Terkait dengan pandangan Scott di atas, adapun arus pertukaran barang atau jasa pada hubungan antara petani patron dengan buruh tani klien di Desa
Rokan Baru adalah seperti berikut ini:
a. Arus Pertukarkan dari Patron ke Klien
Dari uraian mengenai hubungan timbal balik dalam hubungan kerja, hubungan sosial, dan jaringan sosial antara petani dengan buruh tani dapat
diperoleh gambaran bahwa arus hubungan patron-klien dapat dilihat dalam:
1. Jaminan Subsistensi Dasar
Dalam hal ini, petani patron memberikan penghidupan subsistensi dasar berupa pekerjaan tetap kepada buruh tani klien. Dengan
memberikan pekerjaan tetap tersebut, petani berkewajiban memberikan upah kepada buruh tani. Besaran upah yang diberikan tergantung dari
kesepakatan yang tercipta antara petani patron dengan buruh tani klien. 2.
Jaminan Krisis Subsistensi Dalam hubungan sosial, petani patron juga memberikan bantuan
jasa krisis subsistensi kepada buruh tani. Jaminan krisis
subsistensidiberikan petani terhadap buruhnya, apabila buruh tersebut sedang mengalami kesulitan atau ada keperluan keluarga yang harus
segera dipenuhi secepatnya. Bentuk jaminan krisis subsistensi yang diberikan petani patron kepada buruh tani klien adalah dalam bentuk
pinjaman uang utang.
3. Makelar dan Pengaruh
Jaminan sosial yang diberikan patron kepada klien ini merupakan wujud dari peran patron sebagai makelar atau pengaruh untuk menarik
hadiah dari luar bagi kepentingan kliennya. Dalam kasus penelitian ini, buruh tani tidak hanya di berikan jaminan dasar dan jaminan krisis oleh
petani, melainkan buruh tani juga diberikan jaringan yang dimiliki oleh petani. Petani yang puas dengan kinerja buruh tani kerap mempromosikan
buruh tani ini kepada petani-petani pemilik lahan lainnya yang sedang mencari buruh tani untuk berkerja pada lahannya. Dampak dari kasus
tersebut adalah bertambahnya majikan buruh tani serta penghasilan buruh tani.
b. Arus Pertukarkan dari Klien ke Patron
Pada umumnya, petani menjalin hubungan dengan buruh tani karena adanya kebutuhan petani akan pekerja yang menyediakan tenaga
dan keahlian dalam pertanian kelapa sawit. Jadi, arus pertukaran yang terjadi dari buruh tani ke klien adalah dalam bentuk jasa dan bukan dalam
bentuk benda. Oleh karena itu, balas jasa yang diharapkan petani terhadap buruh tani adalah bagaimana hasil pekerjaan dasar yang di perintah oleh
petani dilaksanakan dengan baik dan bukannya dilaksanakan dengan buruk oleh buruh tani. Pekerjaan dasar buruh tani ini adalah memanen buah
kelapa sawit, memupuk, dan membersihkan rumput liar di lahan kelapa sawit.
4.2.4. Eksploitasi dan Kontinuitas Hubungan Patron Klien antara Petani
Patron dengan Buruh Tani Klien
Umumnya pola hubungan patron klien dapat bertahan lama, atau bahkan adakalanya hubungan patron klien memudar atau bahkan terhenti karena adanya
konflik di antara keduanya. Bertahan atau terhentinya suatu hubungan patron klien tergantung pada bagaimana masing-masing pihak mengatur hubungan
timbal balik agar kebutuhan di antara kedua pihak yang berhubungan tersebut dapat saling terpenuhi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Scott 1976 yaitu
ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif
yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural di sini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan
minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif atau kelompok dll. Sedangkan
dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasarminimum yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi
makan, memberi bantuan untuk orang sakit dll.Hubungan ketergantungan yang memasok jaminan-jaminan minimal ini akan mempertahankan legitimasi
hubungan antara patron kliennya. Jika para patron tidak sanggup memenuhi dua dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut
Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif.
