Eksploitasi dan Kontinuitas Hubungan Patron Klien antara Petani

4.2.4. Eksploitasi dan Kontinuitas Hubungan Patron Klien antara Petani

Patron dengan Buruh Tani Klien Umumnya pola hubungan patron klien dapat bertahan lama, atau bahkan adakalanya hubungan patron klien memudar atau bahkan terhenti karena adanya konflik di antara keduanya. Bertahan atau terhentinya suatu hubungan patron klien tergantung pada bagaimana masing-masing pihak mengatur hubungan timbal balik agar kebutuhan di antara kedua pihak yang berhubungan tersebut dapat saling terpenuhi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Scott 1976 yaitu ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural di sini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif atau kelompok dll. Sedangkan dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasarminimum yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi makan, memberi bantuan untuk orang sakit dll.Hubungan ketergantungan yang memasok jaminan-jaminan minimal ini akan mempertahankan legitimasi hubungan antara patron kliennya. Jika para patron tidak sanggup memenuhi dua dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif. Terkait dengan pandangan Scott di atas, kasus hubungan patron klien yang berlangsung lama dan hubungan patron klien yang memudar atau berakhir juga terjadi pada hubungan antara petani patron dengan buruh tani klien di Desa Rokan Baru. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan mengenai teori Scott di atas, dengan realita yang terjadi pada hubungan antara petani patron dengan buruh tani klien di desa ini. letak perbedaan itu berada pada: 1 aktor yang tereksploitasi bukanlah si klien melainkan si patron dan; 2 posisi tereksploitasi yang dialami patron bukanlah syarat mutlak yang menentukan apakah hubungan patron klien akan berakhir, sebab dengan adanya hubungan ikatan keluarga antara si patron dengan si klien membuat keputusan patron untuk memutuskan hubungan dengan klien yang adalah suatu hal yang tidak mungkin atau rumit. Pada awalnya, hubungan patron klien yang terbentuk antara petani dengan buruh tani disebabkan oleh adanya hubungan yang saling membutuhkan di antara keduanya. Hubungan yang saling membutuhkan ini dapat dilihat dari adanya pertukaran barang dan jasa yang saling menguntungkan di antara keduanya. Di mana petani dari luar Desa Rokan Baru memberikan upah dan bantuan hutang kepada buruh tani atas pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani terhadap lahan kelapa sawit miliknya, sedangkan buruh tani iniakan membantu pekerjaan yang diberikan oleh petani dari luar Desa Rokan Baru. Untuk memperoleh hubungan yang saling menguntungkan kedua aktor menerapkan posisi tawar kepada relasinya, yakni petani meminta kecekatan buruh tani dalam bekerja dan menjaga kepercayaan petani dengan bekerja secara jujur dan tidak berbuat curang. Sedangkan buruh tani memiliki posisi tawar dalam penetapan sistem pengupahan, sehingga dengan posisi tawar yang dimiliki oleh buruh tani membuat buruh tani tidak tereksploitasi atas pekerjaan yang ia lakukan. Dari hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukkan bahwa hubungan yang pada awalnya dibangun atas dasar saling membutuhkan dan saling menguntungkan ternyata tidak berjalan dengan mulus. Seiring dengan waktu, ternyata kepercayaan yang diberikan petani kepada buruh tani sering dilanggar oleh beberapa buruh tani. Posisi petani dari luar desa yang memiliki keterbatasan akses dan waktu untuk mengontrol secara kontinu produktivitas lahan kelapa sawit miliknya ternyata sering dimanfaatkan oleh buruh tani untuk berbuat curang. Ini seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Irfan berikut ini: “Dulu pernah bapak nyuruh orang untuk jaga ladang bapak. Tapi kerjaannya nggak nampak hasilnya, disuruh bersihkan ladang tapi nggak dibersih-bersihkan, lama kali baru dikerjakannya. Bukan cuma itu saja, kadang-kadang hasil uang panen yang bapak terima nggak sesuai dengan yang sebenarnya, jadi macam dikorupnya gitu. Mungkin karena bapak jauh di sini sedangkan ladang bapak jauh di sana, jadi dia pikir bisa ngakali bapak. ya karena sudah jenuh, dia gitu terus ya bapak ganti dia sama orang lain”. Informan lainnya, yaitu Bapak Sumargo juga mengatakan seperti berikut ini: “Kalau