluarganya kan anaknya banyak kan. Kemudian adeknya yang saat ini dekat itu dari kecilnya dia
diasuh mbak NA itu.” Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa hubungan NA dengan keluarganya saat ini memang sudah baik. Tidak hanya
baik namun saudaranya juga memberikan kepercayaan kepada NA. Menurut SI, saudara yang paling dekat dengan NA adalah adiknya
yang dulu semasa kecil diasuh oleh NA. Sementara itu, keinginan NA untuk dianggap sebagai perempuan tidak terbatas pada
keinginan dipanggil dengan sebutan perempuan di keluarganya saja. Melainkan juga dalam masalah pekerjaan, sesuai dengan
pernyataan dari SI berikut ini: “Dia kerja di pabrik, waktu itu di pabrik… apa ya… di pabrik
garmen di Semarang. Iya… pernah. Dia itu orang yang pantang menyerah, dia pernah jadi tukang batu, pernah jadi kapster salon,
jadi tukang masak di kampung, tukang kadang kalau ada…
87
kalau ada orang hajatan itu. Jadi dia itu bekerja selama pekerjaan… dia tetap dianggap sebagai perempuan gitu.”
Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa NA merupakan orang yang giat bekerja. Ia akan menekuni apapun
pekerjaannya selama di dalam pekerjaan tersebut ia dianggap sebagai seorang perempuan. Hal tersebut menunjukkan seberapa
pentingnya bagi NA apabila orang lain menganggapnya sebagai seorang perempuan. Jika ia tidak dianggap sebagai perempuan,
maka ia akan lebih baik tidak menekuni pekerjaan tersebut. NA juga menceritakan hal yang menurutnya paling ia ingat
selama menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya paling waktu anak kecil ngatain sih, gitu aja. Tapi juga nggak aku respon itu aja kalau, ya cuman kalau aku nggak aku
hiraukan. Tapi kalau pas deket ya aku ‘kethak’, aku jambak. Hahahaha. Tapi kalau dari jauh ya ngapain, nggak aku apa-apain.
Kalau anak kecil ngatain itu nanti kalau ditanggapi malah semakin jadi.” Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus
2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa hal yang paling diingat oleh NA selama menjalani kehidupan warianya
adalah ketika ada orang yang menghina kewariaannya. Pada pengalaman yang ia ceritakan, ia tidak menyukai ketika ada anak
kecil yang mengejek kewariaannya. Respon yang ditunjukkan NA ketika mengalami hal tersebut adalah dengan mengabaikan jika
anak yang mengejek berada jauh darinya. Sedangkan jika anak
88
yang mengejeknya tersebut ada di dekatnya, ia akan melakukan balasan berupa pukulan kepada anak tersebut. Respon yang serupa
juga ditunjukkan oleh NA ketika ia menceritakan hal berikut ini: “Aku pernah ikut teman ngamen ya… ada mahasiswa yang lihat
kita langsung lari-lari… Baru lihat lari, aku diemin aja. Ada temenku yang ngamuk-ngamuk, mungkin tersinggung ya…
Langsung lari, kadang ada yang menjerit-jerit takut. Nah itu kadang yang, kadang aku… aku jengkel sekali dengan orang
seperti itu. Kalau pas aku, pas kepergok gitu kan, terus aku deketin aku bilangin, kamu tu malah kampungan lho mbak
seperti itu, tak gituin. Orang waria juga nggak ngganggu kamu, kamu ngapain, emangnya kamu diapain sama waria kamu
sampai histeris seperti itu. Itu kampungan, jangan-jangan kamu malah dibilang gila, bukan warianya yang gila tapi malah kamu
yang gila, aku gitu.” Wawancara dengan subyek NA, 21 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana NA merasa tidak suka dan jengkel ketika ada seseorang yang
menurutnya histeris ketika melihatnya. Ia kemudian mengungkapkan kekesalannya tersebut dengan mengucapkan kata-
kata yang cukup kasar untuk menegur orang yang menurutnya menjengkelkan tersebut. Respon tersebut hampir mirip dengan apa
yang dilakukan NA ketika ia mengetahui ada anak kecil yang menghina kewariaannya. Lebih lanjut, NA juga menceritakan salah
satu pengalamannya ketika tertangkap oleh Satpol PP ketika mengamen. Berikut kutipan wawancaranya:
“Iya, konseling sama namanya bu A, dia psikolog. Tapi dia sangat-sangat apa ya… pedas dia pertanyaannya. Makanya dia
bilang, mbak kalau… kalau dalam Al-Qur’an itu waria itu nggak ada, adanya laki-laki dan perempuan. Terus aku jawab, itu kan
di dalam Al-Qur’an bu, ini di dalam kenyataan, fakta, ibu tahu
89
fakta kan? Itu nyata kan? Itu ada kan waria? Dia bilang lagi, tapi di dalam Al-Qur’an itu nggak ada. Tapi nyatanya ada, aku jawab,
buktinya di depan ibu seorang waria, gitu. Tapi waria itu berdosa, dia masih ngomong gitu. Ya aku jawab aja, berdosa
sama enggak bukan manusia yang menentukan. Tak bilang gitu. Berdosa apa enggak itu bukan manusia yang menentukan tapi
Tuhan. Manusia tidak pernah tahu Tuhan itu menentukan dosa apa enggak. Ya terus tanya lagi, sejak kapan mbak NA itu jadi
waria? Aku jawab, saya tidak pernah menjadi waria, saya takdir saya, waria, sebagai waria bukan menjadi. Kalau menjadi, itu
awalnya tidak terus berubah, itu menjadi. Iya, terus saya bilang, bu A nggak mengakui waria, kalau sebutan mbak itu untuk apa?
Dia jawab, untuk perempuan. Nah itu, aku langsung bilang, bu A nganggap aku perempuan dong kan panggil aku mbak. Kalau
bu A tidak memanggil aku mbak, maggil aku mas, itu bisa dikatakan bu A tidak mengakui aku waria. Terus diam aja dia.”
Wawancara dengan subyek NA, 30 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menerangkan bagaimana ketika ditangkap oleh Satpol PP saat mengamen, NA melalui sesi
konseling dengan psikolog. Psikolog tersebut menurut NA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang pedas padanya mengenai
kewaraiaannya. Di dalam sesi konseling tersebut NA terus mendebat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh psikolog
untuk mempertahankan kebenaran akan status warianya. Ketika ia dianggap berdosa, NA menyampaikan pendapatnya bahwa manusia
bukanlah yang menentukan apakah seseorang berdosa atau tidak, melainkan Tuhan. Selain itu ketika kewariaannya tidak diakui, NA
mendebat dengan sebutan yang diberikan psikolog padanya sebagai sebutan bagi seorang perempuan. NA kemudian menguraikan
pendapatnya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh psikolog tersebut dalam kutipan wawancara berikut ini:
90
“Ya itu namanya orang goblok malahan. Iya itu orang goblok. Harusnya kalau memang ada teori ya harus ada praktek kan?
Harusnya dia turun ke lapangan, iya kan? Tanya langsung dengan narasumbernya, dengan orang yang bersangkutan,
dengan pelakunya. Gimana, jangan cuma teori, teori aja kalau masak teorinya ini ini ini tapi untuk hasilnya belum tentu bagus,
iya kan? Kalau teori siapapun bisa kok, cuma ini ini ini, tapi untuk prakteknya” Wawancara dengan subyek NA, 30 Agustus
2016.
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa NA menganggap seseorang yang menurutnya memiliki pendidikan
tinggi belum tentu mengerti yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ia mengekspresikan kebenciannya tersebut dengan menyebut orang
yang dia maksud dengan sebutan kasar. Menurut NA, seharusnya jika seseorang mengetahui teori maka ia juga harus mengetahui
praktek dan keadaan nyata yang ada di lapangan. Ia juga menganalogikan masalah kewariaannya tersebut dengan cara
memasak sesuai dengan keahliannya. Menurutnya jika hanya menganut teori saja maka yang dihasilkan juga tidak akan bagus.
Subyek S juga menyampaikan pengalaman yang menurutnya berkesan terkait dengan kewariaannya. Berikut kutipan
wawancaranya: “Susahnya itu ya kalau cuma diolok-olok itu kadang-kadang. Iya
kadang-kadang ada yang ngomong, nggak usah diajak dia kayak perempuan, malu-maluin, gitu juga ada banyak mbak. Sampai
saya nggak bisa ngomong. Kalau saya nggak bisa mbak, tetep cuma di hati jadi kadang-kadang malah nangis sendiri dulu. Tapi
juga saya batin itu dulu cuma gitu aja. Lha mau apa, lemah to pikirannya jadi yasudahlah.” Wawancara dengan subyek S, 17
Agustus 2016.
