Pertimbangan Moral pada Anak dengan Pola Asuh Spiritrual Parenting

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan imitasi. Sikap orangtua yang keras otoriter cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah dialogis, dan konsisten. 3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut Orangtua merupakan panutan teladan bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius, dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik 4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma Orangtua yang tidak meghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur.

C. Pertimbangan Moral pada Anak dengan Pola Asuh Spiritrual Parenting

Dampak buruk perkembangan media massa dan teknologi sekarang ini ternyata bukan hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi juga sudah menyentuh anak-anak usia sekolah dasar. Di satu sisi kemajuan jaman ini memberikan Universitas Sumatera Utara banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak memperoleh fasilitas yang serba canggih. Namun di sisi lain kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif yang sulit untuk dihindari, misalnya kekerasan, pornografi, konsumerisme dan lain-lain melalui berbagai media informasi tersebut. Indikator lain yang juga mengkhawatirkan pada sikap anak adalah semakin kurangnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan sosok-sosok lainnya. Menurut Borba 2008 hal ini dapat disebabkan karena para orangtua melewatkan satu bagian yang sangat penting yaitu sisi moral dalam kehidupan anak. Moralitas sendiri merupakan suatu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana yang benar atau yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut Martin Colbert, 1997. Berns 1997 juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup kepatuhan akan aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu perilaku moral dan pertimbangan moral. Perilaku moral adalah perilaku yang dilandasi atau dipikirkan sebelumnya oleh pelakunya, berupa alasan dan motivasi yang bernilai moral Kurtines Gerwitz, 1992. Sedangkan pertimbangan moral menurut Kohlberg 1995 merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Pertimbangan moral buka n berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan Universitas Sumatera Utara bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Kematangan pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah Duska dan Whelan, 1975. Oleh sebab itulah peneliti lebih tertarik untuk meneliti pertimbangan moral daripada perilaku moral. Pertimbangan moral sendiri memiliki beberapa tingkatan, menurut Kohlberg 1995 dibagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua tahap. Tingkat pertama adalah prakonvensional, dimulai usia 4 sampai 10 tahun. Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Tingkat kedua adalah konvensional, berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan Universitas Sumatera Utara diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat terakhir adalah pasca- konvensional, dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Banyak orang yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Pada tahap terakhir ini seseorang melihat konflik berdasarkan standar-standar moral yang bersifat universal, dimana penilaian universal ini dapat berasal dari keadilan, kejujuran, kesamaan hak asasi manusia, penghormatan kepada martabat manusia maupun nilai-nilai spiritualitas, untuk kemudian memberikan penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan- tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu, juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan, setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Namun meskipun perkembangan kognitif anak melewati tahapan yang tetap, usia anak dalam mencapai tahapan perkembangan moral tertentu dapat berbeda-beda. Faktor-faktor penentu utama mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain banyaknya pengalaman dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang orang lain. Faktor-faktor penentu lainnya mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain : perkembangan kognitif, pendidikan, kemampuan alih peran, pola asuh serta kepribadian. Universitas Sumatera Utara Freud dalam Sigelman Rider, 2003 berasumsi bahwasanya anak pada umumnya memiliki tingkat moralitas yang masih rendah, dimana anak kurang memiliki superego, dan pada dasarnya dipenuhi oleh id, maka dari itu mereka bertindak sesuai dengan kebutuhan diri mereka, terkecuali orangtua dapat mengontrol mereka. Orangtua berkontribusi sangat besar dalam perkembangan moral anak, dimana anak menginternalisir standar moral orangtua jika mereka ingin berperilaku sesuai moral, bahkan ketika tidak ada figur otoritas yang hadir untuk mendeteksi dan menghukum mereka. Selain faktor keluarga, dalam hal ini pola asuh orang tua, hal lain yang juga mempengaruhi perkembangan moral adalah agama. Kohlberg 1995 menyatakan bahwasanya perkembangan moral itu merupakan produk, pertama- tama dari keluarga dan yang kedua dari agama. Secara formal agama sering dihubungkan atau bahkan dianggap sama dengan spiritualitas, disebutkan bahwa agama adalah perwujudan dari spiritualitas manusia Bustomi, 2007. Spiritualitas sendiri adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri, suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan. Spiritualitas sebagai dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki serta memberi arah dan arti pada kehidupan Doe, 1998. Melihat peran orang tua dan agama yang cukup besar, maka orang tua memiliki tanggung jawab untuk memilih metode pengasuhan yang dapat menjawab tantangan keluarga masa kini, yang kemudian memunculkan alternatif pilihan pola asuh, diantaranya yaitu pola pengasuhan spiritual, pola asuh yang memprioritaskan Tuhan dan ajaran Ilahiyah dalam kehidupan keluarga yang Universitas Sumatera Utara disebut spiritual parenting. Nashori 2006 juga menyatakan bahwasanya gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Gagasan umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini. Pengasuhan dengan cara spiritual parenting mengajarkan bahwasanya setiap kejadian bisa dijadikan momentum yang baik untuk mendidik, dengan cara melibatkan anak berdiskusi dan berpikir dalam mempelajari segala kejadian. Hal ini akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Dengan terbiasa melibatkan anak berdiskusi, akan membantu anak untuk bisa berpikir pada tahapan yang lebih tinggi. Manfaat spiritual parenting menurut Rachman 2002 antara lain bisa mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian universal. Manfaat lain adalah mendidik kepekaan kepada transendensi, nilai- nilai, moral, dan akhlak mulia. Dengan pola pengasuhan seperti ini diharapkan penurunan kualitas moral yang kerap terjadi pada anak zaman ini dapat dihindari. Anak diharapkan memiliki pertimbangan moral yang baik untuk dapat memilih mana yang benar dan salah, baik dan buruk. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral pada anak dengan pola asuh spiritual parenting adalah merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seorang anak mengenai baik dan buruk atau benar dan salah, pada anak yang dididik dengan pola asuh spiritual parenting, yaitu pola asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara Universitas Sumatera Utara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman terhadap anaknya. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan pertimbangan moral pada anak dengan pola asuh spiritual parenting. Menurut Creswell 1994 penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005 mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya Taylor dan Bogdan dalam Saragih, 2003 mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka. Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa what dan bagaimana how sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran luas dan mendalam mengenai tahap perkembangan pertimbangan moral pada responden, faktor-faktor apa saja yang dapat Universitas Sumatera Utara