Terkait dengan pandangan Scott di atas, kasus hubungan patron klien yang berlangsung lama dan hubungan patron klien yang memudar atau berakhir juga
terjadi pada hubungan antara petani patron dengan buruh tani klien di Desa Rokan Baru. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan mengenai teori Scott di atas,
dengan realita yang terjadi pada hubungan antara petani patron dengan buruh tani klien di desa ini. letak perbedaan itu berada pada: 1 aktor yang
tereksploitasi bukanlah si klien melainkan si patron dan; 2 posisi tereksploitasi yang dialami patron bukanlah syarat mutlak yang menentukan apakah hubungan
patron klien akan berakhir, sebab dengan adanya hubungan ikatan keluarga antara si patron dengan si klien membuat keputusan patron untuk memutuskan hubungan
dengan klien yang adalah suatu hal yang tidak mungkin atau rumit. Pada awalnya, hubungan patron klien yang terbentuk antara petani dengan
buruh tani disebabkan oleh adanya hubungan yang saling membutuhkan di antara keduanya. Hubungan yang saling membutuhkan ini dapat dilihat dari adanya
pertukaran barang dan jasa yang saling menguntungkan di antara keduanya. Di mana petani dari luar Desa Rokan Baru memberikan upah dan bantuan hutang
kepada buruh tani atas pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani terhadap lahan kelapa sawit miliknya, sedangkan buruh tani iniakan membantu pekerjaan yang
diberikan oleh petani dari luar Desa Rokan Baru. Untuk memperoleh hubungan yang saling menguntungkan kedua aktor menerapkan posisi tawar kepada
relasinya, yakni petani meminta kecekatan buruh tani dalam bekerja dan menjaga kepercayaan petani dengan bekerja secara jujur dan tidak berbuat curang.
Sedangkan buruh tani memiliki posisi tawar dalam penetapan sistem pengupahan, sehingga dengan posisi tawar yang dimiliki oleh buruh tani membuat buruh tani
tidak tereksploitasi atas pekerjaan yang ia lakukan.
Dari hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa hubungan yang pada awalnya dibangun atas dasar saling membutuhkan dan saling
menguntungkan ternyata tidak berjalan dengan mulus. Seiring dengan waktu, ternyata kepercayaan yang diberikan petani kepada buruh tani sering dilanggar
oleh beberapa buruh tani. Posisi petani dari luar desa yang memiliki keterbatasan akses dan waktu untuk mengontrol secara kontinu produktivitas lahan kelapa
sawit miliknya ternyata sering dimanfaatkan oleh buruh tani untuk berbuat curang. Ini seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Irfan berikut ini:
“Dulu pernah bapak nyuruh orang untuk jaga ladang bapak. Tapi kerjaannya nggak nampak hasilnya, disuruh bersihkan
ladang tapi nggak dibersih-bersihkan, lama kali baru dikerjakannya. Bukan cuma itu saja, kadang-kadang hasil
uang panen yang bapak terima nggak sesuai dengan yang sebenarnya, jadi macam dikorupnya gitu. Mungkin karena
bapak jauh di sini sedangkan ladang bapak jauh di sana, jadi dia pikir bisa ngakali bapak. ya karena sudah jenuh, dia gitu
terus ya bapak ganti dia sama orang lain”.
Informan lainnya, yaitu Bapak Sumargo juga mengatakan seperti berikut ini:
“Kalau kita punya ladang jauh itu gini, kita sulit mengawasi kinerja orang yang kerja di ladang kita itu. kita cuma ngasih
komando dari jauh, dan orang yang kita suruh jaga ladang kita yang jalankan perintah. Bapak palingan cuma sekali-
sekali kontrol lihat ladang bapak. Jadi karena begitu bapak pernah beberapa kali dicurangi sama orang yang menjaga
ladang bapak. Bapak pernah dicurangi begini, buah sawit kita dia panen dulu sebagian sebelum jadwal panen yang
seharusnya. Buah yang dia panen itu dia jual dan hasilnya untuk dia sendiri. dia curi lah istilahnya. Jadi waktu jadwal
manen kita tiba, buah di sawit cuma tinggal sedikit, jadi hasil panen buah kelapa sawit bapak cuma sedikitlah jadinya.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Dayat Berikut ini:
“Kalau buruh tani berbuat curang itu ada. Bahkan bisa dikatakan sering. Yang menjaga ladang saya itu adik ipar
saya atau adik kandung dari istri saya. bapak tahu adik ipar bapak itu berbuat curang berawal dari keheranan saya sama
hasil ladang saya yang gak sebanding dengan luas lahan bapak. Luas lahan bapak 10 hektar, tapi hasilnya setiap
manen cuma 2 ton atau 3 ton saja, paling banyak 3 ton setengah. Karena heran, saya cari tahu dengan cari-cari info
dari tetangga-tetangga dia, dan rupanya benar dia berbuat curang. Dia panen dulu sawit saya sebelum jadwal panen
yang seharusnya. Jadi umpamanya jadwal panen kelapa sawit saya setiap hari jum’at di minggu kedua, tetapi dua
hari atau satu hari sebelum jadwal manen itu dia sudah panen buah kelapa sawit saya sebagian dan dia jual untuk
keluarganya. jadi waktu jadwal panen yang seharusnya tiba, buah sawit yang dihasilkan cuma sedikit dan uang hasil
panen juga nggak banyak seperti yang seharusnya lah”.