91
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa pengalaman diejek dan diolok-olok adalah sesuatu yang sangat
membekas bagi subyek S. Meskipun menerima perlakuan yang demikian karena kewariaannya, subyek S merasa tidak bisa
melawan dan hanya menyimpan sakit hati saja. Menurutnya ia tidak kuat jika harus membalas dan lebih memilih untuk diam
kemudian mengungkapkan sakit hatinya dengan menangis sendirian. Di samping mendapatkan perlakuan yang tidak baik,
subyek S merasa ia juga mendapatkan kesenangan selama menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya:
“Tapi saya sukanya itu ya, o… ternyata saya juga tidak sendirian. Teman waria pun banyak yang di seusia saya juga banyak jadi
saya ya, o… aku ternyata tidak sendirian ada temen gitu. Terus saya kan bergabung itu di Alun-Alun Utara waktu masih orang,
teman-teman saya yang seumuran kan pada mejeng kalau malem-malem itu kadang-kadang aku ke situ. Seneeeng itu,
ketemu, cerita kamu anu anu besok anu anu. Terus saya suruh dandan, di sini aja kamu seneng, dapet uang, dapet laki-laki,
bilang gitu ya… ternyata memang iya. Sampai dimarahin kakak saya, katanya kamu itu nggak apa-apa seperti itu tapi kok terus
modelnya di Alun-Alun segala itu terus ngapain. Ya terus saya bilang, lha kalau ketemu teman saya itu cuma kalau di Alun-
Alun, terus harus di mana lagi, kalau ke rumahnya nanti di sana ya cuma tidur soalnya orangnya kalau malem begadang, gitu
mbak. Ya udah cuma dimarahin aja, terus bilang ya udah besok nggak usah diulangi, tapi aku tetep ke sana lagi.” Wawancara
dengan subyek S, 17 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa meskipun mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang-
orang di sekitarnya, subyek S menemukan kesenangan ketika berkumpul dengan rekan warianya. Ia merasa senang ketika
92
bertemu dengan teman-temannya karena dapat berbagi dan bercerita banyak hal. Selain itu, menurutnya hal tersebut
membuatnya merasa bahwa ia tidak sendirian. Sayangnya, keluarganya tidak menyukai ketika ia berkumpul dengan teman-
temannya. Ia kemudian mendapatkan teguran dari kakak laki- lakinya mengenai hal tersebut. Meskipun demikian, ia
mengungkapkan bagaimana ia hanya bisa bertemu dengan teman- temannya ketika di malam hari. Ketika sudah dilarang untuk keluar
malam, S tetap melanggar larangan tersebut demi untuk dapat merasa nyaman ketika bertemu dengan teman-temannya. S juga
menceritakan salah satu pengalaman yang menurutnya sangat membekas. Berikut kutipan wawancaranya:
“Lha dulu, dulu memang sempat ada yang seperti itu saya karena saking kebangetannya. Orang kalau pas lewat di rumah
saya itu pasti teriak yang enggak-enggak kok. Terus saya itu daripada nanti tetangga denger terus saya kan nyegat, nyegat
anak itu. Kamu kok sukanya anu anu anu awas kamu kalau berani lewat sini lagi. Ya jadi terus berani to kalau saking
kebangetannya. Kakak saya yang bilang, itu kalau ada orang begitu ya ditegur, kalau aku kan nggak berwenang negur, yang
diolok kamu ya yang jawab kamu, nanti aku di sini, gitu. Nah sekarang malah baik sama saya yang suka olok-olok itu suka
ngasih suka apa. Padahal dulu itu kalau ngejek mbak sampai, apa itu namanya laki-laki kok diganti perempuan, pakai baju
perempuan, ah sudah mbak pokoknya yang jelek-jelek itu. Lha kan tetangga-tetangga itu, itu kenapa to ya sudah nggak usah
diejek anu anu anu, sudah tahu orangnya begitu. Itu benci banget sama saya, ada itu. Tapi akhirnya malah baik.Ya habis
tak tegur itu dia bilang ya maaf ya mbak, anu anu, gitu. Saya bilangnya ya kamu itu nggak usah begitu, sama-sama ciptaannya
Tuhan itu, kamu itu juga ciptaannya Tuhan, ngomong seperti itu nggak boleh.” Wawancara dengan subyek S, 20 Agustus 2016.
93
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek S pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan di mana
ada seseorang yang mengolok-oloknya jika sedang lewat di depan rumahnya. Karena tidak ingin mengganggu tetangganya dengan hal
itu, kakaknya memintanya untuk menegur orang yang mengolok- oloknya tersebut. Meskipun awalnya tidak memiliki keberanian,
subyek S kemudian berani menegur karena merasa dibela oleh kakaknya. Pada akhirnya, orang yang mengolok-olok tersebut
meminta maaf dan kemudian justru menjalin hubungan yang baik dengan subyek S. Subyek S menyadari bahwa jika ia menegur
orang yang mengolok-oloknya, orang tersebut kemudian akan mengerti keadaannya. Namun ia mengaku sampai sekarang ia
masih susah melakukan hal tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:
“Iya… Sampai sekarang pun saya kalau ada yang gitu nggak bisa kok marah-marah saya. langsung marah-marah soalnya dia
itu terus jadi tahu to. Tapi saya nggak bisae..Iya terus ah sudah terserah kamu aja. Tapi ya memang enak kalau yang bisa
Hoohe… Padahal ya harusnya itu ditegur jadi dia itu tahu aku nggak bisa. Aku takutnya terus kalau dia itu malah dia ngomong
apa, saya itu udah takut omongannya dia dulu jadi saya itu terus nggak ini. Nanti kalau dia malah bilang, apa kamu banci nggak
ada gunanya, nah gitu itu lho mbak. Takutnya gitu nanti malah tambah kayak orang di anu to… di smash gitu. Duh aku
pikirannya gitu jadi ya cuma ya sudah.” Wawancara dengan subyek S, 17 Agustus 2016.
94
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek S merasakan ketakutan untuk mengutarakan apa yang menjadi
perasaannya. Ia merasa tidak berani mengungkapkan pikirannya karena khawatir perkataannya akan dibalas dengan sesuatu yang
menyakiti hatinya seperti menyebutnya banci yang tidak ada gunanya. Padahal ia menyadari bahwa ia akan merasa lebih lega
jika bisa mengungkapkan perasaannya. Namun karena ketakutannya, ia memilih untuk diam saja dan menerima apa saja
perlakuan yang diberikan kepadanya. Hal tersebut juga disadari oleh teman dekatnya yaitu informan Y. Berikut kutipan
wawancaranya: “Mbak S sejauh yang aku kenal itu dia ini sih…apa, orangnya
bukan introvert ya, tapi kurang…kurang…kurang berani apa namanya, kurang berani terbuka menurut aku itu. Tidak berani
memunculkan, memunculkan apa…ide atau inisiatif gitu lho. Jadi pasif, orang pasif gitu. Bawaannya spaneng, serius gitu jadi
apa namanya, akhirnya ya aku yang kadang mengambil inisiatif gitu ya untuk ngajak ngobrol atau apa, seperti itu.” Wawancara
dengan informan Y, 29 Agustus 2016.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa di mata teman dekatnya, S memanglah orang yang pendiam dan kurang berani
memunculkan perasaannya. Menurut Y, subyek S adalah orang yang terkesan selalu serius dengan segala hal. Oleh karena itu Y
sering kali berinisiatif untuk mengajak S berkomunikasi terlebih dahulu. Karakternya yang lebih banyak diam tersebut juga
ditunjukkan ketika ia membiarkan keluarganya memanggilnya dengan sebutan apa saja. Berikut kutipan wawancaranya:
95
“Kalau misal ponakan-ponakan gitu manggilnya juga
,
ya memang ibunya yang suruh manggil gitu. Saya juga diem aja,
mau dipanggil apa juga saya mau, tapi ibunya sendiri yang suruh manggil. Ibunya si anak itu. Tapi manggilnya mbak
semua…Iya… ya sudah biar nggak papa, malah awet muda. Nggak usah simbah, nggak usah budhe, nggak usah bulik, tetep
sampai sekarang anaknya keponakan saya tetep mbak manggilnya. Ibunya bilang gitu, ya sudah nggak papa saya
bilang gitu. Mau manggil mbah, mau mbak gak papa…” Wawancara dengan subyek S, 17 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa S tidak menuntut kepada keluarganya untuk dipanggil dengan sebutan
perempuan. Namun keluarganya dengan sendirinya menyebutnya dengan sebutan perempuan. Begitupun juga dengan keponakannya,
mereka diajari oleh orang tua mereka untuk memanggil S dengan sebutan perempuan. Padahal S sama sekali tidak meminta mereka
untuk melakukan hal tersebut, yang dilakukan oleh S hanyalah berpenampilan layaknya perempuan selama 24 jam. Sementara itu
S juga menyampaikan salah satu alasan mengapa ia memilih berpenampilan layaknya seorang perempuan selama 24 jam.
Berikut kutipan wawancaranya: “Ya kebetulan gimana ya… kalau saya nggak terok terok gini ya
nggak tahu. Itu lho mbak, kemenangan saya di situ… kemenangan saya di situ tak akui. Kalau nggak dandan itu
tahunya ibu-ibu gitu lho. Itu… Teman saya kalau yang datang aja, temen waria aja nggak tahu kalau nggak kenal. Jadi kalau
nggak dandan begini tero tero begini ya… Nyapanya ya pada bisa, monggo bu… Kadang-kadang kalau malah sepeda mogok
itu didatengin, ada apanya to bu kok nggak bisa jalan, gitu, ditolongin. Terus dibantuin nuntun itu, tahunya ya perempuan.
