Higiene Sanitasi Industri Rumah Tangga Pengolahan Terasi dan Analisa Rhodamin B Pada Terasi Berbagai Merek di Pasar Kota Medan Tahun 2011.
HIGIENE SANITASI INDUSTRI RUMAH TANGGA PENGOLAHAN TERASI DAN ANALISA RHODAMIN B PADA TERASI BERBAGAI MEREK
DI PASAR KOTA MEDAN TAHUN 2011
Oleh : ESKA PUTRI NIM. 071000017
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
HIGIENE SANITASI INDUSTRI RUMAH TANGGA PENGOLAHAN TERASI DAN ANALISA RHODAMIN B PADA TERASI BERBAGAI MEREK
DI PASAR KOTA MEDAN TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh : ESKA PUTRI NIM. 071000017
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul
HIGIENE SANITASI INDUSTRI RUMAH TANGGA PENGOLAHAN TERASI DAN ANALISA RHODAMIN B PADA TERASI BERBAGAI MEREK
DI PASAR KOTA MEDAN TAHUN 2011 Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
ESKA PUTRI NIM. 071000017
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 22 Juli 2011 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Ir. Evi Naria, MKes dr. Taufik Ashar, MKM NIP. 19680320 199303 2 001 NIP. 19780331 200312 1 001
Penguji II Penguji III
dr. Devi Nuraini Santi, MKes Ir. Indra Chahaya S, MSi NIP. 19700219 199802 2 001 NIP. 19681101 199303 2 005
Medan, September 2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
Dr. Drs. Surya Utama, MS NIP. 19610831 198903 1 001
(4)
ABSTRAK
Terasi merupakan salah satu produk olahan dari hasil perikanan yang banyak beredar di masyarakat. Proses pembuatannya yang merupakan industri rumah tangga menyebabkan pengaturan terhadap pewarna yang digunakan belum jelas, tergantung pada keinginan produsen. Begitu juga pengolahannya yang masih dikerjakan secara tradisional dimana para pekerja kurang memperhatikan higiene sanitasi pengolahan terasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dan kandungan rhodamin B pada terasi serta karakteristik terasi yang mengandung rhodamin B.
Metode yang digunakan adalah bersifat survai deskriptif dengan melihat gambaran higiene sanitasi pengolahan terasi dan analisa laboratorium terhadap kandungan pewarna rhodamin B pada terasi serta gambaran karakteristik terasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip higiene sanitasi pengolahan terasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah pada prinsip penyimpanan bahan baku terasi, pengolahan terasi, penyimpanan terasi jadi, pengangkutan terasi, dan penyajian terasi. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku terasi telah memenuhi syarat kesehatan, hal ini mengacu pada Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003. Pada 15 sampel terasi yang diperiksa semua tidak ada mengandung rhodamin B, sesuai Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 yang melarang penggunaan rhodamin B sebagai pewarna makanan/minuman. Karakteristik terasi yaitu berwarna kecoklatan, coklat kemerahan, kemerahan, dan hitam kecoklatan, berbau amis dan berbau busuk, serta rasa udang atau rasa udang dan ikan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan 6 prinsip higiene sanitasi pengolahan terasi belum memenuhi syarat kesehatan, dan untuk jenis pewarna yang digunakan sudah memenuhi syarat kesehatan. Karakteristik terasi kebanyakan berwarna kecoklatan, berbau amis, dan rasa udang. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakannya penyuluhan dan pengawasan secara kontiniu dan menyeluruh oleh Dinas Kesehatan dan BPOM kota Medan tentang higiene sanitasi makanan dan program pengawasan makanan yang beredar di pasaran tentang pemakaian zat pewarna makanan khususnya pada terasi.
(5)
ABSTRACT
Terasi is one of the fishery product that is circulate in the society. The process of making a domestic industry led to the setting of the dye used is unclear, depending on the producer’s desires. Likewise, the processing is still done traditionally where workers are paying less attention to hygiene sanitation terasi processing.
The aim of this research was to know the description about the hygiene sanitation home industry process and characteristics of terasi also to find available rhodamin B in terasi.
This research was use survey descriptive method to perceive as to hygiene sanitation and laboratory analyzes rhodamin B also characteristics of terasi.
The results of this research showed the terasi processing hygiene sanitation principles that do not healthy requisite consist of storage substance, processing, storage ready terasi, transport, and serve the terasi. While in principle of the choice of terasi substance have been healthy requisite, it refers to Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003. From the 15 samples that contains no Rhodamin B, according to Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 prohibiting the use of rhodamin B as a dye food/beverage. Characteristics of terasi that is brownish, reddish brown, reddish, and brownish black, and foul smelling, and taste shrimp or shrimp and fish.
The conclusion of this research is that the application of 6 principles hygiene sanitation processing of terasi do not healthy requisite, and for the type of dye that healthy requisite. Characteristics of terasi mostly brownish, smelling, and taste the shrimp. Based on these results, it needed to have illumination and monitoring continually and comprehensive by the Official of Healthy and BPOM city of Medan about food hygiene sanitation, and food control programs on the market about the use of food dye especially in terasi.
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Eska Putri
Tempat/Tanggal Lahir : Batusangkar / 15 Januari 1989 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Bersaudara : 3 orang
Alamat Rumah : Jl. Datuk Bandaro Kuning No.35 Kec. Lima Kaum Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat
Riwayat Pendidikan : 1. TK AL-AMIN Lima Kaum (Tahun 1994-1995) 2. SD Negeri 04 Lima Kaum (Tahun 1995-2001) 3. SMP Negeri 1 Batusangkar (Tahun 2001-2004) 4. SMA Negeri 3 Batusangkar (Tahun 2004-2007)
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Higiene Sanitasi Industri Rumah Tangga Pengolahan Terasi dan Analisa Rhodamin B Pada Terasi Berbagai Merek di Pasar Kota Medan Tahun 2011”. Skripsi ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis mendapat dukungan dari pihak-pihak yang telah banyak membantu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Ir. Evi Naria, MKes selaku Dosen Pembimbng I dan Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak dr. Taufik Hidayat, MKM selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu dr. Devi Nuraini Santi, MKes dan Ir. Indra Chahaya S, MSi selaku Dosen Penguji yang banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku dosen Penasehat Akademik.
(8)
6. Ayahanda Drs. Ilzam Ilyas dan Ibunda Desmiati, S.Pdi yang telah banyak berkorban materi dan moril saat membesarkan dan mendidik serta doa untuk penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
7. Adikku Gustiana Putri dan Yuni Fauziah yang selalu memberikan canda-candaan dan dukungan di saat penulis menghadapi kejenuhan.
8. Seseorang yang selalu memberikan motivasi dan semangat untuk penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Sahabat terbaikku Dina, Lila, Ilyana, Novia, Devia, Ridha, dan Tini yang telah banyak memberikan keceriaan, dukungan, bantuan dan kritikan yang menambah semangat penulis.
