Menurut UU No. 8 Tahun 1999.

69

1. Menurut UU No. 8 Tahun 1999.

Mengenai cacat tersembunyi, UU No. 8 Tahun 1999 telah menyebutkan dalam Pasal 11 huruf b yang melarang pelaku usaha menjual barang – barangnya yang dilakukan dengan cara obral atau lelang yang menyatakan bahwa barang atau jasa seolah – olah tidak mengandung cacat tersembunyi. Kemudian UU No. 8 Tahun 1999 juga telah mengatur tanggung jawab pelaku usaha secara tegas yang dinyatakan dalam Pasal 19 sebagai berikut : a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku. c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi. d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana Universitas Sumatera Utara 70 berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Jika dicermati substansi Pasal 19 ayat 1, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi 3 hal yaitu : a. Tanggung jawab kerugian atas kerusakan b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran c. Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen Berdasarkan hal ini, maka adanya barang yang cacat bukan merupakan satu – satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti segala kerugian konsumen merupakan tanggung jawab pelaku usaha. 86 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo memberi komentar terhadap Pasal 19, mengatakan bahwa Pasal 19 ayat 2 memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Menurut Pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Pasal 19 ayat 2 seharusnya menetukan bahwa pemberian ganti kerugian dapat berupa pengembalian 86 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal.126. Universitas Sumatera Utara 71 uang danatau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada konsumen. Ini berarti rumusan antara kata “setara nilainya” dengan “perawatan kesehatan” di dalam Pasal 19 ayat 2 yang ada sekarang tidak lagi menggunakan kata “atau” melainkan “danatau”. Melalui perubahan seperti ini, kalau kerugian itu menyebabkan sakitnya konsumen, maka selain mendapat penggantian harga barang juga mendapat perawatan kesehatan. 87 Jika dicermati, ketentuan Pasal 19 ayat 3 ini telah memberikan batasan waktu terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dibelinya. Cacat tersembunyi yang ditemukan setelah jangka waktu garansi lewat atau berakhir masanya, maka tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku usaha, sedangkan cacat tersembunyi adalah sesuatu yang tidak terlihat atau tidak nampak pasca pembelian. Ketentuan Pasal 19 ini memberikan pertanyaan tentang bagaimana kalau cacat tersembunyi itu akan nampak lebih dari 7 hari yang tidak bisa diukurdijangkau dengan pengetahuan si konsumen. Konsumen yang mengonsumsi barang di hari yang kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. 88 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam komentarnya terhadap Pasal 19 ayat 3 ini juga mengatakan bahwa dengan ketentuan ini menjadi kelemahan bagi konsumen, sehingga agar UU No. 8 Tahun 1999 dapat memberikan perlindungan maksimal tanpa mengabaikan kepentingan 87 Ibid., hal 126. 88 Ibid,.hal 127 Universitas Sumatera Utara 72 pelaku usaha, maka seharusnya Pasal 19 ayat 3 menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti kerugian kepada konsumen adalah 7 tujuh hari setelah terjadi kerugian, dan bukan 7 tujuh hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang. 89 Disamping tanggung jawab yang diatur dalam Pasal 19 itu, dalam UU No. 8 Tahun 1999 terdapat pengecualian tanggung jawab pelaku usaha atas barang yang dijual atau disediakannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27, yang menyebutkan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 empat tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Jika dicermati keseluruhan rumusan UU No. 8 Tahun 1999, tidak ada defenisi tentang barang cacat dan barang cacat tersembunyi. Istilah “cacat” muncul pada Pasal 8 ayat 3, cacat tersembunyi pada Pasal 11 huruf b, tetapi mengenai defenisi “cacat” dan “caat tersembunyi”, tidak ada disebutkan. Dan dalam Pasal 19 di atas, tidak ada disebutkan tanggu 89 Ibid. Universitas Sumatera Utara 73 ng jawab pelaku usaha karena cacat tersembunyi. Oleh karena itu, hal yang menghubungkan dengan Pasal 19 di atas sebagai bagian dari tanggung jawab pelaku usaha adalah adanya unsur kerugian konsumen dalam menggunakan barang yang ternyata mengandung cacat tersembunyi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 yang mewajibkan pelaku usaha memberikan pertanggungjawaban dalam bentuk ganti kerugian. Dan dalam hal pembuktian unsur kesalahan, Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha. Hal ini berati, berdasarkan ketentuan Pasal 28, konsumen tidak perlu membuktikan unsur kesalahan untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, tetapi pelaku usaha lah yang harus membuktikan kesalahannya dalam gugatan ganti rugi. Beban pembuktian ini merupakan suatu hal yang wajar, karena konsumen tidak mengetahui tentang proses pembuatan produk barang dan yang diperlukan dalam proses produk serta pendistribusiannya. Karena itu, sangat berarti bagi konsumen untuk membuktikan sesuatu kesalahan atau cacat produk yang dilakukan oleh produsen atau distribusinya.

2. Menurut KUH Perdata