Kalau tahu waria belum tentu. Lha boro-boro didekati, bener mbak itu jarang. Bahkan kalau tahu waria itu seribu satu yang
mau membantu. Bener itu mbak. Ada waria yang kecelakaan itu terus mau ditolong pas tahu cuma bilang, oh banci, terus
96
ditinggal pergi. Kan kasihan itu mbak.” Wawancara dengan subyek S, 20 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut S, jika ia tidak berdandan dengan mencolok, ia memiliki kelebihan
bahwa orang-orang tidak tahu jika dirinya adalah waria. Menurutnya orang-orang hanya akan menganggap dirinya sebagai
ibu-ibu. Oleh karena itu banyak orang yang menyapanya dan memperlakukannya dengan wajar pula. S juga mengungkapkan
bahwa jika ia butuh pertolongan, orang akan lebih cenderung mau menolongnya jika tidak tahu bahwa dirinya adalah seorang waria.
Menurutnya jika orang lain tahu ia adalah waria, kemungkinan orang tersebut akan menolongnya jauh lebih kecil. Dengan
anggapan tersebut ia merasa diuntungkan dengan penampilannya yang tidak mencolok dan terlalu terlihat seperti waria. Subyek S
bahkan menganggap hal tersebut sebagai salah satu kemenangannya sebagai seorang waria.
Subyek I memiliki cerita tersendiri tentang hal-hal yang menurutnya berkesan mendalam untuknya. Berikut salah satu
kutipan wawancaranya: “Aku sebenernya berkesan pas masih ngumpul sama keluarga.
Setelah keluarga itu pecah berkeluarga, aku jadi kayaknya… aku… tempat… untuk berlindung terutama yang melindungi aku
sebagai keluarga, kalau orang tua kan udah tua, jadi aku nggak bisa akhirnya aku keluar dari rumah. Akhirnya aku di jalan, aku
di jalan ngamen akhirnya ketemu komunitas waria akhirnya aku ini, oh ini teman-temanku nyatanya sama, senasib sama aku
dalam arti kaum waria gitu. Jadi aku ternyata aku punya…
97
pelindung lah nggak sendirian. Seandainya ada apa-apa kan banyak temanku. Kan kalau di kampung nggak mungkin, di situ.”
Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek I memiiki kesan yang mendalam terhadap keluarganya. Ia
menganggap keluarganya sebagai tempat di mana ia bisa berlindung. Namun setelah kedua kakaknya mulai menikah dan
memiliki kehidupan keluarga masing-masing, ia mulai kehilangan keluarga yang ia anggap bisa dijadikan rumah untuknya. Kemudian
I merasa ia mendapatkan tempat pelindung kembali ketika ia bergabung dengan komunitas waria dan memiliki banyak teman
waria. Hal tersebut membuat subyek I merasa tidak sendirian dan memiliki rasa aman yang tidak lagi ia dapatkan di dalam
keluarganya. Subyek I merasa bergabung dalam komunitas waria membuat ia terlindungi jika nantinya terjadi apa-apa atau hal-hal
yang tidak dia inginkan. Subyek I juga mengungkapkan kehilangannya tempatnya bercerita dalam kutipan wawancara
berikut ini: “Kalau itu bagi aku selagi ditinggal ibu, apa, jadi untuk tempat
curhat aku sebagai hati perempuan itu nggak ada. Itu paliiing sakit. Jadi aku nggak ada untuk tempat komunikasi untuk yang
lebih hati nurani itu aku cuma aku pendam. Itu paling menyakitkan.
Jadi sekarang pun kadang pikiran kalau di rumah kosong, ya sekedar helo helo lah sama orang tua, ayah, karena
udah tua, ya hey hey, udah ya cabut lagi. Kalau dulu kan bisa ngobrol ini ini… gimana… gitu. Di situlah. Ditinggal orang tua
ya menyakitkan lah.” Wawancara dengan subyek I, 24 Agustus 2016.
98
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana interaksi I dengan keluarganya saat ini hanya sekedar basa basi saja.
Ia merasa kehilangan sosok ibunya yang telah meninggal untuk bercerita yang menurut istilahnya adalah dari hati ke hati
perempuan. Menurutnya hal tersebut adalah sesuatu yang sangat menyakitkan bagi dirinya. Meskipun ia telah mendapatkan tempat
perlindungan baru bersama dengan komunitas waria, ia merasa hal tersebut tetap tidak bisa menggantikan kenyamanannya untuk
bercerita dengan ibunya. Hal tersebut berhubungan dengan caranya menghadapi permasalahan yang datang dalam kehidupannya.
Berikut kutipan wawancaranya: “Aku orangnya kalau ibaratnya kerja yang kuomongin kerja.
Kalau misalnya ini nggak, ibaratnya sama temen ngamen, yang diomongin ya kerja aja, misalnya besok ngamen ke mana, nggak
mikir yang neko-neko. Ya kadang aku pikirannya… kuotak atik sendirilah kadang. Hahaha. Kadang gimana ya jalan
keluarnya… gimana ya jalan keluarnya… Ibaratnya buku kubuka ini, oh kiranya yang bisa dicari jalan keluarnya. Kalau
nggak ya tutup dulu. Itu tadi rumusnya, hahaha. Oh ini bisa diuraikan pakai rumus kimia atau fisika, hahaha. Kalau aku
masalah menyelesaikan semua itu sebenernya diri sendiri, yang mengendalikan apapun itu diri sendiri. Ibarat masalah mau
diperbesar dikecilkan itu kita diri sendiri kok.” Wawancara dengan subyek I, 24 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek I adalah orang yang tidak suka bercerita kepada orang lain
tentang masalahnya. Ia hanya bercerita kepada teman-temannya sebatas pekerjaan saja, sedangkan untuk masalah pribadi ia lebih
memilih untuk menyimpannya sendiri. Menurut subyek I, sebuah
99
masalah akan bisa selesai jika diselesaikan oleh diri sendiri. Selain itu besar kecilnya masalah juga tergantung pada diri sendiri.
Dengan alasan tersebut ia lebih suka memikirkan masalah yang ada dalam hidupnya dan menyelesaikannya dengan kemampuannya
sendiri tanpa harus menceritakannya kepada orang lain. Pernyataan I tersebut didukung oleh apa yang disampaikan informan SI.
Berikut kutipan wawancaranya: “Kalau mbak I itu ya apa ya…dia orangnya itu lebih pendiam ya,
tidak pernah mengungkapkan, lebih banyak nggrundelnya. Tahu-tahu dia nggak mau datang, tahu-tahu dia karena dia
marah, tapi tidak mengungkapkan…apa ya, apa yang terjadi di ganjalan pikirannya. Tahu-tahu itu, lhoh kok I nggak dateng,
ngambek, gitu.” Wawancara dengan informan SI, 2 September 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut informan SI, subyek I memang orang yang pendiam jika
menyangkut masalahnya. Subyek I tidak pernah mengungkapkan apa yang mengganjal di pikirannya namun jika ia mengalami
masalah, hal tersebut akan terlihat dari tingkah lakunya. Subyek I akan lebih banyak mendiamkan temannya dan tidak pernah datang
untuk berkunjung dalam beberapa waktu hingga ia merasa lebih baik. Sementara itu menyangkut penampilannya sebagai waria,
subyek I menjelaskan dalam kutipan wawancara berikut ini: “Aku kan ibarat masih kelihatan muda, masa mau pakai daster.
Paling pakai kaos, celana pendek atau tiga per empat, kalau di rumah seringnya itu. Ya ibarat cewek tomboy lah, gitu lho. Di
situ aku. Aku sering tomboy sih mbak, kalo teman-teman lainnya dandan cantik gitu aku asal aja, kembang ku kasih gini
100
gini kayak orang gila, hahahha. Padahal nyetil temenku, kadang pakai jaket rapi aku kadang kayak orang gila. Hahahha.”
Wawancara dengan subyek I, 24 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek I menyebut apa yang sehari-hari ia kenakan dengan istilah tomboy.
Ia memiliki alasan untuk berpakaian demikian karena merasa masih muda dan tidak pantas jika harus memakai pakaian layaknya
wanita yang sudah lanjut. Subyek I juga mengungkapkan bahwa ia adalah tipe orang yang termasuk cuek dan tidak begitu
mempermasalahkan penampilan. Ia menggunakan penampilan tomboy tersebut baik ketika berada di kos atau di rumah.
Sedangkan informan SI memiliki anggapan tersendiri terkait dengan penampilan subyek I tersebut. Berikut kutipan
wawancaranya: “Keluarganya bukannya nggak tahu, nggak menerima. Artinya
begini, mbak I itu sengaja menghindari konfrontasi, menghindari konflik dengan tidak memproklamirkan dia
berdandan di rumah, memproklamirkan dirinya di tengah keluarganya dengan alasan ya itu tadi, dia nggak mau ribut,
yaudah kalau mau dandan… Maka orang-orang seperti inilah yang terpaksa meninggalkan rumah untuk membebaskan dirinya
kemudian dia kalau di rumah…di luar lingkungannya kan dia bebas mau dandan mau apa mau apa. Jadi dia itu tidak rampung,
tidak bisa menyelesaikan konflik dengan keluarganya.” Wawancara dengan informan SI, 2 September 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut informan SI, selain dengan alasan kenyamanan, subyek I memiliki
pertimbangan tersendiri mengapa ia tidak mau memakai pakaian yang identik dengan perempuan ketika di rumah. Menurut
101
informan SI, subyek I dengan sengaja menghindari konflik dan konfrontasi dengan keluarganya mengenai masalah kewariaannya.