10.Temanku Rina, Farida, Sukma, Tania, Dina, Rika, Fifi, Lusi, Yulan, Izah, Retno, Lia, Evi, Kak Riris, Karlina, Sulas, Siwi serta yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, September 2011
(9)
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ………. i
ABSTRAK ……… ii
ABSTRACT ………. iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ….………..…. iv
KATA PENGANTAR ……….… v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL …... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ………. 1
1.2. Perumusan masalah ..……….. 4
1.3. Tujuan Penelitian ………. 5
1.3.1. Tujuan Umum ……… 5
1.3.2. Tujuan Khusus ………... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman ... 6
2.1.1. Pengertian Higiene ... 6
2.1.2. Pengertian Sanitasi ... 6
2.1.3. Pengertian Makanan dan Minuman ... 7
2.2. Peranan Makanan Sebagai Media Penularan Penyakit ... 7
2.3. Penyehatan Makanan ... 8
2.4. Prinsip Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman ... 9
2.4.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Makanan ... 10
2.4.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Makanan ... 10
2.4.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan ... 12
2.4.3.1. Tenaga Penjamah Makanan ... 12
2.4.3.2. Cara Pengolahan Makanan ... 13
2.4.3.3. Tempat Pengolahan Makanan ... 14
2.4.4. Prinsip IV : Penyimpanan Makanan Jadi ... 17
2.4.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan ... 17
2.4.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan ... 18
2.5. Bahan Tambahan Pangan ... 18
2.5.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan ... 18
2.5.2. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan ... 19
2.5.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan ... 19
2.5.4. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ... 20
(10)
2.6. Zat Pewarna ... 24
2.6.1. Pengertian Zat Perwarna ... 24
2.6.2. Jenis Zat Pewarna ... 25
2.6.3. Zat Perwarna yang Diizinkan ... 28
2.6.4. Dampak Zat Pewarna Terhadap Kesehatan ... 29
2.7. Rhodamin B ... 30
2.7.1. Pengertian Rhodamin B ... 30
2.7.2. Karakteristik Rhodamin B ... 31
2.7.3. Penggunaan Rhodamin B ... 31
2.7.4. Makanan Mengandung Rhodamin B ... 31
2.7.5. Dampak Rhodamin B Terhadap Kesehatan ... 32
2.7.5.1. Dampak Akut ... 32
2.7.5.2. Dampak Kronis ... 33
2.8. Terasi ... 33
2.8.1. Pengertian Terasi ... 33
2.8.2. Jenis Terasi ... 34
2.8.3. Pembuatan Terasi ... 34
2.8.4. Karakteristik Terasi ... 37
2.9. Kerangka Konsep ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 40
3.1. Jenis Penelitian ... 40
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 40
3.2.2. Waktu Penelitian ... 40
3.3. Objek Penelitian ... 41
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 41
3.4.1. Data Primer ... 41
3.4.2. Data Sekunder ... 41
3.5. Defenisi Operasional ... 42
3.6. Pelaksanaan Penelitian ... 43
3.7. Aspek Pengukuran ... 44
3.8. Observasi ... 45
3.9. Analisa Data ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46
4.1.1. Lokasi Industri Rumah Tangga ... 46
4.1.2. Lokasi Pengambilan Sampel Terasi ... 47
4.2. Hasil Penelitian ... 48
4.2.1. Proses Pengolahan Terasi Di Tiap Industri Rumah Tangga .. 48
4.2.1.1. Industri Rumah Tangga 1... 48
4.2.1.2. Industri Rumah Tangga 2 ... 48
(11)
4.2.2. Observasi Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pengolahan Terasi.. 49
4.2.2.1. Pemilihan Bahan Makanan ... 49
4.2.2.2. Penyimpanan Bahan Makanan ... 50
4.2.2.3. Pengolahan Makanan ... 51
4.2.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi ... 53
4.2.2.5. Pengangkutan Makanan ... 53
4.2.2.6. Penyajian Makanan .... ... 54
4.2.3. Hasil Pemeriksaan Rhodamin B ... 55
4.2.4. Karakteristik Terasi ... 56
BAB V PEMBAHASAN ... 57
5.1. Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pengolahan Terasi ... 57
5.1.1. Pemilihan Bahan Makanan ... 57
5.1.2. Penyimpanan Bahan Makanan ... 57
5.1.3. Pengolahan Makanan ... 58
5.1.4. Penyimpanan Makanan Jadi ... 61
5.1.5. Pengangkutan Makanan ... 61
5.1.6. Penyajian Makanan ... ... 62
5.2. Kandungan Rhodamin B Pada Terasi ... 63
5.3. Karakteristik Terasi ... 64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
6.1. Kesimpulan ... 66
6.2. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penyimpanan Bahan Makanan Mentah ... 12
Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami ... 26
Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia ... 28
Tabel 2.4 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia ... 30
Tabel 4.1 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Pemilihan Bahan Baku Terasi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... 48
Tabel 4.2 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Penyimpanan Bahan Baku Terasi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... 48
Tabel 4.3 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Tenaga Penjamah, Cara Pengolahan, Tempat Pengolahan Terasi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... 50
Tabel 4.4 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Penyimpanan Terasi Jadi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... ... 52
Tabel 4.5 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Pengangkutan Terasi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... 52
Tabel 4.6 Distribusi Pengolahan Terasi Berdasarkan Penyajian Terasi di Kec. Lubuk Pakam dan Kec. Secanggang Tahun 2011 ... 53
Tabel 4.7 Hasil Pemeriksaan Kandungan Rhodamin B Pada 3 Terasi Dari Industri Rumah Tangga Pengolahan Terasi ... 54
Tabel 4.8 Hasil Pemeriksaan Kandungan Rhodamin B Pada Terasi Berbagai Merek Di Pasar Kota Medan Tahun 2011 ... 54
Tabel 4.9 Karakteristik Terasi Dari Industri Rumah Tangga Pengolahan Terasi Berdasarkan Warna, Bau, Dan Rasa ... 55
Tabel 4.10 Karakteristik Terasi Berbagai Merek Di Pasar Kota Medan Berdasarkan Warna, Bau, Dan Rasa ... 55
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Observasi Higiene Sanitasi Pengolahan Terasi
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian di Balai Laboratorium Kesehatan Medan Dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian Dari Balai Laboratorium
Kesehatan Medan
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Kandungan Rhodamin B Pada Terasi
Lampiran 5. Dokumentasi Pada Saat Melakukan Penelitian
Lampiran 6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan
Lampiran 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya
(14)
ABSTRAK
Terasi merupakan salah satu produk olahan dari hasil perikanan yang banyak beredar di masyarakat. Proses pembuatannya yang merupakan industri rumah tangga menyebabkan pengaturan terhadap pewarna yang digunakan belum jelas, tergantung pada keinginan produsen. Begitu juga pengolahannya yang masih dikerjakan secara tradisional dimana para pekerja kurang memperhatikan higiene sanitasi pengolahan terasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dan kandungan rhodamin B pada terasi serta karakteristik terasi yang mengandung rhodamin B.
Metode yang digunakan adalah bersifat survai deskriptif dengan melihat gambaran higiene sanitasi pengolahan terasi dan analisa laboratorium terhadap kandungan pewarna rhodamin B pada terasi serta gambaran karakteristik terasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip higiene sanitasi pengolahan terasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah pada prinsip penyimpanan bahan baku terasi, pengolahan terasi, penyimpanan terasi jadi, pengangkutan terasi, dan penyajian terasi. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku terasi telah memenuhi syarat kesehatan, hal ini mengacu pada Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003. Pada 15 sampel terasi yang diperiksa semua tidak ada mengandung rhodamin B, sesuai Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 yang melarang penggunaan rhodamin B sebagai pewarna makanan/minuman. Karakteristik terasi yaitu berwarna kecoklatan, coklat kemerahan, kemerahan, dan hitam kecoklatan, berbau amis dan berbau busuk, serta rasa udang atau rasa udang dan ikan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan 6 prinsip higiene sanitasi pengolahan terasi belum memenuhi syarat kesehatan, dan untuk jenis pewarna yang digunakan sudah memenuhi syarat kesehatan. Karakteristik terasi kebanyakan berwarna kecoklatan, berbau amis, dan rasa udang. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakannya penyuluhan dan pengawasan secara kontiniu dan menyeluruh oleh Dinas Kesehatan dan BPOM kota Medan tentang higiene sanitasi makanan dan program pengawasan makanan yang beredar di pasaran tentang pemakaian zat pewarna makanan khususnya pada terasi.
(15)
ABSTRACT
Terasi is one of the fishery product that is circulate in the society. The process of making a domestic industry led to the setting of the dye used is unclear, depending on the producer’s desires. Likewise, the processing is still done traditionally where workers are paying less attention to hygiene sanitation terasi processing.
The aim of this research was to know the description about the hygiene sanitation home industry process and characteristics of terasi also to find available rhodamin B in terasi.
This research was use survey descriptive method to perceive as to hygiene sanitation and laboratory analyzes rhodamin B also characteristics of terasi.
The results of this research showed the terasi processing hygiene sanitation principles that do not healthy requisite consist of storage substance, processing, storage ready terasi, transport, and serve the terasi. While in principle of the choice of terasi substance have been healthy requisite, it refers to Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003. From the 15 samples that contains no Rhodamin B, according to Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 prohibiting the use of rhodamin B as a dye food/beverage. Characteristics of terasi that is brownish, reddish brown, reddish, and brownish black, and foul smelling, and taste shrimp or shrimp and fish.
The conclusion of this research is that the application of 6 principles hygiene sanitation processing of terasi do not healthy requisite, and for the type of dye that healthy requisite. Characteristics of terasi mostly brownish, smelling, and taste the shrimp. Based on these results, it needed to have illumination and monitoring continually and comprehensive by the Official of Healthy and BPOM city of Medan about food hygiene sanitation, and food control programs on the market about the use of food dye especially in terasi.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 47 yang dilaksanakan melalui bebagai kegiatan diantaranya adalah pengamanan makanan dan minuman. Upaya pengamanan dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan dilakukan secara berhasil guna. Semua itu merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan mutu (Depkes RI, 2009).
Keamanan makanan merupakan aspek sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam prakteknya masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan makanan yang berbahaya (Syah, 2005).
Dalam kegiatan proses produksi makanan dan minuman, tindakan higiene sanitasi yang merupakan bagian dari kesehatan lingkungan juga analisis bahaya dan titik pengendalian kritis (HACCP : Hazard Analysis Critical Control Point) merupakan salah satu upaya penting untuk menghindari pencemaran terhadap hasil
(17)
produksi. Terdapat enam prinsip higine dan sanitasi yang harus diperhatikan dalam proses pengolahan makanan dan minuman yaitu pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan masak, pengangkutan makanan dan penyajian makanan (Depkes RI, 2004).
Kasus keracunan makanan selain disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, dapat pula disebabkan oleh bahan kimia. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya semua bahan kimia dalah beracun. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Bahan kimia yang sering kita kenal sebagai bahan tambahan makanan seperti pengawet, pewarna, pengental, dan penyedap rasa pun dapat menjadi racun bagi tubuh kita apabila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan (Yuliarti, 2007).
Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari makanan dan minuman olahan. Berbagai makanan yang dijual ditoko, warung, dan para pedagang keliling hampir selalu menggunakan bahan pewarna. Warna ini biasanya disesuaikan dengan rasa yang ingin ditampilkan pada produk. Secara umum, bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintestis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Kadang-kadang, pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan untuk memberikan warna pada makanan. Misalnya penggunaan rhodamin B yang sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk, dan minuman sirup. Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit lainnya. Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk
(18)
makanan harus dibatasi jumlahnya karena setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan efek (Aminah, 2009).
Di Indonesia, peraturan mengenai bahan tambahan pangan yaitu penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88. Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan disamping itu, harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan bea masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna nonpangan. Lagipula warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik (Cahyadi, 2009).
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. Tetapi sampai sekarang masih banyak produsen yang menggunakan rhodamin B dalam produk makanan dan minuman yang dihasilkannya seperti untuk mewarnai terasi, kerupuk, saus tomat, cabe giling dan minuman sirup.
Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati. Rhodamin B dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka
(19)
panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia (Arisman, 2009).
Soleh (2003) menemukan bahwa dari 25 sampel makanan dan minuman jajanan yang beredar di wilayah kota Bandung, terdapat 5 sampel yang positif mengandung zat warna yang dilarang oleh pemerintah, yaitu rhodamin B (produk sirup jajanan, kerupuk, dan terasi merah), sedangkan untuk methanyl yellow tidak terdapat dalam sampel. Di Surabaya Asmarani (2009) menemukan di SDN Margorejo 1/403 Surabaya, makanan dan minuman jajanan yang dijual di sekitar sekolah tersebut, dapat diketahui dari 11 jenis makanan dan minuman jajanan yang dicurigai mengandung rhodamin B ada 7 jenis makanan yang positif terdeteksi mengandung rhodamin B. Sementara itu tahun 2008 Balai Besar POM Semarang mendapatkan dari 33 sampel terasi yang dibeli dari penjual di Jawa Tengah baik yang di swalayan maupun pasar tradisional menunjukan sebanyak 18 (54,5%) terasi positif mengandung rhodamin B.
Berdasarkan hal diatas maka penulis ingin mengetahui gambaran mengenai penerapan higiene sanitasi dan kandungan rhodamin B pada terasi berbagai merek yang dijual di pasar Kota Medan sesuai dengan Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 dan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988.
1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahuinya higiene sanitasi pengolahan terasi dan penggunaan zat pewarna yang tidak diizinkan terus terjadi. Dengan demikian, yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimana higiene sanitasi pengolahan terasi dan kandungan rhodamin B pada terasi berbagai merek yang dijual di pasar Kota Medan.
(20)
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dan kandungan rhodamin B pada terasi berbagai merek yang dijual di pasar Kota Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui higiene sanitasi pemilihan bahan baku terasi, penyimpanan bahan baku terasi, pengolahan terasi, penyimpanan terasi, pengangkutan terasi, dan penyajian terasi.
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya rhodamin B sebagai zat pewarna pada terasi dari industri rumah tangga pengolahan terasi dan terasi berbagai merek yang dijual di pasar Kota Medan.
3. Untuk mengetahui karakteristik terasi. 1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat untuk mempertahankan higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi.
2. Memberikan informasi dan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dan BPOM tentang pemakaian zat pewarna buatan pada terasi dalam hal program pengawasan makanan yang beredar di pasaran.
3. Memberikan informasi dalam upaya peningkatan pengetahuan bagi masyarakat selaku konsumen di dalam memilih terasi yang akan dibeli.
4. Menambah wawasan berpikir bagi peneliti terutama yang berhubungan dengan higiene sanitasi dan penggunaan pewarna buatan pada terasi.
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman 2.1.1. Pengertian Higiene
Ditinjau dari ilmu kesehatan lingkungan istilah higiene dan sanitasi mempunyai perbedaan-perbedaan. Yang dimaksud dengan higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. (Azwar, 1990).
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004).
2.1.2. Pengertian Sanitasi
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990).
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
(22)
2.1.3. Pengertian Makanan dan Minuman
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Adapun pengertian makanan yaitu semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air dan obat-obatan dan semua substansi-substansi yang dipergunakan untuk pengobatan (Depkes RI, 1989).
Minuman adalah segala sesuatu yang diminum masuk ke dalam tubuh seseorang yang juga merupakan salah satu intake makanan yang berfungsi untuk membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberi tenaga, mengatur semua proses di dalam tubuh (Tarwotjo, 1998).
Higiene sanitasi makanan dan minuman adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan keracunan makanan (Depkes RI, 2004).
2.2. Peranan Makanan Sebagai Media Penularan Penyakit
Menurut Sihite (2000), makanan dalam hubungannya dengan penyakit, akan dapat berperan sebagai :
1. Agen
Makanan dapat berperan sebagai agent penyakit, contohnya : jamur seperti
Aspergillus yaitu spesies dari genus Aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan
hampir dapat tumbuh pada semua substrat, fungi ini akan tumbuh pada buah busuk, sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pangan lainnya.
(23)
2. Vehicle
Makanan juga dapat sebagai pembawa (vehicle) penyebab penyakit, seperti : bahan kimia atau parasit yang ikut termakan bersama makanan dan juga beberapa mikroorganisme yang patogen, serta bahan radioaktif. Makanan tersebut dicemari oleh zat-zat diatas atau zat-zat yang membahayakan kehidupan.
3. Media
Makanan sebagai media penyebab penyakit, misalnya kontaminasi yang jumlahnya kecil, jika dibiarkan berada dalam makanan dengan suhu dan waktu yang cukup, maka bisa menyebabkan wabah yang serius.
2.3. Penyehatan Makanan
Makanan merupakan suatu hal yang yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, makanan yang dimakan bukan saja memenuhi gizi dan mempunyai bentuk menarik, akan tetapi harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit.
Menurut Depkes RI, (2000) Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Ada dua faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia antara lain (Chandra, 2006) :
1. Kontaminasi
a. Parasit, misalnya : cacing dan amuba.
b. Golongan mikroorganisme, misalnya : salmonela dan shigella. c. Zat kimia, misalnya : bahan pengawet dan pewarna.
(24)
d. Bahan-bahan radioaktif, misalnya : kobalt dan uranium.
e. Toksin atau racun yang dihasilkan mikroorganisme, misalnya : stafilokokus dan
clostridium botulinum.
2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan, dapat dibagi menjadi tiga golongan : a. Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun,
misalnya singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang mengandung unsur toksik tertentu (Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan sistem saraf.
b. Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus keracunan makanan akibat bakteri.
c. Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi dikonsumsi manusia, didalam tubuh manusia agen penyakit pada makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembangbiak dan setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Misalnya penyakit typhoid
abdominalis dan disentri basiler.
2.4. Prinsip Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman
Pengertian dari prinsip higiene sanitasi makanan dan minuman adalah pengendalian terhadap empat faktor yaitu tempat/bangunan, peralatan, orang, dan bahan makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip higiene sanitasi makanan dan minuman yaitu (Depkes RI, 2004) :
(25)
1. Pemilihan Bahan Makanan 2. Penyimpanan Bahan Makanan 3. Pengolahan Makanan
4. Penyimpanan Makanan Jadi 5. Pengangkutan Makanan 6. Penyajian Makanan
2.4.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Makanan
Kualitas bahan makanan yang baik dapat dilihat melalaui ciri-ciri fisik dan mutunya dalam hal bentuk, warna, kesegaran, bau, dan lainnya. Bahan makanan yang baik terbebas dari kerusakan dan pencemaran termasuk pencemaran oleh bahan kimia seperti pestisida (Kusmayadi, 2008).
2.4.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Makanan
Bahan makanan yang digunakan dalam proses produksi, baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong, harus disimpan dengan cara penyimpanan yang baik karena kesalahan dalam penyimpanan dapat berakibat penurunan mutu dan keamanan makanan. (Depkes RI, 2004).
Tujuan penyimpanan bahan makanan adalah agar bahan makanan tidak mudah rusak dan kehilangan nilai gizinya. Semua bahan makanan dibersihkan terlebih dahulu sebelum disimpan, yang dapat dilakukan dengan cara mencuci. Setelah dikeringkan kemudian dibungkus dengan pembungkus yang bersih dan disimpan dalam ruangan yang bersuhu rendah (Kusmayadi, 2008).
Syarat- syarat penyimpanan menurut Depkes RI (2004) adalah:
(26)
2. Penempatannya terpisah dari makanan jadi
3. Penyimpanan bahan makanan diperlukan untuk setiap jenis bahan makanan - dalam suhu yang sesuai
- ketebalan bahan makanan padat tidak lebih dari 10 cm - kelembaban penyimpanan dalam ruangan 80%-90%
4. Bila bahan makanan disimpan digudang, cara penyimpanannya tidak menempel pada langit-langit, dengan ketentuan sebagai berikut:
- jarak makanan dengan lantai 15 cm - jarak makanan dengan dinding 5 cm - jarak makanan dengan langit-langit 60 cm
5. Bahan makanan disimpan dalam aturan sejenis, disusun dalam rak-rak sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan rusaknya bahan makanan. Bahan makanan yang masuk lebih dahulu merupakan yang pertama keluar, sedangkan bahan makanan yang masuknya belakangan terakhir dikeluarkan atau disebut dengan sistem FIFO (First In First Out)
Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebaiknya disimpan dengan sistem kartu dengan menyebutkan :
- Nama bahan
- Tanggal penerimaan - Asal bahan
- Jumlah penerimaan digudang - Sisa akhir didalam kemasan - Tanggal pemeriksaan
(27)
- Hasil pemeriksaaan
Penyimpanan bahan makanan mentah dapat dilihat dalam table berikut ini: Tabel 2.1 Penyimpanan Bahan Makanan Mentah
Jenis Bahan Makanan
Lama Penggunaan
3 hari atau kurang 1 minggu atau kurang 1 minggu atau lebih Daging, ikan,
udang dan olahannya
-5 0C sampai 0 0C -10 0C sampai 0 0C Kurang dari -10 0C
Telur, susu
dan olahannya 5 0
C sampai 7 0C -5 0C sampai 0 0C Kurang dari -5 0C Sayur, buah
dan minuman 10 0
C 10 0C 10 0C
Tepung dan
biji-bijian 15 0
C 25 0C 25 0C
Sumber : Mukono, 2000
2.4.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah dari prinsip-prinsip higiene dan sanitasi. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh. Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan jalan menggunakan sarung tangan plastik, penjepit makanan (Arisman, 2009).
2.4.3.1. Tenaga Penjamah Makanan
Tenaga penjamah adalah seorang tenaga yang menjamah makanan mulai dari mempersiapkan, mengolah, menyimpan, mengangkut maupun menyajikan makanan (Sihite, 2000).
(28)
Syarat-syarat penjamah makanan yaitu (Depkes RI, 2004) :
1. Tidak menderita penyakit mudah menular, misal : batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya
2. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul)
3. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian. 4. Memakai celemek dan tutup kepala
5. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan
6. Menjamah makanan harus memakai alat/perlengkapan atau dengan alas tangan 7. Tidak merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut dan bagian
lainnya)
8. Tidak batuk atau bersin dihadapan makanan dan atau tanpa menutup hidung atau mulut
2.4.3.2. Cara Pengolahan Makanan
1. Tidak terjadi kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahan yang salah
2. Tidak terjadi pengotoran atau kontaminasi makanan akibat dari kotorannya tangan pengelola/penjamah
3. Proses pengolahan harus diatur sedemikian rupa sehingga mencegah masuknya bahan-bahan kimia berbahaya dan bahan asing kedalam makanan
Syarat-syarat proses pengolahan sesuai dengan (Depkes RI, 2000) adalah : a. Jenis bahan yang digunakan, baik bahan tambahan maupun bahan penolong serta
persyaratan mutunya
(29)
c. Tahap-tahap proses pengolahan
d. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya, sehingga tidak mengakibatkan pembusukan, kerusakan dan pencemaran.
2.4.3.3. Tempat Pengolahan Makanan
Tempat pengolahan makanan, dimana makanan diolah sehingga menjadi makanan yang terolah ataupun makanan jadi yang biasanya disebut dapur. Dapur merupakan tempat pengolahan makanan yang harus memenuhi syarat higiene dan sanitasi, diantaranya konstruksi dan perlengkapan yang ada.
Menurut Depkes RI (2004) syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Lantai
Lantai harus dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak licin, tahan lama dan kedap air. Lantai harus dibuat dengan kemiringan 1-2% ke saluran pembuangan air limbah.
2. Dinding dan langit-langit
Dinding harus dibuat kedap air sekurang-kurangnya satu meter dari lantai. Bagian dinding yang kedap air tersebut dibuat halus, rata dan bewarna terang serta dapat mudah dibersihkan. Demikian juga dengan langit- langit harus terbuat dari bahan yang bewarna terang.
3. Pintu dan jendela
Pintu dan jendela harus dibuat sedemikian rupa sehingga terhindar dari lalu lintas lalat dan serangga lainnya.dengan demikian harus diperhatikan pintu masuk dan keluar harus selalu tertutup atau pintu yang harus bisa ditutup sendiri.
(30)
4. Ventilasi ruang dapur
Secara garis besarnya ventilasi terbagi atas dua macam yaitu ventilasi alam dan buatan. Ventilasi alam terjadi secara alamiah dan disyaratkan 10% dari luas lantai dan harus dilengkapi dengan perlindungan terhadap serangga dan tikus.
5. Pencahayaan
Pencahayaan yang cukup diperlukan pada tempat pengolahan makanan untuk dapat melihat dengan jelas kotoran lemak yang tertimbun dan lain- lain. Pencahayaa diruang dapur sekurang-kurangnya 20 fc, sebaikya dapat menerangi setiap permukaan tempat pengolahan makanan dan pada tempat-tempat lain seperti tempat mencuci peralatan, tempat cuci tangan, ruang pakaian, toilet, tempat penampungan sampah disamping itu selama pembersihan harus disediakan pencahayaan yang cukup memadai
6. Pembuangan asap
Dapur harus dilengkapi dengan pengumpul asap dan juga harus dilengkapi dengan penyedot asap untuk mengeluarkan asap dari cerobongnya.
7. Penyediaan air bersih
Harus ada persediaan air bersih yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan. Minimal syarat fisik yaitu tidak bewarna, tidak berasa, tidak berbau.
8. Penampungan dan pembuangan sampah
Sampah harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran makanan dari tempat sampah harus dipisahkan antara sampah basah dan sampah kering serta diusahakan pencegahan masuknya serangga ketempat pembuangan sampah yang memenuhi syarat kesehatan antara lain:
(31)
a. terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah berkarat
b. mudah dibersihkan dan bagian dalam dibuat licin, serta bentuknya dibuat halus c. mudah diangkat dan ditutup
d. kedap air, terutama menampung sampah basah e. tahan terhadap benda tajam dan runcing
Disamping itu sampah harus dikeluarkan dari tempat pengolahan makanan sekurang-kurangnya setiap hari. Segera setelah sampah dibuang, tempat sampah dan peralatan lain yang kontak dengan sampah harus dibersihkan.
9. Pembuangan air limbah
Harus ada sistem pembuangan limbah yang memenuhi. syarat kesehatan. Bila tersedia saluran pembuangan air limbah di kota, maka sistem drainase dapat disambungkan dengan alur pembuangan tersebut harus didesain sedemikian rupa sehingga air limbah segera terbawa keluar gedung dan mengurangi kontak air limbah dengan lingkungan diluar sistem saluran.
10.Perlindungan dari serangga dan tikus
Serangga dan tikus sangat suka bersarang ataupun berkembang biak pada tempat pengolahan makanan, oleh karena itu pengendaliannya harus secara rutin karena binatang tersebut bisa sebagai pembawa penyakit dan sekaligus menimbulkan kerugian ekonomi.
Karena kebisaan hidupnya, mereka dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Mereka dapat memindahkan kuman secara mekanis baik langsung kedalam makanan/bahan makanan atau langsung mengkontaminasi peralatan pengolahan makanan dan secara biologis dengan menjadi vektor beberapa penyakit tertentu.
(32)
Beberapa penyakit penting yang dapat ditularkan/disebarkan antara lain demam berdarah, malaria, disentri, pest. Infestasi serangga tikus, tikus dapat pula menimbulkan kerugian ekonomi karena mereka merusak bahan pangan dan peralatan pengolahan makanan.
2.4.4. Prinsip IV : Penyimpanan Makanan Jadi
Prinsip penyimpanan makanan terutama ditujukan kepada : - Mencegah pertumbuhan dan perkembangan bakteri
- Mengawetkan makanan dan mengurangi pembusukan - Mencegah timbulnya sarang hama
2.4.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan
Makanan yang berasal dari tempat pengolahan memerlukan pengangkutan untuk disimpan, kemungkinan pengotoran makanan terjadi sepanjang pengangkutan, bila cara pengangkutan kurang tepat dan alat angkutnya kurang baik dari segi kualitasnya baik/buruknya pengangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor :
- Tempat/alat pengangkut - Tenaga pengangkut - Tekhnik pengangkutan
Syarat- syarat pengangkutan makanan memenuhi aturan sanitasi : - alat/tempat pengangkutan harus bersih
- cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi kontaminasi selama pengangkutan
- pengangkutan makanan yang melewati daerah kotor harus dihindari - cara pengangkutan harus dilakukan dengan mengambil jalan singkat
(33)
2.4.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan
Penyajian makanan yang menarik akan memberikan nilai tambah dalam menarik pelanggan. Teknis penyajian makanan untuk konsumen memiliki berbagai cara asalkan memperhatikan kaidah sanitasi yang baik. Penggunaan pembungkus seperti plastik, kertas, atau boks plastik harus dalam keadaan bersih dan tidak berasal dari bahan-bahan yang menimbulkan racun.
