64
cukup ekspresif dan enak diajak bercanda. E juga merupakan seseorang yang sangat menyayangi keuarganya meskipun
hubungannya dengan keluarganya tidak begitu transparan. E seringkali bercerita kepada Y tentang pekerjaannya yang
terkadang sepi sehingga ia tidak mendapatkan banyak uang. Jika sedang memiliki masalah, menurut Y, E adalah tipe orang yang
lebih suka berjalan-jalan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena tinggal di lingkungan yang ramah terhadap waria,
hubungan E dengan masyarakat di sekitarnya menurut Y dapat dibilang baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka deskripsi informan pada penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Deskripsi Informan Penelitian Nama
inisial Umur
Hubungan Pribadi Subyek Menurut Informan
SI 48 Teman
dekat subyek NA
NA berhubungan baik dengan keluarga dan masyarakat, memiliki
masalah dalam mengontrol emosi Y 49
Teman dekat
subyek S S berhubungan baik dengan
keluarga dan masyarakat, pribadi yang tertutup
SI 48 Teman
dekat subyek I
I tertutup namun berhubungan baik dengan keluarga, pekerja keras
Y 49 Teman
dekat subyek E
E tertutup namun berhubungan baik dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya, pekerja keras
Sumber: Diolah dari data primer 2016
65
4. Reduksi Data Hasil Wawancara
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, berikut dipaparkan reduksi data hasil wawancara. Proses reduksi data dilakukan sesuai
dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perilaku dan kepribadian waria serta dinamika elemen-elemen dalam psikologi
individual yang mencakup persepsi-persepsi subyektif, perjuangan ke arah superioritas, finalisme fiksional, minat kemasyarakatan, dan gaya
hidup pada diri waria. a.
Persepsi-Persepsi Subyektif Masing-masing subyek memiliki persepsi tersendiri terkait
dengan status waria yang dimilikinya. Persepsi-persepsi tersebut antara lain sebagai berikut:
“Memang awalnya, memang dari.. memang dari kecil itu aku sudah merasa bahwa aku itu.. apa ya mbak.. aku punya
keinginan, perilaku.. apa ya.. seperti perempuan, bukan karena lingkungan, atau karena ada banyak saudara perempuan. Tapi
aku itu kok merasa, aku lebih..lebih senang itu aku kalau berpakaian perempuan, aku bermain dengan
perempuan..permainan perempuan, itu aku lebih pinter daripada aku harus bermain dengan permainan laki-laki atau bermain
dengan teman laki-laki. Dari kecil, aku mulai dari SD kelas 1 itu aku lebih..lebih suka bermain dengan perempuan..dengan
teman-teman perempuan, ikut kelompok ke teman-teman perempuan daripada teman-teman laki-laki.” Wawancara
dengan subyek NA, 16 Agustus 2016.
Wawancara dengan subyek NA tersebut menunjukkan bahwa NA telah merasa bahwa dirinya lebih senang dengan hal-hal
yang berbau dengan perempuan mulai dari ketika ia masih kecil. Ia juga lebih suka berpakaian seperti perempuan dan merasa bahwa
66
dirinya lebih pintar ketika bermain permainan perempuan dibandingkan dengan permainan laki-laki. Hingga pada kelas 1 SD,
NA merasa lebih nyaman bergaul dengan teman-teman perempuannya dibandingkan dengan teman-teman lak-lakinya. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh SI, teman dekat NA. Kutipan wawancaranya adalah sebagai berikut:
“Kalau mbak NA itu dari, jadi dia waria itu nampak sejak SD juga. Jadi keluarga sudah nggak… nggak apa ya… artinya
heran… nggak heran lagi. Artinya ketika dia kemudian memutuskan memakai rok setiap hari itu keluarganya sudah
menerima, keluarganya dia.” Wawancara dengan informan SI, 30 Agustus 2016.