Ini dikarenakan keluarga subyek I masih tidak menerima pilihan subyek I untuk menjalani kehidupannya sebagai waria meskipun
mereka sudah tahu. Oleh karena itu subyek I merasa bahwa jika ia ingin mengekspresikan dirinya, ia lebih baik berada jauh dari
keluarganya dan mencari aman ketika sedang berada di rumah dengan mengenakan baju yang sewajarnya.
Selain hal tersebut, subyek I juga mengungkapkan pandangannya seputar dunia waria yang saat ini ia jalani. Berikut
kutipan wawancaranya: “Terus terang kan aku, aku punya pasangan. Aku nggak pernah
keluar malem, juga nggak prostitusi. Aku ibarat orang kan suami istri, orangnya pertama kan takut penyakit, dua kan takut ya…
kekerasan atau ini, aku ya setia, ibaratnya cuma satu laki itu. Ternyata… aku kan bukan perempuan setelah ibarat kata orang
ternoda, ya mungkin oh ternyata aku sebagai waria kalau berhubungan sakitnya seperti itu, apalagi wanita kalau
melahirkan, kan berkesan. Itulah berkesannya, tapi aku kan orangnya diem, itu masalah pribadi, cuma aku bisa komentar
kalau orang-orang yang benar-benar membutuhkan omongan gitu. Kalau teman-teman kan udah memang kerjanya, kadang
aduh, ya tuhan, kadang aku juga suka bingung. Hahaha. Bingungnya ya ini, tapi kadang ada siraman rohani, oh ya, jadi
dikit-dikit kan bisa ke lebih yang baik gitu lho. Jadi iya… kan laki-laki ku ibarat tak anggep sebagai anak, udah kan udah
empat tahun lima tahunan nggak melakukan, ibaratnya seksual gitu. Jadi orang juga lihat itu cuma kapan aku taubat ya taubat,
tapi kapan aku berhenti melakukan ibaratnya perzinahan dengan cara ini. Cuma di batin aku, aku nggak bisa komentar dengan
teman-teman kan. Kadang-kadang nggak paham kalau masalah itu. Cuma oh inilah kenangan aku hidup, ibaratnya nggak
mungkin terulang dua kali karena aku hidup cuma satu kali.” Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
102
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bagaimana I menjalani kehidupannya sebagai waria. I mengungkapkan bahwa ia
memiliki pasangan, namun menurutnya ia lebih baik hanya berhubungan seksual dengan satu pasangan saja karena ia takut
terserang penyakit dan juga mendapatkan kekerasan. Secara tersirat, I mengungkapkan bahwa ia tidak lagi mau berhubungan seksual
karena ia menganggap hal tersebut sebagai zina. Subyek I juga mengungkapkan bagaimana ia tidak dapat mengomentari apa yang
dilakukan teman-temannya jika berganti-ganti pasangan. I juga merasakan kebingungan antara menganggap bahwa yang dilakukan
teman-temannya itu salah dan menganggap bahwa temannya melakukan hal tersebut karena tuntutan pekerjaan. Namun subyek I
tidak pernah mau mengomentari hal tersebut kepada temannya. Ia menganggap bahwa kegiatan yang ia ikuti bersama teman-
temannya yaitu siraman rohani yang dilakukan sesekali sudah cukup untuk menjadi pengingat. Selain mengungkapkan mengenai
kehidupannya sebagai waria, I juga menceritakan peristiwa yang terjadi pada saat ia bekerja. Berikut kutipan wawancaranya:
“Tapi kan kadang ada perempuan yang… terutama yang berhijab itu lho mbak, sumpah, banyak yang itu… Padahal sama
lakinya belum muhrimnya ya ampuuuuun. Aku di situ, yang terakhir itu waktu itu sama aku nggak, sama temenku. Lari dia,
itu di moses mbak, sempat itu sampai berantem. Ya iya sampai polisi datang. Tapi yang disalahkan memang anaknya. Soalnya
lari lari, jadi kan semuanya jadi ngganggu yang makan satu, dua yang makan dikira ada apa, gitu lho. Malah tahunya dikira
warianya maling gitu lho. Temanku itu ya akhirnya udah
103
polisinya, lain kali jangan teriak-teriak mbak, gitu. Pas di Moses itu. Akhirnya apa… kalau di sini emang pengamen terutama
waria jadi nggak usah… dia mau cari makan di mana, akhirnya dia menyadari. Takute, katanya. Takut emang kita hantu.
Temenku tetep ngotot. Ibaratnya ya mbak misalnya mbak sama temennya, ibaratnya nggak ngasih nggak apa-apa asal angkat
tangan, kita juga cari makan. Angkat tangan gitu kan malah enak. Kadang ya ampuuuun itu kadang malah temenku kadang
yang malah suka naik pitam memang aku juga nggak menyalahkan. Lari lari ya teriak.” Wawancara dengan subyek I,
18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menerangkan bagaimana subyek I menganggap hal yang paling menyinggungnya ketika ia
tengah bekerja adalah ketika ada orang yang mersepon histeris terhadap keberadaannya sebagai waria. Ia merasa tersinggung
karena orang-orang merasa takut terhadapnya. Pengalaman yang ia ceritakan dalam kutipan wawancara tersebut bahkan hingga
melibatkan polisi. Kemudian, subyek I mengungkapkan harapannya bahwa ia mengamen hanya untuk mencari makan. Oleh
karena itu, ia tidak merasa ada masalah ketika orang-orang tidak memberinya uang. Hanya saja ia tidak suka jika mendapatkan
respon histeris. Meskipun I hanya merespon kejadian tersebut dengan diam, ia tidak menyalahkan temannya jika mereka
terpancing emosi karena respon orang lain yang berlebihan terhadap waria tersebut. Berbeda dengan subyek I, subyek E juga
memiliki cerita tersendiri mengenai pilihannya menjalani kehidupan sebagai waria. Salah satunya adalah ketika subyek E
104
mengutarakan mengenai pekerjaan yang membuat dirinya merasa nyaman. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya semuanya udah ngerti…ada kan di sana bidan… eh rumah sakit bidan ini ya, semuanya yang dilulur sama saya… Dilulur
badannya… Semua bidan-bidang sama saya dilulurnya, telanjang bulat. Dipanggil gitu… mbak katanya, saya lulurin
gitu… yaudah lulurin di kamarnya. Ada suaminya, cuek aja suaminya. Nggak cemburu. Padahal kan laki-laki kan. Biasa aja,
lulur aja… nggak ada rasa apa-apa. Dianya juga nggak risih, soalnya perasaan bidan itu ke sana itu perempuan bukan laki-
laki. Digitu digini, perasaan itu saya perempuan. Dia mau begitu begini ya biasa aja… tidur bareng, ya biasa aja. Nggak tahu
kenapa saya juga, nggak ngerti.” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E menceritakan pekerjaannya dulu sebagai tukang lulur
yang sering dipanggil oleh konsumen perempuannya. Menurut E, orang-orang sudah mengerti dengan kewariaannya sehingga
mereka menganggap dirinya sebagai perempuan. Oleh karena itu tidak ada rasa risih ketika mereka mempekerjakan subyek E.
Subyek E juga mengungkapkan bahwa ia merasa nyaman-nyaman saja dengan hal itu. Secara tidak langsung, subyek E
mengungkapkan kenyamanannya ketika orang-orang di sekitarnya memposisikan dirinya sebagai seorang perempuan. Sementara itu
ketika membahas pekerjaan yang ia tekuni saat ini, subyek E memiliki pandangan tersendiri. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya jadi PSK itu lain dengan saya sendiri gitu. Kalau di sini kan itu jadi kebutuhan kan. Kalau di Bandung kan lain lagi kan
punya kerjaan kan. Nah kan berbeda kan, kalau saya kerja, yang seperti orang kerja. Walaupun saya dandan hobi tapi saya kerja,
105
bukan sebagai PSK gitu. Jadi… apa keterpaksaan kalau saya dibilang PSK itu. Kebutuhan ekonomi gitulah.” Wawancara
dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E menjalani profesinya sebagai PSK saat ini hanya karena
keterpaksaan semata. Subyek E mengakui bahwa ia memiliki hobi untuk berdandan dan hobinya tersebut memang dapat disalurkan
melalui pekerjaannya saat ini. Namun ia tetap menganggap bahwa profesinya saat ini ia jalani karena adanya kebutuhan ekonomi. E
juga mengungkapkan bahwa profesinya saat ini tidak sesuai dengan keinginannya untuk dapat bekerja selayaknya orang lain seperti
ketika ia masih tinggal di Bandung. Pernyataan tersebu juga dibenarkan oleh informan Y, berikut kutipan wawancaranya:
“Cuma karena mungkin dia gini ya…mungkin karena dia butuh, butuh ini sih kurasa, pengalaman ya. Kalau setahu aku di
Bandung dia dulu kerja di salon gitu kan, kerja di salon terus dia karena mungkin butuh…butuh suasana yang lebih…lebih segar
atau apa, aku nggak tahu ya atau butuh pengalaman akhirnya dia ke Jogja melepas pekerjaan itu. Nah karena di Jogja, ya itu
namanya waria, karena di Jogja kan…karena, karena namanya orang merantau kan nggak mungkin langsung dapat kerjaan ya.
Jalan satu-satunya pasti kan mejeng, untuk bisa survive kan, nah seperti itu.” Wawancara dengan informan Y, 5 September
2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana menurut informan Y, pilihan profesi yang dijalani oleh subyek E
saat ini memang semata-mata untuk bertahan hidup saja. Menurut informan Y, alasan subyek E meninggalkan pekerjaannya di
Bandung dan pergi ke Yogyakarta juga tidak terlalu jelas, namun
106
menurutnya mungkin subyek E hanya menginginkan suasana dan pengalaman yang baru saja. Kemudian semenjak subyek E menetap
di Yogyakarta, meskpun ia melakoni pekerjaan sebagai PSK diawali dengan alasan untuk bertahan hidup namun pekerjaan
tersebut terus dijalani subyek E hingga saat ini. Sementara itu subyek E menjelaskan sendiri alasan
mengapa ia memutuskan pindah ke Yogyakarta. Rasa nyaman merupakan salah satu hal yang mendorong subyek E untuk
berpindah dari Bandung ke Yogyakarta. Berikut kutipan wawancaranya:
“Saya dipikir pikir di sini saya gini gini gini… aduh yaudah saya pergi ajalah, ke Jogja, dalam hati itu gitu. Yang nyaman jadi diri
sendiri gitu. Nggak terbatas… nggak ada keponakan… Kan banyak keponakan, banyak saudara, yang kita perlihatkan pada
keponakan kan kebaikan. Janganlah kita misalkan ngelihatin pamannya begini… kok begini, nggak mau. Walaupun saya
begini… tapi jangan samapa ke… sampai ke orang lain. Biarinlah saya sendiri gitu… yang bertanggung jawab.
Walaupun keponakan semuanya udah tau…” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E mengambil keputusan untuk pindah ke Jogja dengan
alasan agar bisa merasakan kebebasan. Menurutnya jika ia di Bandung, ia tidak akan bisa mengekspresikan dirinya karena di
sana banyak terdapat keluarganya. Subyek E beranggapan bahwa yang harus diperlihatkan kepada keluarga adalah hal-hal yang baik
saja, sehingga secara tidak langsung subyek E berpikiran bahwa
107
apa yang ia lakukan untuk mengekspresikan dirinya tidak pantas ditunjukkan kepada keluarganya. Anggapan subyek E tersebut
sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh keluarganya bahwa ia bebas melakukan apa saja di luar asalkan tetap mengikuti aturan
keluarga bila sedang berada di lingkungan keluarga. Melalui kutipan tersebut, subyek E juga menganggap bahwa ia yang harus
bertanggung jawab sendiri dengan pilihannya untuk hidup sebagai waria. Karena itu ia tidak mau melibatkan keluarganya meskipun
mereka sudah tahu bahwa ia adalah seorang waria. Berdasarkan hal tersebut, subyek E menjelaskan hubungannya dengan ayahnya saat
ini dalam kutipan wawancara berikut: “Jauh… kalau dengan ayah jauh. Komunikasi sih iya…
berkomunikasi sih iya… Kalau dengan bapak ya begitulah pokoknya… agak keras, karena udah tua. Tapi dia juga suka
inget saya gitu. Iya… bagaimana ya keadaan itu di sana, katanya. Selalu inget, katanya. Kakak saya yang bilang, kan suka telepon.
Tuh bapak nanyain, katanya. Yah ya biarin aja, kata saya.” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini hubungan subyek E dengan ayahnya cukup jauh. Subyek E
juga menyebutkan bahwa ayahnya merupakan pribadi yang menurutnya cukup keras. Meskipun demikian E mengetahui bahwa
ayahnya masih memberikan perhatian padanya melalui kakaknya yang selalu memberi kabar. Subyek E kemudian juga
mengungkapkan bagaimana cara orang tuanya mengasuh dirinya sewaktu kecil dulu dalam kutipan wawancara berikut ini:
108
“Misalnya gini aja, kita lagi di keluarga, kita lagi makan, ya kan, kita lihat alas orang, nggak boleh. Nggak boleh kita lihat alas
orang, harus lihat alas kamu sendiri. Kalau di keluarga saya begitu. Kalau kita misalkan ngobrol nggak boleh kalau lagi
makan. Ngapain lagi makan ngobrol. Iya jadi bener-bener dari ibu sama bapak. Ngapain kamu lihat punya orang, sama kan
ikannya. Nggak boleh itu. Kalau kita lagi makan terus buru-buru, ngapain kamu buru-buru makan. Tenang kalau mau makan di
sini, katanya, berdoa dulu, katanya. Iya… kalau kita lihat alas orang ya udah, nggak boleh. Ngapain kamu lihat-lihat alas orang,
sama kan lauknya? Nggak yang gimana, sama rata kan lauknya? Ngapain kamu lihat alas orang? Nggak boleh kamu lihat alas
orang, mau banyak mau apa itu terserah dia, kamu aja sendiri. Uuuuh itu paliiiiing, bagaimana ya… kalau hal-hal begitu itu
paling harus bener gitu.” Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa semasa kecil, subyek E diasuh dengan pola asuh yang begitu disiplin.
Ketika makan bersama keluarga, subyek E terbiasa untuk dilarang melihat makanan milik orang lain dan fokus terhadap apa yang
dimiliki oleh dirinya sendiri. Jika subyek E melihat makanan milik orang lain, maka ia akan dengan cepat ditegur oleh orang tuanya.
Selain itu aturan yang diterapkan oleh keluarga subyek E ketika sedang berada di meja makan dapat dibilang tegas. Salah satunya
yang diungkapkan oleh subyek E adalah bagaimana ia harus tenang jika masih ingin makan bersama dengan keluarganya. Subyek E
juga mengungkapkan bagaimana aturan-aturan tersebut adalah sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan tersebut kurang lebih
mempengaruhi bagaimana subyek E memandang ibunya sebagai orang yang saat itu selalu mendisiplinkannya. Berikut kutipan
wawancaranya:
109
“Iya… kalau saya manut kalau sama ibu. Pokoknya, apa aja bilangnya ibu itu…Bener.Iya pasti bener. Gitu kalau ibu, pasti
baik kalau untuk saya sih.” Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E begitu mempercayai sosok ibunya. E juga
mengungkapkan bahwa apapun yang dikatakan oleh ibunya adalah benar dan demi kebaikan dirinya. Oleh karena itu, E selalu menurut
apa yang dikatakan ibunya meskipun itu tidak sesuai dengan keinginannya. Salah satu contohnya adalah ketika ibu E meminta
subyek E untuk berpakaian laki-laki jika berada dalam lingkungan keluarga. Subyek E tetap menurutinya meskipun menurutnya hal
tersebut tidak sesuai dengan dirinya. Sementara itu, kebiasaan E ketika masih kecil yang dimilikinya juga mempengaruhi bagaimana
ia menjalani kehidupannya saat ini. Berikut kutipan wawancaranya: “Saya lebih seneng sendiri, daripada ada temen jadi beban. Ya
karena kan kalau kita ada temen kan berlainan kan temen kan… Jujur aja kalau misalnya kita makan temen nggak makan kan
kita nggak tega. Lebih enak sendiri kan? Kalau sendiri kan makan nggak makan kan nggak kelihatan…Nyaman… bebas…
gitu, luas…. gitu ya.” Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E merasa lebih nyaman jika ia hidup dan melakukan
berbagai hal seorang diri daripada bersama dengan teman. Menurutnya jika ia sendirian, ia tidak memiliki beban. Subyek E
juga mengungkapkan bahwa jika ia sendirian, ia merasa lebih bebas untuk melakukan apa saja yang ia inginkan. Hal tersebut sesuai
110
dengan apa yang diungkapkan oleh informan Y. Berikut kutipan wawancaranya:
“Dia…dia kurasa bisa memanage masalahnya juga ya. Tapi kalau dia ada masalah berat biasanya, ya gitulah orangnya
kadang tidur, tapi kalau bisa kadang dia jalan-jalan ke mana walaupun dia naik bus gitu ya. Aku ke sana ah lagi suntuk di
rumah, dia langsung pergi sendiri naik Trans gitu.” Wawancara dengan informan Y, 5 September 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut informan Y, subyek E adalah orang yang dapat mengatur
masalahnya sendiri. Menurut Y, subyek E memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Hal yang paling sering
dilakukan E adalah dengan pergi berjalan-jalan seorang diri. Bepergian sendirian, menurut Y juga digunakan oleh subyek E jika
ia merasa ingin melepas penat. Kenyamanan yang dirasakan oleh subyek E ketika sedang sendiri tersebut juga tercermin dalam
caranya memandang perlakuan orang lain terhadapnya. Subyek E cenderung cuek dengan apapun yang diucapkan dan dilakukan
orang lain padanya. Ia sekali lagi berpegang teguh dengan apa yang dipesankan oleh ibunya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Yang penting… itu. Jangan dulu kamu nyela orang sebelum kamu bercermin dulu, katanya. Kamu itu harus bercermin dulu,
udah sempurna belum itu kamu menyela orang, nyubit orang, pukul orang? Sakit enggak kamu? Coba kamu sama saya
dipukul, sakit kan? Orang pun juga begitu, orang gak gimana dipukul. Makanya segala kuncinya itu harus dari diri kita sendiri
bagaimana, dari hati kita sendiri bagaimana. Baik nggak sama orang? Kalau kita apa…apa, ya… orang juga lihat kok. Orang
dia merasakan, gitu.
