Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Kerja

unsur-unsur di antaranya rekrutmen tenaga kerja, pengaturan kerja, waktu dan pembayaran upah. Sedangkan dalam hubungan sosial terdapat aktivitas sosial seperti dalam aktivitas utang piutang yang terjalin antara patron dengan klien, pengembangan jaringan, dan tunjangan hari raya THR.

a. Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Kerja

1. Rekrutmen Buruh Tani

Posisi petani dalam sistem perekrutan tenaga kerja bersifat sentral. Artinya, petani mempunyai peranan secara penuh dalam menentukan orang-orang yang akan di jadikan pekerja di lahan kelapa sawit miliknya. Dalam memilih buruh tani, petani-petani ini menetapkan beberapa kriteria-kriteria khusus demi kelancaran kegiatan ekonominya. Kriteria khusus tersebut adalah kecekatan buruh tani dalam bekerja dan sifat buruh tani yang dapat di percaya. Kecekatan buruh tani dalam bekerja menjadi kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh buruh tani, sebab, kriteria ini menentukan kemampuan buruh tani dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai buruh tani, yaitu memanen buah kelapa sawit, mengontrol lahan dari pencurian buah kelapa sawit, mengontrol lahan dari kebakaran lahan gambut, dan membersihkan lahan kelapa sawit petani. Sedangkan, kepercayaan merupakan kriteria paling sentral yang wajib dimiliki oleh buruh tani, karena kriteria ini sangat terkait dengan kejujuran buruh tani dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai buruh tani dan kejujuran buruh tani dalam pelaporan uang panen yang diterima oleh petani. Ini dikarenakan tempat tinggal petani yang berada sangat jauh dari Desa Rokan Baru sehingga berakibat pada lemahnya kontrol para petani terhadap lahan- lahan kelapa sawit miliknya. Akibatnya, petani-petani dari luar Desa Rokan Baru ini meletakkan “kepercayaan” sebagai kriteria khusus yang paling sentral dalam merekrut buruh tani. Untuk mendapatkan buruh tani yang sesuai dengan kriteria- kriteria tersebut, petani-petani ini mencari buruh tani dengan bertanya- tanya atau mengumpulkan informasi dari masyarakat Desa Rokan Baru mengenai buruh tani yang dapat dipercaya dan cekatan dalam bekerja, atau merekrut penduduk Desa Rokan Baru yang masih ada ikatan keluarga atau pertemanan dengannya. Merekrut buruh tani dengan mengumpulkan informasi dari masyarakat Desa Rokan Baru menjadi pilihan bagi petani-petani yang tidak mengetahui atau tidak mengenal buruh tani yang akan direkrutnya. Sedangkan, petani-petani yang memiliki keluarga atau teman di desa ini biasanya lebih memilih merekrut keluarga atau temannya tersebut sebagai orang yang dipercaya menjadi buruh tani. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Irfan berikut ini: “Karena waktu saya beli ladang itu nggak ada saudara atau orang yang saya kenal tinggal di desa itu, jadi ladang yang saya beli itu bapak tanggung jawabkan ke Bapak Giso untuk merawatnya, memanennya. Awal Saya kenal Pak Giso waktu itu saya bertanya sama orang yang punya warung kopi dekat jembatan yang mau ke arah kantor kepala desa itu. Sambil pesan kopi saya tanya ke yang punya warung tentang siapa kira-kira orang yang bisa dipercaya jaga ladang di desa itu. yang punya warung itu ngasih tiga nama. Dari tiga nama itu yang saya datangi rumahnya Pak Giso. Waktu saya tawari Pak Giso untuk menjaga ladang saya, Pak Giso langsung mau”. Informan lainnya, yaitu Bapak Mansur juga mengungkapkan seperti berikut ini: “Karena bapak punya abang di sana, jadi ladang bapak yang di sana bapak serahkan ke abang bapak itu. Jadi abang bapak yang jaga ladang bapak, yang manen, mupuk, nyemprot. Bapak segan juga kalau menyuruh orang lain yang jaga ladang bapak, karena ada abang kita di situ, yahgak enaklah kalau kita menyuruh orang lain yang jaga ladang kita itu, sedangkan kita punya keluarga yang lebih membutuhkan pekerjaan itu di situ.” Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Bapak Sumargo berikut ini: “Kalau kita sudah kenal sama orang yang kita kerjakan itu, lebih gampang. Karena kita sudah tahu kayak mana dia kerja, sifatnya. Dan orang yang kita kerjakan juga sudah tau kayak mana sifat kita. Jadi macam ada rasa segan gitulah kalau kerjaan itu gak di kerjakan, karena kita sudah ngasih uang juga sebelumnya. Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa, petani-petani yang memilih mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarga atau temannya ini memiliki alasan bahwa ada perasaan segan atau tidak enak hati terhadap keluarga bila mempekerjakan orang lain di lahan kelapa sawit miliknya. Alasan lainnya yaitu keluarga lebih mudah di percaya di bandingkan dengan mempekerjakan orang yang tidak dikenal. Dari hasil wawancara di atas juga menunjukkan bahwa dengan sumber daya yang dimiliki, patron memberikan pengaruhnya kepada klien agar bisa memberikan bantuan secara umum bagi kepentingan patron. Dalam hal ini lahan kelapa sawit yang dimiliki oleh petani menjadi wahana untuk mencari nafkah bagi buruh tani, sehingga buruh tani ini akan memperoleh keuntungan berupa upah dari petani, dan petani akan memperoleh keuntungan berupa uang hasil panen dan kelancaran siklus produksi karena kebutuhan petani akan tenaga kerja secara kontinu telah tercapai.

