16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki cukup banyak suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa
yang ada di Indonesia Badan Pusat Statistik, 2010. Suku Aceh adalah salah satu suku yang mendiami bagian utara Pulau Sumatera dan merupakan daerah
paling barat dari wilayah Nusantara Sufi, 2004. Suku Aceh berasal dari suku-suku asli seperti suku Mante Bante dan
Lhan. Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya Aceh, 1971. Penduduk Aceh
merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa Sufi, 2004. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboja.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing yang ada di Aceh, yaitu bangsa Arab dan India Sulaiman, dkk, 1990. Kedatangan bangsa Arab dan
India berhubungan erat dengan penyebaran agama Islam di Aceh. Oleh sebab itu, mayoritas penduduk Aceh beragama Islam Sufi, 2004.
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut yang memiliki marga-marga, seperti al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, aal-
Almasyhur, Al-Fardhi, dan lain lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman al-Masyhur, 2013. Mereka datang sebagai ulama
dan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
17
Bangsa Arab yang tersebar di berbagai daerah Aceh hampir keseluruhan berdomisili di pesisir pantai. Laki-laki keturunan bangsa Arab mendapat gelar
Sayyid
atau
Habib
dan yang perempuan bergelar
Sya rifah
Sufi, 2004. Bangsa Arab di Aceh dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad
SAW, sehingga kelompok ini merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh Sufi, 2004. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ibu SM yang merupakan
salah satu wanita bergelar
Syarifah
. “Asal k
eturunan, kiban rhoh lon peugah, dari keturunan Rasulullah. Kamoe keturunan Quraisy sebena r jih. Cuma marga jih leu macam, na
al-Habsyi, al-Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap marga na kekhasa n
tersendiri…” “asal keturunan, gimana ya mengatakannya, dari keturunan Rasulullah.
Kami sebenarnya berasal dari keturunan kaum Quraisy. Dan marganya macam-macam, ada al-Habsyi, al- Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap
marga punya kekhasan tersendiri…” Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013
Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang berasal dari keturunan bangsa Arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW diharuskan untuk
tetap mempertahankan keturunan, gelar dan marga yang mereka miliki. Hal ini tampak dalam hal pernikahan seorang
Syarifah.
Kekerabatan keturunan bangsa Arab bersifat
patrilineal
, dimana seorang anak mengikuti garis keturunan ayahnya dan mengenal
endogamy
yang ketat, sehingga hanya laki- laki yang diizinkan untuk menikah ke luar kelompoknya dan untuk menjaga
garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW.
Syarifah
haruslah menikah dengan yang
sekufu
atau sebandingsederajat, artinya jodoh
Sya rifah
juga
Universitas Sumatera Utara
18
haruslah dari sesama keturunan bangsa Arab khususnya keturunan Nabi Muhammad SAW Kinasih, 2013.
Fenomena berlakunya peraturan keharusan wanita bergelar
Syarifah
mendapatkan jodoh seorang
Sayyid
juga masih terjadi hingga saat ini di Aceh. Namun, saat ini banyak dari mereka yang sudah melakukan perkawinan
campuran dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Meski begitu, fenomena perkawinan campuran masih merupakan hal yang
sangat ditentang dalam keluarga
Sayyid Sya rifah
. Salah satu alasan masyarakat keturunan Arab tidak ingin melakukan perkawinan dengan
penduduk pribumi karena mereka sangat mementingkan silsilah nasabnya dan tidak boleh memutuskan garis keturunan Rasulullah SAW Kinasih, 2013.
Suatu hal yang universal bahwa setiap orang di seluruh dunia memiliki kebutuhan dan berkeinginan untuk berkomitmen dengan seseorang yang
disukai Matsumoto, 2008. Matsumoto 2008 menyatakan bahwa ada perbedaan secara budaya dimana orang-orang diseluruh dunia membentuk
sebuah hubungan romantis. Hal ini pula yang mempengaruhi kehidupan di masa dewasa awal wanita bergelar
Sya rifah
. Menurut Erickson dalam Santrock, 2003, individu dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan
psikososial akan menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain. Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal
yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
19
Havighurst dalam Hurlock, 1999 lebih lanjut menjelaskan bahwa tugas- tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah
perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan
pasangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara dan mencari kelompok
sosial yang menyenangkan. Pada masa dewasa awal inilah individu akan membuat komitmen personal dengan orang lain, yakni dengan membentuk
sebuah keluarga. Berbeda dengan sebagian wanita aceh bergelar
Syarifah
. Aturan untuk mempertahankan kemurnian keturunan dan marga, dan tuntutan untuk
menikah mengharuskan wanita bergelar
Syarifah
menikah dengan laki-laki bergelar
Sayyid
. Hal ini menyebabkan banyak wanita bergelar
Syarifah
belum memenuhi salah satu tugas perkembangan di masa dewasa awal, yaitu
menikah. Umumnya, salah satu alasan wanita bergelar
Syarifah
belum menikah dikarenakan memilih untuk menunggu jodoh datang laki-laki
bergelar
Sayyid
hingga umur mereka tidak lagi muda Kinasih, 2013. Selain itu, ada
Syarifah
yang memang memilih untuk tidak menikah, dikarenakan adanya pertentangan oleh keluarga jika menikah dengan penduduk pribumi
dan juga tidak mau dijodohkan. Hal tersebut menyebabkan banyak wanita bergelar
Syarifah
yang belum menikah hingga usia mereka memasuki masa lanjut usia. Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan Ibu SM wanita yang
bergelar
Syarifah
.