Iya, orang mau gimana juga bodo. Kalaupun ada yang bilang ke saya gimana, ah yaudah
111
Alhamdulillah. Oh tandanya… tandanya dia sayang sama saya.” Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bagaimana subyek E tidak begitu mempedulikan apa yang dikatakan orang lain
terhadapnya. Menurutnya selagi ia berbuat baik kepada orang lain, maka orang lain akan dapat merasakan kebaikan tersebut dan akan
membalasnya dengan kebaikan pula. Prinsip tersebut tertanam begitu dalam pada diri subyek E karena merupakan pesan dari
ibunya dalam menjalani hidup. Subyek E mengibaratkan bahwa ia tidak akan suka jika ada orang lain yang berbuat buruk padanya.
Karena hal tersebut ia juga tidak ingin berbuat buruk kepada orang lain. Selain itu menurut subyek E, jika tetap ada orang lain yang
berkata ataupun berbuat buruk padanya, ia memandang hal tersebut secara positif dan menganggap bahwa orang tersebut peduli
kepadanya. d.
Minat Sosial Seluruh subyek dalam penelitian, baik itu subyek NA,
subyek S, subyek I, dan subyek E, meskipun tidak semuanya tinggal satu rumah dengan keluarganya, mereka tetap tinggal di
dalam suatu lingkungan masyarakat. Masing-masing subyek memiliki cara tersendiri untuk melibatkan diri dalam kegiatan
bermasyarakat di tempatnya tinggal. Mereka juga memandang lingkungan sosial di sekitarnya dengan caranya masing-masing.
Subyek NA menjelaskan pendapatnya mengenai bagaimana
112
masyarakat memandang dirinya sebagai waria, berikut kutipan wawancaranya:
“Masyarakat memandang kita itu ya lucu, aneh, atau kadang ada juga yang takut. Tapi tergantung juga pada diri warianya juga.
Kalau kita memang penampilan kita itu sewajarnya, itu masyarakat juga tidak akan begitu membully, tidak akan begitu
mencemooh. Kadang warianya juga, kadang terlalu norak sih. Kadang mereka berdandan kadang menor, kadang pakai rok
mini, kadang seksi banget, ya itulah. Itu tergantung pada diri warianya sendiri.” Wawancara dengan subyek NA, 16 Agustus
2016.
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan pendangan NA mengenai anggapan masyarakat tentang dirinya sebagai waria.
Menurut NA masih banyak masyarakat yang memandang waria sebagai hal yang lucu, aneh dan bahkan menakutkan. Namun ia
menganggap pandangan masyarakat tersebut juga tergantung pada diri waria masing-masing. Menurut subyek NA, jika seorang waria
bisa menempatkan diri dengan berpenampilan wajar, maka masyarakat akan bersikap lebih baik. Berbanding terbalik jika
seorang waria berpenampilan berlebihan dan juga bertingkah laku tidak baik. Lebih lanjut NA menyampaikan pendapatnya mengenai
penerimaan masyarakat terhadap waria, berikut kutipan wawancaranya:
“Itu tergantung juga, kalau masyarakat sih sebenarnya bisa menerima waria. Buktinya banyak yang masyarakat mereka, aku
pernah turun ke jalan ikut teman-teman ngamen ya, mereka juga ternyata juga tidak mencemooh ataupun menghina ataupun
gimana. Kadang atau menganggap kita lelucon ya… Mereka juga menanggapi kita baik-baik, di kampung saya, di kampung
sini juga. Cuma kadang ada masyarakat yang kadang
113
memandang remeh pada waria itu karena tingkah waria itu sendiri. Tingkah laku waria, kelakuan waria, penampilannya
waria itu juga kan orang itu bisa apa ya… kata orang jawa itu ‘ajining diri gumantung ing lathi, ajining raga gumantung
busana’. Gimana sih kita bisa menempatkan diri saja. Siapapun itu bukan perempuan, bukan laki-laki, bukan waria, kalau bisa
menempatkan diri dia akan dihormati juga. Jadi waria-waria kalau bisa menempatkan diri di mana kita tinggal, di mana
kita… kita aktivitas, kalau bisa menempatkan diri ya jarang sih yang mendapatkan cemoohan, ataupun ya ataupun bahkan
mendapat bully atau dihina. Kadang waria pengennya bermasyarakat, bersosialisasi, mereka pengennya menyampur
tapi penampilan dia memancing perhatian orang. Nah itu kan kadang. Harusnya kan bisa… bisa menjaga, jangan sampai
orang itu memancing perhatian. Kalau memancing perhatian itu positif ya nggak papa ya, tapi kalau memancing perhatian
biasanya justru kalau waria kan negatif. Terlalu dandan terlalu menor, pakai pakaian yang seksi ataupun yang pakaian yang
aneh-aneh. Wawancara dengan subyek NA, 21 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana menurut NA, masyarakat sesungguhnya bisa menerima keberadaan
waria. Ia menyampaikan hal tersebut dengan alasan pengalamannya ketika sedang mengamen, banyak juga orang yang menyapanya
dengan ramah. Menurutnya hal yang membuat masyarakat memandang remeh pada waria sesungguhnya adalah diri waria itu
sendiri. NA juga menyampaikan bagaimana jika waria bisa menempatkan diri di lingkungan sekitarnya, maka ia juga akan
mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Cara seorang waria membawa diri dan berpenampilan menurut NA juga
merupakan kunci untuk bisa melebur dengan masyarakat. Sebisa mungkin, menurutnya, waria harus menghindari hal-hal yang
memancing perhatian masyarakat terfokus padanya, kecuali jika
114
perhatian tersebut berupa perhatian yang positif. NA kemudian menjabarkan kembali apa yang dimaksudnya dengan menarik
perhatian masyarakat secara positif ke dalam kegiatan-kegiatan yang diikutinya dalam rangka melibatkan diri ke dalam masyarakat,
berikut kutipan wawancaranya: “Kalau aku sih menarik perhatian masyarakan dengan aku
kegiatan positif. Contohnya aku apa, aku mengajari anak-anak untuk menari, terus setiap ada Agustusan aku ikut tampil,
penampilan aku juga penampilan penampilan sewajarnya, bukan terus penampilan aku seperti apa ya… penampilan banyolan
seperti Tesi ataupun siapa. Tidak, aku dengan tari-tarian, tari klasik.
Iya, ikut arisan ibu-ibu juga. Setiap ada bulan… setiap bulan Ramadhan kita juga ditanya, mbak mau ini nggak, mau
apa… mau jabur enggak. Iya… gitu aja. Dan itu suatu bentuk pengakuan mereka ke kita. Kemudian kita ditawari untuk
menjabur ataupun untuk apa… takjilan.” Wawancara dengan subyek NA, 21 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan keterlibatan NA dalam berbagai kegiatan di masyarakat di lingkungan tempatnya
tinggal. NA selalu melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan seperti mengajari anak-anak menari, ikut perayaan kemerdekaan,
dan juga kegiatan rutin seperti arisan untuk ibu-ibu. Untuk kegiatan rutin, NA mengungkapkan bahwa ia biasanya lebih banyak
mengikuti kegiatan untuk ibu-ibu. Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan oleh informan SI, berikut kutipan
wawancaranya: “Ya baik dia, dia itu… secara ketika dia hidup di kos-kosan, dia
juga baik dengan lingkungannya. Ketika dia hidup di kuburan itu dia juga hidup dengan baik, disayangi orang-orang di
115
lingkungannya dan dia selalu bisa membawa dirinya.” Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana menurut informan SI, subyek NA adalah pribadi yang selalu dapat
membawa dirinya sehingga ia lebih banyak mendapatkan respon positif dari lingkungannya di manapun ia tinggal. Sementara itu,
keterbukaan masyarakat kepada subyek NA untuk mengikuti kegiatan bagi ibu-ibu menurutnya adalah salah satu bentuk
pengakuan dari masyarakat atas dirinya sebagai waria. Pengakuan dari masyarakat tersebut diakui oleh NA merupakan suatu hal yang
sangat berarti baginya, berikut kutipan wawancaranya: “Kalau waria dia akan… dia memperlihatkan kepada
masyarakat bahwa inilah saya, inilah saya sebenarnya, saya itu bukan laki-laki. Kalau waria ya sudah, masyarakat juga harus
tahu bahwa waria itu ada, bahwa waria itu nyata.” Wawancara dengan subyek NA, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut subyek NA, pengakuan dari masyarakat tentang eksistensi waria
adalah hal yang begitu penting untuk waria itu sendiri. Menurutnya seorang waria tentu memiliki keinginan bahwa masyarakat harus
tahu bahwa dirinya bukanlah seorang laki-laki, melainkan seorang waria.
