Desa Rokan Baru. Hal ini terlihat dalam hasil wawancara dengan BapakMarno Kepala Desa Rokan Baru berikut ini:
“Rata-rata semua masyarakat di desa ini memiliki lahan pertanian sendiri, hanya saja ada yang 1 hektar, 2 hektar
dan ada juga yang 5 hektar, bahkan lebih. Pokoknya paling sedikit 1 hektar lah yang dimiliki warga sini, dan itu belum
termasuk perkarangan rumah. Tapi, kalau ada yang lebih dari dua hektar itu berarti letak ladangnya lebih dari satu
tempat atau di satu tempat dengan cara membeli ladang dari beberapa orang. Desa ini kan awalnya desa transmigrasi,
jadi tanah-tanah di sini sudah terpetak-petakkan”.
Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwa seluruh masyarakat Desa Rokan Baru memiliki lahan pertanian, yang membedakannya hanya terletak pada
besaran luas lahan yang dimiliki antar warga. Ada masyarakat desa yang hanya memiliki satu hektar, dua hektar dan bahkan lebih. Masyarakat yang memiliki
lahan lebih dari dua hektar di desa ini adalah masyarakat yang memiliki lahan yang letaknya berpencar atau terletak di beberapa lokasi di kawasan Desa Rokan
Baru, sebab, desa ini pada awalnya adalah desa transmigrasi yang semua lahan desanya telah dibagi-bagi oleh pemerintah sesuai dengan jumlah keluarga
transmigran yang didatangkan.
b. Petani Pemilik Lahan Sekaligus Buruh Tani
Pada masyarakat Desa Rokan Baru, petani pada lapisan ini lebih dikenal dengan istilah “tukang dodos” atau “penjaga ladang”. Petani pada lapisan ini
adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan tetap. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, petani pada lapisan ini juga
menjalankan perannya sebagai buruh tani bagi petani lainnya. Pekerjaan sebagai buruh tani ini sangat dibutuhkan, karena petani pada lapisan ini rata-rata hanya
memiliki lahan seluas 1-2 hektar. Seperti yang di ungkapkan oleh bapak Ikhsan Sekretaris Desa berikut ini:
“Beberapa warga yang juga bekerja sebagai buruh tani ini adalah warga yang biasanya penghasilan dari menjadi
buruh tani ini untuk menambah pendapatan keluarganya, ya biar tiap hari asap di dapur tetap mengepullah bisa dibilang,
dan ada juga petani yang juga bekerja menjadi buruh tani ini anaknya kuliah. Selain itu juga karena pengaruh luas lahan
mereka, biasanya mereka cuma punya sawit 1 atau 2 hektar saja”.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh Bapak Ambik yang merupakan salah seorang petani yang juga bekerja sebagai buruh tani:
“Cemanalah mau dibilang ya, anak bapak dua lagi yang sekolah, yang satu kelas 2 SMA, yang satu lagi kuliah di
Pekan Baru, sawit bapak cuma 1 hektar, belum lagi untuk uang dapur. Ya kalau enggak dari menjaga dan memanen
sawit orang dari mana lagi bapak dapat duit yud”.
Informan lainnya, yaitu Bapak Wagiso juga mengungkapkan berikut ini: “Adek lihat sendirilah rumah saya, kecil kayak gini. Belum
lagi anak semuanya harus sekolah. Walaupun sudah ada dana BOS, tapi uang yang lain-lainnya dan uang jajan anak-
anak itu enggak mungkin enggak dikasih. Cuma satunya anak bapak yang belum sekolah”.
Dari hasil wawancara tersebut, terlihat bahwa gambaran tentang petani pada lapisan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Scott tentang kebutuhan
Subsistensi keluarga petani. Scott 1994: 21 mengatakan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga yang mengatasi segala-galanya seperti
kekurangan tanah, dan memiliki keluarga yang besar, sering kali memaksa petani menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti
menjadi buruh tani.
Dalam bekerja sebagai buruh tani, petani yang juga menjadi buruh tani ini tidak mengerjakan pekerjaan pertanian di lahan milik majikan secara individual,
hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara individual karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan kerja sama dan tenaga kerja tambahan. Ini seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Ambik berikut ini: “Kalau manen sawit, bapak nggak sendirian, bapak bawa
anggota lagi untuk bantu-bantu bapak memanen. Itu biar kerjaannya cepat selesai. Jadi kalau manen sawit
berkelompok, nanti ada yang bagian tugasnya ngambil buah dari pohon, ada yang mengumpulkan buah dari pohon ke
tempat sementara, dan ada yang melangsir buah keluar ketempat timbangan, jadi dengan begitu kerjaannya cepat
selesai. Biasanya bapak bawa anggota 2, 3 atau 4 orang untuk membantui bapak, kalau ladangnya yang mau di panen
nggak luas palingan cuma bawa 2 orang, kalau luas baru bawa anggota 3 atau 4 orang, tergantung dari luas lahan
yang mau di panen juga. Tapi kalau pekerjaan lain, macam memupuk, nyemprot itu gak perlu bawa anggota, bapak
sendiri saja juga bisa ngerjainnya.
Informan lainnya, yaitu Bapak Sumardi juga mengatakan seperti ini:
“Kalau manen nggak bawa anggota, nanti pekerjaan lain terbengkalai. Kita kan punya ladang juga. Jadi kalau manen
sawit orang itu lama, ladang kita terbengkalai lah atau pekerjaan lain yang seharusnya bisa menambah penghasilan
malah gak bisa dikerjakan”.
Pekerjaan pertanian yang dapat dilakukan secara individual karena dianggap ringan seperti membabat, menyemprot rumput liar dengan racun, dan
memupuk kelapa sawit. Sedangkan pekerjaan yang membutuhkan kerja sama kelompok adalah pada saat memanen kelapa sawit.Kerja sama kelompok ini
dibentuk karena beberapa pekerjaan memanen ini tidak dapat atau sulit untuk dikerjakan sendirian karena dianggap terlalu berat untuk dikerjakan sendirian.
Apabila pekerjaan ini dikerjakan secara individual maka pekerjaan tersebut akan selesai dalam waktu yang relatif lama misalnya apabila biasanya memanen kelapa
sawit secara berkelompokdapat dilakukan setengah hari, maka apabila buruh tani bekerja memanen sawit secara individual dapat memanen kelapa sawit selama
satu atau dua hari. Memanen kelapa sawit lebih lama akan merugikan buruh tani, sebab buruh tani akan kehilangan waktu untuk mengerjakan pekerjaan pertanian
lainnya.
4.2. Interpretasi Data Penelitian