SI menerangkan bahwa subyek NA memang sudah memiliki kecenderungan waria sejak ia masih kecil. Kemudian ia
juga menambahkan bahwa karena hal tersebut, keluarga NA sesungguhnya sudah tidak heran ketika NA mulai mengekspresikan
dirinya selayaknya perempuan dengan memakai pakaian-pakaian perempuan. Sementara itu subyek S juga memiliki persepsi sendiri
tentang kewariaannya, berikut kutipan wawancaranya: “Oo… ya kalau aku itu memang dulu itu kecil itu kayaknya kok
sudah ini, ada pemikiran kelainan gitu. Iya, jadi otomatis terus saya itu juga anu… ngerti kalau saya itu dilahirkan begini. Ya
tapi saya itu udah… kok pemikiran itu nggak… kok tahu-tahu itu sudah pemikiran seperti perempuan. Saya juga dulu nanya,
kok bisa begini… Saya itu nggak tahu, belasan, masih kecil kan nggak tahu, sebenarnya kok bisa begini. Padahal aku… apa,
dilahirkan laki-laki, begitu… kok bisa saya itu pemikirannya kok perempuan. Terus saya kadang-kadang, apa namanya,
sering itu lho sering, main sana main sini kok masih saja seperti itu. Kalau ketemu sama laki-laki malah justru malah malu gitu
lho… Kalau perempuan malah kita dateng terus nanti malah
67
berteman gitu. Jadi seperti itu saya… Terus tiba-tiba ya itu tadi, terus memang gimana ya… mungkin juga memang sudah
seperti itu. Aku ya nggak tahu, aku ya nggak bisa dirubah untuk pemikiran itu, gitu.” Wawancara dengan subyek S, 17 Agustus
2016
Dari kutipan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa subyek S tidak bisa menunjuk alasan pasti tentang kewariaannya. Ia
merasa bahwa mungkin memang sudah dilahirkan seperti itu. S memiliki pemikiran seperti layaknya perempuan dan ketika bergaul
pun ia merasa lebih nyaman berteman dengan perempuan dan memiliki rasa malu-malu ketika berteman dengan laki-laki. Ia juga
sempat mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang pemikiran dan perasaan yang dimilikinya karena ia sadar betul bahwa yang ia
rasakan bertentangan dengan yang sewajarnya dirasakan laki-laki. Padahal ia juga tahu betul bahwa ia memiliki jenis kelamin
fisiologis laki-laki. Oleh karena itu ia menyebutkan bahwa ia menganggap apa yang dialaminya ini sebagai sebuah kelainan. S
juga mengungkapkan bahwa apa yang ia pikirkan dan rasakan itu tidak dapat dirubah.
Lebih lanjut S juga mengungkapkan asumsinya mengenai faktor yang menjadi alasan bagaimana ia bisa menjalani kehidupan
sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya: “Iya dari kecil, sudah kayak gitu. Karena saya itu sebenarnya
dari ayah saya, saya juga bisa sebenarnya memungkiri ya. Ayah saya itu dulu kan juga penari, penari itu kan jadi perempuan gitu
lho. Ayah saya jadi perempuan, kalau nari jadi perempuan ya
kalau anaknya seperti ini sudah dimaklumi. Tetangga juga
68
bilang gitu… Tapi ada juga, apa, penolakan dari keluarga itu memang ada ya… Tapi lama-lama ya sudah, nggak bisa ini,
nggak bisa, karena anaknya juga seperti itu ya udah anu… nggak bisa disalahkan gitu.” Wawancara dengan subyek S, 17
Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa S merasa jika perasaan dan perilaku layaknya permpuan yang dimilikinya
sejak kecil merupakan suatu hal yang wajar. Alasannya adalah karena ayahnya merupakan seorang penari yang ketika berada di
atas panggung menari sebagai perempuan. Sehingga ia merasa bahwa tetangga dan keluarganya dapat memaklumi statusnya
sebagai waria dengan alasan tersebut. Subyek I juga memiliki persepsi tersendiri mengenai
pilihannya menjalani kehidupan sebagai waria. Berikut kutipan wawancaranya:
“Ya kemungkinan kalau aku itu sudah dari kecil lah, dari sejak lahir kemungkinan. Karena aku memang tiga bersaudara laki
semua ya… Iya, aku terakhir. Lalu kemungkinan… kemungkinan aku sama ibuku itu lebih dekat, dalam arti satu tali
batin. Di situlah kemungkinan… bukan ini ya… jiwa perempuannya kemungkinan ibuku menginginkan anak
perempuan. Pernah dulu… Lalu akhirnya setiap aku minta apa apa perempuan di ini… dibeliin waktu masih kecil jadi akupun
lebih deket sama ibu.” Wawancara dengan subyek I, 18 Agustus 2016.
Kutipan wawancara tersebut menggambarkan bahwa I mempercayai ia telah memiliki kecenderungan waria sejak ia lahir.
Ia juga mengungkapkan adanya faktor bahwa ia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara di mana kedua kakaknya juga laki-laki