Subyek S juga memiliki cara tersendiri untuk ikut membaur dalam lingkungan masyarakat tempatnya tinggal, berikut kutipan
wawancaranya:
116
“Oh iya… lha kalau di kampung ya ikut arisan, kalau ada… apa tetangga hajatan ya saya bantu-bantu. Lha kalau nggak gitu ya
nanti gimana, orang saya di kampung juga apa namanya… berkecimpung gitu lho. Nggak terus saya nggak pernah keluar
itu nggak, lha nanti ndak nggak enak sama RT nya cuma di rumah aja.” Wawancara dengan subyek S, 20 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek S mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan di
kampungnya. Subyek S juga mengaku ia berusaha membaur dengan masyarakat dengan ikut membantu jika ada tetangganya
yang sedang menyelenggarakan hajatan. Subyek S menyadari bahwa ia hidup dalam lingkungan perkampungan sehingga ia tetap
harus ikut membaur dengan masyarakat agar sama-sama merasa nyaman dengan warga di lingkungan tempatnya tinggal. Lebih
lanjut S menjelaskan mengenai respon masyarakat di sekitarnya terhadap dirinya dalam kutipan wawancara berikut ini:
“Tetangga udah biasa, kadang-kadang malah nanya, kamu ikut ‘rewang’ enggak. Terus saya, ya nanti tak berangkat, gitu. Kalau
memang di kampung itu udah baik karena saya juga kalau lewat ya permisi bu, monggo bu, akhirnya ya tetangga itu juga
walaupun saya waria tapi dia orangnya sopan, dia sopan gitu. Cuma ya terserah dia kalau saya sudah lewat dia mau mbatin
apa udah saya nggak… saya nggak ini. Yang penting itu saya sudah baik sama dia. Orang kalau ada acara apa juga saya juga
nyumbang kok mbak, jadinya kan ya umumnya seperti di kampung itu. Cuma menjaga saya.” Wawancara dengan subyek
S, 20 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana menurut subyek S, tetangga dan masyarakat di kampungnya saat ini
juga bersikap wajar padanya. Menurutnya hal tersebut dapat terjadi karena ia lebih dulu bertingkah laku dengan baik, sopan dan
117
sewajarnya sehingga tetangganya beranggapan meskipun ia adalah seorang waria, ia adalah orang yang sopan dan baik. S juga
menjelaskan bahwa ia tidak masalah bagaimana orang menilai dirinya karena menurutnya yang terpenting adalah bagaimana ia
sudah bersikap baik terlebih dahulu kepada mereka. S juga mengakui bahwa ia melakukan semua itu untuk menjaga agar
hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya tetap baik. Meskipun demikian, subyek S juga mengungkapkan bahwa
terkadang ia juga merasakan ketidaknyamanan ketika sedang melakukan kegiatan di masyarakat. Berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau kesulitan menjalani itu ya kadang-kadang kalau pas pekerjaannya yang kita nggak… nggak apa ya… kita nggak
suka, seperti itu ka nada. Kerja bakti, suruh anu, ya itu kan nggak kita jalani kalau yang keras-keras, kalau yang enteng-
enteng ya saya jalani, gitu. Ya iya… ya semuanya memang kerja bakti. Lha sekarang itu malah ibu-ibu yang kerja bakti itu. Lha
yang bapak-bapak malah pada males kok mbak sekarang itu. Iya mbak bener, di rumah malah nggak mutu to. Ya sekarang aku
juga berkecimpung di situ karena yang perempuan aja juga sudah pakai pacul pakai sekop ya aku ya ngikutin aja, nggak
apa-apa.” Wawancara dengan subyek S, 20 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana terkadang subyek S merasa tidak nyaman dengan kegiatan yang ia
lakukan di masyarakat. Dalam kegiatan kerja bakti yang ia sebutkan, ia merasa tidak suka karena apa yang dikerjakan adalah
hal yang berat-berat. Sementara itu pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki justru dilakukan oleh perempuan.
Meskipun demikian karena tetangganya yang perempuan juga
118
melakukan pekerjaan yang sama, ia mau tidak mau juga tetap melakukannya. Alasannya adalah karena ia juga menempatkan
dirinya sebagai seorang perempuan. Sementara itu informan Y, memiliki pendapatnya sendiri mengenai bagaimana hubungan
subyek S dengan lingkungan sekitarnya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Aku kalau melihat itu, ini tapi hanya sekedar asumsiku ya, tapi kalau melihat karakternya mbak S itu dia nggak suka ya. Artinya
dari rumah terus main ke tetangganya sampai ngobrol-ngobrol gitu enggak, dia banyak di rumahnya kalau tak lihat. Aku
melihat kalau melihat apa, karaktrnya ya, karena ya tadi aku bilang itu, dia orangnya lebih banyak pasifnya” Wawancara
dengan informan Y, 29 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut informan Y, meskipun subyek S juga terlibat dalam kegiatan
kemasyarakatan, ia bukan tipe orang yang senang keluar rumah tanpa memliki tujuan tertentu. Menurut Y, subyek S jarang pergi ke
rumah tetangganya hanya untuk sekedar mengobrol. Namun jika ada kegiatan tertentu barulah subyek S mengikutinya.
Berbeda dengan subyek S, subyek I memiliki dinamika tersendiri mengenai hubungannya dengan masyarakat di sekitar
tempat tinggalnya. Subyek I saat ini lebih banyak menghabiskan waktu tinggal di rumah kos daripada di rumah orang tuanya. Ia
menceritakan interaksinya dengan lingkungan sekitar kosnya dalam kutipan wawancara berikut ini:
119
“Warga di sekitar kos udah tahu mereka, udah tahu sekarang. Orang ngomong ih mas W kok kemayu, nah paham cuma dia
mau ngucapin waria aja kan sungkan. Kok kemayu banget to sekarang? gitu mereka. Hahahaha. Kalau kegiatan jarang, itu di
situ udah… individu. Lagian di situ lingkungannya lingkungan… apa ya, ada yang kerjanya malam, ada yang
kerjanya siang, ada yang aktivitas. Di situ ya bayar mandi, yang mau keluar ya keluar, yang mau tidur di kamar ya kamar.”
Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sekitar kosnya, sudah tahu jika subyek I adalah seorang
waria. Mereka juga tidak segan untuk menyapa dan berinteraksi dengan subyek I. Namun di lingkungan kosnya tidak banyak
terdapat kegiatan kemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan lingkungan kos tempat tinggal subyek I adalah lingkungan yang
individual di mana masyarakatnya lebih banyak fokus pada urusan masing-masing dibandingkan kegiatan kemasyarakatan. Sehingga
interaksi yang dilakukan hanyalah sekedar saling menyapa dengan lingkungan sekitar. Pernyataan subyek I tersebut juga didukung
oleh pernyataan dari informan SI, berikut kutipan wawancaranya: “Kalau tetangga-tetangga kosnya tahu, lha kan kalau berangkat
kerja kan sudah dandan. Mereka biasa…mbak I kan kos di lingkungan yang banyak waria juga. Jadi ada sebuah rumah, ada
dua rumah yang kemudian dua rumah ini dikosin para waria.” Wawancara dengan informan SI, 2 September 2016.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sekitar kos subyek I memang sudah mengetahui bahwa I adalah seorang
waria. Namun mereka tetap bersikap biasa saja karena lingkungan tempat subyek I kos memang sudah familiar dengan waria. Oleh
120
karena itu wajar jika mereka bersikap lebih menerima dan berinteraksi secara wajar dengan subyek I. Sementara itu meskipun
lebih banyak menghabiskan waktu di kos, dalam waktu seminggu sekali subyek I selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah
orang tuanya. Dalam kesempatan tersebut subyek I mengaku lebih banyak terlibat kegiatan kemasyarakatan ketika berada di rumah
orang tuanya, berikut kutipan wawancaranya: “Kalau aku karang taruna, setiap minggu kan ada pertemuan di
situ, ya nabung kadang arisan, yang penting ya untuk jaga silaturahmi gitu. Mereka ke aku juga bagus, orang setiap ada
kegiatan ini Agustus ini nanya, pulang nggak, kalau pulang ini ada hiburan malam Minggu, ya, gitu. Kadang kerja bakti. Kerja
bakti aku ikut, walaupun itu aku pulang, oh ini ada sedikit rejeki buat beli… gula lah apa gorengan, buat kalian-kalian rokok.
Itu… jadi kan mereka kadang, oh walaupun dia kemayu, kadang walaupun kemayu kok banyak duitnya, hahahha, ya
gitu.”Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa di rumah orang tuanya subyek I terlibat dalam beberapa kegiatan
kemasyarakatan seperti karang taruna, arisan, dan kerja bakti. Menurutnya masyarakat di sekitar lingkungannya juga merespon
bagus terhadap dirinya. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya ajakan untuk bergabung kepada subyek I jika sedang terdapat
kegiatan di tempat tinggalnya. Sementara itu subyek I sendiri juga berusaha melibatkan diri dan menyumbang dalam kegiatan-
kegiatan tersebut. Menurutnya hal tersebut akan membuat anggapan dari masyarakat bahwa meskipun dirinya kemayu, namun
121
ia tetap mampu mendukung dan terlibat dalam kegiatan di masyarakat.
Jika subyek I memiliki tempat tinggal yang terpisah dengan orang tuanya, begitu juga dengan subyek E. Subyek E saat ini
tinggal di rumah kontrakan di Yogyakarta sementara keluarganya berada di Bandung. Namun berbed dengan subyek I yang
mengunjungi rumah keluarganya secara rutin seminggu sekali, subyek E sangat jarang mengunjungi keluarganya di Bandung.
Oleh karena itu ia lebih melebur dengan masyarakat di tempat kontrakannya, berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau saya orangnya nggak pernah apa-apa. Saya dengan warga juga biasa aja. Yang penting menjaga diri sendiri aja,
karena kan kita kan pendatang. Kita perantau… kita harus bisa beradaptasi dengan warga, kita tahu satu RT RW, kita tahu
sopan santun kan. Nah itu kan kita yang jaga. Masyarakat biasa… mereka itu semuanya baik kok, sering berdatangan, ya
biasa aja… Asal kita baik sama warga juga kan… Kalau misal ada apa-apa ya kita selalu diundang. Tirakatan, syawalan, ya apa
aja… Jogja itu aman.” Wawancara dengan subyek E, 19 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa subyek E menyadari bahwa dirinya adalah seorang pendatang di
lingkungannya tinggal. Oleh karena itu, subyek E menempatkan dirinya dan berperilaku dengan baik. Subyek E mempercayai
bahwa jika ia menjaga perilakunya dengan baik, maka masyarakat di lingkungannya tinggal juga akan meresponnya dengan baik.
Subyek E juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemsyarakatan
122
yang diadakan di tempatnya tinggal. Ia merasa sangat nyaman dengan tempat tinggalnya saat ini karena menurutnya alasan
tersebut membuatnya merasa diajak untuk bergabung dalam masyarakat. Mengenai keadaan lingkungan di mana subyek E
tinggal, informan Y juga mengungkapkan pandangannya dalam kutipan wawancara berikut ini:
“Ya…ini ya, apa… sama dengan yang lainnya ya. Artinya dia…dia juga berinteraksi dengan minimal dengan tetangga
terdekat ya nggak tahu itu ibu-ibu, nggak tahu mbak-mbak, ya ngobrol sama gitu, biasa.” Wawancara dengan informan Y, 5
September 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut informan Y, subyek E memang berinteraksi dengan tetangga-
tetangga di sekitar lingkungannya tinggal. Informan Y juga menambahkan bahwa interaksi dilakukan oleh subyek E adalah
interaksi yang wajar pada umumnya. Subyek E juga memiliki pandangan tersendiri menganai keterlibatannya dalam masyarakat,
berikut kutipan wawancaranya: “Kegiatan di masyarakat itu
ya kan itu yang paling penting. Kita
pun bersosialisasi, bersosialisasi dengan warga. Kita kan mendekatkan diri, jadi supaya mengetahui gitu. Yang penting ya
itulah, kita harus bisa. Kita harus bisa bersosialisasi dengan warga gitu kan. Kita harus mendekatkan diri dengan warga, jadi
ketahuan kalau saya gini gini gini. Itulah yang paling penting, jadi warga mengerti. Biar nyaman oleh kitanya. Ya bergabung
itu nomer satu, itu berkomunikasi itu nomer satu itu. Iyalah, kita harus.”Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek E merasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat
123
adalah hal yang paling penting. Menurutnya melalui bersosialisasi, warga akan lebih mengetahui dan mengenal siapa dirinya sehingga
ia juga akan merasa lebih nyaman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Subyek E juga menyebutkan bahwa berkomunikasi
dan bersosialisasi adalah hal yang harus dilakukan. e.
Finalisme Fiksional Masing-masing subyek juga memiliki tujuan yang ingin
dicapai terkait dengan kehidupannya sebagai seorang waria. Ketika disinggung mengenai kehidupannya saat ini, berikut kutipan
wawancara yang diungkapkan oleh subyek NA: “Iya, saya sangat nyaman dengan kehidupan saya sekarang.
Karena aku… apa ya aku merasa… aku dari sepuluh waria aku merasa… dari satu banding sepuluh waria aku merasa aku
sangat beruntung. Karena aku sudah sewajarnya, ya aku punya pasangan, punya pasangan yang tanggung jawab, aku juga
punya tempat tinggal yang tetap, juga kehidupanku juga tetap. Kan kebanyakan waria… banyak waria yang mereka masih
tinggal di jalan, mereka yang masih apa ya… terpaksa menjadi anak jalanan, mereka dandan menor tidur juga sembarangan. Ya
kalo untuk pesan ke teman-teman ya… jadilah waria yang mapan, jangan waria kadang yang memancing perhatian orang.”
Wawancara dengan subyek NA, 21 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa NA sudah merasa nyaman dengan kehidupannya saat ini. Ia merasa
beruntung ketika ia melihat kondisi teman-teman warianya yang lain karena ia merasa sudah dapat hidup sewajarnya dengan
memiliki pasangan, memiliki tempat tinggal teap, memiliki hidup yang tetap, dan juga memilki keluarga yang sudah mau
124
menerimanya. Subyek NA bahkan memberikan pesan kepada teman-tema warianya agar menjadi seorang waria yang mapan dan
bukan memancing perhatian orang. Sementara itu, terkait dengan kehidupannya baik pribadi
maupun yang melibatkan masyarakat, subyek S juga mengungkapkan pandangannya dalam kutipan wawancara berikut
ini: “Keinginannya sekarang ya bisa makan setiap hari…
bermasyarakat yang wajar. Karena sekarang pengakuannya sebagai ibu-ibu. Saya itu sama suami saya ya sudah keluarga.
Kadang-kadang ya di sana itu manggil saya pakai nama bu A gitu juga ada, nama suami saya. Ada yang mbak S… Kan yang
KK nya itu yang jadi satu yang suami yang pertama, saya ajukan ke RT.” Wawancara dengan subyek S, 20 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bagaimana subyek S mengungkapkan keinginannya terkait dengan
kehidupannya saat ini. Subyek S merasa saat ini ia hanya ingin bisa mencukupi kebutuhan hidupnya setiap hari dan dapat hidup
bermasyarakat dengan wajar. Subyek S juga mengungkapkan bagaimana lingkungan sekitarnya sudah menganggap dirinya dan
pasangannya sebagai suami istri dan itu merupakan suatu bentuk pengakuan baginya atas kewariaannya maupun atas hubungannya
dengan pasangannya. Subyek I juga mengungkapkan harapannya terkait dengan
waria dan masyarakat, berikut kutipan wawancaranya:
125
“Ya aku terus terang terutama untuk aku pribadi, ya waria ibaratnya disetarakan sama laki-laki perempuan. Kalau untuk
menikah untuk Indonesia belum ya, yang penting disetarakan tapi jangan didiskriminasikan. Ya ibaratnya orang ya… laki-laki,
perempuan, waria itu sama gitu lho dalam arti enggak dibeda- bedain.” Wawancara dengan subyek I, 24 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan harapan dari subyek I terkait dengan kesetaraan bagi waria. Subyek I
mengungkapkan keinginannya agar kaum waria disetarakan dan dianggap sama dengan laki-laki ataupun perempuan. Meskipun ia
menyadari bahwa untuk di Indonesia pernikahan adalah angan yang masih sangat jauh bagi waria, ia berharap setidaknya waria tidak
lagi mendapatkan diskriminasi dan tidak lagi dibeda-bedakan oleh masyarakat ataupun pemerintah. Lebih lanjut subyek I
mengungkapkan keinginannya secara lebih khusus terkait kehidupannya, berikut kutipan wawancaranya:
“Kalau aku untuk pencapaian nggak, ibaratnya seperti air mengalir, aku sebagai waria ya udah menerima apa adanya
sebagai waria. Nggak ada tujuan apa-apa, cuma hidup nyaman, tentram, gitu. Nggak neko neko.” Wawancara dengan subyek I,
24 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalani kehidupannya saat ini, subyek I tidak memiliki
keinginan khusus. Menurutnya ia hanya menjalani kehidupannya seperti air mengalir. Ia juga merasa bahwa ia sudah berdamai
dengan dirinya sendiri melalui penerimaan dirinya sebagai seorang waria. Kemudian subyek I juga mengungkapkan bahwa yang ia
126
inginkan saat ini hanyalah dapat menjalani kehidupan yang nyaman dan tentram.
Subyek E juga mengungkapkan bagaimana ia akan menjalani kehidupannya dalam waktu mendatang, berikut kutipan
wawancaranya: “Kalau saya sih bagaimana diri masing-masing kalau saya sih.
Diri masing-masing yang kita jaga itu. Diri masing-masing kalau saya sih… Bagaimana mendidiknya, menanamkan ke diri
kita sendiri aja, bagaimana masing-masing ajalah kalau saya orangnya. Mau itu begitu mau itu begitu sebodolah, yang
penting diri saya gimana, kalau saya orangnya gitu. Saya nggak kepengen apa-apa, kedepannya ya saya pengen kerja aja.”
Wawancara dengan subyek E, 26 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa menurut subyek E, dalam menjalani kehidupan semua hal tergantung pada
diri masing-masing. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.
Menurutnya yang terpenting adalah bagaimana ia berperilaku dengan baik terhadap orang lain. Subyek E juga mengungkapkan
bahwa saat ini ia hanya ingin lebih fokus dengan pekerjaannya dibandingkan dengan hal-hal lainnya.