Universitas Sumatera Utara
20
“Banyak yang golom menikah,
sampe na padip-padip droe ka tuha, leu karena ureueng nyan galak keu ureueng biasa, sedangkan dari pihak
keluarga han geutem, harus menikah ngon Sayyid, hanjeut ngon ureueng biasa. Alheueh nyan karena geu tentang meunan, kakeuh hana geutem
menikah lee,ka patah hati, akhirnya memilih
hidup sendiri.” “Banyak
Syarifah
yang belum nikah karena belum mendapatkan
Sayyid
, sampai uda tua-tua, sebagian bukan karena gak dapat
Sayyid
, tapi ada kayak perasaan patah hati. Karena
Syarifah
itu suka sama orang biasa, tapi gak boleh sama keluarga, ditentang habis-habisan. Jadi, karena sakit
hati, memilih hidup sendiri. ”
Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013
Menurut Havighurst dalam Hurlock, 1999, ada konsekuensi yang harus diterima individu dari kegagalan menguasai tugas-tugas perkembangan. Para
anggota kelompok sebaya individu bisa saja menganggapnya belum matang, sehingga memicu stigma negatif pada diri individu tersebut. Seorang
Syarifah
yang tidak menikah hingga masuk dewasa madya bahkan usia lanjut menyebabkan ia tidak memenuhi tugas perkembangan pada masa dewasa
awal. Hal ini mengakibatkan adanya penilaian negatif pada dirinya yang akhirnya menumbuhkan konsep diri yang negatif pula Hurlock, 1999.
Situasi ini akan membuat kehidupan seorang
Syarifah
berada dalam keadaan penderitaan.
Al-Masyhur 2013 menyatakan bahwa hidup sebagai seorang
Syarifah
merupakan sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun, keharusan seorang
Syarifah
meneruskan keturunan dengan menikahi seorang
Sayyid
menjadi suatu situasi penderitaan bagi sebagian
Syarifah
. Hal ini tampak dari ungkapan seorang
Syarifah
pada sebuah artikel.
Universitas Sumatera Utara
21
“Aku beranjak dewasa, dan kini sampailah di umurku yang telah berkepala dua. Maka tidaklah malu lagi bila di umurku ini aku dan
keluargaku telah berfikir mengenai pendamping hidup. Namun aku di hadapkan pada keadaan ini, dan aku adalah seorang syarifah. Wajib
bagiku katanya meneruskan nasab Rasul… …. Aku kebingungan setengah mati di umurku yang mendekati
kematangan ini, aku sungguh tiada mendustakan nikmat menjadi syarifah dengan segala keutamaan. Namun bagaimana aku harus melanjutkan
hidup ini.” Dee dalam artikel Kisahku Seorang Syarifah, 2013
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aturan yang mengharuskan wanita bergelar
Syarifah
untuk mempertahankan kemurnian keturunan menjadi salah satu situasi penderitaan bagi wanita bergelar
Syarifah
. Penderitaan lain yang dialami wanita bergelar
Syarifah
adalah hidup melajang hingga usia lanjut. Menurut Trovato dan Lauris dalam DeGenova, 2008,
secara umum, orang-orang yang melajang memiliki kesehatan yang lebih rendah daripada orang yang telah menikah dan juga memiliki resiko kematian
yang lebih tinggi. Selain itu, perasaan kesepian, keterasingan dari lingkungan sosial, dan keinginan memiliki anak merupakan kerugian dan penderitaan
yang akan dialami oleh wanita yang belum menikah DeGenova, 2008. Status wanita bergelar
Syarifah
yang melajang hingga usia lanjut, pada awalnya menimbulkan perasaan kehampaan, kebingungan, putus asa dan
tidak memiliki tujuan hidup. Hal tersebut seperti ungkapan seorang wanita bergelar
Syarifah
yang belum menikah hingga usia lanjut.