kita punya ladang jauh itu gini, kita sulit mengawasi kinerja orang yang kerja di ladang kita itu. kita cuma ngasih komando dari jauh, dan orang yang kita suruh jaga ladang kita yang jalankan perintah. Bapak palingan cuma sekali- sekali kontrol lihat ladang bapak. Jadi karena begitu bapak pernah beberapa kali dicurangi sama orang yang menjaga ladang bapak. Bapak pernah dicurangi begini, buah sawit kita dia panen dulu sebagian sebelum jadwal panen yang seharusnya. Buah yang dia panen itu dia jual dan hasilnya untuk dia sendiri. dia curi lah istilahnya. Jadi waktu jadwal manen kita tiba, buah di sawit cuma tinggal sedikit, jadi hasil panen buah kelapa sawit bapak cuma sedikitlah jadinya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Dayat Berikut ini: “Kalau buruh tani berbuat curang itu ada. Bahkan bisa dikatakan sering. Yang menjaga ladang saya itu adik ipar saya atau adik kandung dari istri saya. bapak tahu adik ipar bapak itu berbuat curang berawal dari keheranan saya sama hasil ladang saya yang gak sebanding dengan luas lahan bapak. Luas lahan bapak 10 hektar, tapi hasilnya setiap manen cuma 2 ton atau 3 ton saja, paling banyak 3 ton setengah. Karena heran, saya cari tahu dengan cari-cari info dari tetangga-tetangga dia, dan rupanya benar dia berbuat curang. Dia panen dulu sawit saya sebelum jadwal panen yang seharusnya. Jadi umpamanya jadwal panen kelapa sawit saya setiap hari jum’at di minggu kedua, tetapi dua hari atau satu hari sebelum jadwal manen itu dia sudah panen buah kelapa sawit saya sebagian dan dia jual untuk keluarganya. jadi waktu jadwal panen yang seharusnya tiba, buah sawit yang dihasilkan cuma sedikit dan uang hasil panen juga nggak banyak seperti yang seharusnya lah”. Bentuk kecurangan yang dilakukan oleh buruh tani juga diungkapkan oleh Bapak Mansur berikut ini: “Dicurangi sama yang jaga ladang itu hal yang biasa kalau kita punya ladang jauh. Karena banyak orang-orang yang punya ladang jauh saya sering dengar di tipu. Kalau bapak sendiri juga mengalami. Orang yang jaga ladang bapak sering nggak jujur kalau bekerja. Nanti kita suruh dia membersihkan ladang bapak dan upah membersihkannya sudah bapak kasih. Tapi ladang bapak itu nggak dibersih- bersihkan. Jadi waktu sebulan atau dua bulan kemudian bapak datang, bapak lihatlah ladang bapak semak kali. Dan yang jaga ladang bilang kalau ladang bapak harus di bersihkan lagi, karena lahan gambut cepat tumbuh rumputnya. Semenjak bapak tahu kayak gitu, setiap bapak datang mengontrol ladang bapak, bapak tunggu dia membersihkan ladang bapak, bapak juga ikut bantu biar cepat selesai dan bapak cepat pulang ke rumah bapak di pakam. Dari hasil wawancara di atas mengindikasikan bahwa perilaku curang yang dilakukan oleh buruh tani ini menggambarkan bahwa pola hubungan patron dengan klien yang pada awalnya dibangun bersifat saling menguntungkan seiring dengan waktu berubah menjadi hubungan yang bersifat merugikan petani eksploitasi. Sebab, petani dari luar desa sebagai pemilik sumber daya ekonomi lahan yang luas dan penyedia lapangan pekerjaan bagi klien, mengalami kerugian oleh perbuatan curang yang dilakukan buruh tani yang ia pekerjakan. Bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan oleh buruh tani adalah pencurian buah sawit atau memanen buah kelapa sawit sebelum jadwal panen yang seharusnya tanpa sepengetahuan petani, dan menjualnya untuk keperluan pribadi keluarga buruh tani. Bentuk kecurangan lainnya yaitu buruh tani kerap bertindak tidak jujur dalam menjalankan tugas-tugasnya, seperti tidak mengerjakan tugas membersihkan lahan kelapa sawit milik petani meskipun sudah di berikan upah. Untuk menghindari kerugian terus-menerus atas perbuatan curang yang dilakukan oleh buruh tani, beberapa petani patron memilih mengakhiri hubungan sosial ekonominya dengan buruh tani patron. Akan tetapi lain halnya dengan petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarganya. Petani yang memiliki ikatan keluarga dengan buruh tani akan mengalami kesulitan dalam menentukan kontinuitas hubungan sosial ekonominya dengan buruh tani tersebut. Biasanya keputusan yang diambil oleh petani yang memiliki ikatan keluarga dengan buruh tani ini lebih memilih melanjutkan daripada mengakhiri hubungannya dengan buruh tani tersebut. Ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Mansur petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarga berikut ini: “Susahnya kalau satu keluarga itu ya ginilah, kita sudah dirugikan, tapi kita gak bisa memecatnya. Nanti bisa sakit hati, bisa musuhan gara-gara masalah itu. makanya kalau bapak tahu dia berbuat curang ya palingan cuma bapak diamkan saja. malas musuhan gara-gara itu. Nggak enak di dengar orang, kita satu keluarga tapi musuhan. Jadi palingan bapak cari cara lain ajalah biar dia nggak bisa berbuat curang. Misalnya kalau setiap jadwal panen bapak datang langsung kesana, setiap mau mupuk sawit n nyemprot bapak juga datang ikut bantu-bantu sedikit”. Hal yang hampir senadajuga diungkapkan oleh Bapak Dayat petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluargaberikut ini: “Bapak lebih memilih diam kalau tahu dia berbuat curang. Bapak malas ribut, nggak enak satu keluarga jadi musuhan. Biarlah hasil sawit di situ berkurang, daripada jadi ribut dan jadi musuhan. Anggap seperti sedekah untuk keluarga adik bapak itu, karena keadaan keluarganya susah. Adik bapak itu nggak punya ladang di sana. Informan lainnya, yaitu Bapak Sumargo petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya mengungkapkan seperti berikut ini: “Sudah dua kali bapak ganti tukang panen sawit bapak yang di sana itu, kerjanya nggak becus, bapak ganti dengan yang sekarang lebih bisa dipercaya. Karena kepercayaan itu penting, kalau sudah dikasih kepercayaan tapi susah diajak kerja sama ya bapak malaslah”. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Irfan petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya berikut ini: “Mendapatkan penjaga ladang yang bisa dipercaya memang gak bisa sekali dapat, perlu beberapa kali gonta-ganti buruh tani hingga pada akhirnya kita dapat orang yang bisa dipercaya untuk menjaga ladang kita. Dulu pernah bapak nyuruh orang untuk jaga ladang bapak. Tapi kerjaannya nggak nampak hasilnya, disuruh bersihkan ladang tapi nggak dibersih-bersihkan, lama kali baru dikerjakannya. Bukan cuma itu saja, kadang-kadang hasil uang panen yang bapak terima nggak sesuai dengan yang sebenarnya, jadi macam dikorupnya gitu. Mungkin karena bapak jauh di sini sedangkan ladang bapak jauh di sana, jadi dia pikir bisa ngakali bapak. ya karena sudah jenuh, dia gitu terus ya bapak ganti dia sama orang lain, dan yang jaga ladang saya sekarang lebih bisa dipercaya”. Dari hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa petani yang mempekerjakan buruh tani bukan dari kalangan keluarganya lebih mudah untuk memutuskan hubungan sosial ekonomi dengan buruh tani. akan tetapi sebaliknya, petani yang mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarganya mengalami dilema ketika memutuskan hubungan sosial ekonomi dengan buruh tani. Dilema petani ini disebabkan karena adanya nilai moral tentang pentingnya mempertahankan keharmonisan keluarga dan menghindari konflik sesama anggota keluarga, sehingga tetap mempertahankan anggota keluarga sebagai buruh tani menjadi pilihan yang tidak dapat terelakkan oleh petani. Hal inilah yang menjadi temuan menarik lainnya dalam mengembangkan atau memodifikasi teori patron klien Scott 1972. Jika Scott semula hanya menyentuh hubungan emosional berdasarkan kepemilikan atas sumber daya si patron dan si klien yang mempertukarkan sumber daya itu dalam interaksi yang resiprosikal. Namun dalam penelitian ini di temukan bahwa hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dalam bentuk ikatan darah justru memiliki pengaruh yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan gagasan Scott tersebut. Jika Scott 1972 menyatakan bahwa pola hubungan patron klien akan berhenti ketika si patron sebagai pemilik kekuasaan, pengaruh, wewenang dan materi, akan menghentikan hubungannya dengan si klien jika si klien tidak lagi memiliki sumber daya dalam bentuk loyalitas, dukungan dan pengabdian. Dalam penelitian ini justru menemukan bahwa pola hubungan itu tetap bisa berlangsung karena ikatan kekerabatan atau kekeluargaan yang dimiliki oleh si patron dengan si klien tetap menjadi balutan yang memperkuat ikatan patron dengan klien, meskipun si klien tidak menunjukkan loyalitasnya kepada patron. BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan