Tabel 4.12 Pendapatan Buruh Tani dari Hasil Perkebunan Kelapa Sawit Milik Pribadi dan Menjadi buruh
Nama Kebun Milik Pribadi
Kebun Tempat Bekerja Menjadi Buruh Tani
Total Penghasilan
Rp Luas Lahan
Hektar Penghasilan
Rp Luas Lahan
Hektar Penghasilan
Rp
Ambik 1 ½
1.200.000 10
2.000.000 3.200.000
Giso 1
1.000.000 3
800.000 1.800.000
Sakimun 3
2.300.000 2
700.000 2.800.000
Sumardi 2
2.000.000 4
1.000.000 3.000.000
Rendi 1
400.000 10
1.000.000 1.400.000
Sumber: Wawancara Penelitian
Dari tabel di atas terlihat Bapak Ambik yang bekerja menjadi buruh pada lahan seluas 10 hektar mendapatkan tambahan penghasilan sebanyak Rp.
2.000.000 per bulan, Bapak Giso mendapat tambahan penghasilan Rp. 800.000 per bulan, Bapak Sakimun mendapat tambahan penghasilan Rp. 700.000 per
bulan, Bapak Sumardi mendapat tambahan penghasilan Rp. 1.000.000 per bulan, dan Bapak Rendi mendapat tambahan penghasilan sebanyak Rp. 1.000.000 per
bulan.
4.2.2. Pola Hubungan Patron Klien antara Petani dengan Buruh Tani
Pada umumnya, relasi patron klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya
ekonomi yang kompleks, seperti yang terjadi di Desa Rokan Baru. Bila dilihat dari profil petani dan profil buruh tani di atas, Kondisi yang memicu timbulnya
hubungan patron klien di antara petani dengan buruh tani ini adalah karena adanya ketimpangan sumber daya ekonomi di antara mereka. Ketimpangan itu berupa
kepemilikan luas lahan, penghasilan dan penyediaan lapangan pekerjaan. Petani memiliki semua sumber daya itu, sedangkan buruh tani hanya memiliki sebagian
kecil, dan harus bekerja kepada petani untuk menutupi kekurangan sumber daya yang dimilikinya.
Adanya perbedaan penguasaan atas sumber daya tersebut menempatkan salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih superior tinggi yakni petani
dari luar Desa Rokan Baru, dan pihak yang lain menempati kedudukan yang lebih inferior rendah yakni buruh tani. Penggolongan ini sesuai dengan apa yang
didefinisikan oleh Scott mengenai ikatan patron klien, Scott 1972, dalam Layn: 2008, 45 mendefinisikanbahwa ikatan patron klien didasarkan dan berfokus pada
pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta tidak didasarkan pada kriteria askripsi. Oleh karena itu siapa saja yang memiliki
modal maka ia dapat berstatus sebagai patron. Meskipun ada perbedaan yang sangat mencolok dalam hal kepemilikan
sumber daya di antara petani dengan buruh tani, mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal ini dikarenakan adanya rasa saling membutuhkan di
antara keduanya. Hubungan yang saling membutuhkan ini tercipta karena adanya pertukaran yang saling menguntungkan di antara keduanya. Di mana petani dari
luar Desa Rokan Baru akan memberikan pekerjaan bagi petani di Desa Rokan Baru yang mau menjadi buruh taninya, sedangkan petani yang menjadi buruh tani
iniakan membantu pekerjaan yang diberikan oleh petani dari luar Desa Rokan Baru. Scott 1972 menyebut fenomena seperti ini dengan istilah hubungan timbal
balik. Dengan adanya hubungan timbal balik di antara petani patron dengan
buruh tani klien, hubungan di antara keduanya selanjutnya mengarah pada aktivitas hubungan kerja dan hubungan sosial. Dalam hubungan kerja terdapat
unsur-unsur di antaranya rekrutmen tenaga kerja, pengaturan kerja, waktu dan pembayaran upah. Sedangkan dalam hubungan sosial terdapat aktivitas sosial
seperti dalam aktivitas utang piutang yang terjalin antara patron dengan klien, pengembangan jaringan, dan tunjangan hari raya THR.
a. Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Kerja