“
hai watee nyan na sit, merasa hana mangat, umu meutamah laju, ka
tuha, pane na ureueng galak keu geutanyoe lom…”
Universitas Sumatera Utara
22
“waktu itu, ada juga merasa gimana gitu, umur semakin bertambah, semakin tua,
mana ada lagi orang yang suka…” Komunikasi Personal, 1 Desember 2013
Setiap orang dalam hidupnya tentu pernah mengalami penderitaan, terlepas dari berat-ringannya penderitaan yang ada. Oleh karena itu,
Bastaman 2007 menyatakan bahwa untuk dapat bertahan pada setiap penderitaan yang dialami, tentunya diperlukan kepribadian yang sehat dan
tangguh berupa tubuh sehat, akhlak yang luhur, sikap tegas, keyakinan dan tujuan hidup yang jelas dalam kehidupan. Hal ini juga yang dilakukan oleh
seorang wanita bergelar
Syarifah
dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan sebagai seorang yang bergelar
Syarifah
. Wanita bergelar
Syarifah
menjalani kehidupan dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ibu SM, saudara perempuan wanita
bergelar
Syarifah
. “
meunyoe kak, hana meu kon teuh. Geu seumbahyang hantom tinggai, geu puasa sabee na, jadi hana lee geu pike keu nyang laen-laen. Kiban
nyang lagee na…” “Kakak saya belum menikah, masalah ketaatan, sangat bagus. Shalat
tidak pernah tinggal, puasa wajib dan puasa sunat selalu, jadi tidak lagi berpikir yang macam-
macam, hidup sebagaimana adanya…” Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013
Frankl 2004 mengungkapkan bahwa penderitaan dan rintangan akan memberikan seseorang kesempatan yang banyak meskipun dalam keadaan
yang paling sulit, sebagai proses untuk memaknai segala peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa, di balik penderitaan yang
Universitas Sumatera Utara
23
dialami sebagai wanita bergelar
Syarifah
, bukan berarti nilai dan arti kehidupan tidak dapat ditemukan. Frankl dalam Schultz, 1994 percaya
bahwa makna dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk dalam situasi menjalani penderitaan. Frankl menyatakan.
“Hidup adalah menderita, tetapi untuk menemukan suatu arti dalam pe
nderitaan seseorang adalah tetap hidup.” Frankl dalam Schultz, 1994
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dalam penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Frankl 2004 mengemukakan
lebih lanjut, makna hidup bahkan dapat ditemukan saat seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak membawa harapan, dihadapkan pada nasib yang tidak
bisa diubah. Penelitian dilakukan oleh Putri 2009 mengenai makna hidup pada
perempuan dewasa yang berperan ganda, menunjukkan bahwa dua dari tiga subjek dalam penelitian ini mampu memaknai kehidupannya secara baik,
karena subjek tidak merasa bahwa peran ganda adalah hal yang menyakitkan. Subjek memiliki hidup yang lebih bermakna karena dapat merasakan
kebahagiaan selama menjalani peran ganda serta mampu membahagiakan orang lain.
Sejalan dengan kasus dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri 2009, tentang perempuan yang memutuskan hanya menjalani satu peran hidup
sebagai wanita yang melajang. Lisa 35 tahun menyatakan bahwa tetap merasa bahagia dengan statusnya yang melajang, berikut penyataan Lisa:
Universitas Sumatera Utara
24
“Walaupun tidak memiliki pendamping hidup saya tidak merasa sedih dan kesepian, pekerjaan saya saja sudah sangat menyita waktu tidak ada
waktu untuk mengurusi keluarga jika saya menikah. Saya sudah bahagia dengan hidup saya yang seperti ini. Keluarga pun mendukung keputusan
saya” Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun, baik keadaan
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, makna hidup seharusnya dapat ditemukan oleh setiap orang Frankl, 2004. Sebaliknya tidak semua
orang mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalani, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Putri 2009 mengenai makna hidup pada wanita
dewasa madya yang berperan ganda. Putri 2009 menyatakan bahwa subjek penelitiannya yang ketiga memiliki kehidupan yang kurang bermakna,
dimana subjek hanya merasa telah bisa membahagiakan orang tua namun tidak dapat merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan berperan
ganda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa walaupun seharusnya setiap orang mampu menemukan makna hidup, namun tidak semua orang
mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalaninya Bastaman, 2007.
Setiap manusia pada dasarnya, memiliki hasrat untuk menemukan makna, tidak terkecuali wanita bergelar
Syarifah
. Kehidupan yang bermakna akan menyebabkan kehidupan yang dijalani lebih berarti dan pada akhirnya
akan menimbulkan perasaan bahagia
happiness
Bastaman, 2007. Perasaan bahagia tersebut merupakan hasil dari kemampuan seseorang dalam
memaknai kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
25
Menurut Bastaman 1996 dalam proses menemukan hidup bermakna, terdapat beberapa tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut
digolongkan menjadi lima, yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan
bermakna. Penderitaan merupakan tahap awal dalam proses mendapatkan hidup
yang bermakna. Pada tahap derita, individu akan dihadapkan pada situasi dimana individu tidak mampu untuk mengubah atau menghindarinya berupa
kondisi nasib yang tidak bisa di ubah Frankl, dalam Schultz, 1994. Apabila seseorang berhadapan dengan situasi tersebut, satu-satunya cara yang rasional
yang dapat dilakukan adalah menerimanya. Cara bagaimana seseorang mampu mengubah sikapnya terhadap nasib yang tidak bisa diubah dan
melihat makna dari penderitaan yang telah dialami merupakan proses kedua yang dilalui oleh individu dalam menemukan hidup bermakna, yaitu
penerimaan diri. Hal inilah yang dilakukan oleh wanita bergelar
Syarifah
terhadap keadaannya yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut. Seperti ungkapan wanita bergelar
Syarifah
berikut. “
ta pikee ju ka lagee nyoe tekeudi geubi le Poe, ta jalani kiban nyang na, keu peu ta peususah droe teuh..
” “berpikir positif, memang sudah seperti ini taqdir Allah, jalani saja
sebag aimana mestinya, tidak perlu bersedih hati...”
Komunikasi Personal, 1 Desember 2013 Ada tiga nilai-nilai sikap sebagai cara memberi makna bagi kehidupan.
Nilai-nilai tersebut yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup,
Universitas Sumatera Utara
26
apabila nilai-nilai tersebut diterapkan dan dipenuhi. Dengan memasukkan ketiga nilai tersebut, seseorang memasuki tahap ketiga dalam proses
penemuan hidup bermakna, yaitu tahap penemuan makna, dimana adanya kemampuan seseorang memberi arti dari setiap peristiwa yang dialami.
Ketiga nilai tersebut menurut Frankl dalam Bastaman, 2007 adalah nilai- nilai kreatif
creative values
, nilai-nilai penghayatan
experiential values
, dan nilai-nilai bersikap
attitudinal values
. Proses menemukan kebermaknaan hidup yang terakhir adalah tahap
realisasi makna dan tahap hidup bermakna. Pada tahap ini individu mampu melakukan kegiatan yang terarah untuk penemuan makna dan pemenuhan
tujuan hidup. Hal ini seperti yang ditulis oleh Frankl: “Kekhasan manusia ialah dia hanya dapat hidup dengan melihat masa
depan.” Frankl, dalam Schultz, 1994
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki
alasan untuk tetap meneruskan kehidupan, untuk menyelesaikan tujuan di masa yang akan datang. Selain itu seseorang harus memiliki komitmen
self- commitment
terhadap makna dan tujuan hidup dengan memberi sesuatu kepada dunia. Hal ini dapat direalisasikan dengan baik melalui pekerjaan atau
tugas seseorang. Karena, menurut Frankl dalam Schultz, 1994, seseorang dapat menemukan makna melalui pekerjaan, sehingga makna dapat
ditemukan hampir pada setiap pekerjaan mana pun juga. Oleh karena itu, penghayatan kehidupan bermakna dapat dicapai apabila seseorang telah
Universitas Sumatera Utara
27
berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga menimbulkan kebahagiaan.
“… dengan melibatkan diri dalam kegiatan bermakna, seseorang akan menikmati kebahagiaan sebagai hasil sampingan…,”
William S. Sahakian dalam Bastaman, 2007 Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah disebutkan, makna
hidup tentu dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang dewasa seharusnya mampu menemukannya, tetapi dalam kenyataannya
tidak selalu mudah ditemukan Bastaman, 2007. Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menemukan makna. Hal ini juga terjadi
pada wanita bergelar
Syarifah
. Makna hidup tidak akan didapat begitu saja tanpa wanita bergelar
Syarifah
mampu melawan berbagai permasalahan dan menyikapi dengan lebih bijaksana. Melalui penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses seorang wanita bergelar
Syarifah
yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut dalam menemukan makna hidup di tengah berbagai permasalahan yang mungkin
dialami sebagai wanita yang menyandang gelar
Syarifah
.
B. Rumusan Masalah Penelitian