2.5. Bahan Tambahan Pangan (BTP) 2.5.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan utama (Saparinto, 2006).
Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan peyimpanan (Cahyadi, 2009).
Defenisi lain mengatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan atau tidak dipakai sebagai campuran khusus makanan, mungkin bergizi mungkin juga tidak (Fardiaz, 2007).
(34)
2.5.2. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta memepermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009).
Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila (Cahyadi, 2009) :
1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dan pengolahan 2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak
memenuhi persyaratan
3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan
4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan 2.5.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (Winarno, 1997) :
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
(35)
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida), antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.
Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari sumber alamiah, seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini dapat juga disintetis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya ß-karoten dan asam askorbat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Tetapi adapula kelemahannya, yaitu sering terjadi ketidaksempunaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat meransang terjadinya kanker pada hewan atau manusia (Cahyadi, 2009).
2.5.4. Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, golongan BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut (Depkes RI, 1988) :
1. Bahan Tambahan Makanan yang terdiri dari golongan :
a. Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi. Contohnya : asam askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk daging, ikan, dan buah-buahan kaleng. Butil hidroksi
(36)
anisol (BHA) atau butil hidroksi toluen (BHT) untuk lemak, minyak, dan margarin.
b. Antikempal adalah tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung, atau bubuk. Contohnya : aluminium silikat serta magnesium karbonat untuk susu bubuk dan krim bubuk
c. Pengatur keasaman adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan. Contohnya : asam klorida untuk bir, dan asam fumarat untuk jeli.
d. Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contohnya : sakarin dan siklamat.
e. Pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Contohnya : asam askorbat dan aseton peroksida.
f. Pengemulasi, pemantap dan mengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Contohnya : karagenan untuk pemantap dan pengental produk susu, gelatin dan amonium alginat untuk pemantap es krim. g. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Contohnya : natrium benzoat untuk pengawet kecap dan saus tomat, asam propionat untuk keju dan roti.
(37)
h. Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan. Contohnya : aluminium amonium sulfat dan aluminium kalium sulfat untuk acar ketimun dalam botol, kalsium sitrat untuk apel kalengan dan sayur kalengan.
i. Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Contohnya : karamel untuk warna coklat, xanthon untuk warna kuning, dan klorofil untuk warna hijau.
j. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Contohnya : monosodium glutamat untuk menyedapkan rasa daging.
k. Sekuestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan. Contohnya : asam fosfat dan asam sitrat.
2. Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam antioksidan, maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.
3. Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu macam pengawet, maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.
4. Batas menggunakan "secukupnya" adalah penggunaan yang sesuai dengan cara produksi yang baik, yang maksudnya jumlah yang ditambahkan pada makanan tidak melebihi jumlah wajar yang diperlukan sesuai dengan tujuan penggunaan bahan tambahan makanan tersebut.
(38)
5. Pada bahan tambahan makanan golongan pengawet, batas maksimum penggunaan garam benzoat dihitung sebagai asam benzoat, garam sorbat sebagai asam sorbat dan senyawa sulfit sebagai SO2.
Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya (Cahyadi, 2009) :
1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain.
2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan serupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal, maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan.
3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.
2.5.5. Bahan Tambahan Pangan Yang Dilarang
BTP yang tidak diizinkan atau dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, diantaranya sebagai berikut (Depkes RI, 1988) :
1. Natrium tetraborat (boraks) 2. Formalin (formaldehyd)
3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils) 4. Kloramfenikol (chlorampenicol)
5. Kalium klorat (pottasium chlorate)
(39)
7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)
8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea) 9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt)
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan potasium bromat (pengeras).
2.6. Zat Pewarna
2.6.1. Pengertian Zat Pewarna
Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
Menurut Winarno (1997), yang dimaksud dengan zat pewarna makanan adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan warna pada makanan dimaksudkan untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik.
Kualitas bahan makanan ditentukan antara lain oleh cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizi. Akan tetapi sebagian besar konsumen sebelum mempertimbangkan cita rasa dan nilai gizi akan lebih tertarik pada tampilan atau warna makanan serta pengolahan bahan makanan (Saparinto, 2006).
(40)
2.6.2. Jenis Zat Pewarna
Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan yaitu (Hidayat, 2006) :
1. Pewarna Alami
Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagi pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan paprika), atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya (Cahyadi, 2009).
Pewarna makanan tradisional menggunakan bahan alami, misalnya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, dan daun jambu atau daun jati untuk warna merah. Pewarna alami ini aman untuk dikonsumsi namun mempunyai kelemahan, yakni ketersediaan bahannya yang terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan industri makanan dan minuman. Penggunaan bahan alami untuk produk misal akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal dan lebih sulit karena sifat pewarna alami tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil (Syah, 2005).
Umumnya pewarna alami aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar sekalipun, berbeda dengan pewarna sintetis yang demi keamanan penggunaannya harus dibatasi (Yuliarti, 2007).
(41)
Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami
Kelompok Warna Sumber Kelarutan Stabilitas
Karamel Anthosianin Flavonoid Leucoanthosianin Tannin Batalain Quinon Xanthon Karotenoid Klorofil Heme Cokelat Jingga, merah, biru Tanpa kuning Tidak berwarna Tidak berwarna Kuning, merah Kuning-hitam Kuning Tanpa kuning-merah Hijau, cokelat Merah, cokelat Gula dipanaskan Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman bakteria lumut Tanaman Tanaman/ hewan Tanaman Hewan Air Air Air Air Air Air Air Air Lipida Lipida dan air Air Stabil Peka terhadap panas dan pH Stabil terhadap panas Stabil terhadap panas Stabil terhadap panas Sensitif terhadap panas Stabil terhadap panas Stabil terhadap panas Stabil terhadap panas Sensitif terhadap panas Sensitif terhadap panas
Sumber : Tranggono, dkk., (1989)
2. Pewarna Sintetis
Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut permitted color atau certified color. Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Yuliarti, 2007).
(42)
Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat ataua sam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara dulu yang kadang-kadang berbahya dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,0004 % dan timbal tidak boleh lebih dari 0,0001, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Cahyadi, 2009).
Menurut Walford (1984), beberapa keuntungan penggunaan zat pewarna sintetis adalah :
a. Aman
b. Tersedia dalam jumlah yang memadai c. Stabilitas bagus
d. Kekuatan mewarnai yang tinggi menjadikan zat pewarna sintetis menguntungkan secara ekonomi
e. Daya larut bagus dalam air dan alkohol f. Tidak berasa dan tidak berbau
g. Tersedia dalam berbagai bentuk h. Bebas bakteri
Berdasarkan kelarutannya, pewarna sintetis terbagi atas dua golongan yaitu (Cahyadi, 2009) :
a. Dyes, adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sehingga
(43)
Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propelin glikol, gliserin, atau alkohol, sedangkan dalam semua jenis pelarut organik, dyes tidak dapat larut. b. Lakes, adalah zat pewarna yang dibuat melalui proses pengendapan dan
absorpsi dyes pada radikal (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat (alumina). Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lakes ini tidak larut pada hampir semua pelarut.
2.6.3. Zat Pewarna yang Diizinkan
Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan.
Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia
Pewarna Nomor Indeks
Warna (C.I.No.) Batas Maksimum Penggunaan Amaran Biru Berlian Eritrosin Hijau FCF Hijau S Indigotin Ponceau 4R Kuning Kuinelin Kuning FCF Riboflavina Tartrazine
Amaranth : CI Food red 9
Brilliant blue FCF : CI Food red 2 Erithrosin : CI Food red 14 Fast
Green FCF : CI Food green 3
Green S : CI Food green 4
Indigotin : CI Food blue 1
Ponceau 4R : CI Food red 7
Quineline yellow : CI Food yellow 13 Sunset yellow FCF : CI Food yellow 3 Riboflavina Tartrazine 16185 42090 45430 42053 44090 73015 16255 74005 15980 - 19140 Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya
(44)
2.6.4. Dampak Zat Pewarna Terhadap Kesehatan
Pemakaian zat pewarna pangan sintetis dalam makanan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan, dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Menurut Cahyadi (2009), beberapa hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut terjadi apabila :
1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang. 2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.
3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik.
4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.
5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan.
(45)
Tabel 2.4 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I.No.) Citrus red No.2
Ponceau 3 R Ponceau SX Rhodamin B Guinea Green B Magenta Chrysoidine Butter Yellow Sudan I Methanil Yellow Auramine Oil Oranges SS Oil Orange XO Oil Yellow AB Oil Yellow OB
12156 16155 14700 45170 42085 42510 11270 11020 12055 13065 41000 12100 12140 11380 11390
Sumber : Peraturan Menkes RI, Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
2.7. Rhodamin B
2.7.1. Pengertian Rhodamin B
Rhodamin B dalam dunia perdagangan sering dikenal dengan nama tetra ethyl rhodamin, rheonine B, D dan Red no. 19, C.I. Basic violet 10, C.I. No. 45170 (Yuliarti, 2007).
Rhodamin B adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan berwarna merah terang berfluorensi. Rhodamin B semula digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan seperti sebagai pewarna kertas dan tekstil. Rhodamin B seringkali disalahgunakan untuk pewarna pangan dan pewarna kosmetik, misalnya sirup, lipstik, pemerah pipi, dan lain-lain. Pewarna ini terbuat dari
(46)
bagi manusia. Biasanya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol, dan sutra (Djarismawati, 2004).
Rumus molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479.000. Sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th, dan titik leburnya pada suhu 1650C (Devianti, 2009).
2.7.2. Karakteristik Rhodamin B
Zat pewarna berupa kristal-kristal hijau atau serbuk ungu kemerahan, sangat larut dalam air dengan warna merah kebiruan dan sangat berfluorensi. Rhodamin B dapat menghasilkan warna yang menarik dengan hasil warna yang dalam dan sangat berpendar jika dilarutkan dalam air dan etanol (Rohman, 2007).
2.7.3. Penggunaan Rhodamin B
Rhodamin B digunakan sebagai reagen untuk antimony, bismuth, tantalum, thallium, dan tungsten. Rhodamin B merupakan zat pewarna tekstil, sering digunakan untuk pewarna kapas wol, kertas, sutera, jerami, kulit, bambu, dan dari bahan warna dasar yang mempunyai warna terang sehingga banyak digunakan untuk bahan kertas karbon, bolpoin, minyak/oli, cat dan tinta gambar.
2.7.4. Makanan Mengandung Rhodamin B
Ciri-ciri makanan yang mengandung rhodamin B (Devianti, 2009) :
1. Warna kelihatan cerah (kemerahan atau merah terang), sehingga tampak menarik 2. Ada sedikit rasa pahit
(47)
3. Muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya. 4. Baunya tidak alami sesuai makanannya
2.7.5. Dampak Rhodamin B Terhadap Kesehatan
Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang terdapat dalam rhodamin B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam rhodamin B itu sendiri. Bahkan jika rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menjadikan pewarna ini berbahaya jika digunakan dalam makanan.
Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B seperti menyebabkan iritasi bila terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit hampir mirip dengan sifat dari klorin yang berikatan dalam struktur rhodamin B. Penyebab lain senyawa ini begitu berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah senyawa yang radikal. Senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada akhirnya akan memicu kanker pada manusia (Devianti, 2009).
2.7.5.1. Dampak Akut
Bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan rhodamin B yaitu (Yuliarti, 2007) :
(48)
- Jika tertelan melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna merah ataupun merah muda.
- Jika terhirup dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan dengan gejala seperti batuk, sakit tenggorokan, sulit bernapas, dan sakit dada.
- Jika mengenai kulit maka kulit pun akan mengalami iritasi.
- Jika terkena mata juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata.
2.7.5.2. Dampak Kronis
Bahaya utama terhadap kesehatan pemakaian dalam waktu lama (kronis) dapat menyebabkan radang kulit dan alergi. Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker (Yuliarti, 2007).
2.8. Terasi
2.8.1. Pengertian Terasi
Terasi adalah salah satu produk olahan dari hasil perikanan sebagai usaha pemanfaatan ikan atau udang yang berkualitas rendah. Terasi merupakan produk perikanan yang berbentuk pasta. Umumnya terasi digunakan untuk campuran membuat sambal, adakalanya digunakan pula untuk campuran pada masakan lain (Adawyah, 2008).
Terasi atau belacan adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan atau udang renik yang difermentasikan, berbentuk seperti pasta dan berwarna hitam-coklat,
(49)
kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Terasi memiliki bau yang tajam dan biasanya digunakan untuk membuat sambal terasi, tapi juga ditemukan dalam berbagai resep tradisional Indonesia (Wikipedia).
2.8.2. Jenis Terasi
Terasi yang banyak diperdagangkan dipasar, secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan bahan bakunya, yaitu terasi udang dan terasi ikan. Terasi udang biasanya memiliki warna cokelat kemerahan, sedangkan terasi ikan berwarna kehitaman. Terasi udang umumnya memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan terasi ikan (Anonimous, 2009).
2.8.3. Pembuatan Terasi 1. Pemilihan Bahan Baku
a. Terasi Ikan
Beberapa jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi ikan adalah ikan selar gatel, badar/teri dan sebagainya. Kepala ikan harus dibuang terlebih dahulu sebelum diproses lebih lanjut (Adawyah, 2008).
b. Terasi Udang
Adapun bahan baku yang digunakan dalam pembuatan terasi udang adalah berupa rebon atau udang kecil dengan ukuran panjang berkisar antara 1 cm – 2,1 cm (membujur), lebar 0,3 cm dengan warna keputihan (Adawyah, 2008).
2. Bahan Tambahan a. Garam
Pada pembuatan terasi, garam memiliki fungsi ganda yaitu sebagai berikut (Anonimous, 2009) :
(50)
- Untuk memantapkan cita rasa terasi yang dihasilkan.
- Pada konsentrasi 20% (200 g/kg bahan baku), garam mampu berperan sebagai bahan pengawet, namun dalam konsentrasi lebih dari 20% justru akan menggangu proses fermentasi.
b. Pewarna
Warna terasi yang alami adalah hitam kecoklatan. Warna tersebut dapat berasal dari pigmen yang dimiliki oleh udang atau ikan. Selain pigmen heme, pada ikan maupun udang juga mengandung karotenoid, yaitu sekelompok pigmen yang memberikan warna kuning, jingga atau merah. Tunaxantin merupakan pigmen ikan laut yang karateristik, sedangkan astaxantin merupakan pigmen terpenting yang terdapat pada udang (Suprapti, 2002).
Untuk memperbaiki penampilan maka sering dilakukan penambahan bahan pewarna buatan dalam terasi. Ke dalam terasi udang sering ditambahkan warna coklat atau merah, sedangkan ke dalam terasi ikan sering ditambahkan warna kehitaman (campuan antara warna merah dan hijau). Adapun konsentrasi pewarna yang digunakan, disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk menjamin keselamatan konsumen, sebaiknya digunakan bahan pewarna yang diizinkan penggunaannya oleh pemerintah (Anonimous, 2009).
c. Kain Saring atau Daun Pisang
Pada pelaksanaan fermentasi, adonan terasi perlu dibagi dalam beberapa bagian kecil dan kemudian dibungkus dengan kain saring atau daun pisang yang diiris di beberapa tempat, sehingga adonan tersebut terlindung dari cemaran debu dan air, sementara aerasi udara tetap dapat berjalan lancar (Anonimous, 2009).
(51)
3. Cara Pembuatan
Udang rebon atau ikan teri dicuci bersih, kemudian dijemur sampai kering di bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Bahan tersebut kemudian dicampur dengan garam sebanyak 13% atau lebih dan tepung, dihancurkan dengan diremas-remas. Kedalam campuran ini ditambahkan sedikit air dan diaduk terus menerus sampai adonan menggumpal. Adonan ini kemudian dijemur dalam bentuk gumpalan-gumpalan kecil selama 3-4 hari. Setelah selesai masa penjemuran, gumpalan-gumpalan-gumpalan-gumpalan tadi ditumbuk halus dan diberi sedikit air sampai membentuk gumpalan yang kokoh. Gumpalan ini dibungkus dengan daun pisang kering, kemudian diperam (fermentasi). Fermetasi dilakukan pada suhu 20-300C selama 1-4 minggu (Adawyah, 2008).
Cara pembuatan terasi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Penjemuran 1-2 hari Udang kecil /
ikan kecil
Pencucian
Pembentukan gumpalan-gumpalan
Penjemuran dan penghancuran 3-4 hari
Penghancuran dan penggaraman 13% atau lebih
Penggumpalan
Fermentasi 20-300C, 1-4 minggu
Pembungkusan dengan daun pisang
(52)
4. Hasil Proses Fermentasi
Selama fermentasi, protein akan terhidrolisis menjadi turunannya oleh enzim proteolitik yang terdapat dalam daging atau jeroan ikan atau oleh enzim yang dihasilkan mikroba. Penggunaan jeroan ikan menjadi penting dalam pembuatan terasi, sebab enzim yang dihasilkannya dapat memecah protein lebih baik, dibandingkan enzim pada bagian dagingnya (Suprapti, 2002).