Bentuk kecurangan yang dilakukan oleh buruh tani juga diungkapkan oleh Bapak Mansur berikut ini:
“Dicurangi sama yang jaga ladang itu hal yang biasa kalau kita punya ladang jauh. Karena banyak orang-orang yang
punya ladang jauh saya sering dengar di tipu. Kalau bapak sendiri juga mengalami. Orang yang jaga ladang bapak
sering nggak jujur kalau bekerja. Nanti kita suruh dia membersihkan ladang bapak dan upah membersihkannya
sudah bapak kasih. Tapi ladang bapak itu nggak dibersih- bersihkan. Jadi waktu sebulan atau dua bulan kemudian
bapak datang, bapak lihatlah ladang bapak semak kali. Dan yang jaga ladang bilang kalau ladang bapak harus di
bersihkan lagi, karena lahan gambut cepat tumbuh rumputnya. Semenjak bapak tahu kayak gitu, setiap bapak
datang mengontrol ladang bapak, bapak tunggu dia membersihkan ladang bapak, bapak juga ikut bantu biar
cepat selesai dan bapak cepat pulang ke rumah bapak di pakam.
Dari hasil wawancara di atas mengindikasikan bahwa perilaku curang yang dilakukan oleh buruh tani ini menggambarkan bahwa pola hubungan patron
dengan klien yang pada awalnya dibangun bersifat saling menguntungkan seiring dengan waktu berubah menjadi hubungan yang bersifat merugikan petani
eksploitasi. Sebab, petani dari luar desa sebagai pemilik sumber daya ekonomi lahan yang luas dan penyedia lapangan pekerjaan bagi klien, mengalami
kerugian oleh perbuatan curang yang dilakukan buruh tani yang ia pekerjakan. Bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan oleh buruh tani adalah pencurian buah
sawit atau memanen buah kelapa sawit sebelum jadwal panen yang seharusnya tanpa sepengetahuan petani, dan menjualnya untuk keperluan pribadi keluarga
buruh tani. Bentuk kecurangan lainnya yaitu buruh tani kerap bertindak tidak jujur dalam menjalankan tugas-tugasnya, seperti tidak mengerjakan tugas
membersihkan lahan kelapa sawit milik petani meskipun sudah di berikan upah. Untuk menghindari kerugian terus-menerus atas perbuatan curang yang
dilakukan oleh buruh tani, beberapa petani patron memilih mengakhiri hubungan sosial ekonominya dengan buruh tani patron. Akan tetapi lain halnya
dengan petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarganya. Petani yang memiliki ikatan keluarga dengan buruh tani akan mengalami kesulitan dalam
menentukan kontinuitas hubungan sosial ekonominya dengan buruh tani tersebut. Biasanya keputusan yang diambil oleh petani yang memiliki ikatan keluarga
dengan buruh tani ini lebih memilih melanjutkan daripada mengakhiri hubungannya dengan buruh tani tersebut. Ini seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Mansur petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarga berikut ini:
“Susahnya kalau satu keluarga itu ya ginilah, kita sudah dirugikan, tapi kita gak bisa memecatnya. Nanti bisa sakit
hati, bisa musuhan gara-gara masalah itu. makanya kalau bapak tahu dia berbuat curang ya palingan cuma bapak
diamkan saja. malas musuhan gara-gara itu. Nggak enak di dengar orang, kita satu keluarga tapi musuhan. Jadi
palingan bapak cari cara lain ajalah biar dia nggak bisa berbuat curang. Misalnya kalau setiap jadwal panen bapak
datang langsung kesana, setiap mau mupuk sawit n nyemprot bapak juga datang ikut bantu-bantu sedikit”.