2. Pengaturan Sistem Pengupahan, Kerja dan Waktu

Pada dasarnya dalam hubungan patron klien, terdapat pertukaran ekonomi di mana buruh tani sebagai orang yang memberikan tenaganya kepada petani akan mendapatkan upah dari petani. Upah dalam hubungan patron klien merupakan salah satu bentuk jaminan sosial yang diberikan patron kepada klien. Bagi buruh tani klien di desa ini, upah merupakan alasan mereka mau bekerja kepada petani patron untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang beraneka ragam. Sistem pengupahan yang diterima buruh tani tergantung dari jenis pekerjaan yang ia kerjakan. Artinya, setiap jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani, memiliki sistem pengupahan sendiri-sendiri dan semua itu tergantung dari kesepakatan antara buruh tani dengan petani. Dalam pekerjaan memanen buah kelapa sawit misalnya, besar kecilnya upah yang diterima buruh setiap panen sangat tergantung dari sistem pengupahan yang di sepakati antara petani dengan buruh tani. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ambik berikut ini: “Sebenarnya pendapatan dari menjaga ladang itu nggak menentu, itu tergantung dari kesepakatan kita dengan orang yang ladangnya kita jaga. Jadi kalau sama bapak, kesepakatan kita dengan orang yang ladangnya kita jaga itu gini, satu kilo buah sawit dikalikan Rp. 250, jadi kalau manen dapat 1 ton kita dapat upah Rp. 250.000, kalau manen dapat 2 ton bapak dapat Rp. 500.000. Tapi kalau kita manen dapat se ton dan harga sawit di toke cuma Rp. 500, penghasilan manen itu dibagi dua, setengah jadi penghasilan untuk orang yang ladangnya kita jaga, dan setengah lagi jadi gaji kita. manen setiap 2 minggu sekali” Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Sakimun berikut ini: “Upah manen sawit itu kalau bapak hitungannya per kilonya dikalikan Rp. 150. Jadi kalau manen dapat satu ton, upah bapak Rp. 150.000. tapi kadang-kadang kalau uang manennya dapat banyak, bapak dikasih lebih sama orang itu. tapi kalau dapatnya sedikit ya uang sawit itu dibagi dua, setengah untuk upah bapak, setengah lagi untuk yang punya ladang” Informan lainnya, yaitu Bapak Ikhsan Sekretaris Desa Rokan Baru juga mengatakan berikut ini: “Upah tukang panen di sini biasanya hitungannya per kilogram buah sawit yang ditimbang. jadi ada yang tukang panen digaji per kilonya dikalikan Rp. 150, ada yang Rp. 250, dan ada juga per kilonya dikalikan Rp. 300. Jadi itu tergantung kesepakatan antara tukang panen sama yang punya kebun. Biasanya yang di kalikan Rp. 150 itu letak ladangnya dekat jalan besar tempat nimbang sawit, jadi nggak perlu melangsir buah lagi. Yang dikalikan Rp. 250 itu biasanya letak ladangnya lumayan masuk ke dalam, jadi tukang panen harus melangsir buah lagi ke jalan besar biar bisa ditimbang. Dan kalau yang Rp. 300 itu letak ladangnya itu jauh kali dari jalan besar atau tempat timbangan. Jalan- jalan menuju Ladang-ladang di sinikan semuanya nggak bisa dilewati mobil ngangkat buah, jadi buah sawit itu harus dilangsir lagi keluar ke jalan besar biar bisa di timbang. Kecuali ladang-ladang yang di pinggir jalan besar, nggak perlu melangsir lagi, tinggal tumpuk saja di pinggir jalan besar itu. Di sini manen sawit rata-rata 2 minggu sekali” Dari hasil wawancara di atas di peroleh gambaran bahwa, upah panen kelapa sawit yang diterima oleh buruh tani di hitung dengan menggunakan sistem berat kelapa sawit per kilogramnya. Jadi besar kecilnya upah buruh tani sangat tergantung dari total berat buah kelapa sawit yang di timbang. Misalnya, jika buah kelapa sawit yang di panen Bapak Ambik memiliki berat total 1 ton, dan kesepakatan upah Bapak Ambik dengan petani yang lahannya ia panen per kilogramnya dikalikan Rp. 250, maka total upah yang diterima oleh Bapak Ambik adalah Rp. 250.000. Kesepakatan yang terjadi antara petani dengan buruh tani mengenai sistem pengupahan ini juga sangat di pengaruhi oleh lokasi lahan kelapa sawit yang dimiliki oleh petani. Jadi semakin jauh letak lahan kelapa sawit petani dari jalan besar tempat menimbang buah sawit, maka semakin besar pula hitungan upah berdasarkan berat per kilogram buah kelapa sawit yang diterima oleh buruh tani. Siklus panen buah kelapa sawit di desa ini rata-rata dua Minggu sekali. Jadi, setiap dua Minggu sekali buruh tani wajib memanen buah kelapa sawit milik petani. Upah buruh tani dari pekerjaan memupuk kelapa sawit dan menyemprot rumput liar dengan racun tanaman juga tergantung dari sistem pengupahan yang disepakati oleh petani dan buruh tani. Ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Mansur berikut ini: “Upah memupuk itu kalau sama bapak Rp. 10.000 per karung pupuk ukuran 50 kg, jadi besar kecilnya upah yang bapak terima tergantung dari banyaknya karung pupuk yang di suruh pemilik untuk di pupukkan ke sawitnya lah. Kalau upah nyemrot rumput sama bapak itu per hektarnya Rp. 250.000 per hektar. Kerja memupuk sawit biasanya 3-4 bulan sekali di suruh, dan nyemprot biasanya 3 bulan sekali. Hal yang senada juga di ungkapkan oleh Bapak Batu Bara berikut ini: “Memupuk 3 bulan sekali itu upahnya bapak kasih per karung itu Rp. 8.000, dan kalau nyemprot rumput itu upahnya bapak kasih per hektarnya Rp. 200.000 per hektar. Kesepakatan sama yang bapak suruh ngerjakan ladang bapak begitu. Dari hasil wawancara di atas di peroleh gambaran bahwa besar kecilnya upah buruh tani dari pekerjaan memupuk sawit sangat tergantung pada kuantitas pupuk yang akan di kerjakan. Siklus pekerjaan memupuk ini tidak menentu, ada yang dilakukan 3 bulan sekali dan ada juga yang dilakukan 4 bulan sekali. Upah dari pekerjaan membersihkan lahan dengan racun tanaman juga sangat tergantung dari luas lahan yang dikerjakan. Semakin luas lahan kelapa sawit yang di bersihkan maka semakin banyak upah yang di terima buruh tani. Siklus pekerjaan membersihkan lahan kelapa sawit dari rumput liar ini dilakukan 3 bulan sekali. Dari semua sistem pengupahan yang disepakati oleh petani dan buruh tani baik itu sistem pengupahan memanen sawit, memupuk kelapa sawit, dan membersihkan lahan kelapa sawit dari rumput-rumput liar semuanya bersifat tidak tertulis, namun sudah menjadi kewajiban dari petani untuk memberikan upah-upah tersebut kepada buruh tani sebagai ganjaran nyata atas pekerjaan buruh tani terhadap lahan kelapa sawit miliknya. Dalam relasi patron klien antara petani dengan buruh tani juga menunjukkan bahwa masing-masing aktor memiliki posisi tawar. Buruh tani klien meskipun sangat bergantung kepada petani patron, tetap memiliki posisi tawar. Begitu juga dengan petani patron, modal yang dimilikinya tidak serta-merta membuatnya bisa melakukan eksploitasi kepada buruh tani klien maupun memberikan keputusan yang merugikan klien. Artinya, dengan adanya posisi tawar yang dimiliki oleh petani, membuat hubungan yang dibangun di antara keduanya tidak bersifat eksploitasi, akan tetapi lebih mengarah kepada hubungan yang bersifat saling menguntungkan. Pengaturan sistem pengupahan, pekerjaan, dan waktu dalam hubungan antara petani dengan buruh tani ini menunjukkan bahwa di dalam sebuah interaksi sosial masing-masing aktor di atas melakukan hubungan timbal balik. Ini berdasarkan pada asumsi Scott 1992, 91-91 yang menjelaskan bahwa hubungan patron kilen berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, sementara bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas barang tersebut. Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi, melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien, melainkan mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.Seperti halnya dalam kasus petani dengan buruh tani di Desa Rokan Baru, petanipatron dengan sumber daya yang dimilikinya memberikan pengaruh kepada buruh tani klien dengan memberikan pekerjaan dan upah kepada buruh tani klien, sebagai imbalan buruh tani harus meluangkan waktu dan tenaganya untuk bekerja kepada petani patron.

b. Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Sosial