Pemeraman atau proses fermentasi untuk terasi dapat menghasilkan aroma yang khas. Komponen aroma tersebut merupakan senyawa yang mudah menguap. Persenyawaan tersebut akan menghasilkan bau amonia, asam, busuk, gurih, dan bau khas lainnya (Adawyah, 2008).
2.8.4. Karakteristik Terasi 1. Warna
Warna awal bahan udang adalah putih kebuan dan berubah warnanya menjadi kemerahan. Udang memiliki pigmen astaksantin yang termasuk golongan karotenoid. Krustasea (udang-udangan) mengandung karotenoid yang terikat pada protein dengan akibat warna menjadi biru atau abu-abu biru. Jika mengalami pemanasan, protein terdenaturasi dan mengakibatkan ikatan karotenoid-protein putus sehingga membebaskan warna karotenoid merah jingga (Anonimous, 2009).
2. Bau
Selain warna, juga terjadi perubahan pada aroma dan bau. Bau udang yang awalnya amis menjadi bau khas terasi. Dalam pembuatan terasi terjadi pembusukan udang. Selama proses tersebut, protein-protein dan lemak dapat diubah menjadi
(53)
komponen volatil berbau. Pengeringan yang terjadi mengakibatkan reaksi Maillard yang menghasilkan flavor (Adawyah, 2008).
3. Rasa
Hasil akhir fermentasi terasi menghasilkan rasa khas udang atau ikan. Hal itu tergantung dari seberapa banyak campuran udang atau ikan yang dipakai dalam proses pengolahan (Adawyah, 2008).
(54)
2.9. Kerangka Konsep
Terasi berbagai merek
Pemeriksaan Laboratorium
Ada rhodamin B
Tidak ada rhodamin B
Karakteristik Terasi : - warna
- bau - rasa Higiene sanitasi
berdasarkan 6 prinsip : 1. Pemilihan bahan baku
terasi
2. Penyimpanan bahan baku terasi
3. Pengolahan terasi 4. Penyimpanan terasi 5. Pengangkutan terasi 6. Penyajian terasi
Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi syarat
(55)
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2009. Terasi, Cita Rasa Masakan Nusantara. http://bisnisukm.com/pembuatan-terasi.html, diakses tanggal 10 Maret 2011. Anonimous. 2009. Perubahan Warna Pada Terasi. http://dunia mikro.blogspot.com/2009/04/perubahan-warna-pada-terasi.html, diakses
tanggal 30 April 2011.
Adawyah, Rabiatul. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Aminah, Mia S. Himawan, Candra. 2009. Bahan-bahan Berbahaya Dalam Kehidupan. Bandung : Salamadani.
Arisman. 2009. Keracunan Makanan. Jakarta : EGC.
Azwar, Asrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Cahyadi, Wisnu. 2009. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara.
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC.
Depkes RI, 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. __________, 1999. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. __________, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan. Jakarta.
__________, 2004. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Dirjen PPM dan PL. Jakarta.
__________, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta.
Devianti, dkk. 2009. Rhodamin B. http://catatankimia.com/catatan/rhodamin-b.html, diakses tanggal 20 Pebruari 2011.
(56)
Djarismawati, dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling dalam Penggunaan Rhodamin B di Pasar Tradisional DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. No.1. Vol.3. Hal 7-12
Fardiaz, Srikandi 2007. Bahan Tambahan Makanan. Bandung : Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, Nur dan Anis, Elfi. 2006. Membuat Pewarna Alami. Surabaya : Trubus Agrisarana.
Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar kesehatan Lingkungan. Surabaya : Airlangga University Press.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius.
Sihite, Ricard. 2000. Sanitation and Hygiene. Surabaya : Sic.
Sumarginingsih, Siti. 2010. Penggunaan Zat Warna Rhodamin B Pada Terasi Berdasarkan Pengetahuan Sikap Produsen Terasi di Desa Bonang Kec. Lasem Kab. Rembang Tahun 2009. Tesis. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Soleh, Sardjono, K., dan Wisnu, C. 2003. Identifikasi Zat Warna yang Dilarang (Rhodamin B dan Methanyl Yellow) Pada Produk Makanan dan Minuman. Skripsi. Bandung : Jurusan Teknologi Pangan, FT-Universitas Pasundan.
Suprapti, Lies. 2002. Teknologi Tepat Guna Membuat Terasi. Jakarta : Kanisius. Syah Dahrul, dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan
Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bandung.
Tarwotjo, Sejoeti. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta : Grasindo.
Tranggono, dkk. 1989. Bahan Tambahan Makanan. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.
Walford, Jhon. 1984. Developments in Food Colours-1. New York : Elsefier Aplied Science Publisher Ltd.
Wikipedia. Terasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Terasi, diakses tanggal 8 Februari 2011.
(57)
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Yuliarti, Nurheti. 2007. Awas! Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta : Andi.
(58)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah survei deskriptif yaitu untuk mengetahui higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dan kandungan rhodamin B pada terasi berbagai merek di pasar kota Medan.
3.2. Lokasi dan Waku Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Observasi higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dilakukan di Desa Sekip Kec. Lubuk Pakam dan Desa Tanjung Ibus Kec. Secanggang. Daerah tersebut terletak dekat dengan laut dan penduduknya kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan. Hal ini memudahkan pembuat untuk mendapatkan bahan baku udang untuk membuat terasi.
Lokasi pengambilan sampel dilakukan di beberapa pasar di kota Medan yaitu : 1. Pasar Aksara
2. Pasar Sukaramai 3. Pasar Pringgan 4. Pasar Sei Sikambing 5. Pasar Sentral
Kelima pasar di atas merupakan pasar yang cukup besar dan lengkap di kota Medan sehingga banyak dikunjungi pembeli.
3.2.2. Waktu Penelitian
(59)
3.3. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah industri rumah tangga pengolahan terasi. Industri rumah tangga yang akan dinilai pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan terasi sebanyak 3 industri. Kemudian produk industri berupa terasi akan diperiksa kandungan rhodamin B.
Terasi yang dijual di Pasar Kota Medan, sampel terasi diambil secara purposive
sampling yaitu terasi udang karena terasi tersebut banyak diminati masyarakat dan
lebih banyak dijual daripada terasi ikan. Terasi-terasi tersebut akan ditentukan apakah mengandung rhodamin B atau tidak. Adapun sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 12 terasi bermerek.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil observasi higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi dan melalui hasil pemeriksaan sampel terasi dari industri rumah tangga dan pasar kota Medan di bagian Toksikologi Laboratorium Kesehatan Daerah, Provinsi Sumatera Utara.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang menjadi bahan masukan dalam penulisan dan studi kepustakaan.
3.5. Defenisi Operasional
1. Karakteristik terasi adalah gambaran mengenai terasi baik itu warna, bau, dan rasa. 2. Warna terasi adalah warna terasi yang bisa dilihat oleh mata yaitu berwarna coklat
(60)
3. Bau terasi adalah aroma yang bisa dicium dari terasi yaitu berbau seperti bau amonia, asam, busuk dan bau khas lainnya.
4. Rasa terasi adalah rasa yang timbul dari terasi saat dirasakan oleh pengecap rasa yang terletak di lidah yaitu rasa ikan atau udang.
5. Terasi berbagai merek adalah terasi yang dikemas, yang memiliki merek/label baik merek nasional maupun merek lokal.
6. Higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi adalah penerapan 6 prinsip higiene sanitasi pada 3 industri rumah tangga pengolahan terasi.
7. Pemilihan bahan baku terasi adalah pemilihan bahan baku terasi yang masih segar, tidak berbau, tidak rusak dan dari sumber resmi.
8. Penyimpanan bahan baku terasi adalah penyimpanan bahan makanan pada tempat yang bersih, tertutup, tidak terjangkau tikus, serangga, dan binatang lainnya.
9. Pengolahan terasi adalah proses pencampuran bahan-bahan pembuat terasi.
10.Penyimpanan terasi adalah penyimpanan makanan pada tempat yang tidak tercemar debu, tertutup, tidak terjangkau oleh tikus, serangga, dan binatang lainnya.
11.Pengangkutan terasi adalah pemindahan terasi dari tempat pengolahan ke tempat pembungkusan/penyajian.
12.Penyajian Terasi adalah terasi disajikan dalam tempat/pembungkus yang bersih. 13.Memenuhi syarat adalah keadaan dimana hasil observasi sesuai dengan standar
yang ditetapkan Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003.
14.Tidak memenuhi syarat adalah keadaan dimana hasil observasi tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003
(61)
15.Pemeriksaan Laboratorium adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya rhodamin B pada terasi dari industri rumah tangga pengolahan terasi dan terasi berbagai merek yang dijual di pasar kota Medan dengan metode kromatografi.
16.Ada rhodamin B adalah ditemukannya rhodamin B pada terasi yang diperiksa melalui pemeriksaan laboratorium.
17.Tidak ada rhodamin B adalah tidak ditemukannya rhodamin B pada terasi yang diperiksa melalui pemeriksaan laboratorium.
3.6. Pelaksanaan Penelitian
Sampel dibawa ke Laboratorium Departemen Kesehatan Daerah bagian Toksikologi, Provinsi Sumatera Utara untuk diperiksa dengan metode kromatografi. 1. Timbang 30-50 gr sampel kemudian masukkan kedalam gelas kimia 100 ml.
2. Tambahkan 10 ml asam asetat 10% kemudian masukkan bulu domba, didihkan selama 30 menit sambil diaduk.
3. Bulu domba dipisahkan dari larutan dan dicuci dengan air dingin berulang-ulang hingga bersih.
4. Pewarna dilarutkan dari bulu domba dengan penambahan amonia 10% di atas penangas air hingga sempurna.
5. Larutan berwarna yang dapat dicuci lagi dengan air hingga bebas amonia. 6. Totolkan pada kertas kromatografi dan masukkan ke dalam zat pelarut (eluen). 7. Hitung Rf zat warna kemudian bandingkan dengan standar zat warna
Rf = Jarak gerak zat terlarut Jarak gerak zat pelarut
(1)
Beberapa sampel memang ada yang menggunakan pewarna sintetis dalam proses pengolahannya, tapi masih zat pewarna yang diizinkan penggunaannya mengacu kepada Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Pewarna makanan yang digunakan adalah jenis Ponceau 4R. Penambahan zat pewarna ini yang menyebabkan karakteristik terasi berwarna kemerahan. Selain dari pewarna, warna merah dari terasi didapat dari karotenoid yang terkandung pada udang.
5.3. Karakteristik Terasi
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terasi kebanyakan berwarna kecoklatan. Selain itu juga berwarna coklat kemerahan, kemerahan, dan hitam kecoklatan.
Untuk memperbaiki penampilan sering dilakukan penambahan bahan pewarna buatan dalam terasi. Ke dalam terasi udang sering ditambahkan warna coklat atau merah. Adapun konsentrasi pewarna yang digunakan, disesuaikan dengan kebutuhan.
Warna terasi yang alami adalah hitam kecoklatan. Warna tersebut dapat berasal dari pigmen heme yang dimiliki oleh udang atau ikan. Selain pigmen heme, pada ikan maupun udang juga mengandung karotenoid, yaitu sekelompok pigmen yang memberikan warna kuning, jingga atau merah (Suprapti, 2002).
Kebanyakan terasi berbau amis yaitu bau amis udang. Ada juga yang berbau busuk karena pada pengolahan menambahkan air saat penumbukan. Selain itu bau busuk juga karena proses pemeramam atau fermentasi.
Menurut Adawyah (2008), pemeraman atau proses fermentasi untuk terasi dapat menghasilkan aroma yang khas. Komponen aroma tersebut merupakan senyawa
(2)
yang mudah menguap. Persenyawaan tersebut akan menghasilkan bau amonia, asam, busuk, gurih, dan bau khas lainnya.
Dari segi rasa, kebanyakan terasi rasa udang. Namun ada juga yang berasa sedikit asam serta rasa udang dan ikan, padahal di merek/label di buat Terasi Udang. Pada proses pengolahan, pengolah tidak hanya memakai udang sebagai bahan baku tapi juga menambahkan ikan kecil. Hal ini dikarenakan harga udang lebih mahal daripada harga ikan kecil.
Hasil akhir fermentasi terasi menghasilkan rasa khas udang atau ikan. Hal itu tergantung dari seberapa banyak campuran udang atau ikan yang dipakai dalam proses pengolahan (Adawyah, 2008).
(3)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi higiene sanitasi pengolahan terasi, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Prinsip higiene sanitasi industri rumah tangga pengolahan terasi pada prinsip pemilihan bahan baku terasi sudah memenuhi syarat kesehatan, sedangkan pada prinsip penyimpanan bahan baku terasi, pengolahan terasi, penyimpanan terasi jadi, pengangkutan terasi, dan penyajian terasi tidak memenuhi syarat kesehatan.
2. Pada terasi dari industri rumah tangga pengolahan terasi dan terasi berbagai merek yang dijual di pasar Kota Medan, tidak ada rhodamin B yang ditemukan sebagai zat pewarna.
3. Karakteristik terasi kebanyakan berwarna kecoklatan, berbau amis, dan rasa udang.
6.2. Saran
1. Diharapkan bagi pengolah terasi agar mengetahui dan memahami higiene sanitasi terutama pada prinsip penyimpanan bahan baku makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan, pengangkutan makanan, dan penyajian makanan.
2. Diharapkan bagi pengolah terasi untuk tetap menggunakan bahan pewarna makanan yang diizinkan penggunaannya oleh pemerintah.
(4)
3. Bagi Dinas Kesehatan dan BPOM kota Medan hendaknya mengadakan penyuluhan tentang higiene sanitasi makanan dan program pengawasan makanan yang beredar di pasaran tentang pemakaian zat pewarna buatan pada terasi.
4. Diharapkan diberikannya sanksi dari Pemerintah/Dinas Terkait terhadap industri rumah tangga pengolahan terasi jika ada yang menggunakan rhodamin B sebagai pewarna makanan.
5. Adanya pengawasan terhadap penjual rhodamin B agar dibatasi penjualannya hanya untuk pembuatan tekstil saja.
(5)
Lembar Observasi
Higiene Sanitasi Pengolahan Terasi Lokasi Industri :
Penanggung Jawab : Jumlah Karyawan :
NO OBJEK PENGAMATAN KATEGORI
Ya Tidak
(1) (2)
PRINSIP I : PEMILIHAN BAHAN MAKANAN 1 Bahan baku dalam kondisi baik :
i. Udang dalam keadaan segar ii. Garam tidak rusak
2 Bahan makanan diperoleh dari tempat penjualan yang diawasi pemerintah
PRINSIP II : PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN 3 Tempat penyimpanan bahan makanan dalam keadaan
bersih
4 Tempat penyimpanan bahan makanan tertutup 5 Tempat penyimpanan bahan makanan tidak menjadi
tempat bersarang serangga dan tikus
PRINSIP III : PENGOLAHAN MAKANAN Tenaga Penjamah Makanan
6 Tidak menderita penyakit mudah menular, misal : batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya
7 Menutup luka (pada luka terbuka/bisul)
8 Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian 9 Memakai celemek dan tutup kepala
10 Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan 11 Menjamah makanan harus memakai alat/perlengkapan
atau dengan alas tangan
12 Tidak merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut dan bagian lainnya)
13 Tidak batuk atau bersin dihadapan makanan atau tanpa menutup hidung atau mulut
Cara Pengolahan Makanan
14 Tidak terjadi kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahan yang salah
(6)
15 Tidak terjadi pengotoran atau kontaminasi makanan akibat dari kotorannya tangan pengelola/penjamah
16 Proses pengolahan harus diatur sedemikian rupa sehingga mencegah masuknya bahan-bahan kimia berbahaya dan bahan asing kedalam makanan
Tempat Pengolahan Makanan
17 Lantai dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak licin, tahan lama dan kedap air
18 Dinding kedap air dan mudah dibersihkan
19 Langit- langit harus dari bahan yang bewarna terang dan mudah dibersihkan
20 Pintu dan jendela terhindar dari lalu lintas lalat dan serangga
21 Ventilasi 10% dari luas lantai
22 Pencahayaa diruang dapur sekurang-kurangnya 20 fc/ memadai
23 Ada persediaan air bersih yang cukup 24 Tersedia tempat pembuangan sampah 25 Tersedia saluran pembuangan air limbah 26 Tersedia tempat mencuci tangan dan peralatan
27 Peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun
28 Peralatan dikeringkan dengan alat pengering/lap yang bersih
29 Peralatan disimpan dalam rak penyimpanan tertutup/bebas pencemaran
PIRNSIP IV : PENYIMPANAN MAKANAN JADI 30 Tersedia tempat khusus untuk menyimpan terasi yang
sudah jadi
31 Tempat dalam keadaan bersih 32 Tempat tertutup dengan baik
PRINSIP V : PENGANGKUTAN MAKANAN 33 Tersedia tempat khusus untuk mengangkut terasi 34 Tempat terasi diangkut dalam keadaan bersih 35 Pengangkutan terasi tidak melewati daerah kotor
PRINSIP VI : PENYAJIAN MAKANAN
36 Peralatan/pembungkus untuk penyajian dalam keadaan bersih
37 Tangan penyaji tidak kontak lansung dengan terasi 38 Terasi disajikan dalam keadaan bersih