Hal yang hampir senadajuga diungkapkan oleh Bapak Dayat petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluargaberikut ini:
“Bapak lebih memilih diam kalau tahu dia berbuat curang. Bapak malas ribut, nggak enak satu keluarga jadi musuhan.
Biarlah hasil sawit di situ berkurang, daripada jadi ribut dan jadi musuhan. Anggap seperti sedekah untuk keluarga adik
bapak itu, karena keadaan keluarganya susah. Adik bapak itu nggak punya ladang di sana.
Informan lainnya, yaitu Bapak Sumargo petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya mengungkapkan seperti berikut ini:
“Sudah dua kali bapak ganti tukang panen sawit bapak yang di sana itu, kerjanya nggak becus, bapak ganti dengan yang
sekarang lebih bisa dipercaya. Karena kepercayaan itu penting, kalau sudah dikasih kepercayaan tapi susah diajak
kerja sama ya bapak malaslah”.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Irfan petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya berikut ini:
“Mendapatkan penjaga ladang yang bisa dipercaya memang gak bisa sekali dapat, perlu beberapa kali gonta-ganti buruh
tani hingga pada akhirnya kita dapat orang yang bisa dipercaya untuk menjaga ladang kita. Dulu pernah bapak
nyuruh orang untuk jaga ladang bapak. Tapi kerjaannya nggak nampak hasilnya, disuruh bersihkan ladang tapi nggak
dibersih-bersihkan, lama kali baru dikerjakannya. Bukan cuma itu saja, kadang-kadang hasil uang panen yang bapak
terima nggak sesuai dengan yang sebenarnya, jadi macam dikorupnya gitu. Mungkin karena bapak jauh di sini
sedangkan ladang bapak jauh di sana, jadi dia pikir bisa ngakali bapak. ya karena sudah jenuh, dia gitu terus ya
bapak ganti dia sama orang lain, dan yang jaga ladang saya sekarang lebih bisa dipercaya”.
Dari hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya lebih mudah untuk
memutuskan hubungan sosial ekonomi dengan buruh tani. akan tetapi sebaliknya, petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarganya mengalami
dilema ketika memutuskan hubungan sosial ekonomi dengan buruh tani. Dilema petani ini disebabkan karena adanya nilai moral tentang pentingnya
mempertahankan keharmonisan keluarga dan menghindari konflik sesama anggota keluarga, sehingga tetap mempertahankan anggota keluarga sebagai
buruh tani menjadi pilihan yang tidak dapat terelakkan oleh petani. Hal inilah yang menjadi temuan menarik lainnya dalam mengembangkan atau memodifikasi
teori patron klien Scott 1972. Jika Scott semula hanya menyentuh hubungan emosional berdasarkan kepemilikan atas sumber daya si patron dan si klien yang
mempertukarkan sumber daya itu dalam interaksi yang resiprosikal. Namun dalam penelitian ini di temukan bahwa hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dalam
bentuk ikatan darah justru memiliki pengaruh yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan gagasan Scott tersebut.
Jika Scott 1972 menyatakan bahwa pola hubungan patron klien akan berhenti ketika si patron sebagai pemilik kekuasaan, pengaruh, wewenang dan
materi, akan menghentikan hubungannya dengan si klien jika si klien tidak lagi memiliki sumber daya dalam bentuk loyalitas, dukungan dan pengabdian. Dalam
penelitian ini justru menemukan bahwa pola hubungan itu tetap bisa berlangsung karena ikatan kekerabatan atau kekeluargaan yang dimiliki oleh si patron dengan
si klien tetap menjadi balutan yang memperkuat ikatan patron dengan klien, meskipun si klien tidak menunjukkan loyalitasnya kepada patron.
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Realitas hubungan patron klien yang dinyatakan oleh Scott memang terpresentasikan dalam hubungan produksi pertanian kelapa sawit antara petani
dari luar desa dengan buruh tani, meskipun hubungan di antara keduanya sangat terbatas hanya pada dimensi ekonomihubungan kerjadan sosial saja. Hubungan
tersebut berbasis pada ketimpangan penguasaan tanah, di mana petani dari luar desa patron dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi menggunakan
pengaruh dan sumber dayanya berupa lapangan pekerjaan untuk memberikan manfaat berupa uang upah dan hutang bagi buruh tani yang statusnya lebih
rendah. Selanjutnya sang buruh tani klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan jasa untuk melaksanakan perintah-perintah yang diberikan
oleh petani terkait dengan produksi pertanian kelapa sawit. Dalam hubungan kerja terdapat unsur-unsur di antaranya rekrutmen tenaga
kerja, pengaturan kerja, waktu dan sistem pembayaran upah. Walaupun hubungan patron klien dibangun dengan ikatan non formal, akan tetapi dalam merekrut
buruh tani, petani-petani ini menetapkan beberapa kriteria khusus demi kelancaran kegiatan ekonominya. Kriteria khusus tersebut adalah kecekatan buruh tani dan
sifat buruh tani yang dapat di percaya. Untuk memperoleh buruh tani yang sesuai dengan kriteria tersebut, petani biasanya merekrut buruh tani dari hasil pemberian
informasi atau promosi dari petani-petani lain atau merekrut teman atau kerabat yang tinggal di Desa Rokan Baru.
Penetapan upah yang diterima buruh tani tergantung pada bagaimana kesepakatan antara petani dengan buruh tani. Ini membuktikan bahwa dalam
penetapan upah, masing-masing aktor memiliki posisi tawar. Buruh tani klien meskipun sangat bergantung kepada petani patron, tetap memiliki posisi tawar.
Begitu juga dengan petani patron, modal yang dimilikinya tidak serta merta membuatnya bisa melakukan eksploitasi kepada buruh tani klien maupun
memberikan keputusan yang merugikan klien. Hubungan timbal balik yang terjadi terus menerus intensif dalam
hubungan kerja menjadikan interaksi antara petani dan buruh tani lebih akrab dan intim, saling mengenal pribadinya dan saling mempercayai satu sama lain.
Akibatnya, hubungan di antara keduanya selanjutnya tidak hanya dikaitkan dengan hubungan kerja atau ekonomi saja tetapi ada relasi-relasi sosial yang
saling terlekat luwes dan meluas. Selain memberikan upah, petani juga sering membantu buruh tani ketika mereka mengalami kesulitan seperti biaya tambahan
untuk anak sekolah dan kebutuhan ekonomi lainnya. Kedekatan petani terhadap buruh tani juga sangat menguntungkan buruh tani, sebab, kedekatan di antara
keduanya, b8erakibat pada bertambahnya jaringan sosial buruh tani. Ini dapat dilihat dari promosikan yang dilakukan petani kepada petani-petani pemilik lahan
lainnya yang sedang mencari buruh tani dengan menawarkan buruh taninya. Dengan adanya promosi ini, otomatis buruh tani ini memiliki majikan baru dan
penghasilan baru. Dalam hubungan antara petani dengan buruh tani, kewajiban untuk
membalas budi merupakan satu prinsip moral yang paling utama yang berlaku bagi kontinuitas hubungan mereka. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal
balik yang memberikan kekuatan sosial kepada ikatan itu. Barang dan jasa yang dipertukarkan antara patron dan klien akan identik, oleh karena sifat dari tata
hubungan itu didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda. Pada umumnya patron diharapkan untuk melindungi kliennya dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan materinya sedangkan klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya. Oleh karena itu, kontinuitas hubungan yang terjalin antara
petani patron dengan buruh tani klien pada dasarnya dibangun dengan asas saling menguntungkan.
Hasil temuan juga menunjukkan tidak selamanya pandangan Scott mengenai pemenuhan ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi
obyektif sebagai faktor penentu kontinuitas hubungan antara petani patron dan buruh tani klien di Desa Rokan Baru. Sebab, terdapat unsur lain yang lebih
memperkuat kontinuitas hubungan antara petani dengan buruh tani, yaitu ikatan kekerabatan atau kekeluargaan yang terjalin antara petani dengan buruh tani.
Dengan adanya ikatan kekerabatan atau kekeluargaan antara petani dengan buruh tani, membuat hubungan patron klien tetap berlanjut meskipun buruh tani tidak
loyalitas kepada petani.
5.2. Saran