16
ketidaksesuaian dengan gender yang dimilikidiekspresikan atau pada remaja awal, adanya keinginan untuk mencegah
tumbunya karakteristik jenis kelamin primer danatau sekunder yang diantisipasikan
3 Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik jenis
kelamin primer danatau sekunder dari gender yang berlawanan dengan dirinya
4 Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang
berlawanan atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan padanya
5 Adanya keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai
gender yang berlawanan atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan padanya
6 Adanya keyakinan yang kuat bahwa individu memiliki
perasaan dan reaksi yang khas dari gender berlawanan atau gender alternatif yang berbeda dengan gender yang diberikan
padanya. b.
Keadaan tersebut dihubungkan dengan kesulitan yang signifikan atau ketidaknyamanan dalam bidang sosial, lapangan pekerjaan
dan fungsi lain dari area-area yang penting. 3.
Panyebab Gender Dysphoria Pembahasan
mengenai gender dysphoria erat kaitannya dengan
identitas gender. Pada DSM edisi IV, pembahasan mengenani gender
17
dysphoria juga masih berada di bawah nama gangguan identitas gender. Oleh karena itu pembahasan mengenai penyebab gender dysphoria
tentu tidak dapat dipisahkan dengan penyebab gangguan identitas gender.
Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui bagaimana gangguan identitas gender bisa terjadi Money, 1994 dalam Nevid,
dkk., 2003: 75. Sedangkan Kreukels, dkk. 2014: 26 menyebutkan bahwa perkembangan identitas gender merupakan sebuah proses
perkembangan yang kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis seperti faktor hormonal dan genetis serta faktor-faktor
psikososial yang berhubungan satu sama lain. Klink dan Heijer 2014 dalam Kreukels, dkk., 2014: 43
menguraikan beberapa penelitian yang berfokus pada peran dari faktor genetis atau keturunan pada individu dengan gender dysphoria. Dari
penelitian-penelitian tersebut ditarik kesimpulan bahwa meskipun pengaruhnya tidak begitu dominan, faktor genetis mempunyai andil
dalam perkembangan gender dysphoria dalam diri seseorang. Sementara itu dari segi psikologis ditemukan bahwa rasa
kecemasan pada anak-anak yang berkaitan dengan faktor-faktor pola asuh tertentu dan kecenderungan anak terhadap perilaku cross-gender
juga dapat mengarah pada perkembangan gender dysphoria dalam diri seseorang Zucker Bradley, 1995 dalam Kreukels, dkk., 2014: 67.
Gender dysphoria yang berkembang dalam diri anak-anak tersebut
18
kemudian dijelaskan secara lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukan oleh Steensma, dkk. pada tahun 2011 terhadap remaja usia
10 dan 13 tahun. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi apakah gender dysphoria pada anak-
anak akan berlanjut pada saat anak tersebut tumbuh menjadi remaja atau tidak. Tiga faktor yang mempengaruhi antara lain adalah
perubahan lingkungan sosial meningkatnya tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan stereotip gender, perubahan fisik yang
diantispasikan atau dialami selama masa pubertas, dan pengalaman pertama saat jatuh cinta dan ketertarikan seksual Kreukels, dkk., 2014:
67. Dari segi sosial dijelaskan pula bahwa faktor-faktor sosial seperti
keinginan orang tua untuk memiliki anak perempuan, tidak adanya sosok salah satu figur orang tua, pola asuh yang menguatkan, atau
hubungan lekat antara ibu dan anak laki-lakinya termasuk dalam hal- hal yang berpengaruh dalam berkembangnya gender dysphoria Green,
1974; Stoller, 1968 dalam Kreukels, dkk., 2014: 68. Namun dalam penemuan yang lebih baru oleh Zucker Bradley 1995 pola asuh
orang tua dianggap memang memiliki peran dalam pengembangan variasi gender seseorang meskipun tidak secara signifikan melainkan
hanya dalam kadar minimal saja Kreukels, dkk., 2014: 68. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
penyebab dari gender dysphoria merupakan sebuah proses yang
19
kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor di antaranya adalah faktor genetis dan keturunan, faktor psikologis, serta faktor sosial.
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan berperan dalam pembentukan identitas gender dan perkembangan gender
dysphoria dalam diri seseorang.
B. Tinjauan tentang Waria
1. Definisi Waria
Definisi waria menurut Khabiballah dalam Winie Wahyu Sumartini M., dkk. 2014 merupakan seorang yang terlahir dengan
jenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai pemikiran seperti perempuan. Sedangkan Graham 2004 mengartikan waria sebagai laki-laki yang
menunjukkan karakteristik penampilan dan tingkah laku dari jenis kelamin yang berbeda Stevanus Colonne Rika Eliana, 2005.
Kedua definisi yang dipaparkan tersebut memiliki suatu kesamaan yang menyatakan bahwa waria merupakan seseorang yang memiliki
jenis kelamin fisiologis sebagai laki-laki namun memiliki kecenderungan untuk berpikir dan berpenampilan layaknya perempuan.
Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq 2014 secara gamblang merujuk waria sebagai seorang pria transgender. Definisi
dari transgender sendiri merupakan suatu kondisi atau keadaan di mana terjadi kesenjangan secara fisik dan psikis seseorang, ketika seseorang
merasa bahwa kondisi fisiknya tidak sesuai dengan apa yang dirasakan
20
terutama terkait dengan identitas seks Bockting, dkk dalam Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq, 2014.
Waria sendiri sesungguhnya adalah sebuah istilah yang merupakan kependekan dari wanita pria. Istilah tersebut lazim digunakan di
Indonesia untuk menggambarkan seseorang yang memiliki jenis kelamin laki-laki namun berpenampilan seperti perempuan. Sebelum
memakai istilah waria, sebelumnya seseorang berjenis kelamin laki- laki namun berpeanampilan perempuan biasa disebut dengan banci
atau bencong, bahkan pada tahun 1968 sempat dipakai istilah wadam, yaitu kependekan dari wanita adam Titik Widayanti, 2009: 40.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa waria merupakan sebutan bagi seorang pria transgender di Indonesia, yaitu
seseorang yang memiliki jenis kelamin fisiologis laki-laki namun memiliki pemikiran dan penampilan seperti layaknya seseorang
dengan jenis kelamin perempuan. 2.
Karakteristik Waria Nadia 2005 dalam Winie Wahyu Sumartini M., dkk. 2014
menguraikan ciri-ciri yang dimiliki oleh waria sebagai berikut: a.
Identifikasi transeksual harus sudah menetap minimal dua tahun dan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain dan berkaitan
dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom
21
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai perempuan,
disertai dengan perasaan risih dan ketidakserasian dengan tubuh yang dimilikinya
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan
pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan perempuan.
3. Pembentukan Identitas Waria
Pada dasarnya pembentukan identitas waria merupakan hasil dari proses yang panjang. Titik Widayanti 2009: 56 menjelaskan proses
pembentukan identitas tersebut sebagai berikut: a.
Proses pembentukan identitas waria diawali dengan adanya kesadaran individu bahwa ia memiliki sifat feminim pada dirinya
yang secara fisik merupakan laki-laki. Adanya kesadaran tersebut biasanya dimulai ketika
individu masih anak-anak. Waria biasanya menyadari bahwa mereka merasakan adanya perbedaan baik dalam bakat, sikap,
maupun pembawaan dengan teman-temannya yang secara fisik sama-sama laki-laki. Kesadaran tersebut kemudian memunculkan
pertanyaan retoris dalam diri individu atas keadaan dirinya. b.
Tahapan selanjutnya dalam pembentukan identitas waria adalah adanya pengakuan dan penerimaan diri sendiri.
Proses ini merupakan sesuatu yang sangat penting karena pada tahap ini, individu akan mempersiapkan diri untuk
22
menghadapi segala konsukuensi dari pengakuan dan penerimaan dirinya sebagai waria. Hal tersebut terjadi karena kaum waria pada
kenyataannya telah mendapatkan stigma dari masyarakat tentang identitas seksualnya yang dianggap tidak normal.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Stevanus Colonne dan Rika Eliana 2005 mengenai tipe-tipe konflik
intrapersonal waria, ditemukan bahwa responden dalam penelitian tersebut mengalami konflik dalam diri akibat keinginannya untuk
menjadi seorang waria. Selain itu responden juga merasakan ketidaknyamanan di berbagai bidang seperti cara beribadah akibat
statusnya yang merupakan seorang waria. Konsekuensi- konsekuensi seperti itulah yang membuat proses pengakuan dan
penerimaan diri sebagai waria menjadi sangat penting. c.
Proses berikutnya merupakan proses meyakini identitasnya sebagai waria untuk bisa menegaskannya dalam kehidupan sosial.
Proses ini melibatkan keberanian diri seorang waria untuk menghadapi lingkungan sosial yang merupakan masyarakat luas
dan juga keluarganya. Tahapan ini tidak dapat diabaikan karena pada akhirnya, waria merupakan makhuk sosial yang juga akan
hidup dalam lingkungan sosial. Selain proses-proses tersebut, terdapat juga beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan identitas waria. Faktor-faktor tersebut yaitu Titik Widayanti, 2009: 53: